Gunung Pandhan pada masa Kerajaan Bojonegoro dijadikan sebagai tempat untuk melakukan lara lapa tapa brata. Prabu Anglingdarma mendapat wahyu keprabon. Turunnya wahyu cakraningrat ini melestarikan kewibawaan kerajaan Bojonegoro. Rakyat pun menjadi ayem tentrem aman damai.
Wilayah pegunungan merupakan bagian dari kabupaten Nganjuk dan Bojonegoro. Ada lelagon yang melukiskan keindahan tlatah pegunungan ini.
Kali BeningKali Bening saperenge Gunung Pandhan
Iku dadi srana kacukupan sandhang pangan
Ngocori sabin-sabin sakeloring kutha
Mesthi agawe pengin wong sing padha teka
sumur kompor ing ngendi-endi ana
Tandur-tandur subur mesthi gawe makmur
Ja lali ja keri kutha Nganjuk ngenteni.
Gunung Pandhan terletak di sebelah barat laut kota Nganjuk. Sebelah barat daya Kabupaten Bojonegoro. Buat masyarakat sekitarnya, Gunung Pandhan dianggap sakral. Mereka percaya bahwa Gunung Pandhan adalah punjering jagat, pusat dari alam raya. Ada onggokan tanah di samping desa saya. Namanya adalah Watu Dandang. Konon kabarnya onggokan tanah ini merupakan cikal bakal Gunung Pandhan.
Watu Dandang ini dibuat oleh tokoh legendaris Kyai Lurah Semar. Sebelum ayam jantan berkokok, jago kluruk dengan sekejab saja sudah bisa mencipta Gunung Pandhan. Bahkan hingga kini Padhukuhan Klampis Ireng atau Karang Kedhempel berada di ereng-erenging Gunung Pandhan.
Berkali-kali Mbah Setroredjo yang lahir tahun 1905 cerita demikian. Beliau gemar ceritera sejarah kuno. Masyarakat Kabupaten Blora, Bojonegoro, Ngawi, Madiun dan Nganjuk sebagian tahu bahwa Gunung Pandhan adalah monumen indah yang menjadi pembatas lima kabupaten itu. Bagi tukang ngemblek, mblandhong, pencari rencek dan pengobong arang, Gunung Pandhan adalah sebuah sumber daya ekonomi. Di sanalah roda bisnis tradisional bergerak. Bakul areng, dengan segala taktik perdagangan wong cilik berputar. Dari penegor pohon sono, yaitu bahan mentah arang, kemudian dibakar di tengah hutan.
Ilir-Ilir
Ilir-ilir tandure wis sumilir
tak ijo royo-royo tak sengguh temanten anyar
bocah angon penekna blimbing kuwi
lunyu-lunyu ya penekna kanggo masuh dodotira
dodotira kumitir bedhah ing pinggir
dondomana jrumatana kanggo seba mengko sore
mumpung padhang rembulane
mumpung jembar kalangane
Ya suraka surak iyun.
Kehidupan wong pinggir alas akrab dengan kayu jati, sono dan rajek. Profesi pertukangan banyak diketahui. Lika-liku orang mblandhong merupakan strategi orang kecil dalam menejemen kehutanan. Mandor selaku penjaga hutan kerap kali bersitegang dengan tukang blandhong. Pengelolaan hutan menimbulkan pergesekan yang kurang harmonis antara Perhutani dengan warga sekitar. Kita perlu belajar agar sekalian warga bangsa berpartisipasi yang saling menguntungkan.
Tahun 1984-1987 bergaul dan belajar di SMPN 1 Rejoso Nganjuk. Kawan kawan dari Sambikerep, Ngrapah, Ngrayung, Wengkal, Tamanan, Musir Lor, Banyurip, Watudakon, Tritik, Bendhosewu, Ngadiboyo, Kedhung-bulu, Basri, Turi, Alasjalin, Tempuran dan Rondhokuning. Mereka terlalu paham seluk beluk alas. Ada yang berkomentar daerah sing adoh ratu cedhak watu.
Selain bercocok tanam, masyarakatnya mencari penghasilan dari golek rencek, kayu rajek, godhong jati. Rencek untuk kayu bakar. Rajek untuk pagar pekarangan. Godhong jati untuk bungkus sego pecel. Saat orang punya hajad, godhong jati berfungsi untuk membungkus sayadan. Bungkus godhong jati membuat nasi menjadi gurih. Janganan pun terasa lebih enak dan gurih.
Menurut Surat Centhini karya Sinuwun Paku Buwono V yang memerintah tahun 1820-1823, Gunung Pandhan ada komunitas burung perkutut yang kung suaranya. Burung perkutut di sini paling berkualitas di seluruh dunia. Hal ini mengingatkan Bu Watini, waranggana dari Begadung yang sering melantunkan gendhing Kutut Manggung.
B. Kerajaan Bojonegoro dipimpin Prabu Anglingdarma.
Negeri Bojonegoro dipimpin oleh Prabu Anom Anglingkusumo yang memerintah sejak tahun 513 Saka. Bapaknya adalah Prabu Anglingdarma di kerajaan Malawapati. Ibunya bernama Kanjeng Ratu Ambarawati, putra raja Gilingwesi. Dari garis bapak dan ibu, memang Prabu Anglingkusumo masih trahing ngaluhur, tedhaking andana warih, wijiling amara tapa.
Prabu Anglingdarma dan keluarga kerap bertapa di daerah Pajaran, Klangon dan Bendosari. Tempat ini berada di lereng Gunung Pandhan. Mereka meditasi untuk memperoleh keselamatan dan kemakmuran.
Selama dipimpin Prabu Anglingkusumo, negeri Bojonegoro mencapai jaman keemasan, murah sandang pangan papan. Dapat disebut sebagai negeri kang panjang punjung pasir wukir, gemah ripah loh jinawi, tata tentrem karta raharja. Rakyat hidup makmur sejahtera lahir batin. Kerajaan Bojonegoro beribukota di Rajekwesi. Di tengah-tengahnya terbelah sungai besar yang mengalir sepanjang masa. Gunung Kendheng dan gunung Renteng mengapit aliran sungai. Sawah membentang luas ditanami ketela, pohung, padi, jagung. Loh subur kang sarwa tinandur, jinawi murah kang sarwa tinuku.
Prabu Anglingkusumo seorang raja yang bijak bestari, ambeg adil para marta, ber budi bawa laksana, memayu hayuning bawana. Narendra guna ing ngayun tan ngendhah gunane jalma. Sang raja Bojonegoro kinasih ing dewa, kinawula ing widodari, cinedhak ing brahmana, sinuyudan kawula dasih. Prabu Anglingkusumo biasa mahas ing ngasepi, manjing ing wana wasa, tumuruning jurang terbis. Lara lapa tapa brata.
Raja Bojonegori menjadi sakti mandraguna, ora tedhas tapak palune gerindra, tanapi tedhaning kikir. Meskipun sangat sakti, tetapi prabu Anglingkusumo selalu rendah hati, sabar, dermawan, murah hati, ramah tamah, suka menolong. Beliau berprinsip andhap asor wani ngalah luhur wekasane. Pada tahun 514 warga Balen, Baureno, Bubulan, Dander, Gayam, Gondang, Kanor, Kapas, Kasinan, Kadewan, Kedungadem, Margomulyo, Malo diajak oleh Sinuwun Anglingkusumo berkunjung ke negeri Malawapati yakni nyekar nyadran pada arwah leluhur.
Giliran warga dari daerah Ngambon, Ngasem, Ngraho, Padangan, Purwosari, Sekar, Sugihwaras, Sumberejo, Tambakrejo, Temayang, Trucuk pada tahun 516 diajak nenuwun di Pulau Nusa Kambana atau daerah Sela Marsigid. Di sana rombongan Prabu Anglingkusumo meditasi, semedi sedhakep saluku juga, amepet babahan hawa sanga. Megeng napas mbendung swara. Ana rupa tan den dulu, ana ganda tan ingambu, ana swara tan den rungu. Semua mohon pada Tuhan, agar bumi Bojonegoro ayu hayu rahayu.
Doa Prabu Anglingkusumo terkabul. Rakyat negeri Bojonegoro hidup rukun, ayem tentrem. Bojonegoro tampil sebagai negara kang gedhe obore, padhang jagade, dhuwur kukuse, adoh kuncarane, ampuh kawibawane. Bebasan kang cerak manglung, kang tebih mentiyung. Sedaya sami pasok glondhong pengareng-areng, peni peni raja peni, guru bakal guru dadi, emas picis raja brana. Sekalian negeri sama kayungyun dening pepoyaning kautaman. Begitulah gambaran kerajaan Bojonegoro yang betul-betul agung dan anggun.
Masa kejayaan Bojonegoro terjadi pada tahun 1316 – 1319. Prabu Jaynegara, raja Majapahit mengendalikan pusat pemerintahan di Dander. Sengaja prabu Jayanegara memilih Dander Bojonegoro sebagai ibukota Majapahit, karena sesuai dengan titah leluhur. Kerajaan Majapahit harus pernah mesanggrah ing tepining bengawan gedhe, kang ingapit gunung Kendheng lawan gunung Renteng. Nadyan ta mung saumur jagung. Begitulah wisik dari gunung Semeru, saat Prabu Jayanegara bersemedi. Buat raja, wangsit atau wisik adalah dhawuh leluhur yang harus dijalankan. Ngelmu iku kelakone kanthi laku.
Tiga tahun lamanya Kanjeng Sinuwun Prabu Jayanegara menata kerajaan Majapahit di Dander Bojonegoro. Beliau diikuti Mahapatih Gajahmada, dengan dibantu menteri yang profesional, handal dan bermoral. Mereka adalah Demang Rangganata, Demang Kamituwa, Demang Wismanata. Ketiganya ahli pemerintahan, ahli kehutanan, ahli pengairan. Untuk menjaga keamanan sang raja, maka dibentuklah pasukan bhayangkari. Pasukan ini sangat cekatan, lincah, trampil. Betul-betul elit. Tanggung jawab mereka menjaga keamanan dan ketertiban negara Majapahit.
Prabu Jayanegara membangun daerah Ulawatan, Wotangare, Kalitidu. Raja Majapahit percaya bahwa daerah ini pusatnya kerajaan Malawapati. Untuk itu seorang Demang Klingsir yang bertugas untuk memelihara burung. Juga dibuat besalen untuk pembuatan pusaka keris. Ketika Prabu Jayanegara bertapa di Lemah Mbag, beliau mendapat anugerah Aji Gineng. Prabu Jayanegara dapat berbicara dengan segala binatang.
Dari daerah Mlawatan ini Prabu Jayanegara belajar kehidupan Prabu Anglingdarma. Beliau anak Prabu Jayapurusa, yang menikah dengan Dewi Pramesthi. Sedangkan Prabu Jayapurusa anak Prabu Gendrayana. Adapun Prabu Gendrayana adalah anak Prabu Yudhayana. Leluhur negeri Bojonegoro ini memang jalma limpat seprapat tamat. Tiap bulan Suro para raja Bojonegoro tapa kungkum di Sumurboto Dadapan Sumberagung Ngraho.
Pada tahun 1487 Bojonegoro dibina oleh Kasultanan Demak Bintara. Kanjeng Sunan Bonang, Sunan Drajad, Sunan Kalijaga ditugaskan untuk membina warga Bojonegoro. Agama ageming aji, bahwasanya kepercayaan kepada Tuhan akan membentuk jiwa yang bersih dan luhur. Wali Sanga di tanah Jawa adalah guru suci yang menaburkan suasana aman damai. Kanjeng Sunan Kalijaga pada tahun 1516 mementaskan wayang purwa dengan Lakon Jimat Kalimasada. Pagelaran wayang ini mengandung unsur tontonan, tuntunan dan tatanan.
Warga Bojonegoro terbiasa dengan perbedaan. Mereka punya empat, simpati dan toleransi yang tinggi. Pada tahun 1563 sebagian warga Temayang berguru di Padepokan Lemah Bang yang diasuh oleh Syekh Siti Jenar. Mereka belajar ilmu makrifat sejati, kawruh sangkan paraning dumadi. Pada tingkat tertentu ilmu ini disebut dengan manunggaling kawula Gusti.
Tan samar pamoring sukma. Sinukmaya winahya ing ngasepi.
Sinimpen telenging kalbu. Pambukane warana. Tarlen saking leyep layaping ngaluyup.
Pindha pesating supena. Sumusup ing rasa jati
Puncak penghayatan batin tertinggi ini, para murid Syekh Siti Jenar mendapatkan pencerahan. Yakni rasa jati sari rasa jati, rasa tunggal sari rasa tunggal, sarwa satunggal. Warga Temayang dan Padangan juga berguru kepada Ki Ageng Butuh, Ki Ageng Banyubiru, Ki Ageng Tingkir, Ki Ageng Karanglo, Ki Ageng Pringapus. Kelompok inilah yang membawa warga Bojonegoro untuk mendukung Kasultanan Pajang yang dipimpin oleh Joko Tingkir atau Sultan Hadiwijaya tahun 1546 – 1582.
Sinuwun Hadi Prabu Hanyokrowati, raja kedua Mataram tahun 1601 – 1613 paling sering datang ke Bojonegoro. Beliau memang cucu Ki Ageng Penjawi, Bupati Pati yang banyak mengelola pohon jati di daerah Purwodadi, Blora, Cepu dan Bojonegoro. Gunung Pandhan memberi harapan untuk meningkatkan mutu kehidupan.
C.Pancaran Kewibawaan Lingkungan Gunung Pandhan
Pangeran Pekik adalah Bupati Surabaya, yang masih keturunan Kanjeng Sunan Ampel. Istrinya bernama Kanjeng Ratu Pandansari, adik Sultan Agung. Sama-sama putra Sinuwun Hadi Prabu Hanyakrawati, raja Mataram. Pernikahan Pangeran Pekik dengan Ratu Wandansari menurunkan Kanjeng Ratu Kulon, permaisuri Sinuwun Amangkurat Tegal Arum. Lahirlah Gusti Raden Mas Rahmat, kelak menjadi raja Mataram dengan gelar Sinuwun Amangkurat Amral. Berkuasa tahun 1677 – 1703.
Gusti Raden Mas Rahmat sejak kecil ikut Pangeran Pekik di Surabaya. Bupati Surabaya ini memiliki kebun tembakau di daerah Bojonegoro. Kualitas tembakau Bojonegoro terkenal di dunia. Di ekspor ke negeri Tamasek, Malaka, Cina, India dan Afrika. Pelabuhan Tanjung Perak menjadi pintu ekspor impor tembakau, lewat Bengawan gedhe, untung berlimpah ruah. Pangeran Pekik Bupati Surabaya yang kaya raya.
Keuntungan bisnis pelabuhan, perkapalan, pelayaran, perkebunan, kehutanan mendatangkan lancarnya roda pemerintahan Mataram. Sinuwun Amangkurat Amral memperhatikan wilayah Bojonegoro. Pada masa kanak-kanak sering berkunjung di kebun tembakau Bojonegoro. Raden Mas Rahmat ikut Pangeran Pekik. Tinggal di pesanggrahan Sugihwaras. Alangkah senangnya jalan-jalan bersama kakek. Perjalanan wisata ini cukup berkesan bagi Raden Mas Rahmat atas masyarakat Bojonegoro.
Atas prakarsa Kanjeng Sinuwun Amangkurat Amral dan dukungan Pangeran Pekik, Bojonegoro ditetapkan sebagai kabupaten otonom. Sebagai pejabat Bupati ditunjuk Adipati Tumapel Notonagoro. Dipilih karena mempunyai kemampuan, kecakapan, kejujuran, kepribadian, keluhuran. Adipati Tumapel berpengalaman mengelola pelabuhan Tanjung Perak, pernah bertugas di kabupaten Surabaya, mengurusi industri mebel dan mengawasi proyek daerah aliran Sungai Bengawan Solo. Pengalaman kerja Adipati Tumapel Notonagoro cukup luas.
Pada tanggal 20 Oktober 1677 Adipati Tumapel Notonagoro dilantik oleh Sinuwun Amangkurat Amral. Hadir pula segenap Bupati Tuban, Jepara, Rembang, Demak, Semarang, Tegal, Surabaya dan Lamongan. Rombongan dari kadipaten Surabaya datang lebih dulu, karena juga merangkap sebagai panitia pelantikan. Upacara pelantikan begitu megah, mewah, indah. Kedatangan Sinuwun Amangkurat Amral diiringi dengan gamelan Monggang. Tamu agung lain diiringi dengan gamelan Carabalen. Songsong gelap, payung agung menambah wibawa Kanjeng Sinuwun Mataram. Jalannya upacara pelantikan Bupati Bojonegoro cukup khidmat. Lantas diakhiri dengan kembul bujana andrawina.
Di luar gedung pelantikan, digelar aneka ragam seni rakyat. Mulai jaran kepang, barongan, reyog Ponorogo, pasar malam, kethoprak, ludruk, wayang wong, wayang kulit dan tayuban. Semangat kebersamaan tinggi sekali. Mangayu bagya jumenengan kadipaten Bojonegoro. Pentas tayub dimeriahkan dengan sindir-sindir terpilih. Gendhing Songo Kidul, orek-orek, jamong membuat suasana seger sumyah, gecul dengan disertai gelak tertawa. Untuk pengibing sepuh lebih memilih gendhing ketawang suba kastawa dan ketawang ganda mastuti. Jineman uler kambang dengan iringan gender, kenong, kethuk, gambang, silir, kempul dan kendang. Para pengibing sama keplok senggak
Ciu gambar manuk
Aku melu apa entuk
Ciu sak gelase
Aku melu selawase
Ciu gambar jago
Aku melu apa kanggo.
Masyarakat Gunung Pandhan Kabupaten Bojonegoro bergerak terus. Alon alon waton, gremet gremet waton slamet. Seiring perjalanan waktu Kabupaten Bojonegoro selalu ingat perjalanan sejarah masa silam yang sangat gemilang. Para pemimpin tetep eling lan waspada. Setiap tahun laku ritual di Kayangan api Sendangharjo. Menjelang bulan Ramadhan siram jamas di Kedungmaos Temayeng, Pucang Bubulan dan kedung Gupit Sekar. Mereka berharap mendapat tirta perwita sari.
Masyarakat Gunung Pandan Bojonegoro sewajarnya mengucapkan terima kasih kepada Kanjeng Sinuwun Amangkurat Amral. Kebijakan beliau telah mengangkat harkat dan martabat kabupaten Bojonegoro. Raja Mataram sangat akrab dan mengakar di propinsi Jawa Timur. Beliau adalah pelopor pembangunan Jawa bagian wetan.
Pembangunan rel kereta api dan stasiun Bojonegoro terlaksana pada tahun 1872. Jaman pemerintahan Sinuwun Paku Buwono IX dilakukan pembangunan besar-besaran fasilitas umum di Bojonegoro. Kantor pos, bank, bendungan dibangun demi kesejahteraan rakyat. Masyarakat Bojonegoro dengan mudah mengunjungi Surabaya, Semarang dan Batavia. Untuk jarah dekat terhubung dengan jalur yang menuju ke arah Tuban, Rembang, Cepu, Purwodadi, Lamongan.
Lewat babad orang Bojonegoro dengan mudah berkunjung ke Jombang, Nganjuk dan Kediri, Malang, Blitar, Tulungagung dan sekitarnya. Para Bupati Bojonegoro yang Ber Budi Bawa Laksana menjaga kelestarian Gunung Pandhan dengan perspektif ekologis.
1. Adipati Toemapel Notonagoro 1677 – 1705
Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Amangkurat Tegal Arum, raja kraton Mataram.
2. Tumenggung Surowidjojo 1705 – 1718
Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Amangkurat Amral, raja kraton Mataram.
3. Tumenggung Haryo Matahun I 1718 – 1741
Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono I, raja kraton Mataram.
4. Tumenggung Haryo Matahun II 1741 – 1743
Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono II, raja kraton Mataram.
5. Tumenggung Haryo Matahun III 1743 – 1755
Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono II, raja kraton Mataram.
6. Adipati Ronggo Prawirodirjo I 1755 – 1756
Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono III, raja kraton Surakarta Hadiningrat.
7. Adipati Purwodidjojo 1756 – 1760
Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono III, raja kraton Surakarta Hadiningrat.
8. Tumenggung Guntur Wirotedjo 1760 – 1800
Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono IV, raja kraton Surakarta Hadiningrat.
9. Tumenggung R Ronggo Djenggot 1800 – 1811
Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono IV, raja kraton Surakarta Hadiningrat.
10. Tumenggung R. Prawirosentiko 1811 – 1816
Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono IV, raja kraton Surakarta Hadiningrat.
11. Tumenggung Sumonegoro 1816 – 1821
Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono IV, raja kraton Surakarta Hadiningrat.
12. Tumenggung Sosrodiningrat 1821 – 1823
Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono V, raja kraton Surakarta Hadiningrat.
13. Tumenggung Purwonegoro 1823 – 1825
Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono V, raja kraton Surakarta Hadiningrat.
14. Adipati Djojonegoro 1825 – 1827
Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono VI, raja kraton Surakarta Hadiningrat.
15. Tumenggung Sosrodilogo 1827 – 1828
Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono VI, raja kraton Surakarta Hadiningrat.
16. Adipati Djojonegoro 1828 – 1844
Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono VI, raja kraton Surakarta Hadiningrat.
17. Adipati Tirtonoto I 1844 – 1878
Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono VII, raja kraton Surakarta Hadiningrat.
18. Tumenggung Tirtonoto II 1878 – 1888
Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono VII, raja kraton Surakarta Hadiningrat.
19. Tumenggung RM. Sosrokusumo 1888 – 1890
Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono IX, raja kraton Surakarta Hadiningrat.
20. Adipati Aryo Reksokusumo 1890 – 1916
Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono IX, raja kraton Surakarta Hadiningrat.
21. Adipati Aryo Kusumoadinegoro 1916 – 1936
Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono X, raja kraton Surakarta Hadiningrat.
22. Tumenggung R. Dradjat 1936 – 1937
Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono X, raja kraton Surakarta Hadiningrat.
23. Tumenggung Achmad Surjodiningrat 1937 – 1943
Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono X, raja kraton Surakarta Hadiningrat.
24. Tumenggung Oetomo 1943 – 1945
Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono XI, raja kraton Surakarta Hadiningrat.
25. Tumenggung Sudiman Hadiatmodjo 1945 – 1947
Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.
26. Mas Surowijono 1947 – 1949
Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.
27. Tumenggung Sukardi 1949 – 1950
Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.
28. R. Sundaru 1950 – 1951
Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.
29. Mas Kusno Suroatmodjo 1951 – 1955
Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.
30. R. Baruno Djojoadikusumo 1955 – 1959
Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.
31. R. Soejitno 1959 – 1960
Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.
32. R. Tamsi Tedjo Sasmito 1960 – 1968
Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.
33. Letkol Inf (Purn.) Sandang 1968 – 1973
Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.
34. Kolonel Inf (Purn.) Alim Sudarsono 1973 – 1978
Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.
35. Drs. Soeyono 1978 – 1983
Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.
36. Drs. Soedjito 1983 – 1988
Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.
37. Drs. H.Imam Soepardi 1988 – 1998
Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.
38. Drs. H. Atlan 1998 – 2003
Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.
39. Kolonel Inf (Purn.) H.Mohammad Santoso 2003 – 2008
Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Megawati.
40. Drs. H. Suyoto, M.Si 2008 – 2018
Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
41. Dr. Suprianto 2018
Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.
42. Dr. Hj. Anna Muawanah 2018 – sekarang
Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Gula Klapa
Gula klapa abang putih sang dwi warna
Gula klapa iku minangka pratanda
Sagung warga nuswantara tunggal cipta rasa karsa
Adhedhasar pancasila murih jayaning negara
Gula klapa abang putih sang dwi warna
Gula klapa mengku piwulang utama
Labuh labet marang praja dadi srana junjung bangsa
Budi luhur kulinakna watak asor singkirana
Gunung Pandhan di Kabupaten Bojonegoro memang tempat persemaian jiwa kebangsaan, sebagaimana tercermin dalam lagu Gula klapa. Sang saka merah putih berkibar di angkasa raya sebagai lambang kejayaan Nusantara. Nilai nasionalisme dan patriotisme ini hendaknya menjunjung tinggi nilai keutamaan dan keteladanan.
Pancasila menjadi dasar negara. Bendera gula klapa merupakan warisan kraton Surakarta Hadiningrat. Ada petugas pencatat dokumen kraton yang handal. Bendera merah putih harus kita hormati. Pada masa mendatang masyarakat kabupaten Bojonegoro di sekitar Gunung Pandhan akan tampil lebih makmur dan gemilang.
Oleh: Dr. Purwadi, M.Hum
Ketua Lembaga Olah Kajian Nusantara LOKANTARA
Hp: 0878 6440 4347
Tidak ada komentar:
Posting Komentar