Tokoh historis Jawa yang legendaris yaitu Ki Ageng Tarub. Masa mudanya bernama Abdurrahman. Memberi pelajaran agama dengan sentuhan budaya.
Adat istiadat manten Jawa senantiasa memakai gagrag Ki Ageng Tarub. Mulai dari pasang blek ketepe, tuwuhan dan rerenggan. Ada unsur estetis, filosofis dan simbolis. Kekayaan tradisi Jawa yang layak untuk dilestarikan.
Malem midodareni diselenggarakan untuk menyambut datangnya Dewi Nawangwulan. Pernikahan Dewi Nawangsih dengan Raden Bondan Kejawan putra Prabu Brawijaya dilengkapi dengan pentas tari gambyong. Raja Majapahit begitu bahagia. Kebahagian raja Majapahit mrebawani buat sekalian petani.
Pentas tari gambyong yang dilanjutkan dengan tayuban amat cocok. Petani merasa terhormat. Hawa tanaman pun pergi dengan sendirinya. Kegiatan budaya ini berkaitan dengan usaha bercocok tanam.
Apalagi saat panen berlimpah, petani mengucapkan suka sukur pada Dewi Sri. Perlindungan Dewi Sri amat penting. Keberhasilan menanam padi terbantu, karena Dewi Sri berkenan hadir. Kehadiran pelindung padi ini selalu diharap oleh petani desa.
Ama kabur tandur subur,
loh jinawi,
Kok ewuh aku,
Kok ewuh aku,
Kok ewuh aku,
Nginteri jo ngono,
We la berase kecer,
Mbok sing ati ati,
Sinau gemi,
Mbokya ngelingana,
Nyeblokake winih,
Cancut tali wanda,
Hama padha lunga.
Begitu tembang waranggana tayub mengalun merdu saat bersih desa dan upacara nyadran. Dilanjutkan dengan lagu jago kluruk, kembang blimbing, kembang kopi, kembang jagung. Semua memberi semangat agraris.
Berdirinya kerajaan Pajang pada tanggal 24 Juli 1546, tari gambyong tayub makin semarak. Joko Tingkir atau Sultan Hadiwijaya membangun peradangan agraris di Pengging. Pertanian tambah berjaya.
B. Dewi Kesuburan
Petani percaya bahwa Dewi Sri melindungi tanaman. Pentas tari gambyong dianggap sebagai penghormatan. Tiap ada pentas gambyong, Dewi Sri turun dari Kayangan.Tari gambyong mengawali seni langen tayub. Pagelaran seni tayub merupakan sarana untuk menjaga kesuburan tanah. Pada hari Jumat Pahing, 30 Juni 2023 warga Sidokare Rejoso Nganjuk ngadani bersih desa. Tradisi luhur berlangsung nak tumanak, rah tumerah, turun tumurun. Kepercayaan itu berlangsung hingga sekarang.
Nguri uri warisan leluhur Jawa. Seni edi peni, budaya adi luhung. Menurut Pak Lurah Imam Mashuri pentas tayub Sidokare menampilkan enam waranggana. Selaku pengiring yakni paguyuban karawitan Andhi Laras. Seperangkat gamelan terdiri dari laras pelog dan laras slendro. Tampak wiyaga sepuh Ki Dami yang sudah berpengalaman dalam olah seni karawitan. Musik Jawa memberi ketentraman.
Alunan musik Jawa memberi suasana ayem tentram. Gendhing yang berkumandang pertama kali yaitu Ketawang Ibu Pertiwi. Pak Lurah Imam Mashuri meyakini bahwa bumi harus direksa biar rahayu lestari. Tanah subur, maka petani menjadi makmur. Murah sandang pangan dan papan.
Ajur ajer terhadap perubahan jaman. Kehadiran priyayi dengan ragam profesi menambah gumyak sigrak. Suasana begitu indah megah meriah. Pak Wasito ahli tembang pun hadir. Lama menjadi guru di Tritik dan Banyurip, Pak Wasito sempat pula bertugas sebagai pranata adicara yang mumpuni. Pernah sebagai asisten dalang Ki Samijan Kondho Prasojo. Maka suatu kali juga main sebagai dalang wayang. Pentas tayub kali ini dhapuk sebagai olah vokal gerong. Suaranya kung merdu. Perlu latihan khusus.
Lagu khas Kabupaten Nganjuk. Songo Kidul melanjutkan alunan gendhing Ibu Pertiwi.
Babahan hawa sanga lambang derajat kadewatan. Gendhing Songo Kidul diharapkan selalu menyertai drajat pangkat semat. Pak Lurah dan masyarakat Sidokare mendapat anugerah berlipat ganda. Berwujud guna kaya purun, wirya arta winasis, kedudukan kekayaan kepandaian, makmur mujur sempulur. Murah sandang pangan deder kuwarasan.Penuh makna etis filosofis. Tayub memiliki arti ditata dimen guyub. Trisik, pacak gulu nut wirama. Kendang wijang terang. Bonang imbal lancar. Peking, saron demuk membentuk nada. Kethuk kenong menghias tembang. Kempol gong selaras serasi. Gender menuntun tembang. Gambang menambah irama gempi. Gerong selalu nyenggaki. Sore itu tayub Sidokare memberi warna budaya. Guyub rukun bersama handai taulan.
Sindhen merupakan pelantun tembang. Waranggana tayub menguasai irama nada. Gendhing klasik dihayati. Tembang dolanan mengalun merdu terdengar dari kejauhan. Ibu ibu duduk lesehan menikmati keindahan. Desa mawa cara, negara mawa tata. Wujud dari keserasian.
Tata cara kejawen. Untuk pentas tayub terlebih dahulu dilakukan wilujengan. Upacara kenduri lengkap dengan sesaji. Ingkung, tumpeng, jajan, rengginang, wajik, jadah, jenang berlimpah ruah. Pesta desa bersuka gembira. Ritual berlangsung di pundhen dan sarean. Upacara tradisional untuk memuliakan warisan leluhur. Alam kaswargan jati.
Usaha pelestarian seni. Budaya dilestarikan dengan sukarela. Pendopo desa begitu anggun dan agung. Tempat kreasi seni. Jaran kepang dan campursari dibina oleh Pak Lurah Imam Mashuri. Pemimpin rakyat selayaknya ngayomi dan ngayemi. Bersama dengan pamong desa, lantas ngibing. Njoged dengan irama yang mathuk dan gathuk. Penonton pun manthuk manthuk, tanda hati serba setuju sarujuk. Bentuk kepemimpinan tradisional.
Upacara tradisional sebagai sarana tolak balak. Bersih desa dan upacara nyadran diselenggarakan tiap tahun. Hama pergi kabur. Tanaman subur. Negeri gemah ripah loh jinawi, tata tentrem karta raharja. Masyarakat sejahtera lahir batin. Gagasan ideal tentang bentuk sosial masyarakat Jawa.
Purwadi.
Ketua LOKANTARA, Lembaga Olah Kajian Nusantara, Hp 087864404347
Tidak ada komentar:
Posting Komentar