Senin, 29 Maret 2021

Paku Buwana III Pelopor Perdamaian Dunia

A. Jasa Besar Sinuwun Paku Buwana III. 
Hari Minggu Pon, 28 Maret 2021 segenap abdi dalem dan sentana Karaton Surakarta sowan di Pajimatan Imogiri. Dipimpin langsung oleh GKR Dra Wandansari Koes Moertiyah M.Pd. 

Telah hadir warga Paguyuban abdi dalem Karaton Surakarta dari Klaten Boyolali, Jakarta, Sukoharjo, Karanganyar dan Nganjuk. Hastana Pajimatan Sinuwun Paku Buwana III, Paku Buwana IV dan Paku Buwana V mengingatkan pada karya sastra bermutu tinggi. 

Paku Buwana III menulis kitab Wiwaha Jarwa. Diskusi ini dilakukan oleh ketua Pakasa Nganjuk yang dipimpin oleh KRT Sukoco Madunagoro. Dengan pendherek yaiku KMT Ida Madusari, Nyi Behi Indarti Puspodiprojo, Nyi Behi Sunarmi Sekar Rukmi. Mereka belajar warisan adi luhung. 

Pelopor perdamaian dunia yang patut dikenang adalah Sinuwun Paku Buwana III. Sejak naik tahta pada tanggal 15 Desember 1749 Sinuwun Paku Buwana III mulai melakukan  mesu budi atau asketisme intelektual. Perjalanan panjang peradaban Jawa dibaca dan direnungkan sebagai bahan refleksi. Kebijakan pemerintahan dan kenegaraan didasarkan pada referensi historis. Pengalaman empiris sejarah ini penting untuk dipelajari, sehingga policy yang dibuat menjadi lebih berkualitas.

Sinuwun Paku Buwana III lahir pada hari Sabtu Wage, 26 Ruwah atau 24 Pebruari 1732. Beliau suka membaca beragam literatur. Pustaka klasik merupakan sumber informasi yang berharga untuk mengungkapkan kehidupan masa silam. Kitab-kitab Mahabarata, Ramayana dan Adiparwa dibaca oleh Sunan Paku Buwana III. Kemudian dilengkapi dengan karya sastra tinggalan pujangga Jawa. Empu Kanwa, Empu Sedah, Empu Panuluh, Empu Darmaja, Empu Manoguna, Empu Triguna, Empu Tanakung, Empu Tantular, Empu Prapanca merupakan cendekiawan yang mencerahkan pikiran Kanjeng Sunan Paku Buwana III. Imajinasi estetis memperkaya wawasan Sri Baginda Raja.

Studi komparatif antar teks kesastraan tersebut telah menjelaskan plus minus setiap jaman. Masing masing negeri, pemerintahan dan raja memiliki sistem yang berlainan. 

Dari kerajaan Mataram Hindu yang mewariskan candi Prambanan serta ephos Ramayana terdapat sisi positif yang perlu diadopsi. Wangsa Syailendra yang beragama Budha meninggalkan mahakarya. Candi Borobudur. Lantas berpindah ke Jawa Timur. Muncullah otoritas Medang, Kahuripan, Daha, Jenggala, Singosari dan Majapahit. Paku Buwana III mencermati sejarah.

Para pakar politik, sejarah, sosiologi, antropologi, psikologi, filsafat, bahasa, sastra, hukum, fisika, kimia, kedokteran, farmasi, teknik diundang oleh Paku Buwana III. Mereka diberi fasilitas untuk sarasehan, diskusi, dialog, musyawarah, rembugan guna merumuskan kebijakan yang tepat.

 Pemerintahan Mataram yang beribukota di Surakarta sedang punya problem. Persoalan kenegaraan itu memerlukan penyelesaian yang sempurna dan tuntas. Peta permasalahan, latar belakang, tinjauan pustaka, diskripsi, analisis, metode, pembahasan dan kesimpulan disusun dengan standard ilmiah dan akademis.

Seminar digelar beberapa kali. Semua peserta bebas bicara, tanpa seleksi, tanpa tekanan, tanpa pesanan. 

Diskusi terbatas dilakukan pertama kali pada tanggal 24 Maret 1753 di desa Candi, Ampel, Boyolali. Di sana terdapat villa Kraton Mataram yang disebut Pesanggrahan Madusita. Selama empat hari mereka berdebat. Suasana keras dan panas. Tapi cuma sebatas wacana. Di luar sidang mereka tetap bersahabat santai sambil minum kopi. 

Di bawah kaki Gunung Merbabu tersebut Sunan Paku Buwana III bikin kesimpulan atas permasalahan terumus. Diskusi awal ini menarik perhatian. Segera diatur pertemuan kedua. Tempat yang dipilih adalah Pesanggrahan Deles, Kemalang Klaten. Hawanya sejuk. Di tempat yang asri ini Sinuwun Paku Buwana III membaca semua kitab Jawa kuna. Sarasehan kedua diadakan pada tanggal 20 Juli 1753. Hadir dalam pertemuan ini adalah Pangeran Wijil Kadilangu, Pangeran Aneh, Ngabehi Sastrawijaya, dan Kyai Yasadipura I. 

Pesanggrahan Langenharja yang berada di tepi Bengawan Solo dijadikan pertemuan ketiga. Konsep semakin matang, data, fakta, analisa, dialog oleh tim ahli yang berasal dari berbagai bidang. Hasil konsep itu dibicarakan lagi dengan ditambah data mutakhir. Diskusi pada tanggal 24 April 1754 menghasilkan pemikiran yang semakin maju. 

Para peserta semakin menyadari dan mengerti duduk persoalan. Cara mengatasi dan merampungkan permasalahan diulas sistematis, integral dan komprehensif. Para pakar kraton, LSM dan aktivis datang dengan data hasil riset yang valid. Mereka merasa bertanggung jawab atas perkembangan peradaban pada masa depan.

Semangat untuk mendapatkan problem solving karena didasari pengetahuan yang rinci dan mencukupi. Atas usul Raden Tumenggung Widyo Pratignyo sarasehan dilanjutkan pada tanggal 5 September 1754 di daerah Sambungmacan Sragen. 

Konsumsi, transportasi dan akomodasi dibiayai sendiri. Beliau menjabat Wedana yang mumpuni dan disegani. Kebetulan Raden Tumenggung Widyo Pratignyo mempunyai lembaga pendidikan di kota Sragen.

 Di sana terbiasa dialog dan diskusi ilmu pengetahuan. Sedangkan Nyi Tumenggung Widyo Pratignyo adalah pengusaha mebel yang terkenal. Ekspor impor meja, kursi, almari, amben, pintu, jendela, dan barang-barang berukir melalui pelabuhan Rembang. Nyi Tumenggung mempekerjakan juru ukir dari Jepara yang mahir kayu. Relasi Nyi Tumenggung dari pesisir utara terdiri dari pengusaha, birokrat, kepala pelabuhan, bos bandar dan pedagang kayu.

Riset dan pengetahuan pokok tentang problematika telah dikuasai oleh Sinuwun Paku Buwana III. 

Tim ahli yang dibentuk merupakan Lembaga Pengetahuan Kraton (LPK) yang ahli dan mumpuni. Analisa yang dibuat sungguh tepat karena berbasis data. Publik memberi kepercayaan penuh. Lembaga Pengetahuan Kraton terdiri dari Kyai Yasadipura, Panjang Mas, Panjang Swara, Pangeran Karanggayam, Ki Ageng Karanglo, Tumenggung Sastronagoro. 

Data lapangan, dokumentasi, historis dan referensi klasik berlimpah ruah. Lalu dibuat klasifikasi, deskripsi dan interpretasi. Benda-benda arkeologi yang berwujud candi, petilasan, prasasti dipelajari. Tumbuh-tumbuhan dan hewan dicatat. Geografi daerah dibikin untuk memudahkan distribusi. Perpustakaan dibangun untuk penyebaran ilmu pengetahuan.

Kitab Jawa klasik dialih aksara, dibaca, disadur dan diterjemahkan. Kitab Arjuna Wiwaha, Baratayuda, Gathutkaca Sraya, Kresnayana, Asmaradahana, Pararaton, Negarakertagama, Arjuna Wijaya, Kidung Ranggalawe, Sutasoma, Suluk, Dewaruci, Menak, Panji, Kakawin, dan Macapat dijadikan obyek kajian.

 Perpustakaan Widya Pustaka diberi fasilitas dan tenaga yang melimpah. Gaji cukup, prestise dan bergengsi. Pegawai perpustakaan makmur dan mujur. Mereka rajin membaca, bikin sinopsis, catatan ringkas, katalog, saduran, terjemahan, interpretasi dan penyalinan. Ilmu berkembang maju.

Ketemulah kitab Kakawin Arjuna Wiwaha karya Empu Kanwa. Kitab ini dihimpun pada jaman kerajaan Kahuripan. Rajanya bernama Prabu Airlangga. 

Ajaran keprajuritan, nasionalisme, kebajikan, keluhuran, keagungan, kewibawaan dan perdamaian banyak ditemukan dalam Kakawin Arjuna Wiwaha. Sinuwun Paku Buwana III tertarik dan membaca sepenuh hati. Empu Kanwa diperintah Airlangga untuk menyusun kitab Kakawin Arjuna Wiwaha punya maksud luhur. Di samping mengembangkan estetika pewayangan, kitab Arjuna Wiwaha membawa misi perdamaian. Kraton Kahuripan, Singosari, Daha, Kediri, Jenggala, dan Medang diberi otonomi dan otoritas yang adil, terbuka dan jujur. Inilah inspirasi Sunan Paku Buwana III untuk meniru kebijakan Prabu Airlangga.

Pembagian wilayah dengan teritorial otonom adalah solusi untuk Mataram, agar tercapai perdamaian abadi dan keadilan sosial. Sentralisasi kekuasaan cuma memanjakan nafsu keserakahan. Orang lain tidak boleh madhani atau menyamai. Dirinya berubah menjadi orang yang paling hebat. Itu mesti dihindari. Perdamaian diperoleh dengan membagi peran dan eksistensi, biar semua pihak bisa hidup wajar.

Diutuslah para diplomat untuk mendekati barisan oposisi Mataram. Personal approach yang dilakukan tim diplomasi sungguh menguasai dalam bidang psikologi, perdamaian, civil society, ekonomi, hukum, tata negara, dan otonomi daerah. Secara berkala tim diplomasi melaporkan hasil kerja pada Sunan Paku Buwana III. Usaha damai mendapat sokongan dari berbagai pihak. Pengusaha, pengamat dan pelaku bisnis. Seolah-olah mereka punya harapan untuk menyongsong masa depan yang penuh damai dan ayem tentrem.

Juru runding mula-mula mencari informasi tentang pola pikir Pangeran Mangkubumi. Sunan Paku Buwana III percaya bahwa pamannya itu punya niat baik untuk membangun Mataram. Soal perbedaan politik dianggap sebagai barang biasa dan wajar. Juru runding pelan-pelan melakukan dialog tentang beragam masalah dan solusi. Dalam aktivitas dialog kedua belah pihak tidak kaku memegang egoisme. Cita citanya sama, yaitu demi kesejahteraan dan perdamaian. Hidup mesti saling memberi dan saling menerima. 

Tidak boleh menang-menangan. Prinsip saling menghormati dipegang teguh. Dengan semangat kekeluargaan Sunan Paku Buwana III menyetujui perjanjian Giyanti. Pangeran Mangkubumi diberi otoritas di Yogyakarta dengan sebutan Sultan Hamengku Buwana I. Perjanjian Giyanti ditanda tangani Sunan Paku Buwana III pada hari Kamis Kliwon 29 Rabiul Akhir 1680 atau tanggal 13 Pebruari 1755. Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengku Buwana I mendapat anugerah besar dari Sinuwun Paku Buwana III.

Tokoh politik dan militer yang perlu disantuni adalah Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa. Beliau berjuang selama 15 tahun. Sunan Paku Buwana III mengirim surat kepada Pangeran Sambernyawa, yang merupakan kakak sepupu. Dengan hati tulus, rendah hati, sopan, terbuka, logis, sportif, jujur, bermartabat, bersahabat dan enak isi surat Paku Buwana III amat menyentuh sanubari Pangeran Sambernyawa. Bahkan sang kakak sampai meneteskan air mata. Kutipan surat Paku Buwana III untuk Raden Mas Said demikian :

'Sasampunipun taklim kula kakangmas Pangeran Adipati Mangkunegara dhumateng sampeyan.

Wiyosipun, satampining serat kula punika kakangmas kula aturi dhateng ing Surakarta. Salajengipun amomonga ing sarira kula, amargi anggen kula jumeneng Nata rumaos kijenan temah kontit. 

Jalaran rama Pangeran Mangkubumi samangke sampun jumeneng Sultan wonten ing Ngayogyakarta. Dados boten wonten malih ingkang prayogi momong sarira kula kajawi panjenenganipun kakangmas. Manawi kakangmas sampun karsa pinanggih kaliyan kula, punapa ingkang kakarsakaken, kula badhe mituruti. Punapa malih bab siti ing Mataram, sarta ing dhusun Sala ingkang sampun wonten astanipun kakangmas, inggih kula lulusaken dados kagunganipun kakangmas.'

Surakarta, 17 April 1756

Paku Buwana III

Susunan kata surat tersebut amat cantik. Hati haru, trenyuh dan kagum pada kemuliaan Sinuwun Paku Buwana III. Beliau menganggap raja punya sikap ber budi bawa laksana. Tidak ada alasan untuk menolak ajakan damai Sri Baginda Raja. Sunan Paku Buwana III mengajak bicara empat mata. Catur netra dalam dialog ini meyakinkan Pangeran Sambernyawa untuk pulang ke istana Surakarta.

Sinuwun Paku Buwana III memberi jaminan dalam bentuk kontrak politik yang terkenal dengan Perjanjian Salatiga. Ditandatangani oleh Paku Buwana III pada hari Sabtu Legi, 5 Jumadil Awal atau 17 Maret 1757. Perjanjian ini mengikat kedua belah pihak. Pangeran Sambernyawa diberi ganjaran bumi Karanganyar, Wonogiri dan Pacitan. Hadiah ini berlaku turun-temurun. 

Pangeran Sambernyawa bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I. Beliau bertahta di Pura Mangkunegaran dengan otoritas Kadipaten Otonom. Kali ini Sunan Paku Buwana III tampil sebagai juru damai. Problematika Mataram yang ruwet diselesaikan dengan damai. Beliau menjauhi sikap kekerasan. Tidak ada korban jiwa. Semua berjalan aman dan selamat.

Prestasi damai ini berbuah salut dan rasa hormat dari Sultan Hamengku Buwana I dan  KGPAA Mangkunegara I. Tindakan Paku Buwana III tulus ikhlas. Jauh dari mengejar popularitas. Beliau wafat pada hari Jumat Wage, 25 Besar atau 26 September 1788. Namun demikian perlu dicatat bahwa sikap Sunan Paku Buwana III tegas dalam hal menurunkan tradisi leluhur. Kotagede, Imogiri dan Ngawen menjadi hak penuh Kraton Surakarta. 

Sejarah mencatat bahwa Paku Buwana III satu-satunya raja yang bersedia power sharing. Pengetahuannya yang luas dan dalam terhadap polemologi atau ilmu perdamaian menghasilkan putusan yang tepat, terhormat serta bermartabat. Lumrah sekali jika makam Sunan Paku Buwana III terdapat julukan Sunan Suwarga. Sebuah gelar penghormatan yang semestinya diterima.

Aktivis perdamaian perlu mengingat strategi damai yang telah dicontohkan oleh Sunan Paku Buwana III. Bila perlu diusulkan mendapat piagam NOBEL.

 Penghargaan tertinggi Nobel hendaknya diusulkan oleh masyarakat Indonesia untuk Sunan Paku Buwana III. Beliau telah menjadi contoh eksekutif, raja, priyayi, bangsawan dan ilmuwan yang mewariskan nilai perdamaian abadi dan keadilan sosial.   

B. Bapak Perdamaian Dunia. 

Peradaban Jawa tampak agung dan anggun ketika terjadi perjanjian Giyanti. Segala persoalan diselesaikan lewat meja perundingan. Hak dan kewajiban dijalankan sesuai dengan kesepakatan. 

Kanjeng Sinuwun Paku Buwana III mendapat gelar Bapak Perdamaian Dunia. Pada tanggal 13 Februari 1755 terjadilah peristiwa historis yang cemerlang dan gemilang. Yakni ditandatanganinya perjanjian Giyanti.

 Desa Giyanti Jantiharjo Tegalgedhe Karanganyar menjadi sangat terkenal karena dipilih Sunan Paku Buwana III sebagai tempat perjanjian penting. Sebelum membubuhkan tanda tangan, Paku Buwana III berdoa demi keselamatan leluhur dan seluruh kawula Kraton Mataram.

Sri Susuhunan Paku Buwana III berusaha untuk menghentikan “peperangan saudara", dengan alasan bahwa peperangan yang telah terjadi mengakibatkan kerusakan dan penderitaan rakyat. Pikiran itu diterima baik, dan pada hari Kamis Kliwon tanggal 29 Rabiulakir 1680 atau 13 Pebruari 1755, Perjanjian  penghentian peperangan ditandatangani. Perjanjian  itu disebut “Perjanjian  Giyanti" atau “Palihan Nagari". 

Tokoh sentral Perjanjian Giyanti adalah Sinuwun Paku Buwana III yang memiliki tabiat jiwa agung dan berbudi luhur. Yogyakarta diserahkan pada Sultan Hamengku Buwana I, kecuali daerah Kotagedhe, Imogiri dan Ngawen. Hartingh adalah satu-satunya kepercayaan Gubernur Jendral  Mossel. Ia mengenal betul akan adat-istiadat Jawa, bahkan sebelum ia menjadi Gubernur di Semarang, ia pernah tinggal di Surakarta, melulu untuk belajar bahasa Jawa. 

Cara bekerjanya Hartingh tidak seperti rekan  yang digantinya, van Hohendorff. Kalau rekannya itu lebih menyukai kekerasan, adalah Hartingh lebih suka mengambil jalan  sebagai “juru selamat". Konsultan asing ini diajak rembugan oleh Paku Buwana III untuk meredakan ketegangan. Sri Susuhunan Paku Buwana dan Sri Sultan Hamengku Buwana bisa mendapat kesempatan saling bergandengan tangan. 

Buku-buku mengenai sejarah dunia dan khususnya historiografi Jawa banyak dibaca oleh Sunan Paku Buwana III. Beliau turut membina negeri-negeri pemekaran. Untuk menghormati tempat yang bersejarah, yaitu hutan Beringan, yang pada jaman marhum Sri Susuhunan Amangkurat Jawi menduduki tahta Mataram, telah merupakan kota kecil yang sangat indah dan ada istana pesanggrahannya, yang dalam sejarah terkenal dengan nama Garjitawati. 

Kemudian pada jaman Sri Susuhunan Paku Buwana II bertahta di Kartasura, sebagai Ibukota Mataram, nama pasanggrahan itu diganti Yogya, yang dimasa itu hanya dipergunakan tempat pemberhentian layon layonnya  para bangsawan yang akan dimakamkan di Imogiri, hingga Pesanggrahan itu dipandangnya sebagai salah satu tempat suci,  yang mendapat berkatnya para Luhur Mataram.

Pola arsitektur kraton Surakarta banyak ditiru oleh kerajaan-kerajaan baru. Sunan Paku Buwana III setuju-setuju saja. Hubungannya pembangunan Taman Sari demikian juga, Taman Sari adalah salah satu tempat istirahat, yang letaknya ada disamping Keraton sebelah Barat, yang oleh orang-orang Barat dikenal sebagai satu-satunya “waterkasteel" di Jawa. Dalam sejarah-sejarah Yogyakarta banyak disebut, bahwa pembangunan Taman Sari itu dikerjakan oleh seorang Portugis, tetapi kalau benar demikian, tentulah bangunan Taman Sari itu paling sedikit berbau corak Portugis. 

Sedang Prof. P.J.Veth dalam bukunya “Java" telah membantah pendapat-pendapat itu, sebab olehnya ditegaskan, bahwa Taman Sari itu, adalah bangunan corak Jawa asli. Dugaan bahwa pemilihan tempat untuk Ibukota lebih condong kepada “pertahanan", dapat diperkuat dengan berdirinya bangunan Taman Sari,  yang boleh dikata sebagai sebagian daripada Keraton. Pada lahirnya Taman Sari adalah merupakan tempat beristirahat untuk mendapatkan sekedar hiburan. 

Tetapi siapa yang telah menyelidiki “Waterkasteel" ini dengan sesungguhnya, terutama pada bagian-bagian sebelah dalam, diantaranya terdapat juga jalan-jalan kecil didalam tanah  yang menembus kebeberapa jurusan, berbeluk-beluk, diantaranya ada yang menembus sampai keluar kota.

Babad Palihan Negari atau Perjanjian Giyanti ditandatangani pada 13 Februari 1755. Sebuah perjanjian yang pada intinya membagi negara Mataram menjadi dua bagian. Separuh diperintah oleh Susuhunan Paku Buwana III dengan ibukota Surakarta, bagian yang lain dikuasai oleh Susuhunan Kebanaran yang sejak itu berganti gelarnya menjadi Sultan Hamengku Buwana I, dengan ibukota Ngayogyakarta. 

Pembagian negara ini juga diikuti dengan pembelahan budaya. Budaya Surakarta dengan budaya Yogyakarta seolah-olah bersaing keras yang tidak jarang menciptakan perselisihan. Terhadap tiga kekuatan itu Mangkunegara masih dapat mempertahankan diri dua tahun lamanya dan pada hari Kamis, tanggal 24 Februari 1757, beliau menyerah dengan rela hati pada Susuhunan. 

Permusyawaratan antara Kompeni (Hartingh), Sunan Mas Said dan Danurejo I (utusan dari Sultan) terjadi pada hari Kamis, tanggal 17 Maret tahun 1757. Dalam pertemuan itu Raden Mas Said alias Pangeran Sambernyawa diangkat menjadi Pangeran Miji dengan upacara istimewa dan diberi lungguh sebesar 4000 karja. Sebagian dari lungguh ini ialah Daerah Kaduwang; yang lain terletak di Laroh, Matesih dan Gunungkidul. Selanjutnya dipastikan, bahwa Mangkunegara diwajibkan menghadap Sunan pada tiap hari Senin, Kamis dan Sabtu. 

Berkat kemurahan Sunan Paku Buwana III, maka berdirilah Kasultanan Ngayogyakarta. Daerah Kotagedhe, Imogiri dan Ngawen tetap berada dalam kekuasaan Kraton Surakarta. Traktat (perjanjian) reconciliatie (perdamaian, damai), persahabatan dan persekutuan antara yang terhormat ‘Oost-Indische Compagnie’ Belanda pada satu pihak dan Sultan Hamengku Buwana Senapati Ingalaga Abdul Rachman Sayidin Panatagama Kalifatolah pada pihak yang lain, atas nama  dan perintah istimewa dari Yang Mulia Jacob Mossel, jendral infanteri dalam dinas nagara Belanda Serikat. 

Juga karena Gubernur Jendral itu sendiri dan yang terhormat anggota anggota dewan Hindia Belanda, yang mewakili daerah tertinggi dan berdaulat ini atas nama persatuan dagang umum ‘Oost Indhische Compagnie’ Belanda yang mempunyai izin sepenuhnya untuk berdagang (octrooi), oleh Tuan Nicolaas Hartingh, Gubernur dan direktur segala usaha di Jawa dan wakil yang mempunyai hak penuh pada perundingan perdamaian tersebut, disetujui dan ditetapkan’, perjanjian di desa Giyanti, dekat Surakarta, dalam tahun 1755, bulan Pebruari, tanggal 13, hampir 200 tahun yang lampau.

Pasal 1 dari perjanjian Giyanti ini mengatakan, bahwa, ‘tuan tuan yang terhormat, juga menyetujui akan mengangkat Mangkubumi sebagai Sultan atas setengah daerah pedalaman kerajaan Jawa, supaya di samping Susuhunan Paku Buwana, memerintah propinsi-propinsi dan distrik-distrik yang pada pembagian jatuh kepada tangan masing-masing, dengan gelar dan nama kehormatan Sultan Hamengku Buwana Senapati Ingalaga Abdul Rahman Sayidin Panatagama Kalifatolah, maka saya Nicolaas Hartingh, Gubernur dan direktur dan ‘wakil mempunyai hak penuh’ pada rapat perdamaian ini, pada pihak saya, atas nama Yth. Oost Indische Compagnie Belanda, sekarang mengangkat beliau tersebut, menetapkannya dan mengakuinya sebagai Sultan yang sah atas tanah yang diserahkan kepadanya sebagai tanah pinjaman dengan hak menggantinya untuk ank-anaknya yang sah yakni Adipati Anom, Mas Sundara dan Hangabei; dan saya, Sultan Hamengku Buwana akui dan terangkan di sini dengan penuh rasa terima kasih, menerima pangkat (derajat, kemuliaan) itu sebagai penghargaan istimewa dengan syarat-syarat yang berikut ini, yang akan dipandang dari kedua belah pihak sebagai hukum yang tak dapat diubah ubah selama lamanya dan yang harus dipegang teguh oleh kedua belah pihak dengan sungguh sungguh sebagai hukum yang suci.’

Memang bagi Mangkubumi perang tersebut ada hasilnya. Beliau diangkat dan diakui sebagai Sultan atas setengah dari daerah daerah kerajaan Paku Buwana III yang dulu di Jawa, daerah daerah mana dipinjamkan oleh kompeni kepadanya dengan hak warisan kepada anak anaknya laki laki yang sah, Adipati Anom. Sekali lagi, Pangeran Mangkubumi di Yogyakarta, tetapi tidak boleh menguasai Kotagedhe, Imogiri dan Ngawen.

C. Tractaat van Reconciliatie. 

(Hamengku Buwana I – Kompeni)

Tractaat van reconciliatie, vreede, vriend en Bondgenootschap tussen de doorluchtige Nederlandsche Oost Indische Compagnie ter eenre, en, den Sulthan Haming Coboeana Senopatty Ingalaga Abdul Rachman Sahidin Panata-gama kalifattolach ter andere zijde, uyt name en op speciale last van Zyn Excellentie den Hoog Edelen Heere Jacob Mossel, generaal van de Infanterie ten dienste van den Staat der Verenigde Nederlanden, mitsgaders weegens deselve Gouverneur-Generaal en d’Edele Heeren Raaden van Nederlands-India, representeerende get hoogste en souveraine gebied van weegen de Generaale Vereenigde Nederlandsche g’octroyeerde Oost Indische Compagnie in dese landen door den heer Nicolaas Hartingh, Gouverneur en directeur over de saken van Jaca en plenipotentiaris tot gemelde vreedehandeling g’arresteert & vasgesteld.

Artl. 1

Nademaal de Heeren den Gouverneur Generaal en de Raaden van India uyt overweeging dat den Sulthan gedreeven door edelmoedige gevoelens van berouw en leetweesen, over dat hy in den Jaere 1746 zig de gehoorsaemheyd beyde van zyn wettiegn vorst, den doenmaligen regeerenden Soeosoehunang Pacoeboeana Senopaty Ingalaga Abdul Rachman Sahidin Panata-gama en van de Comp. 

Heeft ontrokken, en ook over al hetgeene door hem zeedert zyne verwydering van het hoff tot Souracarta Adiningrat in de daarop gevolgde troubelen ten desen eylande met de mal-contente en de nog daarvan in leven zynde rebelleerende Princen is ondernoomen soo ten nadeele van de Compagnie en Haren wyt uytgebreyden staat op deze Cust als den zetel van het Mattaramsche Ryk, de protectie en bescherming van de Nederlandsche g’octroyeerde oost-Indische maatschappye weder is koomen imploreeren op de dikmalige gereitereerde seriuse en seer ernstige aanmaningen van den presenten heer Gouverneur en directeur langs Javas noord oost Cust, uyt naam ende van weegen wel melde Comp. Gegagte Sulthan vergeven & geremitteerd hebben alle soodanige reedenen van offentie als hooggeme. 

Haer Edelens in voorsz. Gevallen tot een billuk rerrentiment gegeeven zyn, en daarby teffens goedgevonden hebben denselven te benoemen en aan te stellen tot Sulthan van de helft den bovenlanden van het Javase ryk om nevens den presenten Soesoehoenangh Pacoeboeana daarover ofte de provintien en districten, welke een ieder by derselver verdeeling te beurt komen te vallen, het gezag te voeren onder den Titul en Eernaam van Sulthan Hamingcoeboeana Senopaty Ingalaga Abdul Rachman Sahidin Panat-gama Kalifattolach, zoo verklaare ik Nicolaas Hartingh, Gouvernoer en directeur en plenipotentiaris tot dese vreedehandeling aan myn kant uyt naam ende van weegen de doorluchtige Nederlandshe Oost Indische Compagnie denselven tegenwoordig te benoemen, aan te stellen, en te erkennen voor wettig verkooren Sulthan over de landen, welke als een leen aan denselven werden afgestaan met het recht van successie voor zyne wettige erven desselfs zoonen Adipatty Anom, Maas Soendoro, en Ingabey, ingevalle zig omtrent d’Compe. 

Wel komen te gedragen, en ik Sulthan Hamingcoeboeana certificeere en verklare by desen met de uyterste dankbaarheyd en erkentenisse als een singuliere gunst die waardigheyt te ontfangen op de hierna te meldene conditien en voorwaarden, welke van beyde de contracteerende parthyen sullen werden aangesien als een eeuwige wet, die onverbrekelyk en van wederzyden heyliglyk en oprechtelyk zal werden onderhouden en naargekomen.

Artl.2

Daar zal dan nu en ten allen dage een oprechte vrindschap & harmonie resideeren tusschen de onderdanen van de doorluchtige Nederlandsche Oost-Indische Compe. En de volkeren van Java om malkanderen in allerley nood en verleegenheyt hetrouwelyk met Raad en Daad by te staan, elkanders best te bevorderen en schaaden af te weiren, Even alsof zy een volk waaren.

Artl.3

En om zulx te beeter te bevestigen sullen zoowel den ryks-bestierder als andere hoofdregenten en alle degeene, dewelke in de bovenlanden eenig gezag hebben, wanneer zy doro den Sulthan worden aangesteld, alvoorens tot de exercitie van haar ampt te worden g’admitteerd tot Samarang in persoon moeten koomen afleggen aan handen van den gouverneur & directeur, die aldaar van wegens de Nederlandsche Oost-Indische Compagnie het gezag zal voeren, den eed van Trouwe en gehoorsaemheyt, even als omtrent haaren vorst en met gelyke betrekkinge als tot denselven.

Artl.4

Den Sulthan zal ook niemand tot voorsz. Eerampten van ryksbestierder of hoofd of andere regenten aanstellen dan na voorafgaande approbatie van hooggemelde Generaal & Raaden, aan welke de genomineerden sullen worden voorgedragen ter erlanging van derselver toestemming, tzy door den Sulthan zelfts of zynen ryksbestierder by een brief direct aan Haer Hoog Edelens dan wel door den Gouverneur en directeur op Samarang, nadat hem zulx van het hoff zal weesen versogt en opgedragen, gelyk ook den Sulthan in selver voegen niemand van de reedenen van dien te hebben opgegoeven aan de heeren Generaal en Raden, en derselver toestemminge daartoe te hebben erlangt, alles om tot een openbaar bewys te dienen dat de Compe & Java voortaan onafscheydelyk en als een zullen zyn.

Artl.5

Den Sulthan verklaart en verseekert ook by desen niement van de thans in leven zynde regenten ooyt eenige de minste moeyte te zullen aandoen ofte deselve tot eenige verantwoording of rekeschap trekken over hetgeen in dese laatste troubelen voorgevallen is, en het gedrag dat zy daarinne gehouden hebben, maar in selver voegen gelyk de Compe. Genereuslyk vergeevn heeft al het groot ongelyk dat haer is aangedaan, ook te zullen vergeeven & nimmermeer revengeeren wat zyn onderhoorige omtrend hem mogten hebben gepecceerd.

Artl.6

Den Sulthan verklaart en beloofd voorts dat hy tegenwoordig geene pretensie maakt nog nimmer maken zal op het geheele Eyland Madura, nog op de starnden door de Comp. Wettig beseeten werdende, ingevolge het contract tusschen Haar en den nu overleeden Soesoehoenang Paccoeboeana geslooten den 18 May anno 1746 en dat niet allen voor zig maar ook voor zyne erfgenaamen, item dat hy, byaldien de Compe. 

Hem daartoe aansoek mogt komen te doen, deselve met alle zyne kragten en vermoogens zal byspringen en adsisteeren tegen alle desulke, die haar vyandelyk mogten koomen aan te tasten en te overvallen, in het wreedig bezit harer zeeprovintien, waartegen zy weder aan Zyn Hoogheyt, soodra die reets weesentlyk aan deselve Compe. Zal hebben gelevert een Jaer zyner landsproducten tegens de hieronder gefixeerde en vastgestelde pryzen zal doen uytkeeren de helft van de 20000 Spaanse realen, welke door haar weegens den afstand der strand-regentschappen worden betaalf en soo vervolgens jaerlyx.

Artl.7

Inzelvervoegen belooft en neemt den Sulthan aan den presenten Soesoehoenang Pacoeboeana, hofhoudende Tot Soeracarta Adiningrat met alle Zyne vermogens by te zullen springen, wanner zulx noodsakelyk mogt worden bevonden, en dat niet allen den presenten vorst, maar ook alle die de Compe. Van tyd tot tyd mogt goed vinden daartoe te verkiesen en uyt haeren name het gebied in zyn plaats komen te voeren, beyde tegens uytheemsche en binnenlndsche vyanden of rebellen.

Artl.8

Al verder verbind den Sulthan zig om alle de in zyn land vallende & vercoerbaere producten aan de Compe. Te zullen leeveren en doen leeveren ofte aen de, haerent weegen ten dien eynde na de bovenlanden gesonden werdende inkoopers te vergebruyk is geweest, Te weeten:

Een coyang groene catjang van 28 picols ieder van 130 lb.van rds. Hollad 25.

Een coyang witte bonen van 28 picols ieder 130 lb.van rds.Holland 16.

Een picol van 130 lb.ronde swarte peper en dubbeld geharpte, rds. Holland 5.

Een picol van 130 lb. swarte peper en dubbeld geharpte, rds. Holland 5.

Een picol van 130 lb.lange peper en dubbeld geharpte, rds. Holland 5.

Een picol van 130 lb.Cardamom en dubbeld geharpte, rds. Holland 5.

Een picol van 130 lb.Corianderzaat en dubbeld geharpte, rds. Holland 3,43½ .

Een picol van 130 lb.finkelzaat en dubbeld geharpte, rds. Holland 6.

Een picol van 130 lb.mostertzaad en dubbeld geharpte, rds. Holland 6.

Een picol van 130 lb.indigo eerste soort en dubbeld geharpte, rds. Holland 78,6.

Een picol van 128 lb.Cattoene garen, 1 soort La. A, rds. Holland 40.

Een picol van 128 lb.Cattoene garen, 2 soort La. B, rds. Holland 30.

Een picol van 128 lb.Cattoene garen, 3 soort La. C, rds. Holland 20.

Een picol van 128 lb.Cattoene garen, 4 soort La. D, rds. Holland 16.

Een picol van 128 lb.Cattoene garen, 5 soort La. E, rds. Holland 10.

Een picol van 128 lb.hartshoorn, rds. Holland 1,30.

Belovende daarenboven het zyne te zullen contribueren en zyn gezag en authoriteyt te gebruyken, soo sulx noodig mogt werden g’oordeelt, om de procure der voorsz. Producten te melioreeren en een ruymen insaam en leverantie te besorgen tot contentement der E. Maatschappye en tot welzyn van zyne onderdanen, zig zoo omtrent de aanplanting als uytroeying schikkende na de begeerte van ged. Compagnie, die hem, dit geraden g’oordeelt werdende, sulx sal laten adverteeren en bekent maken.

Artl.9

Eundelyk worden hierby voro g’insereert en meede door Zyn Hoogheyd beswooren gehouden alle voorgaande contracten, verbintenissen en overeenkomsten tusschen de Nederlandsche Oostindische Compe. En de vorsten van ‘t Mattarmse ryk successive geslooten en aangegan, speciaal die van der Jaere 1705, 1733, 1743, 1746 en 1849, voor sooverre de poincten daarinne vervat niet strydig werden bevonden met dit tractaat, waarin byaldien het tegen hoop en verwagting quam te gebeuren dat door den Sulthan Hamingcoeboeana ofte zyne successeurs in vervolg van tyd infractie wierde gemaakt en daer tegen aangegaan, zal denzelven verstoken zyn en blyven van het geheele bezit derlanden, provitien en districten thans aan hem als een leen afgestaan werdende, welke in sulk een onberhoopt geval tot de Compe. Zullen terugkeeren om over deselve in diervoegen te disponeeren als deselve na bevinding van zaeken geraden oordeelen zal.

Aldus Gedaan, gecontracteert en b’eedigt in ‘s vorstens campement tot Gantie den 13 February anno 1755.

At a certain time a trading ship dopped its anchor at the Batavia harbour. The trading ship was a large one but due to a mighty storm in the middhe of the ocean, its mast was broken. It happened to reach the harbour of Batavia; it followed the direction to which the wind was then blowing. After being moored, the ship’s captain stepped out of the ship and after he had been on the shore, he met guards at the pier and asked them for information. The captain of the ship was a nobleman hailing from Ngerum and his name was Sayid. Accompanied by the guards at the pier, Mr. Sayid Besar called on the Governor General of Batavia. 

As the same time, Pangeran Pancuran had came back to Batavia after doing his duty as the delegate of the Governor General to eliver a letter to Sri Sunan Kebanaran at Mataram. Pangeran Pancuran gave a report on what he had experienced and he also told that Tumenggung Mangunhoneng was still staying at the Kebanaran Palace as Sri Sunan Kebanaran still desired to be with him. Then he delivered the letter of reply of Sri Sunan Kebanaran ti the Governor General. He hurriedly read the letter sent by Sri Sunan Kebanaran after which it was clear that he was uneasy.

Sri Sunan Kebanaran examined the identification letter carefully and the he smiled gently. He knew already that Mr. Sayid Besar’s identification letter was made and issued by the Governor General of Batavia himself and did not originate from the Sultan of Ngerum. Intelligently but firmly, Sri Sunan Kebanaran said:

‘Mr. Sayid Besar, I understand what you have told me and I extremely appreciate the desire  of His Exellancy Sulthan Abdullah Chotbisat. Therefore I can comply with Sri Sultan Ngerum’s request but I should like to bring forward a request to Sri Baginda. The request is as follows:

1. I should like to be a King who is appointed by the people of Mataram and not by the Dutch Goverment.

2. I ask that my nephew Sri Susuhunan Paku Buwana III continue to be king at Surakarta.

3. The palace heirlooms, the heritage left behind by our ancesters of the Mataram kingdom must be devided into two, one part for me and the other part for my nephew Sri Susuhunan Paku Buwana III and the lands and regions which are under my dominion continue to be mine.

4. The Governor of Semarang Van Hogendrorff must be discharged and replaced because he is only after his own interest.

Sri Susuhunan Paku Buwana III continued to sit on his throne; it means that his dominion had to be devided into two, namely one part was for the Surakarta Palace and the other part was for the Mataram Palace with Sri Sunan Kebanaran as its king.

‘I will order Sri Susuhunan Paku Buwana III to devide into two all of the inheritance and heirlooms left behind by the ancestors of the Mataram kingdom. All of the lands managed by Sri Sunan Kebanaran will continue to be in the possession of Sri Sunan Kebanaran. And I do not have any objection to the discharge of Major Hogendorff the Governor of Semarang.’

After everything had been done according to plans, Mr. Sayid Besar offered a prayer of thankfulness to Almighty God. Then he said good bye and returned to Batavia by way of Surakarta and Semarang. Mr. Sayid Besar was seen off by a great mark of homour which was given by the Kebanaran Palace. The company of the delegates of the Sultan Ngerum headed for the Surakarta Palace to hand over the request of Sri Sunan Kebanaran to Sri Susuhunan Paku Buwana III concerning the division of the heritahe left behind the Mataram kingdom which was at the Surakarta Palace.

Sri Sunan Kebanaran himself had also sent a delegation to the Surakarta Palace to inform Sri Susuhunan Paku Buwana III about the coming of the company of  Mr. Sayid Besar to Mataram and in addition to that, he also asked Sri Susuhunan Paku Buwana III to speedily make an agreement about the division of power with the kingdom of Mataram on conformity with the desire and request of the Sultan of Ngerum which meant that the Mataram kingdom had to be devided into two kingdoms.

After his return to Batavia, Mr. Sayid Besar immediately gave a report about the result of his mission to the Governor General. The Governor General was extremely satisfied because his efforts and ideals could materialize. To show his thankfulness to Mr. Sayid Besar, the Governor General gave a banquet at the Governor General’s palace. At the banquet it was also announced that Mr. Sayid Besar was officially permitted to stay permanently here and that he was also allowed to have his trade-ship repaired at the harbour of Batavia.

The execution of the treaty between Sri Susuhunan Paku Buwana III of Surakarta and Sri Sunan Kebanaran was performed at Orooro woods of Giyanti under a large banyan tree. Giyanti was located about 11 kilometers from the city of Surakarta near the town of Karanganyar. The treaty was called the ‘Treaty of Giyanti’ and was concluded on the 13th of February 1755. During the signing of the treaty each of the two kings was accompanied by a troop of warriors to join in witnessing the division of the Mataram kingdom into two parts (that banyan tree fell down in 1968).

The Governor General of Batavia whose name was Mossel empewered JV Nicolass the new Governor of Semarang to witness the signing of the ‘Treaty of Giyanti’. To commemorate the occation, a monument was contructed (on the site where the monument was constructed, a boulder can seen now; it surrounded by a fence).

The afore said which were formerly under the dominion of Sri Susuhunan Paku Buwana III were given to Sri Sunan Kebanaran and then Sri Susuhunan Paku Buwana III were given to Sri Sunan Kebanaran and heritage and heirlooms of the Mataram Palace to Sri Sunan Kebanaran. 

Kehadiran Paku Buwana III merubah sejarah. Jasa besar telah mengantar pada gelar Sinuwun Suwarga. 

D. Bergelar Sinuwun Suwarga. 

Kraton Surakarta Hadiningrat diperintah oleh Sunan Paku Buwana III antara tahun 1749-1788. Beliau menjabat ketika berusia 17 tahun. Bratadiningrat (1990) menuliskan riwayat Paku Buwana III secara lengkap dalam bahasa Jawa sebagai berikut : Sinuwun Kanjeng Susuhunan Prabu Amangkurat Jawa Senapati Ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panata Gama Khalifatullah Ingkang Kaping III Ing Negari Surakarta Hadiningrat, putra dalem Sinuwun Paku Buwana II.

 Miyos saking garwa prameswari GKR Mas, putri Panembahan Purbaya, Bupati Lamongan. Panembahan Purbaya punika putra dalem Sinuwun Paku Buwana I. Nama BRM Gusti Suryadi. Silsilahipun Sinuwun Paku Buwana III, saking ibu dalem, GKR Mas.

1. Sinuwun Prabu Amangkurat Agung ing Mataram, peputra,

2. Sinuwun Paku Buwana I Pangeran Puger, peputra,

3. Panembahan Purbaya nama Rajasa ing Lamongan, peputra,

4. GKR Mas, prameswari Sinuwun Paku Buwana II, peputra,

5. Sinuwun Paku Buwana kaping III, ing Negari Surakarta. 

Wiyosan dalem ing dinten Sabtu Wage, 26 Ruwah 1656 utawi 24 Februari 1732. Jumeneng nata ing dinten Senin Wage, 5 Sura 1675 utawi 15 Desember 1749. Surud  dalem ing dinten  Jum’at  Wage, 25 Besar 1714 utawi 26 September 1788. Yuswa  dalem 58 warsa 4 wulan. Sumare ing Astana Luhur Imogiri. Prameswari sinuwun namun satunggal, Gusti Kanjeng Ratu Kencana,  putri Ki Jagaswara. Salajengipun kawisudha dados bupati kraton, kanthi asma K.T. Wirareja. Putranipun GK Ratu Kencana wonten 6.

1. Sinuwun Paku Buwana IV.

2. KGPH Mangkubumi I ing Surakarta.

3. KGPH Buminata ing Surakarta, boten krama.

4. GK Ratu Maduretna

5. GK Ratu Purbanegara garwa Adipati Purbanegara ing Kediri.

6. GK Ratu Timur garwa Adipati ing Kudus.

Putra-putri dalem :

1. GKR Alit miyos saking garwa ampeyan.

2. Gusti Raden Ayu Kusumadiningrat

3. Gusti Raden Ayu Wiryadiningrat

4. Gusti Raden Ayu Martapura

5. Gusti Raden Ayu Adipati Jayaningrat

6. GPH Hangabehi

7. Gusti Raden Ayu Wiramenggala

8. Gusti Raden Ayu Pamot

9. Gusti Raden Ayu Mangkupraja

10. Ingkang Sinuwun Paku Buwana IV. BRM Gusti Subadya.

11. Gusti Raden Ayu Sumadilaga

12. GK Ratu Maduretna

13. GPH Singasari

14. GK Ratu Purbanegara

15. KGPH Mangkubumi I ing Surakarta

16. KGPH Buminata

17. Gusti Raden Ayu  Sastradiwirya

18. GPH Panular

19. GKR Timur garwa Adipati ing Kudus

20. GPH Dipanegara

21. GPH Hadinegara

22. Gusti Raden Ayu Cakradiningrat

23. Gusti Raden Ayu Danuningrat

Paku Buwana III aktif dalam mengembangkan sastra dan budaya. Karya Paku Buwana III yaitu Serat Wiwaha Jarwa. Di samping itu, Paku Buwana III juga ikut menyempurnakan Serat Iskandar dengan wajah baru. Dalam bidang kesenian, beliau aktif melestarikan tari ritual kenegaraan, yaitu Bedhaya Ketawang, yang diperagakan oleh sembilan penari putri. 

Perkembangan sastra Jawa semakin pesat setelah ketegangan politik yang berakar dari konflik intern keluarga kraton mereda sejak diadakan Perjanjian Giyanti dan Salatiga. Paku Buwana III ikut terlibat aktif dalam proses perdamaian itu. Kemahiran Paku Buwana III dalam soal sastra budaya diwariskan kepada putranya yang bernama Sunan Bagus atau Paku Buwana IV yang juga menjadi pujangga ulung.

Para Raja Mataram

1. Panembahan Senopati 1586 – 1601

2. Prabu Hanyakrawati 1601 – 1613

3. Sultan Agung Hanyakrakusuma 1613 – 1645

4. Sunan Amangkurat I 1645 – 1677

5. Sunan Amangkurat II 1677 – 1703

6. Sunan Amangkurat III 1703 – 1705

7. Sunan Paku Buwana I 1705 – 1719

8. Sunan Amangkurat Jawa IV 1719 – 1727

9. Sunan Paku Buwana II 1727 – 1749

10. Sunan Paku Buwana III 1749 – 1755

Perkembangan kebudayaan Jawa semakin bagus dan tertata. Sejak tanggal 13 Februari 1755 kerajaan Mataram dibagi menjadi dua yaitu Kraton Surakarta dan Kraton Yogyakarta. Pada tahun 1757 berdiri kadipaten Pura Mangkunegaran yang berada di bawah kekuasaan Kasunanan Surakarta. Pada tahun 1813 berdiri Kadipaten Pura Paku Alaman yang berada di bawah kekuasaan Kasultanan Yogyakarta. Sejarah Jawa selanjutnya berjalan dengan gancar lancar, arum kuncara, ngejayeng ing jagad raya.

Sinuwun Paku Buwana III membuat sejarah besar di Asia Tenggara. Gusti Raden Mas Suryadi atau Paku Buwana III bapak perdamaian dunia. Jasa beliau dikenang sepanjang masa. Sesuai dengan falsafah memayu hayuning bawana.

Oleh Dr Purwadi, M.Hum. 
Ketua Lembaga Olah Kajian Nusantara LOKANTARA, 
Hp. 087864404347

Sabtu, 20 Maret 2021

SEJARAH KI AGENG GIRING

A. Ilmu Manah dan Ilmu Giring. 
Ilmu memanah dimiliki Ki Ageng Pemanahan. Ilmu menggiring dimiliki Ki Ageng Giring. Ilmu manggalih dimiliki Panembahan Senapati. 

Ki Ageng Giring putra  Syekh Ketib Anom Batang. Pernah mengabdi kepada Sultan Trenggana, raja Demak Bintara. 

Nama kecil Ki Ageng Giring yaitu Raden Abdul Manan. Pada tahun 1547 Ki Ageng Giring bertugas di sepanjang pegunungan Serayu. Sehari hari mengajar ilmu kanuragan, guna kasantikan. 

Ki Ageng Giring tinggal di Gumelem Susukan Banjarnegara. Kawasan pegunungan Serayu merupakan daerah binaan. Atas dhawuh Kanjeng Sultan Hadiwijaya atau Joko Tingkir. 

Pada saat pergi ke tegalan, Ki Ageng Giring mendapat suara gaib. Barang siapa mampu minum degan kambil ijo sampai habis. Maka anak keturunan bisa menjadi raja di tanah Jawa.

Untuk bisa minum sampai habis, Ki Ageng Giring harus betul betul haus. Degan dibawa pulang. Beliau kembali ke tegalan yang berhawa panas. 

Tiba tiba Ki Ageng Pemanahan datang. Langsung menuju tempat degan yang disimpan di atas paga. Air degan habis diminum Ki Ageng Pemanahan. 

Alangkah terkejut Ki Ageng Giring. Namun beliau bisa menata perasaan. Sudah menjadi takdir Tuhan. Bahwasanya Ki Ageng Pemanahan akan menurunkan raja di tanah Jawa. Nak tumanak run tumurun, akan menjadi narendra gung binathara mbahu dhendha nyakrawati. 

Wahyu keprabon itu bernama wahyu jatmika. Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pemanahan pun menjalin sumpah janji. Kelak bila mendapat kawibawan kawidadan kabagyan sarta kamulyan akan dinikmati bersama. Sumpah janji itu memang ditepati. Trah Ki Ageng Giring setia mendampingi keturunan Ki Ageng Pemanahan. 

Alas Mentaok merupakan ganjaran dari Sultan Hadiwijaya. Raja Pajang ini memberi Alas Mentaok kepada Ki Ageng Pamanahan. Inilah cikal bakal wilayah Mataram. 

Ngeksiganda adalah sebutan untuk daerah pusat Mataram. Babad Kotagedhe merupakan dokumen historis. Nilai keluhuran dan keagungan menyertai berdirinya kerajaan Mataram. Babad Alas Mentaok atas restu Sultan Hadiwijaya raja Pajang. 

Kraton Mataram berdiri pada tahun 1582. Raden Ajeng Waskitha Jawi adalah adalah permaisuri Panembahan Senapati raja Mataram. 

Raden Ajeng Waskitha Jawi adalah putri Ki Ageng Penjawi Bupati Pati. Sebagai garwa prameswari raja Mataram, Raden Waskitha Jawi memberi sumbangan buat pembangunan ibukota kerajaan Mataram di Kotagedhe. 

Tenaga, pikiran, harta benda diberikan kepada Kerajaan Mataram. Kecerdasan, kekayaan dan kewibawaan putri Bupati Pati sungguh memancar berseri seri. Kerajaan Mataram memang berhutang budi. 

Garwa prameswari Panembahan Senapati dari Pati memang mustikaning putri, tetungguling widodari. Layak mendampingi Wong Agung ing Ngeksiganda. 

Sinom

Nulada laku utama,
Tumrape wong Tanah Jawi,
Wong agung ing Ngeksiganda,
Panembahan Senapati,
Kepati amarsudi,
Sudane hawa lan nepsu,
Pinesu tapa brata,
Tanapi ing siyang ratri,
Amamangun karyenak tyasing sasama.

Deskripsi tentang keteladanan Panembahan Senapati yang mendirikan kerajaan Mataram tahun 1582 diterangkan dalam serat Wedhatama. Sri Mangkunegara IV sebagai keturunan langsung Panembahan Senapati mengajak masyarakat untuk mencontoh perilaku Panembahan Senapati. Sebagai raja yang mengutamakan kepentingan orang banyak.

Lagu sinom yang diciptakan tahun 1853 ini berisi tentang ajaran keutamaan yang telah diwariskan oleh Panembahan Senopati. Beliau adalah raja Mataram yang pertama. Sebagai seorang pemimpin Panembahan Senopati berhasil mengendalikan tingkah lakunya. Beliau mau memperkokoh jati diri dan selalu mawas diri. Dengan rakyatnya senantiasa berbuat kebajikan yang dapat menyenangkan pada sesama. Sikap hidup yang perlu dicontoh oleh sekalian pemimpin.

Tembang sinom Parijatha iku kapethik saka Serat Wedhatama kang dianggit dening Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara IV. Panjenengane ngasta minangka adipati ing Mangkunegaran nalika taun 1853 – 1881. Kanggone para seniman tembang sinom mau mathuk minangka mat matan. Lagune kepenak lan cakepane mawa pitutur luhur. Wong Jawa perlu nulad kautaman kang wis diwarisake dening Panembahan Senapati, raja ing Kraton Mataram.

Dalam lintasan sejarah Kotagedhe telah sukses menyumbangkan keagungan peradaban. Kerajaan Mataram didirikan setelah babad Alas Mentaok. Mataram beribukota di Kotagedhe atau Kutha Ageng.

 Pendiri kerajaan Mataram yaitu tiga serangkai yang amat misuwur. Ketiga tokoh itu adalah Ki Ageng Pemanahan, Ki Ageng Penjawi dan Ki Ageng Juru Martani. Sesepuh Mataram ini nyata sebagai jalma limpat seprapat tamat. Beliau berilmu tinggi, kebak ngelmu sipating kawruh, putus ing reh saniskara.

Dalam Babad Mentawis disebutkan kiprah Ki Ageng Giring yang mempunyai spesialis ilmu nggiring. Orientasi keilmuan sebatas pada wacana menggiring. Titik temannya sebatas tut wuri handayani. Sebagai rakyat sewajarnya memberi dorongan pada pemerintah yang mendapat mandat. Inilah penerapan konsep manunggaling kawula Gusti.

Adapun Ki Ageng Pemanahan memiliki ilmu manah. Tempat tinggalnya di Manahan yang masih wewengkon Kasultanan Pajang. Beliau penasihat utama raja Joko Tingkir atau Sultan Hadiwijaya. Bagi Ki Ageng Pemanahan pola pikir hendaknya selaras dengan laku dikir. Penerapannya terjabar pada konsep Kejawen sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, sembah rasa. Tasawuf Islam mengajarkan syariat tarikat hakikat makrifat.

Pemilik ilmu tingkat sangkan paraning dumadi yakni Panembahan Senapati. Manggalih adalah manunggaling barang kalih, yaitu kepala dada yang digambarkan dengan orong orong. Ajaran Kanjeng Sunan Kalijaga, guru suci ing Tanah Jawi cukup menjadi solusi. Pada saat pembangunan Masjid Agung Demak Bintara perlu penyempurnaan. Saka guru Masjid lantas dijangkepi dengan anyaman tatal kang sambung sinambung.

Panembahan Senapati tokoh yang mampu membangun peradaban besar. Saben mendra saking wisma lelana laladan sepi. Ngingsep sepuhing sopana mrih pana pranaweng kapti. Dalam prakteknya beliau selalu amemangun karyenak tyasing sesama. Ikut serta dalam memelihara perdamaian dunia yang berdasarkan keadilan abadi.

Begitu tangguh, sepuh, utuh, wanuh, gambuh penghayatan ilmu pengetahuan yang dimiliki Panembahan Senapati. Kanjeng Ratu Kidul, penguasa pantai selatan pun kalah perbawa. Dari Kotagedhe menuju Kedaton Kanjeng Ratu Kidul yang disebut Saka Domas Bale Kencana. Di sanalah Panembahan Senapati melakukan meditasi dan refleksi spiritual. Ilmu iku kelakone kanthi laku.

Nama kecil Panembahan Senapati adalah Sutawijaya, yang bermakna anak Sultan Hadiwijaya, raja Pajang. Sejak lahir hingga dewasa, Sutawijaya atau Ngabehi Loring Pasar memang diasuh oleh Sultan Hadiwijaya. Di Kasultanan Pajang Sutawijaya digembleng lahir batin. Diberi pelajaran ilmu kanuragan jaya kawijayan. Ilmu tata negara diberikan Ki Juru Martani. Ilmu diplomasi kenegaraan diajarkan oleh Ki Ageng Penjawi. Sutawijaya menjadi pribadi paripurna.

Alas Mentaok merupakan cikal bakal bumi Mataram Kotagedhe. Mentaok berarti dimen taberi olah kawruh. Maka trah Mataram harus wignya tembung kawi. Kawruh agal alus, sesuai kumandang sastra gendhing. Danang Sutawijaya dipilih oleh Sultan Hadiwijaya sebagai raja Mataram Kotagedhe atas restu Kanjeng Sunan Giri Parepen. Kebijaksanaan Sultan Pajang ini dalam rangka politik kompromi antara trah Pajang dan keturunan Sultan Demak Bintara.

Kanjeng Sultan Hadiwijaya membekali dua pusaka utama. Tombak Kyai Plered dan Rontek Tunggul Wulung. Tombak Kyai Plered warisan Ki Ageng Banyubiru. Ampuhnya setarap dengan Tombak Kyai Baru Klinthing milik Ki Ageng Mangir. Ujung tombak Kyai Plered terdapat zat kimia yang menyemburkan gas beracun. Korbannya yaitu Arya Penangsang, adipati Jipang Panolan.

Pusaka Rontek Kyai Tunggul Wulung sejenis bendera gula kelapa. Pusaka ini warisan Adipati Sri Makurung Handayaningrat. Beliau Bupati pengging yang menikah dengan Ratu Pembayun, putri Prabu Brawijaya V. Kyai Tunggul Wulung penting sekali. Gunanya untuk menyingkirkan pageblug mayangkara. Segala macam penyakit menular akan pergi ketika Rontek Kyai Tunggul Wulung berkibar. Bencana alam, banjir, Gunung meletus, gempa bumi cukup diatasi dengan kitab pusaka Rontek Kyai Tunggul Wulung.

Danang Sutawijaya atau Ngabehi Loring Pasar dinobatkan menjadi raja Mataram Kotagedhe , nak tumanak run tumurun. Bergelar Panembahan Senapati ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidin Panetep Panatagama. Berkuasa di kerajaan Mataram tahun 1584 sampai 1601. Beliau juga mendapat julukan Wong Agung ing Ngeksiganda. Sejak itu pedoman raja Mataram adalah agama ageming aji.

Raden Ajeng Waskitha Jawi merintis perjuangan dengan sepenuh hati. Supaya ibukota Kraton Mataram berdiri kokoh terhormat dan bermartabat. 

Ngabehi Loring Pasar menunjukkan bahwa raja Mataram ahli marketing. Demi keselarasan produksi distribusi dan konsumsi. Inilah jalan untuk mewujudkan tata kelola ekonomi yang berimbang.

 Perlu prasapa atau sumpah kepada leluhur. Ki Ageng Giring memberi nasihat pada putra putri, agar setia hati menjadi pengabdi. Anak cucu Giring selayaknya pana pranaweng kapti. 

B. Sumpah Ki Ageng Giring. 

Wasis wicaksana waskitha itulah kepribadian Ki Ageng Giring. Demi menjaga keutuhan Mataram, maka beliau bersumpah. Anak cucunya dilarang ikut politik kerajaan. 

Anak cucu Ki Ageng Giring diminta untuk netral dalam Kerajaan Mataram. Tiap ada kerja, putra wayah Giring mesti mau cancut taliwanda. Mereka harus mau lila lan legawa kanggo mulyaning negara. 

Iguh partikel keluarga Ki Ageng Giring sering dipakai pembesar Mataram. Panembahan Senapati mendapat gelar Wong Agung ing Ngeksiganda. Beliau akrab dengan para bupati pesisir. 
Peran Kabupaten Pati di Kotagedhe Mataram. Raden Ajeng  Waskitha Jawi adalah pendekar sejarah Pati. Tata wilayah Kotagedhe sebagai ibukota Mataram berhubungan erat dengan sejarah Kabupaten Pati dan Gresik. Garwa prameswari Panembahan Senapati adalah Kanjeng Ratu Waskitha Jawi. Beliau putri Bupati Pati, Ki Ageng Penjawi. Ibunya berasal dari keluarga kalangan Wali Sanga. Beliau bernama Raden Ayu Panengah, putri Kanjeng Sunan Giri Parepen di Gresik.

Asal usul Ki Ageng Penjawi cukup berbobot. Ayahnya adalah Ki Ageng Ngerang, tokoh masyarakat Juwana. Sedangkan Ki Ageng Ngerang merupakan anak Ki Ageng Getas Pendawa. Orang tua Ki Ageng Getas Pendawa adalah Raden Bondan Kejawan dan Dewi Nawangsih. Raden Bondan Kejawan putra Prabu Brawijaya V, raja Majapahit. Dewi Nawangsih adalah putri Ki Ageng Tarub yang menikah dengan Dewi Nawangwulan. Bila ditarik ke atas masih keturunan Bupati Wilwatikta Tuban.

Masa kanak kanak Ki Ageng Penjawi digunakan untuk belajar dan bekerja. Beliau pernah mengabdi kepada Pangeran Hadirin, suami Kanjeng Ratu Kalinyamat Jepara. Pangeran Hadirin adalah menantu Sultan trenggana yang menjadi saudagar kaya raya.

Berasal dari kerajaan Samudera Pasai Aceh. Kekayaan yang berlimpah ruah ini digunakan untuk menyumbang pembangunan di Karaton Demak Bintara. Melihat bakat dan kemampuan Ki Ageng Penjawi ini, Pangeran Hadirin memberi beasiswa. Biaya hidup, perjalanan dan operasional ditanggung penuh. Malah boleh dikatakan turah turah.

Pada tahun 1559 sampai 1564 Ki Ageng Penjawi berguru ke Persia Iran. Waktu itu negeri Persia Iran diperintah oleh dinasti Safawi. Rajanya bernama Sri Baginda Sultan Qajar Pahlewi Syah. Ki Ageng Penjawi belajar ilmu arsitektur, kesusasteraan, tata kota, bangunan monomen dan sejarah Britania. Selama belajar di negeri Persia Iran Ki Ageng Penjawi menggunakan nama Abdullah Mukmin Pahlewi.

Kanjeng Ratu Waskitha Jawi mendapat status the First Lady Karaton Mataram dengan modal yang sangat besar. Leluhurnya memang bangsawan terhormat, trahing kusuma rembesing madu, wijining atapa, tedhaking andana warih. Dari jalur ibu dan bapaknya adalah tokoh sejarah Jawa. Proses pendidikan dan kepribadian dijalani dengan begitu rapi. Layak menduduki permaisuri Panembahan Senapati. Dari guwa garba rahimnya lahir Raden Mas Jolang. Kelak menjadi raja kedua Mataram. Bergelar Sinuwun Prabu Hadi Hanyakrawati, yang memerintah kerajaan Mataram tahun 1601 sampai 1613.

Atas prakarsa Kanjeng Ratu Waskitha Jawi, Sinuwun Prabu Hadi Hanyakrawati menikah dengan Ratu Banuwati. Beliau putri Pangeran Benawa, putra Sultan Hadiwijaya raja Pajang. Dari pernikahan ini lahir Raden Mas Jatmika. Nanti menjadi raja ketiga Mataram dengan gelar Sultan Agung Hanyakrakusuma. Memerintah kerajaan Mataram tahun 1613 sampai 1645.

Selama bertugas sebagai ibu negara kerajaan Mataram, Kanjeng Ratu Waskitha Jawi aktif membangun Kotagedhe. Jarak antar kota dibuat sejauh 30 km. Inspirasi penjarakan kota ini berasal dari Persia Iran. Dengan alasan jalannya kuda normal ditempuh maksimal 30 km. Jarak pasar sebagai pusat perbelanjaan dibuat sekitar 5 km. Dengan argumentasi orang jalan normal dapat menempuh 5 km. Kotagedhe dibangun dengan landasan logika etika estetika.

Inspirasi dari negeri Persia Iran amat dominan dalam membangun istana Kotagedhe. Istana Mataram dibangun dengan kayu jati Cepu. Tukangnya dari juru ukir Jepara. Batu marmer dari Tulungagung. Tengah kota dibangun alun alun sebagai sarana space public. Ruang umum ini berfungsi sebagai pelepas lelah, hiburan dan menjalin komunikasi sosial. Tak lupa dibangun Masjid untuk beribadah. Masjid agung dilengkapi bedug dan kenthongan. Baru kemudian dibangun pasar untuk transaksi barang dan jasa.

Pengaruh Kanjeng Ratu Waskitha Jawi sangat kuat di Kotagedhe. Wajar saja, karena beliau orang kaya. Usaha dari keluarga Pati meliputi kayu jati, semen, minyak, pari gaga dan burung perkutut. Perusahaan multi bidang yang diwarisi dari Ki Ageng Penjawi tersohor di Asia Tenggara.

Bahkan Kanjeng Ratu Waskitha Jawi berhasil pula mengembangkan bisnis perikanan, pelayaran dan pelabuhan di Jepara, Tuban dan Semarang. Ketrampilan usaha ini dikembangkan di Kotagedhe. Pemuda pemudi Mataram dilatih untuk mengembangkan beragam kerajinan. Muncullah industri kerajinan perak berkualitas eksport.

Kerajinan perak Kotagedhe maju pesat. Kewirausahaan orang Kotagedhe teruji dalam lintasan sejarah. Ini berkat jasa Kanjeng Ratu Waskitha Jawi. Industri batik juga dibina. Hanya saja tempatnya di wilayah sekitar bengawan Solo. Tepatnya di sekitar kawasan Laweyan. Untuk penasaran hasil bumi dikembangkan di daerah Karangkajen. Pusat kuliner sate klathak dipilih sepanjang daerah wonokromo. Naluri bisnis Kanjeng Ratu Waskitha Jawi amat tajam. Kotagedhe sebagai ibukota Mataram benar benar loh subur kang sarwa tinandur, jinawi murah kang sarwa tinuku.

Kanjeng Sultan Agung membuat kebijakan baru. Pada tahun 1613 sampai 1645 ibukota Mataram pindah ke Kerta. Pada tahun 1645 sampai 1677 ibukota Mataram pindah ke Plered. Masa pemerintahan Sinuwun Amangkurat Tegal Arum. Pada tahun 1677 sampai 1745 ibukota Mataram di Kartasura. Tahun 1745 sampai 1755 ibukota Kerajaan Mataram di Surakarta. Pada tanggal 13 Pebruari 1755 ada perjanjian luhur. Namanya perjanjian Giyanti. Kerajaan Mataram semakin arum kuncara.

Namun demikian, Kotagedhe tetap dianggap sebagai pepundhen oleh para Pangageng Mataram. Tiap bulan ruwah utusan keraton Surakarta dan Yogyakarta marak sowan ing Kotagedhe. Mengapa? Karena the founding fathers Mataram kang wus surut ing kasedan jati, sumare ing Puroloyo Kotagedhe.

Agar lebih utuh dalam memahami Kotagedhe, perlu disertakan peran aktif warga Pati. Terutama peran Raden Ajeng Waskitha Jawi. 

Keturunan Ki Ageng Giring mendapat perlakuan yang terhormat. Trah Mataram menganggap Trah Giring lebih senior. Namun putra wayah Giring tidak mau terlibat politik praktis. 

C. Trah Ki Ageng Giring. 

Anak keturunan Ki Ageng Giring selalu setia pada kepemimpinan raja Mataram. Takdir Tuhan bahwa mereka bertugas untuk menjaga dhampar keprabon. 

Tiap peristiwa historis diperhatikan dengan saksama. Anak cucu Ki Ageng Giring lahir batin mengabdi pada Kraton Mataram. 

Misalnya adanya peristiwa historis pada pertengahan abad 18. Tanda tangan perjanjian Giyanti terjadi pada tanggal 13 Pebruari 1755. Kotagedhe, Ngawen dan Imogiri sepenuhnya menjadi hak Karaton Surakarta Hadiningrat. 

Wilayah ini secara historis dan kultural berkiblat pada budaya Karaton Surakarta Hadiningrat. Terutama untuk daerah Imogiri dan Kotagedhe. 

Perkembangan selanjutnya untuk wilayah Ngawen Gunung Kidul menjadi hak kelola Pura Mangkunegaran. Sesuai dengan perjanjian Salatiga pada tangga 17 Maret 1757.
 
Kedua perjanjian ini selalu menyertakan pembesar Pati. Tentu sesuai dengan tradisi sejarah. 
Ki Ageng Penjawi berjuang keras dalam mendirikan Kerajaan Mataram. Sanak kadang pawong mitra bergiliran membangun kotagede. 

Kayu jati terpilih dari Cepu disumbangkan. Sebagian membawa minyak tanah dari Bojonegoro. Semen dari Tuban digunakan untuk bahan bangunan. 

Untuk kebutuhan logistik konsumen ada yang membaca bumbu kecap Purwodadi. Trasi dibawa dari Lasem Rembang. Semua dikoordinir oleh Ki Ageng Penjawi. 

Andil warga Pati pada Mataram untuk mendukung Raden Ajeng Waskitha Jawi. Putri Ki Ageng Penjawi ini sungguh wanita tangguh ampuh utuh. 

Kotagedhe wilayah strategis dalam sejarah peradaban Jawa. Perjanjian Giyanti ditanda tangani di desa Giyantiharjo Karanganyar Jawa Tengah pada tanggal 13 Pebruari 1755.

 Terjadi pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono lll yang memerintah tahun 1749 sampai 1788.. Beliau mendapat julukan Sinuwun Suwarga. Artinya raja yang ikhlas lahir batin.

 Pelopor perdamaian di tanah Jawa. Tidak cuma itu, Sinuwun Paku Buwono lll pada tanggal 17 Maret 1757 menanda tangani perjanjian Salatiga. Perjanjian Giyanti mengesankan Pangeran Mangkubumi menjadi raja Yogyakarta dengan gelar Sultan hamengku Buwono l. Perjanjian Salatiga meresmikan Raden Mas Said berkuasa dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya mangkunegara l. Semua itu terjadi atas kemurahan hati Kanjeng Sinuwun Paku Buwono lll. Beliau raja besar yang ahli sejarah, teater, sosiologi, sastra budaya. Semasa mudanya bernama Gusti Raden Mas Suryadi kerap berperan sebagai sutradara teater keliling.

Karya Sinuwun Paku buwono lll yang terkenal adalah Serat Wiwaha Jarwa. Dalam seni pedalangan digubah menjadi lakon Begawan Mintaraga. Sebagian menyebut cerita Begawan Ciptowening. Pada tahun 1966 RS Subalinata dari Fakultas Sastra UGM meneliti Reriptan Sinuwun Paku Buwono lll dalam bentuk skripsi.

Karya ilmiah menkaji budaya. Dr Kuntara Wiryamartana pada tahun 1987 membahas karya Paku Buwono lll dalam disertasi yang diterbitkan menjadi buku oleh Duta Wacana University Press. Disertasi itu diajukan di hadapan wibawa Senat UGM dengan promotor utama Prof Dr A Teuuw dari Universitas Leiden.

Sebelum tanda tangan soal kenegaraan, Sinuwun Paku Buwono lll selalu sowan ke Puroloyo Kotagedhe. Minta lilah dan petunjuk pada leluhur Mataram. Beliau juga mahas ing ngasepi di gunung Lawu, tempat muksanya Prabu Brawijaya V. Tiap bulan ruwah tak lupa siram jamas di Umbul Ngabehan Pengging. Sekali tempo melakukan tapa kungkum di kahyangan Dlepih Tirtamaya Wonogiri. Kadang kadang lek lekan, cegah dhahar lawan guling di Gunung Danaraja. Untuk kontemplasi beliau memilih tempat ing tepis wiringing gisik Bekah.

Menurut isi perjanjian Giyanti, wilayah Kotagedhe, Imogiri dan Ngawen milik sepenuhnya Karaton Surakarta Hadiningrat. Kotagedhe, Imogiri Ngawen dijadikan wilayah setingkat Kabupaten. Pimpinan yang mengelola ketiga wilayah ini mendapat status Bupati. Mereka bertugas atas perintah dan bertanggung jawab kepada Karaton Surakarta Hadiningrat.

 Alangkah indahnya bila hubungan kultural itu tetap dilestarikan sampai sekarang, demi menggali kearifan lokal. Kata Bung Karno, jasmerah jangan sekali kali meninggalkan sejarah. Wawasan kebangsaan bisa dianyam dengan pelestarian budaya.

Masjid agung Kotagedhe dibangun oleh Sinuwun Paku Buwono X, raja Surakarta yang memerintahkan tahun 1893 sampai 1939. Beliau raja kaya raya. Punya saham di perusahaan pabrik gula sebanyak 176 buah. 

Perkebunan teh di Ampel Boyolali, perkebunan tembakau di Tegalgondo Klaten dan perkebunan kopi di Kembang Semarang. Kejayaan dan kemakmuran digunakan untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.

 Masjid Kotagedhe sebagai benda cagar alam dibangun megah mewah tahun 1926. Priyagung yang hendak sumare di Puroloyo Kotagedhe, terlebih dulu dilakukan tata cara. Bertempat di Masjid Puroloyo yang dipimpin oleh abdi dalem pamethakan. Pusaka kerajaan Mataram dirawat oleh abdi dalem. 

Proses turunnya wahyu kerajaan Mataram, terjadi setelah laku Ki Ageng Giring. Namun yang mendapat keberuntungan supra natural justru Ki Ageng Pemanahan. Ilmu memanah lebih tajam daripada ilmu nggiring. 

D. Wahyu Jatmika. 

Dhampar keprabon Kraton Mataram atas dasar turunnya wahyu Jatmika. Sruning brata ketaman wahyu Jatmika, berarti mendapat anugerah tahta kerajaan karena mesu budi.

Ki Ageng Giring menjadi jalaran Panembahan Senapati mendapat tahta kerajaan. Tentu setelah menjalankan lara lapa tapa brata, nahas ing ngasepi. Bertapa di pinggir samudra, tengah hutan belantara. 

Raja Pajang memberi bekal pusaka kepada Danang Sutawijaya. Namanya Tombak Kyai Plered. Pusaka ini sangat tinggi daya tuah. 

Arya Penangsang bisa takluk. Makanya Tombak Kyai Plered dijadikan pusaka sipat kandel kerajaan Mataram. Disimpan di gedong pusaka Kotagedhe. 

Puroloyo Kotagedhe sebagai Pajimatan Mataram. Makam kotagede dibangun tahun 1584. Dua tahun setelah babad Alas Mentaok. Ki Ageng Pemanahan yang lebih dulu sumare. 

Puroloyo Kotagedhe tempat sumare Joko Tingkir atau Sultan Hadiwijaya, Ki Ageng Pemanahan, Ki Ageng Juru Martani, Panembahan Senapati dan Prabu Hadi Hanyakrawati. Puroloyo Mataram ini dibangun dengan begitu agung dan anggun. Upacara nyadran dilaksanakan setiap bulan ruwah oleh Karaton Surakarta Hadiningrat dengan segala kesungguhan.

Tata cara ini wujud mikul dhuwur mendhem jero. Segenap abdi dalem Kotagedhe dan Imogiri sowan ke Karaton Surakarta Hadiningrat tiap ada acara tingalan jumenengan dalem dan upacara Grebeg Mulud. Sebelah makam dibangun Masjid Puroloyo yang asri. 

Untuk kepengurusan Masjid Kotagedhe diserahkan pada takmir secara otonom. Tapi semua biaya disediakan oleh Karaton Surakarta Hadiningrat. Umumnya takmir masjid Agung Kotagedhe pernah mengenyam pendidikan agama Islam di Mambaul Ulum. Letak kantornya di kompleks Masjid agung Karaton Surakarta Hadiningrat. Kegiatan belajar mengajar di Mambaul Ulum menempati beberapa lokasi yang menyebar sampai kawasan Sri Wedari.

Takmir Masjid di Pajimatan Imogiri dan Puroloyo Kotagedhe sejak masa pemerintahan Patih Sosrodiningrat selalu dibekali pendidikan yang cukup. Mambaul Ulum adalah lembaga pendidikan tinggi Islam yang dikelola dengan kurikulum modern. Alumni pendidikan Mambaul Ulum misalnya Prof Dr HM Rasyidi Atmosudigdo, Prof Dr Mukti Ali dan Munawir Zadzali MA, pernah menjabat Menteri Agama RI.

Tokoh Kotagedhe alumni Mambaul Ulum yaitu Zubair Muhsin yang aktif dalam bidang sosial keagamaan. Pahlawan nasional Prof Dr Abdul Kahar Muzakkir adalah alumni Mambaul ulum Surakarta yang melanjutkan belajar di Perancis, Mesir dan Nederland. Mambaul Ulum telah memberi pencerahan pada putra bangsa.

Patih Sasradiningrat sebagai Perdana Menteri Karaton Surakarta Hadiningrat amat peduli pada pergerakan islam. Bahkan beliau juga menjabat ketua PDM Muhamadyah Surakarta. Bersama dengan KGPH Hangabehi turut membantu organisasi Budi Utomo dan Sarikat Islam.

Pada tahun 1945 Drs Sasradiningrat juga, alumni Universitas Leiden menjadi anggota BPUPKI. Utusan Karaton Surakarta Hadiningrat dalam BPUPKI lainnya yaitu Dr Radjiman Wedyadiningrat, KGPH Surya Hamijaya, RMAA Drs Wuryaningrat, RP Singgih. Presiden Soekarno diberi kursus oleh Drs RMAA Sasradiningrat tentang sistem protokol kenegaraan.

Karaton Mataram memberi warisan kultural. Sejarah sebagai piranti kaca benggala untuk membaca owah gingsire jaman. Hubungan historis Karaton Surakarta Hadiningrat dengan Kotagedhe sampai sekarang tetap semangat dan hangat. Daerah Laweyan Solo, Kotagedhe dan Pekajangan Pekalongan adalah contoh koneksi historis dan bisnis. Jaringan ini bisa digunakan untuk merajut nilai kebangsaan. Generasi muda perlu belajar sejarah peradaban masa lampau.

Kedudukan Kotagedhe mendapat perhatian khusus dari kalangan akademis. Prof Dr Notonagoro adalah guru besar dan ahli filsafat Pancasila UGM. Beliau merup menantu Sinuwun Paku Buwono X. Saat sembahyang di Masjid Kotagedhe, beliau selalu berdoa untuk para pendiri Mataram. Dalam kehidupan sehari hari Prof Dr Notonagoro menghayati kebudayaan leluhur dengan sepenuh hati.

Guru besar UGM ini tahun 1983 wafat dan dimakamkan di pajimatan Imogiri. Satu kompleks dengan makam raja Surakarta. Kesadaran kultural ini dilanjutkan oleh murid muridnya yang mendapat nama sesebutan dari Karaton Surakarta dengan pangkat Bupati Riya Inggil.

Kotagedhe memang telah menjadi monumen sejarah kebesaran Karaton Mataram. Sungguh besar jasa Panembahan Senapati yang dibantu oleh Kanjeng Ratu Waskitha Jawi.

Putri Penjawi dari bumi Pati adalah wanita sembada wiratama. Prameswari Mataram yang tampil sebagai mustikane putri, tetunggule widodari.
Lukisan tentang pengembaraan spiritual Panembahan Senopati tercantum dalam Serat Wedhatama berikut ini.

Sinom

Saben mendra saking wisma,
Lelana laladan sepi,
Ngingsep sepuhing supana,
Mrih pana pranaweng kapti,
Tis tising tyas marsudi,
Mardawaning budya tulus,
Mesu reh kasudarman,
Neng tepining jala nidhi,
Sruning brata kataman wahyu dyatmika.

Tata laku ini didukung oleh para ahli nujum Pati. Pengembaraan spiritual Panembahan Senopati di atas memberi inspirasi bagi generasi selanjutnya, agar mau melakukan refleksi dan kontemplasi. Kata Jalanidhi yang biasanya diterjemahkan sebagai samudera atau laut, juga merupakan kata kiasan bagi kehidupan. Menyepi atau menyendiri di tepi laut berarti, melihat kehidupan ini secara objektif dan seutuhnya.

Untuk itu Panembahan Senopati sering sekali melakukan meditasi di pinggir laut, memisahkan diri dari keramaian dunia dan memandang kehidupan ini, sebagai seorang saksi. Menjadi seorang saksi berarti tidak menganggap diri kita sebagai pelaku.

Nyata sekali bahwa sulit sulit gampang dan gampang gampang sulit. Selama kita menganggap diri kita sebagai pelaku, selama itu pula keangkuhan kita masih utuh. Kita tidak akan pernah bisa melihat kehidupan ini secara objektif. Demikian Anand Krisna memberi wejangan tentang spiritualitas raja Mataram.

Putri Pati berjasa besar. Kotagedhe tiap hari ramai oleh pengunjung yang cinta sejarah. Mereka berharap ngalap berkah dari leluhur. Biar menemukan kedamaian dan ketentraman.

Berdirinya Karaton Mataram berhubungan erat dengan Kabupaten Pati. Ki Ageng Penjawi Bupati Pati berjasa besar atas kokohnya Kraton Mataram. Putrinya bernama Raden Ajeng Waskitha Jawi adalah garwa prameswari Penembahan Senapati.

Putri Pati yang menjadi Permaisuri raja Mataram merupakan pengusaha kaya raya. Harta benda ini untuk membangun infrastruktur Kerajaan Mataram yang berdiri tahun 1582.

Raden Ajeng Waskitha Jawi, Permaisuri Panembahan Senapati dikenang sepanjang masa. Warga Pati begitu bangga, karena telah memberi sumbangan besar atas tegaknya peradaban yang agung dan anggun.

Pendiri Mataram selalu ingat jasa Ki Ageng Giring. Hubungan antara Pati dengan Mataram amat dekat. Pembangunan istana Mataram didukung penuh oleh pangageng Pati. Urunan itu berupa berang dan jasa. Terbentuklah ibukota Kraton Mataram yang megah mewah indah gagah meriah.

Ki Ageng Giring tokoh sentral sebelum Mataram berdiri. Babad Kotagedhe memuat keteladanan. Berakit rakit ke hulu, berenang renang ke tepian. Bersakit sakit dahulu, bersenang senang kemudian. Orang hidup harus mau prihatin untuk mengejar cita cita. Sebagai mana yang dicontohkan oleh Panembahan Senapati.

Murid Sunan Kalijaga dan Syekh Siti Jenar kompak dalam memerintah Pajang dan Mataram. Bisa untuk suri teladan bagi generasi muda. 

Alas Mentaok hadiah dari Sultan Hadiwijaya raja Pajang tahun 1546 - 1582. Ki Ageng Pamanahan membuka Alas Mentaok menjadi Ngeksiganda. Sejak tahun 1582 Panembahan Senapati menata Ngeksiganda menjadi Kerajaan Mataram.

Berdirinya Kraton Mataram berkaitan dengan figur Ki Ageng Giring. Bersama dengan Ki Ageng Pemanahan, Ki Ageng Penjawi dan Ki Ageng Juru Martani Kerajaan Mataram berdiri kokoh, arum kuncara ngejayeng jagad raya.

Oleh Dr Purwadi M.Hum. 
Ketua Lembaga Olah Kajian Nusantara LOKANTARA. 
Hp 087864404347 

SEJARAH FAKULTAS FILSAFAT UGM

A. Pemikiran Filsafat Nusantara Fakultas Filsafat UGM berdiri pada tanggal 18 Agustus 1967. Prestasi gemilang selalu diukir buat persembahan pada nusa bangsa. 

Butir butir kearifan lokal yang tersebar dari Sabang sampai Merauke dikaji. Fakultas Filsafat UGM terus menerus mengkaji pemikiran nusantara. Sebagai sumbangan demi tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Yaitu dengan menghayati dan mengamalkan dasar negara Pancasila. 

Untuk itu dilakukan kajian historis sosiologis dan kultural. Fakultas Filsafat UGM berprisip jasmerah, jangan sekali kali meninggalkan sejarah. Lantas perkembangan pemikiran filosofis dilacak dari masa ke masa. 

Pemikiran yang bercorak Hindu terdiri dari kama arta darma muksa. Pada tahun 1042 Empu Kanwa menyusun Kakawin Arjuna Wiwaha. Nanti diwujudkan dengan pentas wayang lakon Begawan Ciptoning. 

Nilai filsafat Budha tertuang dalam kitab Negara Kertagama karya Empu Prapanca tahun 1352. Konsep kamadhatu rupadhatu arupadhatu nirwana, sebagaimana struktur simbolis. Misalnya diwujudkan dalam sesanti kenegaraan. Yakni Bhinneka Tunggal Ika. 

Wali Sanga sejak tahun 1478 melengkapi kefilsafatan Nusantara. Syariat tarikat hakikat makrifat menjadi pedoman kenegaraan. Kasultanan Demak Bintara memadukan unsur keagamaan dan kebudayaan. 

Gagasan untuk mengembangkan filsafat makin maju. Pada tahun 1851 Sri Mangkunegara IV menyusun serat Wedhatama. Pemikiran kefilsafatan dimulai dari sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, sembah rasa. 

Bibit kawit berdirinya Fakultas Filsafat UGM berhubungan dengan sejarah Paheman Radya Pustaka. Gedung Paheman Radya Pustaka lahir pada tanggal 28 Oktober 1890 di Kepatihan Karaton Surakarta Hadiningrat.

Pendiri Paheman Radya Pustaka adalah Kanjeng Raden Adipati Arya Sasradinigrat. Atas perintah Sinuwun Paku Buwana IX yang memerintah Karaton Surakarta Hadiningrat tahun 1861 - 1893. Raja Surakarta ini menyusun Serat Warni Warni dan Serat Kedokteran. Gagasan kefilsafatan makin dalam. 

Wacana penyebaran gagasan kefilsafatan dilakukan secara sistematis integral dan komprehensif. Misalnya pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwana X tanggal 1 Januari 1913 ada kemajuan pesat. Paheman Radya Pustaka menempati gedung baru yang terletak di kebon raja jalan Sri Wedari. Koleksi buku makin lengkap dengan fasilitas yang memadai.

Kajian pemikiran kefilsafatan meliputi penelitian, pengajaran, pelatihan, penyalinan dan penerjemahan. Alumni Paheman Radya Pustaka tersebar dalam beragam profesi. Seperti administratur, guru, pamong praja dan pengelola yayasan.

Bidang filsafat agama diperhatikan dengan saksama. 
Untuk pegawai yang menguturi bidang keagamaan diberi tempat khusus. Patih Sasradinigrat IV mendirikan Perguruan Mambaul Ulum. Contoh alumni yakni  Kahar Muzakir tokoh pendidikan UII, Mukti Ali tokoh perbandingan agama, Munawir Zadzali tokoh Menteri Agama. Perguruan Mambaul Ulum ini cikal bakal lahirnya IAIN di Indonesia.

Pemikiran filsafat agama mendapat porsi yang cukup. Perguruan Mambaul Ulum berpengaruh atas praktek agama jaman mutakhir. Kesadaran hidup beragama, berbangsa dan bernegara tertata rapi. 

Pegawai Paheman Radya Pustaka yang ternama adalah Prof Dr Poebatjaraka. Lahir dengan nama kecil Lesya, pada tanggal 1 Januari 1884. Belajar di Rijtsuniversitet Leiden. Orang tuanya  pengageng Karaton Surakarta Hadiningrat, KRT Poerbadipura dan RAy Semu Prawirancana. Bakat dan bekal budaya sebagai sarana pengabdian. 

Kelancaran studi nilai kefilsafatan di Paheman Radya Pustaka atas dukungan Prof Dr Notonagoro SH. Menantu Sinuwun Paku Buwana X ini pengageng Bandha Lumaksa. Bertugas sebagai kepala keuangan negeri tahun 1932 - 1938. Menikah dengan GKR Koestimah Notonagoro. Sambil menata pamulangan, putri raja kerap ura ura. 

Lagu witing klapa.

Witing klapa jawata ing ngarcapada. Salugune wong wanita. Dhasar nyata kula sampun njajah praja. Ing Ngayogya Surakarta.

Nadyan akeh wong ayu dhasar priyayi. Nanging datan merak ati. Adhuh Gusti dak rewangi pati geni. Pitung dina pitung wengi.

GKR Koestimah Notonagoro mengatur jadwal pengajaran di Paheman Radya Pustaka. Sejarah, Sastra, gendhing, tari, karawitan, batik, dhahar nyamleng, busana, bale wiswa, bebrayan diajarkan pada siswa. Materi kurikulum disusun oleh tim kasusastran yang dipimpin oleh Ki Padmasusastra.

Umumnya pengajar Paheman Radya Pustaka diambil dari abdi dalem Mandra Budaya dan Purwa Kinanthi. Mereka pernah bertugas sebagai jurnalis Majalah Retna Dumilah yang dirintis oleh Pujangga Raden Ngabehi Ranggawarsita sejak tahun 1843. Para dwija ini ahli sastra bahasa seni budaya Jawa yang mumpuni.

Notonagoro mendapat gelar Mister de Rechten dan Rechthugeschool dari Universitet Leiden Netherland. Antara tahun 1933 - 1929 mengajar di Particuliaere Algeme Middebare. Bersama dengan garwa kinasih, beliau mengembangkan seni edi peni, budaya adi luhung. Sesuai dengan prasapa Sinuwun Paku Buwana X dalam Serat Panitibaya.

Rum kuncaraning bangsa, dumunung ing luhuring budaya. Inilah pangkal dasar yang menjadi titik tolak pengkajian nilai kefilsafatan nusantara. 

B. Peresmian Fakultas Filsafat. 

Universitas Gadjah Mada berdiri pada tanggal 19 Desember 1949. Perlu dijelaskan latar belakang sosio kultural yang sedang terjadi. Menurut owah gingsiring jaman. 

Tanggal 1 September 1949 bertemu tokoh tokoh pendidikan. Pimpinan dari berbagai lembaga merancang berdirinya perguruan tinggi.

Ada lima lembaga pendidikan yang hendak bergabung.
1. Paheman Radya Laksana.

2. Perguruan Tinggi Kedokteran Kadipala Surakarta.

3. Sekolah Tinggi Kedokteran Hewan Surakarta.

4. Sekolah Tinggi Farmasi Surakarta.

5. Sekolah Tinggi Pertanian Surakarta.

Pengelola pendidikan tinggi sepakat membuat universitas. Bersamaan itu pula ada usulan dari Institut Pasteur Bandung. Dipimpin oleh Prof Dr M Sardjito. Beliau tokoh intelektual dari Kabupaten Magetan Jawa Timur. Masih berhubungan kerabat dekat dengan Gubernur Suryo.

Pertemuan ilmiah ini mendapat dukungan penuh Drs Moh Hatta, Wakil Presiden RI. Koordinator acara dilakukan oleh Prof Ir Rooseno, mewakili Sekolah Tinggi Teknik Bandung. Sedangkan ilmu humaniora diwakili oleh Prof Dr Priyono. Ilmu iku kelakone kanthi laku. Jadilah Universitas Gadjah Mada. 

Tanggal 3 Maret 1949 Prof Dr Priyono berjasa meletakkan dasar dasar pengajaran sastra Jawa UGM. Disertasi Prof Dr Priyono membahas tentang cerita Sri Tanjung. Pria kelahiran 20 Juli 1905 ini punya pemikiran cemerlang. Pernah mendapat penghargaan Perdamaian Stalin Rusia. Presiden Soekarno mengangkat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI pada tahun 1957 - 1966.

Dies Natalis Fakultet Sastra Pedagogik Filsafat dan Kebudayaan diperingati tiap tanggal 3 Maret. Peringatan hari kelahiran fakultas sastra budaya ini diselenggarakan dengan acara temu ilmiah. Para alumni dengan bangga ikut serta. 

Jurusan sastra Jawa untuk pertama kali dipegang oleh Prof Dr Poebatjaraka. Sekretaris jurusan dipegang oleh Prof Dr PJ Zoetmulder. Nama begawan sastra Jawa ini boleh dibilang mendunia, arum kuncara ngejayeng jagad raya. 

Adapun Prof Dr Abdullah Sigit selaku Dekan Fakultet Sastra Pedagogik Filsafat dan Kebudayaan. Jurusan Sastra Jawa UGM berkembang pesat. Boleh disebut alumni handalan. Misalnya Prof Dr Endang Daruni Asdi, Prof Dr Damardjati Supadjar, Drs Soejono Soemargono. Dwija agung ini kelak melanjutkan perjuangan luhur Fakultas Filsafat. 

Nama Fakultas yang menaungi jurusan filsafat pada tanggal 15 September 1955 mengalami perubahan. Jadilah Fakultas Sastra pedagogik Filsafat dan kebudayaan. 

Prof Dr Poebatjaraka mendapat sebutan Empu Jawa Kuna. Atas jasanya beliau diberi penghargaan Koninklijk Institut voor Taal, Land en. Prestasi bergengsi dan prestisius. 

Dalam lapangan kebegaraan dan pemerintahan jasa Prof Dr Poebatjaraka amat besar. Di bawah kepemimpinan Sultan Hamid II bertugas sebagai Panitia Lambang Negara. Selaku anggota yaitu Prof Dr Poebatjaraka, Ki Hajar Dewantara, Prof Dr Muhammad Yamin SH, Muhammad Natsir. 

Keluarga Prof Dr PoePoebatjaraka cinta seni budaya. Istrinya bernama BRay Roosinah Poeger. Anak yang meneruskan perjuangan yaitu Prof Dr Purnadi Poebatjaraka. Beliau guru besar Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Palembang. Pendekatan studi hukum dianjurkan untuk berdasarkan aspek nilai budaya lokal. 

Murid Prof Purnadi Poerbatjaraka yaitu Dr Amir Syarifudin SH. Beliau dosen Universitas Sriwijaya Palembang. Tahun 1996 menempuh program pasca sarjana jurusan ilmu filsafat. 

Dukungan dari Prof Dr Notonagoro untuk pengembangan pemikiran kefilsafatan Nusantara begitu tinggi. Pada tahun 1952 Notonagoro menjabat sebagai Dekan Fakultas Hukum UGM. Pada kesempatan ini Prof Dr Notonagoro bertindak sebagai promotor bagi Presiden Soekarno dan Ki Hajar Dewantara. Pejuang hebat inu mendapat gelar Doktor Honiris Causa. 

Masa pemerintahan Presiden Soeharto, guru besar UGM ini mendapat tugas menyusun program pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila. Populer disebut P4. Dalam kacamata budaya disebut dengan Eka Prasetya Panca Karsa. 

Anjuran Prof Dr Notonagoro agar sastra Jawa berkembang terus. Maka dilakukan usaha penerjemahan Serat Wulangreh, Centhini, Wedhatama, Pustaka Raja Purwa. Nilai filsafat dengan studi sastra memang berhubungan erat. Ibarat suruh, lumah lan kurepe. Yen disawang seje rupane. Yen digigit tunggal rasane. 

Pengajaran ilmu filsafat mendapat pengakuan layak. SK Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan no 5375 tanggal 15 September 1955. Pemerintah memberi wadah resmi, Gabungan Fakultas Umum dan Filsafat. Prof Dr Notonagoro bertindak selaku Dekan. 

Enam tahun kemudian terjadi perubahan. Tanggal 8 Agustus 1961 Fakultas Filsafat dihabus. Berdasarkan SK Menteri PTIP no 32 /1961. Disusul dengan terbitnya SK Menteri PTIP no 144 / 1962. Tanggal 17 Nopember 1962 Fakultas Umum juga ditutup. 

Gantinya yaitu dibentuk lembaga baru berdasarkan SK Rektor UGM no 1 / 1963. Pada tanggal 25 Januari 1963 diberi wadah resmi. Badan Penyelenggara Kuliah Kuliah Chusus atau BPKKC. Ilmu filsafat tetap diajarkan dengan serius. Sapa temen bakal tinemu. 

Dengan SK Dirjen Perguruan Tinggi No 90 1967 Fakultas Filsafat boleh beroperasi lagi. Tepatnya pada tanggal 18 Agustus 1967 Fakultas Filsafat punya tiga jurusan. Yaitu jurusan filsafat agama, filsafat barat dan filsafat timur. Segenap civitas akademika siap untuk melakukan Jongko jangkah jangkaning jaman. 

C. Pengembangan Filsafat Kebangsaan. 

Bapak Prof Dr Damardjati Supadjar berguru langsung kepada Prof Dr Notonagoro. Pintere kaya Bung Karno, antenge kaya Bung Hatta. 

Ajaran mono dualisme Notonagoro disebut dalam berbagai forum. Manusia sebagai makhluk Tuhan dan pribadi mandiri. Manusia sebagai individu dan anggota masyarakat. Manusia yang terdiri dari jiwa dan raga. 

Ibu Prof Dr Endang Daruni contoh murid Notonagoro yang menekuni pemikiran kefilsafatan barat. Disertasi berjudul Imperatif Kategoris menurut Pandangan Imannual Kant. 

Cellum stellatum supra me. Lex morralis intra me. Begitu cemerlang bintang bintang di angkasa raya. Demikian norma susila di dada manusia. Pesan Imannual Kant yang digores di atas ephitapt batu nisan makam. Nasihat yang patut direnungkan. 

Soejono Soemargono ilmuwan unggul tangguh. Maha karya terjemahan dasar dasar filsafat Kattsof mengagumkan. Buku bermutu ini digunakan sebagai referensi utama ilmu filsafat di seluruh Indonesia. 

Punya putri dosen sejarah UNS. Namanya Mbak Yusi alumni mahasiswi jurusan sejarah tahun 1994. Semangat belajar dari Pak Soejono Soemargono menurun dengan sempurna. Saat ini sedang menempuh program doktor. Bersama Mas Sidik sang suami, setia mengembangkan ilmu filsafat sejarah berbasis budaya. 

Serat Wulangreh dibahas oleh Bapak Dr Sri Soeprapto lewat penelitian. Buku karya Sinuwun Paku Buwana IV ini murih padhanging sasmita. Karya raja Surakarta Hadiningrat berisi tentang wulangan wejangan wedharan. Agar manusia menjauhi sikap adigang adigung adiguna. 

Sekar gambuh. 

Sekar gambuh ping catur. 
Kang cinatur polah kang kalantur. 
Tanpa tutur katula tula katali. 
Kadalu warsa katutuh. 
Kapatuh pan dadi awon. 

Aja nganti kebanjur. 
Sabarang polah kang nora jujur. 
Yen kebanjur sayekti kojur tan becik. 
Becik ngupayaa iku. 
Ing pitutur kang sayektos. 

Tutur bener puniku, sayektine apantes tiniru,
 nadyan metu saking wong sudra papeki, lamun becik nggonne muruk,
iku pantes sira anggo. 

Ana pocapanipun. 
Adiguna adigang adigung. 
Pan adigang kidang adigung pan esthi. 
Adiguna ula iku. 
Telu pisan mati samyoh. 

Si kidang umbakipun
Ngendelelaken kebat lumpatipun. 
Pan si gajah ngendelelaken ageng inggil. 
Ula ngendelelaken iku. 
Mandine kalamun nyakot. 

Dwija minulya asma Bapak Drs Slamet Sutrisno M.Si. Beliau asal Kebondalem Prambanan Klaten. Menulis tesis yang membahas nilai kebangsaan. 

Karya Pujangga Raden Ngabehi Ranggawarsita ini berisi tentang kisah historis. Kerap menjadi acuan Prof Dr Joko Siwanto Hadiningrat M. Hum. Ahli metafisika Barat yang dipadukan nilai Pancasila. Pada tahun 2011 diwisuda sebagai abdi dalem karaton Surakarta Hadiningrat. 

Dhandhanggula 

Kuneng lingnya Rama Dayapati, angandika Sri Rama Wijaya, 
he bebakal sira kiye, gampang kalawan ewuh,
 sayekti wus ana kang kardi, 
yen wania ing gampang,
 wania ing ewuh, sabarang nora tumeka,
 gampang lawan ewuh yen abtepen dadi siji, 
ing purwa nora ana. 

Wejangan ini dilanjutkan oleh tokoh filsafat Cina. Pada tahun 2012 Prof Dr Lasio Wedyadiningrat menjadi pimpinan abdi dalem Karaton Surakarta Hadiningrat untuk wilayah Yogyakarta. Konsep Ying Yang mirip dengan jagad gumelar dan jagad gumulung. 

Pak Mudjajadi adalah ahli filsafat Jawa. Beliau mengutip tulisan  tahun 1966. Yakni Pak Subali menyusun skripsi dengan judul Serat Wiwaha Jarwa yasan Sinuwun Paku Buwana III. Tesis ini menjelaskan pemikiran Begawan Ciptawening. Agak mengesankan yaitu materi kuliah Rama Dr I Kunthara Wiryamartana. Beliau asal Klaten yang menulis Kakawin Arjuna Wiwaha pada tahun 1987. 

Disertasi yang membahas karya Empu Kanwa, jaman Prabu Airlangga raja Kahuripan. Tulisan ini memuat ajaran kefilsafatan. Pada tahun 1990 Kitab Kakawin Arjuna Wiwaha diterbitkan oleh Duta Wacana Press. Ketika mengajar sastra Jawa Kuna, Rama Kunthara penuh dengan penghayatan. 

Pucung. 

Ilmu iku kelakone kanthi laku, 
Lekase lawan kas, tegese kas nyantosani, Setya budya pangekesing dur angkara. 

Ilmu iku kelakone kanthi laku. 
Lekase lawan kas. 
Tegese kas nyantosani. 
Setya budya pangekesing dur angkara. 

Basa ngelmu mupakate lan panemu,
pasahe lan tapa,
yen satriya tanah Jawi, 
kuna kuna kang ginelung tri prakara. 

Lila lamun kelangan nora gegetun. 
Trima yen ketaman. 
Sakserik sameng dumadi. 
Tri legawa nalangsa srah ring bathara. 

Nilai kearifan lokal melengkapi penyusunan kefilsafatan Nusantara. Ulasan kefilsafatan Nusantara yang dikaji UGM bercabang beranting. Ing pangajab sami pana pranaweng kapti. Tahu hakikat sangkan paraning dumadi.

Sumber tertib hukum yang bersumber dari kearifan lokal memang penting. Misalnya Prof Dr R Soejadi SH. Pada tahun 1996 beliau berpidato tentang Pancasila. Saat menjadi Dekan tahun 2001 - 2005 Prof Dr Soejadi membimbing Dr Soetrisno R. M.Si. Bersama dengan Prof Dr Endang Daruni Asdi dan Prof Dr Timbul Haryono.

Fakultas Filsafat UGM kian maju. Dengan harapan bangsa Indonesia makmur lahir batin. Yakni berdikari dalam ekonomi, berdaulat dalam politik dan berkepribadian dalam kebudayaan.

Alumni filsafat tersebar di berbagai tempat. Sebut saja Dr Afendy Widayat M.Phil. Dr Muhammad Mukti M.Sn. Dr Hadjar Pamade. Ahli dalam bidang masing masing.

Manguwuh peksi manyura. Sawung kluruk amelungi. Wancine wus gagat enjang....

Oleh Purwadi, Wafi Gama, Warga Alumni  Filsafat Gajah Mada.  hp 087864404347.