Rawa Pening merupakan perairan yang dianggap penting dan keramat. Arti Rawa Pening bagi masyarakat Jawa digunakan sebagai sarana lelaku. Tapa kungkum di Rawa Pening diyakini akan mendapat daya linuwih, siram jamas di Rawa Pening membuat segala sukerta nirmala akan menyingkir jauh. Orang akan mendapatkan keselamatan dan ketentraman.
Rawa Pening
Banyune bening banyu Rawa Pening, Simbah tau ndongeng aku isih eling
Ana wiku ing gunung Merbabu, Tan kanyana ketekan taksaka
Sang wiku ngungun ula dikon lunga
Tapa ing gunung Merbabu pethit sirah nganti temu
Bacute crita aku rada lali, Dha nyuwuna priksa bapak lan bu guru
Mengko mesthi bakal didongengi, Rawa Pening crita ndudut ati
Jaman saiki wis arang keprungu, Sadurunge mapan turu didongengi bapak ibu
Rawa Pening untuk wisata dan pengairan. Tiap hari orang datang untuk menikmati keindahan alam. Anak-anak naik perahu di Rawa Pening. Mereka tampak bahagia. Hiburan yang murah meriah. Hampir semua raja Jawa pernah melakukan tapa kungkum di Rawa Pening. Demi mendapatkan kawibawan, kawidadan, kamulyan, kabagyan lan karaharjan.
Raden Patah dinobatkan menjadi Raja Kasultanan Demak Bintoro pada tahun 1478. Upacara penobatan dilakukan dengan prosesi ritual adat. Yaitu dengan tapa kungkum di perairan Rawa Pening. Para penerus Raden Patah juga menjalankan lelaku di Rawa Pening. Misalnya Adipati Unus, Sultan Trenggana, dan Sunan Prawata.
Rawa Pening juga digunakan sebagai sarana tapa kungkum oleh Joko Tingkir pada tahun 1546. Setelah ritual tapa kungkum di Rawa Pening Joko Tingkir atau Mas Karebet dinobatkan sebagai raja Kasultanan Pajang. Dengan bergelar Kanjeng Sultan Hadiwijaya Kamidil Shah Alam Akbar Panetep Panatagama. Tata cara yang dilakukan oleh Joko Tingkir ini didampingi oleh Ki Ageng Banyubiru.
Tata cara di Rawa Pening juga dilakukan oleh Ngabehi Loring Pasar atau Danang Sutawijaya pada tahun 1582. Saat dinobatkan sebagai raja Mataram, beliau terlebih dahulu melakukan tapa kungkum di Rawa Pening. Dengan didampingi oleh Ki Juru Mertani. Raja Mataram ini bergelar Panembahan Senapati yang memerintah tahun 1582 – 1601.
Gusti Raden Mas Suryadi pada tahun 1749 melakukan tapa kungkum di Rawa Pening. Putra mahkota raja Surakarta ini hendak dinobatkan sebagai Sinuwun Paku Buwana III. Tapa kungkum di Rawa Pening disertai oleh Tumenggung Honggowongso dari Kebumen. Jauh sebelum jadi raja Surakarta GRM Suryadi sudah akrab dengan lingkungan Rawa Pening.
Perjanjian Salatiga ditandatangani pada tanggal 17 Maret 1757. Pangeran Sambernyawa atau Raden Mas Said secara resmi dilantik menjadi Kanjeng Gusti angeran Adipati Arya Mangkunegoro I. Beliau melakukan tapa kungkum di Rawa Pening tiap pertengahan bulan Sura.
Berdirinya Puro Pakualaman atas dasar perjanjian Tuntang. Yang ditanda tangani pada tanggal 17 Maret 1813. Pangeran Notokusumo ditetapkan sebagai Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Paku Alam I. Beliau juga melakukan tapa kungkum di perairan Rawa Pening. Malah sebelum upacara penobatan, tapa kungkum ini disertai pula oleh Gubernur Jendral Raffles. Oleh karena tokoh kenaam dari inggris ini sedang menysun buu yang berjudul History of Java.
Dalam catatannya Raffles mencatat historiografi sejarah Semarang. Juga dicatat beragam peninggalan benda-benda purbakala. Seperti candi, petilasan, dan makam tokoh terkenal. Letak geografis yang meliputi gunung, sawah dan sungai dibahas secara jelas, lugas dan tuntas.
Beriringan dengan tapa kungkum di Rawa Pening, lelaku lainnya yaitu menjalankan tapa brata di gunung Telamaya dan gunung Merbabu. Di antra kaki Gunung Merbabu dan kaki Gunung Merapi yang berdiri berjajar, ada gunung kecil yang disebut dukuh Candhi.
Jalannya menanjak hingga tiba di puncak. Disitu mereka melihat kuburan tanpa cungkup, hanya diteduhi pohon cempaka. Kuning putih bunganya bertaburan semerbak harum mewangi. Kuburan itu bercahaya menyinari alam sekitar. Menurut cerita orang-orang tua, itu makam raja Majapahit, Sang Prabu Brawijaya III.
Di sebelah utara, terlihat air Rawa Pening luas, di tengah telaga terlihat pulau mengapung menurut tiupan angin, ke timur, barat, ke tengah ke utara serta ke selatan. Tidak ada tumbuh pohon kayu yang besar. Yang terlihat hanyalah rumput katang yang berwarna hijau menarik hati.
Jaka Tingkir pernah bertapa di Gunung Telamaya, bermimpi kejatuhan bulan, bersamaan dengan bergetarnya gunung, bergemuruh suaranya sehingga kaget. Mimpi itu sangat baik, itulah raja mimpi. Ki Ageng Sela menyuruhnya untuk mengabdi pada Kanjeng Sultan Demak, disitulah tabir mimpi akan terkuak. Ki Ageng Sela meminta agar keturunannya besok diperbolehkan meneruskan wahyu.
Jaka Tingkir kemudian pergi ke Demak. Saat itu yang memerintah negara Demak adalah Putra Raden Trenggana, bernama Kanjeng Kanjeng Sultan Jimbun Pameksa. Jaka Tingkir telah lama mengabdi disana, dikasihi oleh raja serta diserahi tugas sebagai lurah tamtama. Jaka Tingkir diambil sebagi anak oleh raja serta diperbolehkan masuk istana.
Raja berkehendak menambah perwira tamtama, tapi harus melalui pendadaran dengan menempeleng kepala kerbau hingga remuk. Ada seorang dari Kedu Pingit, bernama Dadungawuk. Wajahnya kaku, jelek dan dia sering menyombongkan kesaktiannya. Dia hendak mengabdi ke Demak sebagai tamtama. Dia sudah melapor kepada lurah Tamtama. Dadungawuk ditanya, apakah dia sanggup dicoba untuk ditusuk.
Dia menyanggupinya. Jaka Tingkir mendekatinya serta menusukkan sadak di dada Dadungawuk dada pecah dan mati. Perwira tamtama yang ada di depan diperintahkan menusuknya dengan keris. Mayat Dadungawuk luka berat disekujur tubuhnya. Hal itu didengar oleh raja. Beliau marah sekali. Jaka Tingkir diusir dari negara Demak. Jaka Tingkir sangat kecewa mengingat kelakuaNnya sendiri. Di Gunung Kendeng, Jaka Tingkir bertemu dengan Ki Ageng Butuh.
B. Rawa Pening untuk Membasuh Sukerta Nirmala
Lelaku tapa kungkum di Rawa Pening sudah dijalankan oleh para leluhur Jawa. Misalnya saja tokoh yang bernama Ki Ageng Pandanaran. Sejarah Kabupaten Semarang memiliki posisi strategis dalam kancah peradaban Jawa.
Pendiri Semarang bernama Ki Ageng Pandanaran merupakan keturunan Kasultanan Demak yang berkepribadian paripurna. Di kalangan Kejawen beliau juga dikenal dengan gelar Sunan Tembayat. Ki Ageng Pandanaran tampil sebagai pemimpin yang waskitha ngerti sakdurunge winarah.
Tokoh penting dari Semarang yaitu Kanjeng Ratu Wetan, cucu Pangeran Benowo Pajang. Beliau menjadi garwa prameswari Sinuwun Amangkurat Tegalarum, yang menurunkan Gusti Raden Mas Drajad. Kelak bergelar Sinuwun Paku Buwana I, raja Mataram yang beribukota di Kartasura. Garis keturunan Semarang ini melahirkan raja Jawa, trah kusuma rembesing madu. Darah Semarang menurunkan raja raja Jawa.
Kedudukan Kabupaten Semarang yang menjadi sentral historis, politis, sosiologis dan ekonomis cukup diperhitungkan dalam kancah diplomasi kenegaraan di Asia Tenggara. Generasi muda perlu mengetahui seluk beluk sejarah lokal, demi menatap masa depan yang lebih gemilang.
Bakat kepemimpinan para pendiri Kabupaten Semarang hendaknya ditelusuri perjalanan sejarahnya. Sunan Pandanaran adalah putra Pati Unus. Jadi Pandhanaran masih cucu Raden Patah, raja Demak Bintara. Beliau mendirikan Kabupaten Semarang pada tanggal 12 Rabiul Awal 927 H atau 15 Maret 1521. Nama kecil Pandhanaran yaitu Made Pandan. Karena besar jasanya dalam menyiarkan agama, lantas orang memberi sebutan Sunan Pandhanaran.
Kepribadian Ki Ageng Pandanaran dalam mengelola Kabupaten Semarang dipengaruhi oleh faktor historis, sosiologis, filosofis dan theologis. Faktor historis terkait dengan leluhur Ki Ageng Pandanaran yang masih keturunan Kraton Demak dan Majapahit. Watak kenegarawanan dibentuk oleh tradisi yang selalu labuh labet marang praja.
Faktor sosiologis Ki Ageng Pandanaran terkait dengan letak Semarang yang kosmopolis. Sepanjang pantai utara tanah Jawa menjadi tempat pelabuhan pelayaran dan perdagangan. Tentu saja Semarang menjadi kawasan yang memiliki nilai jual secara ekonomis. Contoh yang nyata adalah industri mebel yang terkenal di Jepara. Kerajinan kayu jati memunculkan orang kaya seperti Sunan Hadirin. Bersama dengan Kanjeng Ratu Kalinyamat, Sunan Hadirin berhasil membangun kerajaan bisnis. Beliau tampil sebagai donatur kraton Demak dan kraton Pajang.
Pemikiran filosofis Ki Ageng Pandanaran banyak dipengaruhi oleh ajaran Hindu, Budha dan Islam yang amat selaras. Praktek theologis dengan pendekatan akulturasi budaya membuat Ki Ageng Pandanaran menjadi penyebar agama Islam diterima oleh semua kalangan. Maklum Ki Ageng Pandanaran merupakan murid kesayangan Kanjeng Sunan Kalijaga.
Tampil sebagai ulama dan umara setelah berguru kepada Sunan Kalijaga. Sebelumnya Adipati Pandanaran diberi ujian berupa kekayaan emas. Ternyata Adipati Pandanaran lulus ujian.
Sunan Kalijaga menyuruh pergi ke Gunung Jabalkat. Letaknya sebelah selatan kota Klaten, yaitu daerah Bayat. Ditengah jalan Sunan Pandanaran bertemu dengan begal yang mencoba merampas harta benda istrinya. Begal yang merampok itu bernama Sambang Dalan. Dikutuk berubah menjadi seekor domba. Ketika perampok itu menjadi murid Ki Ageng Pandanaran namanya adalah Syekh Domba.
Selama tinggal di Gunung Jabalkat, Ki Ageng Pandanaran menjadi pelopor hidup gotong royong atau tembayatan. Maka daerah Ki Ageng Pandanaran disebut Tembayat. Berkat jasanya ini maka masyarakat selalu meneladani. Setelah wafat dimakamkan di bukit Cakra Kembang Desa Paseban kecamatan Bayat Klaten Jawa Tengah. Pusaka warisan Ki Ageng Pandanaran tiap Sura dijamas yaitu Tombak Ki Ageng Bayu dan Tombak Trisula.
C. Rawa Pening Sebagai Penyeimbang Alam
Lingkungan Rawa Pening terdiri dari perairan yang berlimpah ruah. Cocok digunakan sebagai sarana irigasi. Tanaman tumbuh subur, warga masyarakat hidpnya bertambah makmur. Para Bupati Semarang memelihara lingkungan dengan cermat, hemat dan bersahaja.
1. Ki Ageng Pandhanaran atau Pangeran Mangkubumi I 1521 – 1553. Dilantik pada masa pemerintahan Kanjeng Sultan Trenggana Raja Demak.
2. Pangeran Ketib 1553 – 1586. Dilantik pada masa pemerintahan Kanjeng Sultan Hadiwijaya Raja Pajang.
3. Pangeran Menggala 1586 – 1589. Dilantik pada masa pemerintahan Kanjeng Panembahan Senopati Raja Mataram Kota Gedhe.
4. Pangeran Nayamerta 1589 – 1605. Dilantik pada masa pemerintahan Kanjeng Panembahan Senopati Raja Mataram Kota Gedhe.
5. Pangeran Arya Wangsa 1605 – 1620. Dilantik pada masa pemerintahan Kanjeng Prabu Hadi Anyakrawati Raja Mataram Kota Gedhe.
6. Pangeran Khalifah 1620 – 1648. Dilantik pada masa pemerintahan Kanjeng Sultan Agung Raja Mataram Pleret.
7. Tumenggung Tambi 1648 - 1659. Dilantik pada masa pemerintahan Kanjeng Sinuwun Amangkurat Agung Raja Mataram Pleret.
8. Tumenggung Yudonegoro 1659 – 1679. Dilantik pada masa pemerintahan Kanjeng Sinuwun Amangkurat Agung Raja Mataram Pleret.
9. Tumenggung Mertoyudo 1679 – 1709. Dilantik pada masa pemerintahan Kanjeng Sinuwun Amangkurat Amral Raja Mataram Kartasura.
10. Tumenggung Astroyudo 1709 – 1723. Dilantik pada masa pemerintahan Kanjeng Sinuwun Paku Buwana I Raja Mataram Kartasura.
11. Tumenggung Surohadimenggolo I 1723 – 1734. Dilantik pada masa pemerintahan Kanjeng Sinuwun Amangkurat Jawi Raja Mataram Kartasura.
12. Tumenggung Surohadimenggolo II 1734 – 1742. Dilantik pada masa pemerintahan Kanjeng Sinuwun Paku Buwana II Raja Mataram Kartasura.
13. Tumenggung Surohadimenggolo III 1742 – 1751. Dilantik pada masa pemerintahan Kanjeng Sinuwun Paku Buwana II Raja Mataram Surakarta.
14. Tumenggung Surohadimenggolo IV 1751 – 1779. Dilantik pada masa pemerintahan Kanjeng Sinuwun Paku Buwana III Raja Mataram Surakarta.
15. Tumenggung Surohadimenggolo V 1779 – 1803. Dilantik pada masa pemerintahan Kanjeng Sinuwun Paku Buwana IV Raja Mataram Surakarta.
16. Tumenggung Surohadimenggolo VI 1803 – 1822. Dilantik pada masa pemerintahan Kanjeng Sinuwun Paku Buwana IV Raja Mataram Surakarta.
17. Tumenggung Surahadiningrat 1822 – 1836. Dilantik pada masa pemerintahan Kanjeng Sinuwun Paku Buwana V Raja Mataram Surakarta.
18. Tumenggung Reksonegoro 1836 – 1849. Dilantik pada masa pemerintahan Kanjeng Sinuwun Paku Buwana VII Raja Mataram Surakarta.
19. Tumenggung Suryakusumo 1849 – 1869. Dilantik pada masa pemerintahan Kanjeng Sinuwun Paku Buwana VII Raja Mataram Surakarta.
20. Tumenggung Reksodirjo 1869 – 1883. Dilantik pada masa pemerintahan Kanjeng Sinuwun Paku Buwana IX Raja Mataram Surakarta.
21. Tumenggung Purbaningrat 1883 – 1912. Dilantik pada masa pemerintahan Kanjeng Sinuwun Paku Buwana IX Raja Mataram Surakarta.
22. Tumenggung Tjokrodipuro 1912 – 1927. Dilantik pada masa pemerintahan Kanjeng Sinuwun Paku Buwana X Raja Mataram Surakarta.
23. Tumenggung Subijono 1927 – 1940. Dilantik pada masa pemerintahan Kanjeng Sinuwun Paku Buwana X Raja Mataram Surakarta.
24. R.M. Amin Sujitno 1940 – 1943. Dilantik pada masa pemerintahan Kanjeng Sinuwun Paku Buwana XI Raja Mataram Surakarta. Keadaan menjadi tegang pada masa pemerintahan pendudukan Jepang.
25. R.M.A.A. Soekarman Mertohadinegoro 1943 – 1945. Dilantik pada masa pemerintahan Kanjeng Sinuwun Paku Buwana XI Raja Mataram Surakarta.
26. R. Soedijono Taroena Koesoemo 1945 – 1946. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno. Awal kemerdekaan masih banyak hal yang perlu dibenahi.
27. M. Soemardjito Prijohadisoebroto 1946 – 1949. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.
28. R.M. Condronegoro 1949. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno. Pemerintahan disibukkan oleh perang kemerdekaan.
29. M. Soemardjito Prijohadisoebroto 1949 – 1952. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno. Pasca perang kemerdekaan, kehidupan normal kembali.
30. R. Oetoyo Kusumo 1952 – 1956. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno. Pemimpin dan rakyat saling membantu.
31. Drs. Iswarto 1969 – 1979. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto. Pembangunan segala bidang sangat gencar dilakukan.
32. Ir. Soesmono Martosiswojo 1979 – 1985. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto. Suasana yang kondusif memperlancar proses pembangunan.
33. Drs. Sardjono 1985 – 1987. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto. Pertanian, perkebunan dan peternakan berkembang pesat.
34. Drs. Hartomo 1987 – 1992. Dilantik pada masa pemerintah-an Presiden Soeharto. Kesejahteraan rakyat menjadi program utama.
35. Drs. Sudijatno 1992 – 1999. Dilantik pada masa pemerintah-an Presiden Soeharto. Kepemimpinan periode ini mengalami masa transisi reformasi.
36. H. Bambang Guritno, S.E., M.M. 1999 – 2006. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Didampingi Wakil Bupati Ir HM Tamzil (2000 - 2003) dan Wakil Bupati Hj. Siti Ambar Fathonah (2005 - 2006). Kekompakan ditunjukkan dengan kerja keras.
37. Hj. Siti Ambar Fathonah, S.PdI 2006 – 2010. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pimpinan daerah senantiasa membawa kesejukan dan kedamaian.
38. Dr. H. Mundjirin ES, Sp.OG 2010 – 2015. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Didampingi Wakil Bupati Ir. Warnadi, MM. Pimpinan pada periode ini selalu berpihak pada rakyat agar sejahtera lahir batin.
39. Dr. H. Mundjirin ES, Sp.OG 2015 – 2020. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Didampingi Wakil Bupati Ngesti Nugraha, SH. Kepemimpinan periode ini cukup banyak bermanfaat bagi rakyat.
40. Ngesti Nugraha, SH terpilih sebagai bupati Semarang untuk periode 2021 – 2024. Didampingi Wakil Bupati M. Basari.
Daftar bupati Semarang sebelum tahun 1945 tertulis secara jelas dalam kitab Jawa Kuna yang tersimpan dalam perpustakaan Reksa Pustaka Kraton Surakarta Hadiningrat. Buku-buku literatur kuna tersebut tertulis dalam bahasa Jawa Kawi. Literatur warisan nenek moyang tersebut perlu dibaca, dikaji dan dihayati demi pengembangan ilmu pengetahuan. Kabupaten Semarang menjadi pusat pengkajian kawruh kasampurnan.
Simpang Lima
Simpang Lima Riya lapangan Pancasila
Semarang ngumandhang pranyata serbaguna
Swasana rame rakyat gedhe atine
Ing Jawa Tengah kabeh padha ambangun
Jroning kutha tekan desa ngadesa, saben dina minulya
Simpang Lima piguna upacara keperluan umum
Simpang Lima Riya ing kutha Semarang
Keindahan kota Semarang dibuat deskripsi oleh Ki Narto Sabdo dengan begitu indah dan memikat. Unsur seni dan sosial berpadu dengan cukup selaras. Kawasan simpang lima menjadi topik sentral. Banyak tokoh yang turut serta menjaga keindahan kota Semarang.
Goyang Semarang
Klintong-klintong numpak andhong
Ngebel klingkong-klingkong
Grayah-grayah sake kothong kanthong bolong-bolong
Akhike ngadhang adhendhang goyang Semarang
Iringane bonang kendhang rebab gambang
Ilang samar atiku ora sumelang
Ora cemplang ngumandhang goyang Semarang
Lagu populer di Semarang ini menggambarkan suasana perkotaan dengan sentuhan andhong tradisional. Ternyata kehidupan modern dapat beriringan dengan situasi yang berbau klasik. Dengan demikian modernitas tetap hidup berdampingan dengan tradisi. Ki Narto Sabdo telah melambungkan nama Semarang. Banyak tokoh yang aktif, memajukan wilayah Semarang.
Rawa Pening melancarkan jalannya kehidupan. Dalam laku batiniah Rawa Pening digunakan untuk tapa kungkum. Dalam laku lahiriah Rawa Pening digunakan sebagai sarana pengairan untuk memperlancar pertanian. Oleh karena itu Rawa Pening telah membawa kemakmuran.
Oleh Dr Purwadi M.Hum. Ketua Lembaga Olah Kajian Nusantara – LOKANTARA, hp. 087864404347
Tidak ada komentar:
Posting Komentar