Rabu, 13 Januari 2021

SEJARAH SYEKH SITI JENAR PENGAJAR ILMU KASAMPURNAN

A. Syekh Siti Jenar dalam Lintasan Sejarah Kejawen. 

Dalam lintasan sejarah Jawa nama Syekh Siti Jenar begitu harum. Guru sejati ini mengajarkan ilmu kasampurnan. Yakni satataning panembah. Agar manusia tahu sangkan paraning dumadi. 

Siswa Syekh Siti Jenar yaitu Ki Ageng Banyubiru, Ki Ageng Tingkir, Ki Ageng Karang lo, Ki Ageng Prong apus. Mereka menyebarkan ajaran luhur dan mbabar kawruh dengan mendirikan pertapan. 

Pewaris ajaran Syekh Siti Jenar yang penting adalah Ki Ageng Butuh. Dalam sejarah Ki Ageng Butuh adalah guru Joko Tingkir atau Sultan Hadiwijaya raja Pajang tahun 1546-1582. Beliau terkenal sakti mandraguna. Ilmu iku kelakone kanthi laku. Beliau suka melakukan lara lapa tapa brata.

Tiap bulan purnama Ki Ageng Butuh tapa kungkum di Kali Ketangga. Pada bulan Suro pasti menjalankan semedi di Hargo Dumilah Gunung Lawu. Setahun sekali pada bulan Rajab mahas ing ngasepi di puncak Saptarengga Gunung Muriya. Segala macam lelaku mulai dari tapa ngidang, tapa ngrame, tapa ngalong, pati geni, ngrowot, mutih, nggeniara, mbanyuara.

Karena menjadi pertapa ulung, maka Ki Ageng Butuh mendapat gelar sebagai jalma limpat seprapat tamat. Kebak ngelmu sipating kawruh, pangawikan agal alus telah dikuasai. Ki Ageng Butuh benar-benar jalma sulaksana, sarjana sujana ing budi. Di kalangan peguron kejawen Ki Ageng Butuh kesuwur sebagai dwija wasis wicaksana waskitha, ngesti sakdurunge winarah.

Bibit kawit asal usul keluarga agung. Sepeninggal Kebo Kenanga wafat, maka Ki Ageng Butuh yang mengasuh Mas Karebet atau Joko Tingkir. Kebo Kenanga adalah putra Adipati Handayaningrat, Bupati Pengging. Sedangkan ibunya Kebo Kenanga yaitu Kanjeng Ratu Pembayun, putri Prabu Brawijaya V raja Majapahit.

Dengan demikian Joko Tingkir masih keturunan raja Majapahit. Trahnya kusuma rembesing madu, wijining atapa, tedhaking andana warih. Sebetulnya Ki Ageng Butuh murid kesayangan Syekh Siti Jenar. Siswa seperguruan yakni Ki Ageng Pengging, Ki  Ki Ageng Bringin, Ki Ageng Wonosobo. 

Guru spiritual Jawa digembleng dengan cara mesu budi. Mereka belajar ilmu sangkan paraning dumadi, kawruh kasampurnan, ilmu sejati, kawruh beja dan manunggaling kawula Gusti.

Ilmu pengetahuan tingkat tinggi amat tersohor di mata kasepuhan Jawa. Untuk mempelajari makrifat sejati kejawen ini diperlukan sarana dan tata cara khusus. Pengajaran ilmu sejati memang harus hati-hati.

Tanda-tanda Joko Tingkir akan menjadi raja besar sudah diketahui oleh Ki Ageng Butuh. Saat Joko Tingkir tidur pulas di tengah malam, tiba-tiba ada ndaru cumlorot. Cahaya bersinar kebiru-biruan itu disebut dengan pulung kekuasaan atau wahyu keprabon. Ki Ageng Butuh rembugan dengan Ki Ageng Banyubiru. 


Joko Tingkir harus dijaga sebaik-baiknya. Dia adalah kader Majapahit yang mumpuni. Semua murid-murid Syekh Siti Jenar bersatu padu, kompak untuk mendidik, merawat, menjaga Joko Tingkir. Atas usul Kanjeng Ratu Kalinyamat yang menjadi Bupati Jepara tahun 1536-1569, Joko Tingkir ditetapkan sebagai raja Pajang tahun 1546. Gelarnya Kanjeng Sultan Hadiwijaya Kamidil Ngalam Panetep Panatagama atau Sultan Hadiwijaya Abdul Hamid Syah Alam Akbar.

Dukungan Joko Tingkir untuk menduduki tahta kerajaan Pajang berasal dari keluarga besar Kasultanan Demak Bintara, Kasultanan Banten dan Kasultanan Cirebon. Tentu saja keluarga besar Kadipaten Pengging menjadi penyokong utama. Dari segi kecakapan, kemampuan, keluhuran, kecerdasan, kebajikan, kelakuan dan ketrampilan, semua lapisan masyarakat pasti mengakui Joko Tingkir memang punjul ing apapak.

Wasiat Syekh Siti Jenar kepada Ki Ageng Butuh, agar wilayah Saragi yang berada di selatan gunung Kendheng, sepanjang aliran bengawan gedhe diberi nama Sragen. Kawasan ini perlu diatur sebaik baiknya.

Untuk menghormati Guru Suci yang telah pulang ke Rahmatullah, Ki Ageng Butuh memberi nasihat kepada raja Pajang, agar segera dibentuk panitia pemekaran kabupaten Sragen. Sebagai murid yang berbakti kepada orang tua, Joko Tingkir atau Sultan Hadiwijaya segera bekerja.

Rapat panitia pembentukan kabupaten Sragen membuat keputusan penting pada hari Selasa Pon, tanggal 27 Mei 1556. Daerah Saragi diubah namanya menjadi Sragen. Saragi artinya satu tempat untuk membuat ragi atau pengubah bentuk menuju kebaikan. Sragen adalah cara, wahana, sarana untuk membuat kebajikan, kebaikan, keutamaan jagad raya. 

Cita-cita itu selaras dengan ajaran Syekh Siti Jenar yang menghendaki prinsip kesamaan dalam berbuat amal. Mumpung padhang rembulan, mumpung jembar kalangane.

Daerah Sragen ditetapkan oleh panitia menjadi wilayah setingkat kabupaten. Untuk itu kabupaten Sragen perlu dipimpin oleh seorang bupati atau adipati. Dari hasil musyawarah dari perwakilan keluarga, peguron, utusan daerah, utusan golongan maka dipilih Raden Mas Tejowulan sebagai Bupati Sragen. Gelarnya adalah Kanjeng Raden Tumenggung Adipati Tejonagoro. Pada tahun 1557 Ki Ageng Butuh surud ing kasidan jati, kondur ing jaman kalanggengan, mapan ing swargaloka. 

Siswa kinasih Syekh Siti Jenar memang hebat. Saat ini beliau satu kompleks makam dengan Kebo Kenongo, Nyi Kebo Kenongo, Pangeran Benowo, Joko Tingkir, Patih Monconagoro, Tumenggung Wilomarto, Tumenggung Wuragil, KP Tejowulan, Pangeran Kadilangu, KPH Sinawang. Makam luhur daerah Pajang itu terletak di desa Butuh Gedongan kecamatan Plupuh Sragen. Berkat kemurahan dan keramahan Sri Susuhunan Paku Buwana X, raja Surakarta Hadiningrat makam leluhur Pajang ini dipugar pada tahun 1930.

Wedharan Syekh Siti Jenar menjadi pandam pandom panduming dumadi. Masyarakat Sragen selalu mikul dhuwur mendhem jero. Pimpinan Sragen pasti sowan ke makam Pilang Payung. Di sana sowan kepada Bupati Wiryodiprojo di Prampalan, Krikilan, Masaran.

Ilmu laku jangka jangkah. Ada lagi makam Sukowati untuk nyekar Bagus Jambu atau Pangeran Adipati Sukowati di Pengkol Kecik Tanon. Ada juga Tumenggung Alap-alap panglima Sinuwun Amangkurat Amral. Tidak ketinggalan makam Pangeran Samudro di Pendhem Sumberlawang. Sebagian nyekar di makam KRT Haryo Bangsal di Gampingan Sambirejo. Untuk di perkotaan juga nyekar di makam Syekh Zakaria Kauman. Orang Sragen juga menghormati Punden Tingkir Sangiran Krikilan Kalijambe Sragen.

Ajaran Ki Ageng Butuh merupakan warisan Syekh Siti Jenar. Sampai saat ini tetap lestari. Manusia hidup harus selalu eling lan waspada. Lewat Kyai Yasadipura Pengging ajaran ini dibesut menjadi kitab Dewaruci. 

Oleh karena itu hendaknya tetap melakukan satataning panembah jati. Dalam pergaulan masyarakat alangkah baiknya sambang sambung srawung tulung tinulung. Dedalane guna lawan sekti, kudu andhap asor, wani ngalah luhur wekasane. Dalam hidup berbangsa dan bernegara setiap warga hendaknya lila lan legawa kanggo mulyane negara

Murid Syekh Siti Jenar mengamalkan ilmu sejati. Contohnya adalah Joko Tingkir yang menjadi raja Kasultanan Pajang. Bergelar Sultan Hadiwijaya. 

B. Ilmu Sangkan Paraning Dumadi. 

Ilmu sangkan paraning dumadi mengajarkan satataning panembah jati. Bermula dari sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, sembah rasa. Itulah rasa jati, Sari rasa jati. 

Perkembangan peradaban kawruh Kejawen Syekh Siti Jenar terjadi pada jaman Kerajaan Demak dan Pajang. Siswa Syekh Siti Jenar setia dengan ajaran sang guru. 

Dalam bidang kenegaraan, siswa Syekh Siti Jenar memberi nasihat yang berguna. Wibawa mereka cukup disegani. Berkat ilmu kesaktian yang tinggi. 

Misalnya Bupati Sragen, Kanjeng Raden Tumenggung Adipati Tejonagoro. Beliau adalah putra sulung Pangeran Lembu Amiluhur. Beliau putra Bupati Pengging, Sri Makurung Handayaningrat. Beliau suami Kanjeng Ratu Pembayun. Jadi dengan Joko Tingkir masih saudara sepupu. Sama-sama keturunan Prabu Brawijaya V. Kedua orang bangsawan ini pernah dididik oleh Ki Ageng Butuh. Pada tahun 1560 Kanjeng Ratu Kalinyamat memberi sumbangan berupa gelondongan kayu jati untuk membangun pendopo Kabupaten Sragen. Juru ukir Jepara diperbantukan selama enam bulan.

Pada tahun 1605 raja Mataram, Sinuwun Prabu Hadi Hanyokrowati memberi bantuan berupa lempengan emas kepada warga Sragen. Kemurahan ini atas anjuran ibunda raja, Kanjeng Ratu Waskitha Jawi. Beliau adalah putri Ki Ageng Penjawi, Bupati Pati. Kanjeng Ratu Waskitha Jawi merasa berhutang budi kepada Ki Ageng Butuh dan masyarakat Sragen. Sewaktu beliau menikah dengan Panembahan Senopati tahun 1578, panitia pahargyan dari orang Sragen. Lagi pula Ki Ageng Butuh merupakan guru spiritual Ki Ageng Penjawi.

Nilai kepahlawanan yang diwariskan Syekh Siti Jenar pasti diturunkan. Maesa Jenar panglima Kerajaan Demak adalah perwira yang tangguh. Rela berkorban bagi nusa bangsa. Hubungan kabupaten Sragen dengan kerajaan Mataram selalu akrab , mesra dan harmonis. 

Warga Sragen yang bernama Tumenggung Alap-alap dipercaya sebagai panglima militer Mataram. Rajanya bernama Sri Susuhunan Amangkurat Amral yang memerintah kraton Mataram Kartasura tahun 1677-1703. Tumenggung Alap-alap satria sejati yang selalu rela berkorban untuk bangsa dan negara. Untuk memperoleh ketajaman batin, Tumenggung Alap-alap selalu cegah dhahar lawan guling. Tumenggung Alap-alap masih keturunan Raden Ayu Pagedongan yang dimakamkan di Butuh Gedongan Plupuh Sragen. Satu kom-pleks dengan Raden Ayu Pagedongan yaitu Raden Hadinagoro, Raden Ayu Kodok Ijo, Demang Brang Wetan.

Pada tahun 1731 Demang Ngurawan diangkat menjadi kepala kejaksaan karaton Mataram Kartasura. Sinuwun Paku Buwono II sungguh raja yang pintar, cerdas, bijaksana. Setiap ada perkara selalu diserahkan kepada ahlinya. Demang Ngurawan berasal dari Gemolong yang berpendidikan. Beliau pernah mengabdi kepada KRT Padmonagoro, Bupati Pekalongan tahun 1726-1741. Kelak Demang Ngurawan menjadi pengajar di peguron Pengging. Muridnya yang handal adalah pujangga Yasadipura. Beliau nanti menjadi Pujangga karaton Surakarta Hadiningrat.

Kejadian perbedaan tafsir keagamaan pada masa Syekh Siti Jenar berulang. Pada jaman Mataram Kartasura kambuh lagi. Raja dan aparat mesti turun tangan. 

Demang Ngurawan yang berasal dari Gemolong ini pada tahun 1732 mendapat tugas untuk mengabdi huru hara akibat silang sengketa yang terjadi pada tokoh agama di Pati, Kudus dan Batang. Syekh Mutamakin dituntut oleh Syekh Kamaruddin dan Abdul Kahar. Syekh Komaruddin Ketib Anom Batang dan Abdul Kohar Ketib Anom Kudus.

Perbedaan atas keyakinan selalu terjadi sepanjang masa. Keduanya menggugat Syekh Mutamakin dari Kajen Pati. Demang Ngurawan harus menjadi hakim yang adil. Persoalan ini tidak gampang. Di luar pengadilan, massa pendukung kedua tokoh ini demonstrasi besar-besaran. Berkat pengalaman, pengetahuan dan kebijaksanaan, Demang Ngurawan dapat memuaskan pihak yang bersengketa. Demang Ngurawan dari Gemolong ini betul-betul amemangun karyenak tyasing sesama.

Perpindahan ibukota Mataram dan karyawan ke Surakarta melibatkan Bagus Jambu atau Pangeran Adipati Sukowati dari Pangkol Kecik Tanon Sragen. Sinuwun Paku Buwono memberi kepercayaan kepada Adipati Sukowati untuk serta mengatur desain istana. Para pimpinan Sragen selalu hormat dengan tokoh masa silam. 

Syekh Siti Jenar termasuk deretan tokoh penting. Adipati Sukowati diberi tugas untuk membawa tukang ukir dari Jepara. Perpindahan kraton tahun 1745 ini memberi kesempatan warga Sragen untuk berkarir dalam bidang pertukangan dan bisnis mebel. Tak lupa dalam bidang dol tinuku hasil bumi. 

Kanjeng Sinuwun Paku Buwono III memiliki penasihat dan guru spiritual dari Kauman Mataram Sragen. Beliau bernama Syekh Zakaria. Atas petunjuk Syekh Zakaria ini raja Surakarta yang memerintah tahun 1749-1788 ini membuat sejarah penting. Bertempat di daerah Sambung Macan, Sinuwun Paku Buwono mengadakan sarasehan sosial budaya bersama intelektual Sragen, Ngawi, Purwodadi dan Cepu. Beragam topik dibicarakan. Hasil diskusi di Sambung Macan ini bermakna bagi sejarah. 

Perkembangan ilmu Kejawen beriringan dengan sejarah kerajaan. Ada dua rekomendasi penting yang ditawarkan, yakni Perjanjian Giyanti dan Perjanjian Salatiga. Rekomendasi ini dibuat pada bulan Desember 1754 di daerah Sambung Macan.

Perjanjian Giyanti resmi ditanda tangani pada tanggal 13 Pebruari 1755. Pangeran Mangkubumi diberi kedudukan sebagai Sultan Yogyakarta. Untuk wilayah Kotagedhe, Imogiri dan Ngawen tetap menjadi binaan karaton Surakarta Hadiningrat. Sedangkan perjanjian Salatiga ditanda tangani pada tanggal 17 Maret 1757. 

Ngelmu makrifat pada masa ini disebut dengan sembah rasa. Pangeran Sambernyawa ditetapkan sebagai Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Mangkunegara I. Sejarah telah mencatat dengan tinta emas. Rekomendasi dari sarasehan Sambung Macan Sragen menghasilkan mutu peradaban yang agung.

Kawruh sejati dimuat dalam sastra piwulang. Maka penyusunan Serat Centhini pada tahun 1810 melibatkan warga Sragen. Kanjeng Sinuwun Paku Buwono V memberi kepercayaan kepada Joko Budug atau KRT Haryo Bangal dari Gampingan Sambirejo Sragen.

Dalam penyusunan Serat Centhini beliau diberi tugas untuk menulis tentang keberadaan Bengawan Solo, Gunung Kendheng, Gunung Pandhan, Gunung Sewu, serta lingkungan sekitar. Ada lima yang dibahas yaitu minyak tanah, pari gogo, gamping kapur semen, kayu jati dan burung perkutut. Ini semua ditulis dalam Serat Centhini.

Sangkan paraning dumadi berisi tentang hakikat hidup. Syekh Siti Jenar memberi makna asal usul kehidupan. Dalam serat Centhini disebutkan mengenai pengajaran ilmu makrifat. 

Pada tanggal 12 Oktober 1840 Sinuwun Paku Buwono VII menerbitkan undang-undang. Namanya Serat Angger-angger Gunung. Peraturan ini mengatur hubungan sosial di Sragen agar tetap harmonis, guyub rukun, gotong royong, kerja sama dan saling menghormati. Pada tanggal 5 Juni 1847 Karaton Surakarta menetapkan Sragen sebagai daerah otonom yang mandiri. Hubungan dengan kraton Surakarta semakin istimewa. Pada tahun 1852 Sinuwun Paku Buwono VII memugar Pasarean Luhur Butuh.

Masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono IX tahun 1861-1893 dibangun stasiun Gemolong. Raja Surakarta Hadiningrat ini juga memugar Punden Tingkir di Sangiran Krikilan Kalijambe Sragen. Paku Buwono IX mendapat julukan Sinuwun Bangun Kedaton. Prestasi gemilang warga Sragen dilanjutkan pada masa Sinuwun Paku Buwono X. Rum kuncaraning bangsa dumunung hing luhuring budaya. Warga Sragen diajak bekerja di perkebunan teh Ampel, perkebunan kopi Kembang dan perkebunan tembakau Tegalgondo. Sebagian warga Sragen diajak mengelola pabrik gula Manisharjo.

Kursus sindhenan tayub diselenggarakan oleh Sinuwun Paku Buwono XI pada tahun 1940. Bertempat di daerah Kedung Banteng. Seni tayub dianggap sebagai sarana untuk menyubur-kan sawah. Suara waranggana tayub dapat mengusir hama dan wabah penyakit. Oleh karena itu seni langen tayub harus diuri-uri, supaya tetap rahayu lestari.

Warga Sragen banyak yang mengabdi kepada karaton Surakarta Hadiningrat. Pada masa Sinuwun Paku Buwono XII warga Sragen terhimpun dalam Paguyuban Kawula Karaton Surakarta Hadiningrat atau PAKASA. Tiap karaton Surakarta menyelenggarakan upacara adat, tentu abdi dalem PAKASA bersedia sowan untuk partisipasi. Ajaran Syekh Siti Jenar berlanjut. 

Upacara Grebeg Syawal, Grebeg Besar dan Grebeg Mulud, malem selikuran, Wilujengan Negari Maesa Lawung dan Labuhan di Parangkusumo. Begitulah pengabdian warga Sragen yang penuh dengan keteladanan dan keutamaan. Paham ini menjadi ajang pelestarian kawruh kasampurnan. 

Guru sejati Syekh Siti Jenar memberi ajaran agama dan budaya. Sudah sepatutnya budaya luhur itu dilanjutkan oleh generasi sekarang. Supaya tidak kepaten obor. Peradaban yang agung dan anggun ini merupakan karunia ganjaran dari Tuhan. Tata lahir amakarti, jroning batin angesthi panembah jati.  

C. Desa Mawa Cara Negara Mawa Tata. 

Kraton Pengging yang didirikan oleh Prabu Kusuma Wicitra merupakan pusat ilmu Kejawen. Sistem pewarisan kawruh kasampurnan berlanjut pada masa kerajaan Demak yang berdiri tahun 1478.

Ilmu kasampurnan semakin berkembang pada jaman Kraton Pajang yang berdiri tahun 1546. Para guru spiritual Jawa mendapat tempat yang terhormat. Berpengaruh pula pada bidang tata praja. 

Pemimpin pemerintahan selalu ingat ajaran desa mawa cara, negara mawa tata. Para Bupati Sragen  memimpin peradaban agung. Piwulang luhur berguna untuk melakukan pengabdian. 

1. Kanjeng Raden Tumenggung Tejonegoro I 1556-1580

Dilantik oleh Kanjeng Sultan Hadiwijaya, raja Pajang.

2. Kanjeng Raden Tumenggung Tejonegoro II 1580-1607

Dilantik oleh Kanjeng Sultan Hadiwijaya, raja Pajang.

3. Kanjeng Raden Tumenggung Tejonegoro III 1607-1634

Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Prabu Hadi Hanyakrawati, raja Mataram.

4. Kanjeng Raden Tumenggung Tejonegoro IV 1634-1650

Dilantik pada masa pemerintahan Sri Susuhunan Amang-kurat Agung, raja Mataram.

5. Kanjeng Raden Tumenggung Purwo Hadinagoro I 1650-1678. Dilantik pada masa pemerintahan Sri Susuhunan Amangkurat Agung, raja Mataram.

6. Kanjeng Raden Tumenggung Purwo Hadinagoro II 1678-1710. Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Amang-kurat Amral, raja Mataram.

7. Kanjeng Raden Tumenggung Purwo Hadinagoro III 1710-1734. Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono I, raja Mataram Kartasura.

8. Kanjeng Raden Tumenggung Sukowati I 1734-1753. Dilan-tik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono II, raja Mataram Kartasura.

9. Kanjeng Raden Tumenggung Sukowati II 1753-1789

Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono III, raja Surakarta Hadiningrat.

10. Kanjeng Raden Tumenggung Sukowati III 1789-1812. Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono IV, raja Surakarta Hadiningrat. 

11. Kanjeng Raden Tumenggung Sukowati IV 1812-1847

Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono IV, raja Surakarta Hadiningrat.

12. Kanjeng Raden Tumenggung Sukowati V 1847-1861

Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono VII, raja Surakarta Hadiningrat.

13. Kanjeng Raden Tumenggung Sastropuro 1861-1871

Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono IX, raja Surakarta Hadiningrat.

14. Kanjeng Raden Tumenggung Wiryoprojo 1871-1903

Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono IX, raja Surakarta Hadiningrat.

15. Kanjeng Raden Tumenggung Panji Sumonagoro 1903-1933

Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono X, raja Surakarta Hadiningrat.

16. KRMAA Yudonagoro 1933-1939. Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono X, raja Surakarta Hadiningrat.

17. KRMT Mr Wongsonagoro 1939-1944. Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono X, raja Surakarta Hadiningrat.

18. KRMT Darmonagoro 1944-1946. Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono XI, raja Surakarta Hadiningrat.

19. KRMT Mangunnagoro 1946-1950. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.

20. R Suprapto Wiryosaputro 1950-1959

Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.

21. M. Mustajab 1959-1967

Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.

22. Suwarno Djojowardono 1967-1973

Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno. 

23. Srinadi 1973-1974

Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.

24. Sayid Abbas 1974-1980

Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.

25. Suryanto PA 1980-1990

Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.

26. HR Bawono 1990-2001

Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.

27. H Untung Wiyono 2001-2011

Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Megawati.

28. Agus Fatchurrahman SH 2011-2016. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

29. Dr Kusnidar Untung Yuni Sukowati 2016-2021

Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Semua rakyat Kabupaten Sragen berdarma bakti. 

 Umumnya cara hidup rakyat dan pemimpin  Sragen mengacu pada ajaran yang diwariskan oleh para leluhur. Sluman slumun slamet. Keselamatan, kemakmuran, ketentraman lahir batin diusahakan dengan sepenuh hati. 

D. Sanggar Pamelengan Syekh Siti Jenar. 

Pengajaran ilmu kasampurnan yang dilakukan oleh Syekh Siti Jenar berada di kaki pegunungan Kendheng. Berpusat di daerah Jenar Sragen. 

Dari daerah Jenar dibuat pula peguron di Sukodono, Tangen,  Mondokan, Gesi, Pojok, Sumber lawang, Krakal, Gondang, Tanggul angin, Ngampal, Sambung Macan. Di sinilah diajarkan ilmu kanuragan jaya kawijayan. 


1. Megatruh Sigra Milir

Sigra milir sang gethek sinangga bajul, kawan dasa kang njageni, ing ngarsa miwah ing pungkur, tanapi ing kanan kering, sang gethek lampahnya alon.


Wus binucal welah lawan satangipun, 

ki Wila lan ki Wuragil, 

eca pra samya pitekur, angadhep gusti sang pekik, 

bakda ngisa prapteng Betog.


Lampahnya lon serep rare prapteng Butuh, rahaden ika tan pangling, 

lamun laladaning Butuh, arsa kendel raden pekik, 

amangsit bajul kang gendhong.


Ingkang gethek ginetog-getog ping telu, ingkang bajul mirsa wangsit, 

ingkarsane raden bagus, anulya binekta minggir, 

cinacang kang gethek alon.


Mring ki Wila lawan ki Wuragil sampun, 

cinancang witing kuweni, akukuh cinancang eduk, 

karipan samya aguling, sadaya samya kuwayon.


Joko Tingkir berjalan menuju Demak Bintoro, dengan naik prahu gethek. Sejumlah empat puluh ekor buaya menjaga di sebelah kiri dan kanan. Selama hidup Joko Tingkir berguru kepada Ki Ageng Sela, Ki Ageng Banyubiru, Ki Ageng Butuh, Ki Ageng Pringapus, Ki Ageng Pengging dan Ki Ageng Tingkir. Inspirasi bagi pekerja sosial. Mereka adalah guru-guru utama di Tanah Jawa yang terkenal sakti mandraguna.


2. Dhandhanggula Joko Tingkir


Pagagane sawetane kali, Nusul marang rencange wakira,

Kakalih juru gagane,

Sadina datan mantuk, Santri kalih mulih abukti,

Mulih sawise ngasar,

Nengna kang winuwus, Jeng Sinuwun Kalijaga,

Sangking kidul malampah atekem ecis, Sangking ing pamancingan.


Nguwuh-uwuh sajawining gagi,

Heh ta jebeng denira agaga, Nuli marenana age,

Pan sira bakal ratu,

Ingkang mengku ing tanah Jawi,

Angur nuli suwita,

Mring Demak ta kulup,Ing kono dadi jalaran,Yata lajeng wau jeng Sinuhun Kali, Ngaler leres lampahnya.


3. Dhandhanggula Pepali Ki Ageng Sela


Pepaliku ajinen mbrekati, tur Selamet sarta kuwarasan, pepali iku mangkene: 

aja agawe angkuh, 

aja ladak lan aja jail, 

aja ati serakah, 

lan aja celimut, 

lan aja mburu aleman, aja lada wong ladak pan gelis mati, lan aja ati ngiwa.


Padha sira titirua kaki, jalma patrap iku kasihana, iku arahen sawabe, ambrekati wong iku, nora kena sira wadani, tiniru iku kena, pambegane alus, yen angucap ngarah-arah, 

yen alungguh nora pegat ngati-ati, 

nora gelem gumampang.


Sapa sapa wong kang gawe becik, 

nora wurung mbenjang manggih arja, tekeng saturun-turune, 

yen sira dadi agung, 

amarintah marang wong cilik, aja sedaya-daya, 

mundhak ora tulus, 

nggonmu dadi pangauban, aja nacah, marentaha kang patitis, 

nganggoa tepa-tepa.


Padha sira ngestokena kaki, 

tutur ingsun kang nedya utama, 

angarjani sarirane, 

way nganti seling surup 

yen tumpang suh iku niwasi, hanggung atelanjukan, 

temah sasar susur, 

tengraning jalma utama, bisa nimbang kang ala lawan kang becik, rasa rasaning kembang. 


Kawruhana pambengkasing kardi, pakuning rat lelananging jagad, 

pambengkasing jagad kabeh, amung budi rahayu, 

setya tuhu marang Hyang Widi, 

warastra pira pira, 

kang hanggung ginunggung 

kasor dening tyas raharja, harjaning rat punika pakuning bumi, kabeh kapiyarsakna.


Ki Ageng Selo menganjurkan seseorang untuk menjun-jung tinggi tradisi leluhur yang telah diwariskan secara turun temurun. Sejarah harus berjalan. Jangan sampai masa silam dilupakan. Nama Ki Ageng Selo sangat populer di kalanan petani Jawa. Ki Ageng Selo dikenal sakti mandraguna. Ki Ageng Selo dapat menangkap petir. 


4. Dhandhanggula Syekh Siti Jenar


Sadat salat puwasa kawuri. Apa dene jakat lawan pitrah. 

Ujar piwulang kabeh. 

Yogya kena ginugu. 

Kudu nyingkur durjaning budi. 

Ngapusi kehing titah. 

Sinung swarga besuke. Wong bodo kanut sarjana. 

Tur nyatane pada bae nora uninga. 

Beda Syekh Lemah Abang .


Ki Ageng Butuh lenggah miyarsi.

Syekh Siti Jenar paring wejangan. 

Marang sagung siswa Sragen. 

Yen wus ngapal lakumu. Jatine tanpa pinanggih. Neng dunya bae padha. 

susah amemikul

Lara sangsaya tan beda. Sinebut manunggaling kawula Gusti. 

Pangeran roning kamal.

Kesadaran untuk bersikap saling menghormati sejak dulu tumbuh dalam diri warga Sragen. Ajaran Syekh Siti Jenar perlu dipahami dengan hati-hati. Tidak boleh salah tafsir, agar tidak membuat gaduh. Dipahami dengan hati-hati. 

Pengalaman historis yang panjang, membuat pengikut Syekh Siti Jenar semakin hati hati. Duga duga digawa, ati ati aja nganti keri. Masyarakat Kabupaten Sragen yang menjadi murid Syekh Siti Jenar mujudake urip bebrayan kang guyub rukun saiyeg saeka kepti. Sembah kalbu yen lumintu dadi laku. Manggih hayu ayem tentrem kang tinemu.

Murid murid Syekh Siti Jenar menyebarkan ajaran di pelosok Tanah Jawa. Dari daerah Jenar Sragen, mereka mengajatkan pahan manunggaling kawula gusti.

Oleh Dr Purwadi, M.Hum. Ketua Lembaga Olah Kajian Nusantara – LOKANTARA, hp. 087864404347

Tidak ada komentar:

Posting Komentar