Berdirinya Kraton Mataram Kartasura
Ibukota Mataram Kartasura dibangun oleh Sri Amangkurat II pada tahun 1677. Kartasura dipilih sebagai ibukota Mataram karena letaknya sangat strategis. Jalur utama yang menghubungkan kawasan penting di Pulau Jawa. Arah utara menuju kota Semarang. Arah barat menuju ke daerah Yogyakarta.
Arah timur menuju kota Surabaya. Sejak dulu kala Kartasura menjadi pusat bisnis terbesar di Jawa bagian Selatan.
Itulah alasan Sinuwun Amangkurat II atau Sri Susuhunan Amangkurat Amral menjadikan Kartasura sebagai pusat pemerintahan Mataram. Bila mata memandang ke arah barat, tampak megah gunung Merapi dan gunung Merbabu. Dua gunung kembar ini berdiri kokoh seolah-olah gapura jagad. Waktu orang bangun tidur pada pagi hari gunung Merapi dan gunung Merbabu begitu indahnya. Ganjaran Tuhan yang besar dan mengagumkan.
Tatapan mata ke arah timur kelihatan begitu agung anggunnya gunung Lawu.
Berbeda dengan gunung Merapi dan gunung Merbabu, suasana gunung Lawu tampak lebih angker, magis, mistis. Di sinilah Raden Gugur putra Prabu Brawijaya bertapa dan muksa. Maka orang banyak menjalankan tapa brata, semedi dan meditasi di Gunung Lawu. Sri Susuhunan Amangkurat Amral tiap bulan Sura memimpin upacara ritual di Gunung Lawu. Beliau bermeditasi beserta para pengawal kerajaan.
Gunung Sewu sebagai mata air Bengawan Solo tampak dari arah selatan.
Sri Susuhunan Amangkurat II berkunjung ke Kahyangan Dlepih Tirtomoyo Wonogiri. Beliau lelaku tapa brata untuk meneruskan tradisi yang dijalankan Panembahan Senopati. Semua makhluk halus yang ada di sepanjang gunung Sewu tunduk para raja Mataram. Bahkan Kanjeng Ratu Kidul, penguasa pantai selatan pun dan bala tentaranya berserah diri pada raja Mataram beserta keturunannya.
Saat menghadap ke utara terlihat pegunungan Kendheng. Di sini tokoh Mataram banyak dijumpai. Misalnya Ki Ageng Tarub, Ki Ageng Sela, Ki Ageng Ngerang, Ki Ageng Penjawi. Makam tokoh mulia ini sangat dihormati oleh keluarga Mataram. Betapa kayanya gunung Kendheng. Ada kayu jati, batu kapur, minyak tanah, gas bumi, pari gaga dan burung perkutut. Semua berkualitas ekspor. Dunia berebut untuk menguasai gunung Kendheng. Kekayaan dunia yang berlimpah ruah. Kerajaan Kartasura turut membangun Gunung Kendheng.
Dhandhanggula.
Kang cinatur sejarah Matawis,
Wusnya Nata Agung Amangkurat,
Surut haneng Galwangine,
Kuthagara Kedhatun,
Pleret dinulu rusak sami,
Marma tan pantes dadya,
Pusering praja gung,
Sigra Sang Baginda arsa,
Ngalih amrih lumastariya kang negri,
Rinembak lan pra Patya.
Tan tinulis panitiking siti,
Kang pinangka hangalih nagara,
Padene dhatulayane,
Pindahnya wus tinamtu,
Hawit dene hanguciwani,
Titi sajumenengnya,
Amral kang Sinuhun,
Mapan wus wineceng jangka,
Tamat babad Pleret bawa boyong wukir,
Tilar tilas tan kocap.
Yen sinungging pra bebedra sami,
Sengkut bikut genya nambut karya,
Datan ngungak reriwene,
Amangkurat jejuluk,
Ping dwi wus purna hangyasani,
Kadhaton wanakarta,
Tuhu sinengkuyung,
Sing pra hangadhep Jeng Sunan,
Kukuh bakuh tanggap cobaning Hyang Widhi,
Hagal halus kang dhumawah.
B. Daratan Terbaik
Cakra Pengging
Gumrojog banyu bening,
tuking gunung umbul Cakra Pengging,
mili ngetan tumuju Kali Larangan,
Kartasura Surakarta, Sakbanjure
mili neng bengawan gedhe.
Lagu ini cukup jelas menggambarkan lingkungan Kartasura. Daratan luas yang subur terbentang dari wilayah Prambanan, tepat sebelah timur Kali Opak. Dari hulu Gunung Merapi mengalir Kali Dengkeng yang bergabung dengan Bengawan Solo. Sawah dengan kualitas terbaik menjadikan kanan kiri Kartasura sebagai lumbung beras.
Sepanjang sejarah padi terus menerus berbuah. Kebun tembakau, teh, duren, palawija beraneka rupa.
Ciri khas orang Kartasura adalah pandai masak. Kuliner dari yang murah sampai paling mahal jelas tersedia. Jajanan memanjakan lidah. Lauk pauk berjenis-jenis. Ragam minuman berkelas pasti ada. Dalam hal makanan orang Kartasura terlalu sensitif. Harus enak, gurih dan nyamleng.
Dari dulu sampai sekarang prinsip itu dipegang teguh. Biar orang mlarat sekalipun, soal makan tetap harus enak. Justru karena miskin, maka harus pintar bikin bumbu. Supaya bahan sederhana pun tetap enak gurih.
Sepanjang jalan Kartasura ramai jualan makanan. Nasi liwet, timlo, bebek goreng, jenang, jadah, wajik, wedang, cemoe, rondhe siap untuk dihidangkan. Raja Amangkurat Amral mengundang koki dari seluruh pelosok dunia.
Juru masak istana dilatih untuk meningkatkan mutu bumbu. Jangan sampai ketinggalan jaman. Hidangan gaya Asia Tengah, Asia Selatan, Asia Barat dan Asia Timur dipelajari. Tak ketinggalan ragam masakan Eropa seperti Belanda, Inggris, Perancis dan Portugis juga diajarkan pada koki istana.
Sri Susuhunan Amangkurat II terkenal sebagai juru masak handal. Kerap beliau terjun langsung di Sasana Gandarasan yang menjadi pusat dapur istana Kartasura.
Terlebih -lebih eyang kakungnya yaitu Pangeran Pekik adalah Adipati Surabaya yang menguasai Tanjung Perak. Pelabuhan ini berkembang pesat. Pusat bisnis terbesar di Nusantara bagian timur dan tengah. Pangeran Pekik membantu cucunya untuk membangun istana Kartasura. Sebagai pelaku bisnis yang kaya raya, mudah baginya untuk memajukan kerajaan Mataram Kartasura.
Istri Pangeran Pekik bernama Ratu Wandhansari.
Eyang putri Amangkurat II ini terkenal sebagai saudagar perhiasan. Emas, perak, intan, permata sering dikirim ke mancanegara. Bahkan ratu Wandhansari memiliki usaha perak di Kota Gedhe, industri alat rumah tangga di Sidoarjo dan ukir-ukiran di Jepara. Boleh dikata Ratu Pandhansari yang juga adik Sultan Agung ini adalah pengusaha kaya raya. Bahkan beliau punya usaha budidaya mutiara di kawasan Nusa Tenggara.
Dari usaha eyang kakung dan eyang putri ini, Sri Susuhunan Amangkurat Amral menjalin bisnis dengan kontraktor, korporasi dunia, bisnisman internasional. Kraton Mataram Kartasura berdiri megah, mewah dan indah. Rakyat bahagia sejahtera lahir batin. Kraton dibangun dengan swadaya. Kraton tidak punya hutang. Semua tercukupi sendiri.
C. Silsilah Amangkurat II.
Asal usul Amangkurat Amral sangat penting.
Bratadiningrat (1990) meriwayatkan silsilah Sunan Amangkurat II. Kutipan dalam bahasa Jawa secara lengkap adalah sebagai berikut :
Putra Dalem Ingkang Sinuwun Prabu Hamengkurat Agung, ingkang nomer 1, miyos saking garwa G.K.R. Putrinipun Pangeran Pekik Surabaya patutanipun kaliyan G.K.R. Wandhansari. Rayi Dalem Ingkang Sinuwun Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma. Ingkang Sinuwun Prabu Amangkurat Amral asma Raden Mas Rahmat Kuning.
Asalsilahipun Ingkang Sinuwun Prabu Amangkurat II Amral Saking Ibu dalem G.K.R Pambayun.
1. Sunan Ampel Denta, peputra:
2. Pangeran. Surabaya peputra:
3. Pengeran Pekik Surabaya, peputra:
4. G.K.R.Pambayun G.K.R. Wetan, Prameswari dalem Ingkang Sinuwun Prabu Amangkurat Agung, peputra:
5. Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Prabu Amangkurat Amral utawi Raden Mas Rahmat Ning.
Ingkang Sinuwun Amangkurat Amral mindhahaken Kraton Pleret dhumateng Wonokerto, awit sampun risak. Wonokerto kanamekaken Kartasura Hadiningrat, ing dinten Rebo Pon tanggal. 27 Ruwah Alip 1603 Jawi. Ingkang Sinuwun Prabu Amangkurat II Amral nurunaken nata.
Untuk mendukung keterangan di atas dapat dikemukakan juga komunikasi antara panembahan Adilangu, keturunan kelima Sunan Kalijaga, dengan Amangkurat Amral. Babad menerangkan hal tersebut berkenan dengan penaklukan oleh Amangkurat II. Dalam penaklukan itu Adilangu berhasil mengalahkan pemberontakan.
Dalam peristiwa itu tidak diketemukan percakapan langsung antaraa Adilangu dengan Amangkurat Amral, akan tetapi penggunan beberapa kata untuk mereka dalam komunikasi itu cukup memperlihatkan unggah ungguhing basa yang mereka pakai.
Pada waktu Amangkurat Amral berusaha memadamkan pemberontakan ialah singgah di Adilangu dan dikatakan babad, nimbali Panembahan Natapraja dan Adilangu, yang dikatakan babad kemudian sowan ke hadapan Amangkurat Amral. Ketika untuk mengalahkan Giri dikatakan Natapraja memerlukan pusaka Mataram, Amangkurat II tidak keberatan, tertulis dalam babad bahwa pusaka itu oleh Amangkurat II pinarengaken.
Kata Nimbali dan pinarengaken yang diucapkan Amangkurat II terhadap Panembahan Natapraja, yang keturunan ke-5 dari Wali Kalijaga, yang dulu sangat dihormati oleh keluarga Mataram, dapatlah disimpulkan bahwa keturunan sudah diungguli oleh keagungan raja Mataram. Sehingga nampak terdapat hubungan antara unggah unguhing basa dengan kekuasaan dinasti Mataram. Begitu juga dengan penggunaan kata sowan untuk Panembahan Natapraja.
Rehning Kraton Dalem Pleret risak, pramila lajeng pindhah dhateng Wonokerto. Kadhaton enggal kanamekaken Kraton Kartasura. Pindhahipun nyarengi dinten Rebo Pon 27 Ruwah Alip 1603. Negari dalem kaparingan nama Kartasura Hadiningrat.
D. Sekar Wijaya Kusuma.
Dhandhanggula
Sang Aprabu prapteng Wanakarti,
Gumarudug sawadya balannya,
Kawula lan sentanane,
Kadya sinebut sebut,
Katon sunya hangrasa wani,
Ya sinangkalaning candra,
Ri Buda Pon nuju,
Kaping pitulikur Ruwah,
Alip sewu nenemhatus telu dadi,
Kartasura Diningrat.
Durma.
Panembahan Purubaya aparentah,
marang ing para mantri,
kang tinuding kesah,
samya ngelar jajahan,
Ki Mas Gerit kang tinuding,
Mring Parimana,
Kedhu kinen ngriyini.
Ki Mas Gerit lan Tumenggung Sindureja
budhal sabala ngiring
mangilen lampahnya
ing Parimana prapta
wong Kedhu suyud awingwrin
Tumenggung Martasura
ing tinuding.
Sinom
Ingkang aneng ing Banyumas,
Tumenggung Martasureki,
wus kawon denira yuda,
ngumpul dhateng ing Mantawis,
kang aneng Kedhu nenggih,
Ki Tumenggung Sindurjeku,
wus kawon yudanira,
kang aneng Pagelen nenggih,
wus angungsi lumayu dhateng Mantaram.
Menurut Babad Tanah Jawi, Adipati Anom, Sunan Amangkurat II pernah mengirim utusan yaitu Pranantaka/ Arya Sindureja untuk memetik kembang Wijayakusuma, yaitu setelah ia menobatkan dirinya sebagai raja Mataram menggantikan ayahandanya Amangkurat Agung yang wafat 13 Juli 1677.
Ing ngisor iki pratelane para panjenengan pepatih sarta kang nerahake. Wiwit karaton ing Demak tutug karaton ing Surakarta.
Tumenggung Mangkurat putrane : Kyai Ageng Wanalapa, Susuhunan Ngatasangin, Seh Makdunnilkubra, Seh Makdumilkubra, Seh Jumadilkabir, Seh Jumadilkubra. Adipati Wanasalam putrane: Tumenggung Mangkurat. Adipati Mancanagara putrane: Arya Jombaleka, Aryaleka, Arya Jaranpanolih Adipati ing Sumenep, Prabu Brawijaya V. Adipati Mondaraka putrane : Kyai Ageng Sungeb, Pangeran Madepandhan, Kyai Ageng Wanasaba, Raden Lembu Peteng.
Prabu Brawijaya V. Pangeran Manduranagara putrane : Adipati Mondaraka.
Tumenggung Singaranu Patih Jero, putrane : Ki Baratkatiga: Pangulu, Pangeran Ngatasangin, Arya Panangsang Adipati ing Jipang, Pangeran Sekar kang seda ing kali, Sultan Demak I. Adipati Wirareja putrane: Ngabei Wiramantri, Tumenggung Wirareja, Raden Arya Wiramanggala, Pangeran Adipati Mangkubumi, Kyai Ageng Mataram Pamanahan, Adipati Mondaraka putrane: Ngabei Pranantaka Bener (Raden Sutomarto), Kyai Ageng Karotangan ing Paremono, Seh Majagung, Pangeran Majagung II, Pangeran Majagung I, Panembahan Majagung. Raden Arya Nrangkusuma putrane : Pangeran Adipati Anom ing Surabaya, Pangeran Agung, Pangeran Ratu Jayasampurna, Panembahan Kali, Susuhunan Drajat.
Raden Arya Sindureja I putrane Ngabei Pranantaka Bagus (Mondaraka III), putrane Ngabei Pranantaka Bener (Sutomarto), putrane Kyai Ageng Karotangan sumare ing Parimono Seh Majagung, putrane Pangeran Majagung II, putrane Pangeran Majagung I, putrane Panembahan Majagung.
Raden Adipati Sumabrata, putrane : Raden Carik, Raden Kalipah Murtala, Pangeran Kaputran, Pangeran Benawa. Tumenggung Wiraguna, putrane : Tumenggung Wiraguna, Raden Ayu Wiramantri, Raden Arya Wiramanggala. Raden Adipati Cakrajaya putrane : Raden Sastrawijaya, Panembahan Rama ing Kajoran, Pangeran Raden ing Kajoran, Pangeran Agus ing Kajoran, Panembahan Agung II ing Kajoran, Panembahan Agung I ing Kajoran. Raden Adipati Natakusuma putrane : Pangeran Arya Pringgalaya, Pangeran Arya Natakusuma, Pangeran Adipati Natakusuma, Pangeran Adipati Pringgalaya, Panembahan Senapati ing Ngalaga.
Tahun 1685 Tumenggung Pranantaka/Sindureja diangkat jadi patih Kartasura menggantikan patih Nrangkusuma karena membantu Untung Surapati merebut Pasuruan atas perintah Amangkurat Amral, beliau bergelar Patih Arya Sindureja I dan mendapatkan istri dari adik Amangkurat Amral yaitu BRA Kleting Kuning I/ RAy Pucang/ RA Brungut. 1701 Arya Sindureja meletakkan jabatan Patih dan lebih memilih untuk menyepi dan mendalami ilmu agama/siar Islam di desa-desa. Beliau wafat 1703, beberapa selang kemudian Amangkurat Amral juga wafat, surut ing kasedan jati.
Dhandhanggula
Ya ta ing antara ganti warsi
Raden Arya Sindureja gerah
asanget lajeng sedane
sang nata langkung ngungun
ing pejahe raden apatih
binekta Parimana
genira kinubur
samana pan sinengkalan
ing pejahe buta kalih ngrasa tunggil (1625 J atau 1703 M)
warnanen sri narendra
Babad Tanah Jawi, 1939 : 41
Sunan Amangkurat I Tegal Arum dengan istri yang bernama Mas Ayu Mayangsari melahirkan Raden Ayu Brungut alias Raden Ayu Kleting Kuning alias Raden Ayu Pucang. Dia menikah dengan Raden Arya Sindureja Patih di Kartasura. Sunan Amangkurat I Tegal Arum dengan Ratu Kencana melahirkan Raden Ayu Kleting Kuning II, dia diboyong oleh Trunojoyo dan dinikahkan dengan Tumenggung Mertayuda II Bupati Banyumas dan diangkat menjadi Tumenggung Yudanegara I.
Raden Ayu Kleting Kuning II ini diangkat menjadi Raden Ayu Bendara.
Raden Mas Rahmat atau Raden Mas Kuning atau Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom di Mataram, setelah menjadi raja di Kartasura bergelar Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Amangkurat bertahta selama 26 tahun. Zaman Amangkurat II Amral yang menjadi Patihnya adalah Adipati Mondaraka III selama 1 tahun kemudian digantikan Arya Nrangkusuma selama 7 tahun, digantikan Arya Sindureja selama 16 tahun, diganti oleh Adipati Sumabrata selama 2 tahun sebagai Patih Jaba dan Patih Jero Tumenggung Wiraguna.
Adapun Jaksanya adalah Ngabei Sendhi selama 26 tahun, Pangulu adalah Tapsiranom selama 26 tahun, Pujangganya Ngabei Wirasastra selama 26 tahun.
Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwono II setelah dari Kartasura kemudian pindah ke Surakarta bertahta selama 7 tahun. Patih Jaba Adipati Pringgalaya selama 7 tahun, Patih Jero Adipati Sindureja II selama 7 tahun, Jaksanya adalah Kyai Gambuh selama 7 tahun.
Kyai Ageng Karotangan termasuk wali penerus Wali Sanga. Di samping itu dalam tembang Asmaradana disebutkan bahwa Kyai Ageng Karotangan adalah salah satu dari wali nukhba penerus dari Wali Sanga, dijelaskan sebagai berikut :
Kang nututi ambek wali
Anenggih Sunan Tembayat
Sunan Giri Perepen
Jeng Sunan Kudus kelawan
Sultan Syah ‘Alim Akbar
Pangeran Wijil Kadilangu
Kalawan Kewangga.
Ki Gede Kenanga Pengging
Malihe Pangeran Konang
Lawan Pangeran Cirebon
Lan Pangeran Karanggayam
Myang Ki Ageng Sesela
Tuwin sang Pangeran Panggung
Pangeran ing Surapringga.
Lan Kiai Juru Mertani
Ing Giring Ki Ageng Pemanahan
Buyut Ngerana Sabrang Kulon
Ki Gede Wanasaba
Panembahan Palembang
Ki Buyut Banyubiru
Lawan Ki Ageng Majastra.
Malihi Ki Ageng Gribig
Ki Ageng Karotangan
Ki Ageng ing Toyajene
Lan Ki Ageng Toyareka
Pamungkas wali raja
Nenggih Kanjeng Sultan Agung Hanyakrakusuma
Kasebut wali nukhba.
Terjemahan :
Adapun berikutnya yang bergelar wali
Adalah Sunan Tembayat
Dilanjutkan Sunan Giri Parepen
Sunan Kudus seterusnya
Sultan Syah ‘Alim Akbar
Pangeran Wijil Kadilangu
Serta Pangeran Kewangga.
Ki Ageng Kenanga Pengging
Yang kemudian bergelar Pangeran Konang
Selanjutnya Pangeran Cirebon
dan Pangeran Karanggayam
Ki Ageng Sesela
Serta Pangeran Panggung
Pangeran Surapringga.
Selanjutnya Ki Juru Mertani
di Giring Ki Ageng Pemanahan
Buyut Ngerana Sabrang Kulon
Dan Kyai Gede Wanasaba
Panembahan Palembang
Ki Buyut Banyubiru
Ki Ageng Majastra.
Yang akhirnya bergelar Ki Ageng Gribig
Ki Ageng Karotangan
Ki Ageng ing Toyajene (Ki Ageng Banyu Kuning)
Serta Ki Ageng Toyareka
Yang terakhir adalah waliraja
Yakni Kanjeng Sultan Agung Hanyakrakusuma
Mereka semua disebut wali nukhba atau memiliki nubuwah kewalian.
(Widodo, 2018). Sebutan yang penuh kemuliaan.
Raja Amangkurat Amral berjasa membangun ibukota Kartasura. Mataram hidup dalam suasana baru yang lebih cemerlang. Teladan lestari buat sekalian generasi. Murih mekaring budaya.
Purwadi,
Ketua Lokantara. HP 087864404347
Tidak ada komentar:
Posting Komentar