Dewi Sri dianggap sebagai bidadari yang mengurusi tanaman padi. Petani Jawa menganggap Dewi Sri dapat mendatangkan kemakmuran. Penghormatan kepada Dewi Sri membuat sawah mereka subur. Segala jenis hama tanaman akan takut mengganggu. Berbagai upacara pertanian ditujukan untuk menghormati bidadari padi.
Perjalanan hidup Dewi Sri dapat dilacak pada kehidupan masa lalu yang terjadi pada tahun 124 Saka. Pada jaman Sri Maha Punggung raja kraton Purwacarita mempunyai dua anak putra laki-laki dan perempuan. Sadana dan Dewi Sri dikutuk, Sadana menjelma menjadi burung sriti, Sri menjadi ular sawah. Kedua anak itu menderita dan mengembara tanpa tujuan. Ketika sampai di negara Wiratha, perjalanan ular sawah berhenti serta beristirahat di sawah dan melingkar di tengah rumpun padi di desa Wasutira, nama lurah desa Wrigu, pada saat yang bersamaan dengan Sri itu, istri kepala desa yang bernama Niken Sangki sedang mengandung.
Dikisahkan tuwaburu kepala desa Kyai Wrigu berguru kepada Sang Wiku pertapa bernama Sang Wisama karena ingin mempunyai anak. Sang Wisama memberi segala rupa sarananya berikut wejangan : ”Ketahuilah Wrigu, kamu akan segera mempunyai anak, jika tiada halangan anak itu akan membawa kebahagiaan sejati. Carilah sarananya dengan segera, upayakan sarana itu dengan direndam dalam we, yoga.
Adapun yang disebut air yoga itu campuran empat macam air: air dari bumi, macam kedua air dari langit, macam ketiga, air dari tumbuh-tumbuhan, macam keempat air yang berasal dari sesuatu yang bernyawa; dicampur untuk merendam sarana ini, kemudian segera minumlah bersama istrimu. Apabila telah terkabul hamil, berdua segeralah kemari karena aku akan memberi keterangan kepada kalian tentang calon anakmu itu”. Pelan-pelan Kyai Wrigu beringsut mohon diri.
Niken Sangki mbobot, mereka berdua bergegas menghadap sang yogi. Berkata sang yogi: ”Heh widadari Dewi Tiksnawati yang sesungguhnya penjelmaan Retno Dumilah. Kalian benar-benar beruntung. Keberadan Dewi Sri dan widadari Tiksnawati itu selayaknya bagai satu munggwing rimbangan batu bata dalam cetakan. Adapun cara mempertemukan kembali Sri - Tiksnawati agar dapat berkumpul, carilah ular sawa mulia yang mengenakan suntingan padi sebutir.
Bila kamu telah mendapatkannya, peliharalah sepenuh hati, jangan sampai mati, sebab jika mati, anakmupun akan meninggal dunia. Akhir kata sang yogi, ki Wrigu diperkenankan pulang. Sudah lama ia mencari, namun tiada jelas bisa mendapatkan Tanggal satu saat musim Padrawan, Kyai Wrigu dalam keadaan lelah istirahat di sebuah tebing dan tertidur serta mendapat petunjuk gaib dari Dewa Agung di mana tempat ular sawa itu tinggal.
Jikalau dipegang mau, pasangilah tikar halus dan berilah sasapan kain putih urapsari betabur bunga- bungaan, perciki wangi-wangian. Kalau sudah masuk perangkap itu, gulunglah dengan rapi, tempatkan di rumahmu sebaik-baiknya. Kyai Wrigu bangun dan segera pulang melaksanakan wangsit. Pergi di sawah dengan tergesa dan bergegas digelarlah perayaan. Ular itu, ketika membaui bau harum cepat-cepat melata ke arah sumber bau lalu melingkar di atas kain.
Dengan pelahan Kyai Wrigu menyembah. Ular sudah digulung dan sudah sampai di rumah serta ditempatkan dengan baik di dalam kamar tengah. Kyai Wrigu dan Niken Sangki hatinya berbinar-binar karena ular itu berkilauan. Dengan baik disajikan setumbu penuh katak hijau. Terceritakan malam harinya bersalinlah Niken Sangki, lahir seorang bayi yang teramat elok rupanya, yaitu bayi perempuan. Amat suka-cita mereka berdua. Karena lelah Kyai Wrigu tertidur.
Sang ular memasuki dalam mimpi Kyai Wrigu: ”Janganlah aku kau beri sajian katak hijau, sajikanlah suruh ayu, kembang dan dupa jangan lupa. Perhatikan baik-baik dan sungguh menjadi kebahagiaanmu, berilah anakmu itu nama Rara Raketan. Waktu tujuh hari ini, pastikan untuk tidak tidur malam hari, bila siang kau boleh tidur demi upaya memelihara tercapainya rencanaku.”
Tiada lama lagi kemudian, berdatanganlah orang-orang untuk menengok bayi itu denagn membawa bermacam-macam pemberian. Kyai Wrigu dan istrinya merasa bersyukur kepada Hyang Manon. Pada waktu itu di Suralaya timbul huru-hara gempita, karena ternyata Dewi Tiksnawati menjelma ke dunia tanpa ijin Hyang Guru dan segera mengutus Sang Hyang Kala agar menggoda bayi itu.
Turunlah Sang Hyang Kala dengan menjelma menjadi anjing hutan. Pada saat Ki Wrigu tidur, ular memasuki mimpinya: “Ketahuilah Wrigu, nanti sore Sang Hyang Kala akan datang serta akan mengganggu anak bayimu dalam ujud anjing hutan. Cepat-cepat tangkallah, usapi seluruh pintu rumahmu dengan belerang.
Dalam rumah harus diobori dengan daun kelapa tiga kali sepanjang malam. Beli pula sesajian berupa nasi kuning dengan ampela-hati, sajikan di sebelah kaki anakmu, beri sapu kelud, sapu pekapuran, dan segulung sirih jangan terlewatkan, pasangi dian-hiasan yang tidak boleh padam. Setelah matahari terbenam engkau hendaknya berkeliling rumah pelan-pelan sambil mengucap mantera: O Kala Nama Siweyah, niscaya dalam semalam nanti bayi perempuan anakmu itu akan menemui keselamatan.”
Wrigu terjaga dan langsung memberi kabar pada istrinya. Setelah semua disiapkan dengan tiada tercecer, anjing hutan penjelmaan Sang Hyang Kala datang, merasa kikuk kebingungan tiada dapat masuk ke rumah sampai fajarpun tiba, tampaklah rencana jahatnya lalu secepatnya musnah.
B. Suburnya Tanaman Padi
Tanaman padi yang subur berkat penghormatan kepada Dewi Sri. Upacara pertanian dilakukan oleh Ki Ageng Sela pada tahun 1503 di daerah Tawangharjo Purwodadi. Ki Ageng Sela adalah pujangga jaman Demak yang sakti mandraguna.Dalam sejarahnya Ki Ageng Sela mampu menangkap petir. Para petani akan terbebas dari bahaya guntur, petir halilintar asalkan mau menyebut nama Ki Ageng Sela. Bilang saja aku iki putune Ki Ageng Sela. Sudah barang tentu petir akan menyingkir, halilintar takut menyambar dan guntur mundur secara teratur.
Batara Guru murka, cepat-cepat mengutus Hyang Brahma untuk segera turun menjelma menjadi Lembu Gumarang. Siang hari Kyai Wrigu tidur, ular datang lagi dalam mimpi dan berkata dalam wujud Sapi dengan maksud menggoda anakmu, maka siapkanlah penangkalmu: kanan-kiri pintu pasangilah daun nanas yang sudah kau coret-coret hitam dan putih dengan menggunakan hangus serta kapur sirih.
Sedang sebagainya dari kulit bawang merah, juga obor kelapa seperti sebelum ini. Di dekat kaki si bayi beri sajian nasi merah dengan lauk urab dedaunan lengkap. Seperti terdahulu, jangan lupa tempat sirih yang daripada keemasan, janganlah kamu merasa takut lahir batin. Jika hendak berkeliling rumah, inilah manteranya: ’Poma poma Hyong Brahmana, Rasioyeh Maswaena’ niscaya akan selamatlah anakmu.”
Setelah terbangun, Wrigu mewartakannya kepada istrinya, Niken Sangki pun segera menyaipkan sesajian. Wrigu amat setia pada firasat mimpinya dan sementara itu Sang Lembu Gumarang berhasrat menyusup masuk rumah, tetapi sangat kebingunan karena ada sarana sesajian, meski bersikeraspun tetap tiada mampu, hingga fajar tiba, lalu menghilang dan melaporkan kegagalannya sebagai utusan.
Hyang Guru segera mengutus Sang Hyang Wisnu untuk turun serta menjelma menjadi Babi Hutan. Siang harinya Wrigu bermimpi, ular sawa berkenen memberi pertanda: ”Tengah malam nanti ketika Hyang Wisnu turun menjadi babi hutan untuk mengganggu putrimu.
Pencegahnya sama hanya tambahkan duri widara pada daun nanas seperti kemarin, pedupaannya diganti dengan daun tanjung yang dibakar seperti sebelumnya. Di dekat bayi beri sesaji ikan air tawar dan nasi hitam. Tambahannya selain seperti kemarin, yaitu gulungan sirih dan kembang berbau harum.
Pada waktu mengitari rumah gunakan obor sambil mengucapkan mantera: Omma Suya Namartagfa Namandaha, pastilah anakmu akan selamat. Sesudah Wrigu bangun, segera mewartakannya kepada Niken Sangki istrinya. Dilaksanakanlah semua itu. Sudah datang Babi Hutan, dan hendaklah masuk ke dalam rumah, namun tiada sanggup oleh karena ada sarana penolak.
Adapun ketika fajarpun tiba, menghilanglah ia serta menceritakan kegagalannya sebagai duta. Sang Hyang Girinata bertambah murka dan berkehendak turun sendiri dengan menjelma menjadi burung. Terceritakan bahwa banyak para Jawata yang mengiringinya dengan berbagai macam penjelmaan sekehendaknya masing-masing.
Kala siang hari Kyai Wrigu tidur, ular sawa pun memberi petunjuk gaibnya: ”Wrigu, nanti malam Hyang Mahasena akan turun dengan menjelma menjadi Burung dengan diiringi para dewa yang kesemuanya menjelma: Hyang Narada menjadi Kodhok Pas, Brahma menjadi Kala Gumarang, Surya menjadi Walang Anggas, Hyang Mahadewa menjelma menjadi Wedhus Parucul.
Kuwera menjadi Tikus Jinada, Hyang Siwah menjadi Emprit Kukila, Rodra menjadi Lembu Andana, Wisnu menjadi Tembalung Wraha, Bayu menjadi Kebo andanya, Basuki menjadi Sarpa Lanang, Kala menjadi Asu Wiyungyung, Candra menjadi Kucing Candramawa, dan semuanya akan mengganggu putramu.
Berilah rentangan benang yang kuat mengelilingi rumahmu. Undang semua tetangga, pamong, para pamong, dan kerabat handai-taulanmu, bersama-sama begadang semalam suntuk. Ada lagi syarat lain, tempat tidur anakmu berilah alas daun senthe. Sejak matahari terbenam, jaga atau tidur, pangkulah anakmu hingga esok paginya.
Semburilah pagar rumahmu dengan kunyahan dlingo-bengle, Hyang Hyang Siwah Aboja Abuyana kita Marta, Swana Maswana’, selesai dengan demikian anakmu perempuan benar-benar selamat beserta seisi rumah. Lagi pula nanti malam, janganlah engkau membunuh apa pun yang bernyawa, yang kelihatan, dan jangan gegabah berani mengusiknya, sebab dengan cara seperti itu bisa jadi akan kena tulak sarik.Sang Hyang Jagat Pratingkah akan segera turun dengan terlebih dahulu Kalakuthana, yaitu raja segala yang berbisa dari neraka Yomani yang berwujud saraosawan yang dapat berupa nyamuk dan sebangsanya yang bisa terlihat mata. Apabila makhluk-makhluk itu sampai terbunuh, anakmu akan mendapat halangan.
Untuk itu suguhkan syarat-syarat tadi tiga kali dalam semalam. Adapun disebut Kala tuthana itu mempunyai anak raja sawan, ada tiga jumlah sawan tersebut: mula-mula datangnya ketika matahari tenggelam, sambutlah dengan mantera ini: “Abangko Sang Nurisiwa takang Kesdya Ayu Aweka, Hyang Ngayu Muli Angkosa; Karengketan Tata Nama, Walungyanta ya wanggawa”; satu lagi datangnya pada tengah malam, begini caramu menyambut, “Ahangko Sang Neris tekang Kisdaya Ayu Akwiki Hyang ngayu muli hangko saka reng tekanta tan na mawa lungata ywa gawa purna”.
Hai Wrigu ingat-ingatlah cara menyambutnya. Saatnya datang lagi pada waktu fajar tiba, begini caramu menyambut, “Ahangko Sang Naris tekang ke sedya ayu Akwiki ywang ayu muli angkosa saka reng tekan nan nana mawa lungyanta ywang gawa”. Eh Wrigu, ingat-ingatlah caramu menyambut, tiga kali dalam semalam, nama masing-masing adalah yang pertama Sang nuriswa, kedua, Sang Niris namanya, ketiga, Sang Naris.
Itulah perwujudan Sang Kala Kuthana yang merajai Sarap Sawan. Setiap kali engkau memberi salam, kersakanlah suaramu bagai orang membentak, dengan cara seperti itu segala Sarap Sawan akan segera lari tiada ada yang berani mendekat dan anakmu akan selamat.” Setelah bangun dari tidur, karena kehendak dewata Wrigupun diberi ingatan tanpa ada yang terlupakan serta segera mewartakan kepada istrinya sehingga sesajian pun cukup semuanya.
Terceritakanlah, bahwa turunanya Hyang Guru beserta pada dewata sia-sia semuanya tanpa mampu mengganggu dan pada akhirnya semuanya menghilang. Selamatlah jabang bayi perempuan. Tiada rintangan apa pun juga. Demikian pada mulanya, sehingga selalu disebut-sebut sampai sekarang ini. ”Buras melompong tiada berkata-kata, manggut-manggut sambil ternganga mulutnya. Radyan menepuk hingga terkesiap, gelagapan dan menyembah -nyembah.
Sang rahadyan bertanya kepada sang tapa, ”Bagaimana caranya Sri bisa kembali seperti sedia kala dari wujud ular sawa?” Sang Pandhita berkata, ”Akhirnya Sang Hyang Jagadnata mengerti bahwa kegagalannya mengganggu-goda itu karena perbuatan Sri. Maka segeralah mengutus widdhadarya agar memanggil Dewi Sri untuk melengkapkan bidadari. Singkatnya, Widdha darya sudah turun dan bertemu dengan Sri dan memberitahukan adanya panggilan.
Sri berkata, bahwa panggilan diterima dengan penuh hormat, namun masih belum secepatnya memenuhinya, tetapi jika Saddhana, adiknya dan dirinya bisa lepas dari penderitaan bersama-sama, tentu bersedia dijadikan dewa. Dewi utusan menjawab, ”Kini Raden Saddhana sudah pulih kembali diruat oleh Sri Wiku di Atasmaruta, kemudian dikawinkan dengan anaknya yang bernama Dewi Laksmitawahni.Atas kehendak Hyang Giri, Saddhana akan menjadi dewa kelak jika telah berputra, sebab akan menurunkan biji.” Ketika mendengar kisahan dari Widhadari, ular sawa merasakan pilu dan sedih oleh kisah tentang adiknya itu. Ia meilngkar sebagai tanda minta diruwat, biar damai dan sejahtera.
Naga musnah, tinggal Sri yang ada, dan segera akan dibawa ke Kahyangan, tetapi Sri masih keberatan. Katanya kepada Widdharya, “Yang menjadikan berat hati, meninggalkan anak Wrigu, kalau-kalau akan mendapat gangguan dari dewa bisa jadi akan menemui ajal. Alangkah akan sedih ayahnya. Lagi bahwa orang hidup itu jika sudah mendapat kebaikan amat wajib membalas dan menjaganya. Sebab-musabab maksud saya ini berhubung sudah merasa diperlihara, balasan saya juga memelihara.”
Semua Widhadari merasakan kebenaran kata-kata Sri itu. Ada seorang Widhadari yang bernama Dewi Nariti, membisiki Dewi Sri bahwa oleh karena anak perempuan Kyai Wrigu tersebut sebagai penjelmaan Tiksnawati, maka besarlah gangguannya, dan sebab cara penjelmaannya tanpa memberi tahu hingga menjadikan murka Hyang Giri.
Jawab Dewi Sri, ”Hyang Jagadnata sesungguhnya bersifat kasih lagi pemurah, juga berkuasa-wenang menghukum, namun demikian tiada suka menyiksa seluruh umat yang tanpa dosa. Apa guna bermurah hari jika tidak disertai kasih sayang? Perilaku penguasa macam apa jika tega memperkosa hukum karena kekuasaannya, atau menganiaya? Kalau Hyang Guru demikian itu, ialah bersifat dengki, pastilah umatnya tidak menentu, hina, dan kacau.” Karena luhurnya sabda Sri tersebut, para Widhadarya pun segera tak kelihatan. Tan kasat mripat.
C. Pecut Naga Serang.
Kraton Surakarta yang berdiri sejak tahun 1745 selalu menjalankan adat. Sepeninggal Widadara, Kyai Wrigu dan istrinya berniat membersihkan tempat ular. Pada waktu membuka semir tirai, alangkah terkejuit hatinya karena ular telah lenyap, yang ada seorang putri teramat elok parasnya. Kata wrigu sekalian, ”Dewi Sri sudah terlepas dari purwa madya wasana.” Wrigu sungguh-sungguh gembira hatinya dan berbicara banyak, juga ingin sekali menyediakan jamuan. Sri tidak bersedia dan hanya minta kinang ayu serta kembang, pisang ayu dan pedupaan.
Segera para Widdhadarya turun menemui Sri untuk menyampaikan berita. “Hyang Daruna dan adik perempuanya Hyang Daruni, telah berbuat senonoh di Kahyangan, berbuat zina. Keduanya saat ini diusir turun ke dunia. Hyang Daruna menitis kepada anak Ki Subandha yang baru saja lahir, sedang Dewi Daruni menjelma menjadi anak Kyai Wrigu si Raketan sebagai pengganti Dewi Tiksnawati.
Kelak jika sudah dewasa, oleh kehendak Dewa, keduanya akan menjadi padangan jodoh. Nantinya akan mempunyai anak perempuan yang akan menjadi istri seorang raja di Wiratha serta akan menurunkan raja-rajanya serta menyatakan siap menjalani perintah Hyang Manon. Untuk itu ia minta dijemut oleh pedhati sinang pedati yang bersinar yang ditarik oleh Lembu Gumarang dan cambuknya Naga Serang.
Para widadari segera menghilang dan sesampai di hadapan Sang Hyang Guru segera menyampaikan permohonan Dewi Sri ke hadapan Hyang Guru. Sepeninggal para bidadari, Wrigu sekalian mempersembahkan sirih dan pedupaan ke hadapan Dwi Sri. Sementara sedang makan sirih, Ki Wrigu berkata pelan, ”Raketan kini badannya panas.”
Sri menjawab, ”Hal itu karena perbawa dari penjelmaan yang berganti, karena sebelumnya bukan tempatnya. Tiksnawati diganti Dyah Daruni, sedang Tiksnawati kini sedang berada di sisiku.” Kyai Wrigu dan Niken Sangki setelah menyaksikan menjadi terheran-heran, ternganga-terbeliak demi dilihatnya Sri kembar tiada berbeda. Sri berkata, ”Jilatlah dengan segera ubun-ubun anakmu si genduk, begitu pula pusar, telapak tangan, dan telapak kakinya, masing-masing tiga kali dari arah kiri mulainya.
Cara menjilati anakmu dengan telanjang bulat, tentu anakmu akan menjadi utama. Kalau anakmu sedang tidur, nasehatku jangan sekali-kali dicium. Lagi pula, sebelum selesai pergantian giginya jangan sekali-kali mencubit pipinya. Demikian juga Wrigu, jangan kau membandingkan dengan anak yang sudah meninggal dunia, cara itu tidak baik.
Tidak ada buruknya jika nasehat ini kau jalani agar anak itu selamat dan kekalah kau dalam merawatnya. Kuberitahu sesungguhnya, bahwa kelak anakmu itu ikut menurunkan raja-raja di tanah Jawa melebihi yang lain.
Wrigu-l Sangki amat bersyukur dan berterima kasih, lalu berpamitan keluar dan kemudian menjilati anaknya hingga sembuh dan berbinar. Tiada lama kemudian, para bidadari datang dengan kesiapan jemputan seperti permintaan sang Sri.
Sri dan Tiksnawati cepat naik diiringi para bidadari, berikutnya lalu terbang dengan pedati. Si Wrigu-Sangki memasuki senthong Patanen Kamar tengah, tampak sepi dan kosong. Sungguh sedih hatinya, namun akhirnya dapat menerima keadaan itu bahwa semuanya merupakan kehendak Dewa Adi.
Itulah awal penyebab kenapa hingga sekarang masih dipertahankan oleh para orang yang memperhatikan: bahwa lumbung, lesung, padaringan, patanen, serta semua pintu, setiap malam Jumat diberi sesaji kembang dan konyoh bedak basah, serta didupai. Demikian pula patanen dipasangi bantal kepala yang bagus yang disebut pasren ruang yang dihias, dan ditutup dengan kelambu; disajikan pula lantyingan kendi berisi air diletakkan di atas bokor.
Sebelum petani menuai padi, bersesaji lebih dahulu dengan rupa kembang boreh wangi, pisang-sirih segar, tikar baru dan kain putih, dengan harapan agar Sri datang berkunjung. Awal mula masakan untuk sesaji lahirnya jabang bayi adalah sayur menir, pecel santen pitik. Paripurna sudah cerita tentang Sang Dewi Sri, yang diyakini sebagai widodari kesuburan.
Kerajaan Mataram yang berdiri pada tahun 1582 sesungguhnya manifestasi dari negara agraris. Demi menghormati Dewi Sri para raja Mataram selalu menyelenggarakan upacara pertanian. Raja menjadi pengayom bagi petani melalui kegiatan ritual magis.
D. Sajen Dan Pancen
Sesaji bagi Dewi Sri dilakukan oleh para petani menjelang panen. Mereka bersuka ria dengan menanggap langen tayub gambyong. Misalnya pada tanggal 15 Oktober 2016. Tempatnya di desa Mojorembun Rejoso Nganjuk. Pukul 18.30 kledhek tiba di tempat tanggapan. Utusan tuan rumah menjemput kledhek dari Ngrajek. Antara penjemput dengan kledhek terjalin hubungan yang akrab. Keduanya ibarat saudara yang saling membutuhkan.
Kledhek merasa lancar, terbantu dan tidak usah susah-susah mencari alamat yang dituju. Sementara penjemput diberi uang lelah untuk sekedar sangu, jajan, bensin. Terlebih-lebih mendapat rasa dipakai dan dihormati, maka hatinya pun senang. Tukang jemput tadi dianggap penting dan pasti kledheknya cocok. Profesi penjemput ini kerap dinamakan juru parak.
Fungsi juru parak bisa dobel. Tugasnya antar jemput sekaligus promosi serta marketing bagi tayuban. Juru parak tentu punya tugas luar yang meliputi sewa tenda, alat pesta, meja kursi, gamelan, wiyaga dan kledhek. Dengan menggunakan jasa juru parak biaya dapat ditekan, urusan lancar, tidak ada masalah yang rumit. Dalam pentas tayuban mirip majelis informal. Sentuhan hati dan jaringan sosial juru parak telah menolong orang banyak.
Kedatangan kledhek di tempat tuan rumah disambut dengan suka cita. Peniti atau asisten pertunjukan gegap gempita menyalami kledhek. Tas dibawakan, apa saja keperluan kledhek dilayani sebaik-baiknya. Tuan rumah mengajak ramah tamah sebentar. Diajak makan minum seperlunya. Kamar atau senthong sudah disediakan. Di sana dilengkapi sajen dan pancen. Tak ketinggalan dupa kumelun, kemenyan wangi, garu, ratus, rasamala.
Senthong atau kamar kledhek bernilai mistis, magis. Juru peniti serta juru parak terlebih dulu diajak mengheningkan cipta, nenuwun, yoga, semedi. Tujuannya supaya perhelatan lancar, tidak ada halangan apapun. Waranggana, kledhek, tandhak, ronggeng, lengger, punya mantra sakti yang telah diajarkan guru.
Rutinitas ritual selesai. Tas dan semua perlengkapan segera dibuka. Ruangan itu menjadi serba wangi, terbuka, ramah, semua orang boleh masuk. Tidak ada larangan asal tenang dan tidak membuat onar. Anak-anak muda dengan tertib ikut berpartisipasi.
Sebagian ikut miru jarik, menata kancing, benik, turut pula menjaga hiasan, gelang, kalung, ali-ali, suweng. Para pandhemen tayub kelihatan akrab dengan kledhek. Terbukti komunikasi antar mereka berjalan lancar. Bermacam-macam yang dibicarakan mulai dari keluarga sampai jadwal pentas.
Senthong atau kamar kledhek pusat perhatian tersendiri. Hilir mudik orang berdatangan. Sambil ngemil, mencicipi hidangan yang tersedia, para relawan ini siap diperintah kledhek. Mengembalikan gelung, selendang, sampur. Semua dilakukan demi lancarnya pertunjukan.
Terlebih juru peniti dan juru parak, apa saja perintah kledhek merupakan tindakan yang harus dilaksanakan. Pelayanan yang prima mesti ada imbalan. Juru peniti dan juru parak tentu diciprati, diberi sangu oleh kledhek. Rembesan ekonomi yang cukup lumayan.
Kledhek macak, dandan, berhias selama 1,5 jam, barangkali menjadi panggung tersendiri. Orang-orang tertarik untuk mendatangi, membantu dan belajar dalam hal ngadi salira ngadi busana. Bagaimana berbusana yang indah dan mempercantik diri yang bisa mempesona.
Pelan tapi pasti, setelah dandan lengkap kledhek pasti memancarkan aura pribadi yang berkilauan. Semua mata akan menatap diri kledhek dengan penuh takjub. Jalan kaki, lekuk tubuh, senyum simpul, sanggul gelungan serba memikat. Ditambah lagi kemampuan para kledhek yang berkomunikasi secara alami.
Sudah sewajarnya petani dan orang desa akrab dengan kledhek. Penari tayub ini memastikan diri bahwa kledhek menjadi sahabat para petani. Meskipun dandanannya serba cantik, tapi semua dipersembahkan buat konsumen.
Petani dan orang desa dengan segala tradisi, adat, tata cara, budaya adalah konsumen seni tayub. Hidup mati kledhek tergantung tanggapan para petani. Selama ini yang bisa menghargai dan menghidupi kledhek adalah petani. Terjalin simbiosis mutualisme antara kledhek dengan petani pedesaan.
Sajen, pancen, dupa, ratus, rasamala, kembang, kemenyan, yang digunakan untuk ritual tayuban mirip benar dengan prosesi bercocok tanam. Keduanya ibarat suruh lumah lan kurepe,yen didulu seje rupane, yen digigit tunggal rasane. Selembar sirih memang atas bawahnya tampak berbeda. Tetapi kalau dikunyah sama rasanya. Kledhek dan petani merupakan satu kesatuan dalam melengkapi peradaban.
Waranggana, kledhek, tandhak, ronggeng, lengger melakukan profesi tayub dengan penuh kebanggaan, kerelaan, kesungguhan lahir batin. Petani sebagai produsen pangan, padi, jagung, ketela, kedelai, brambang, sayur mayur, terong, bayem, kangkung, lombok, mempunyai kelebihan penghasil.
Wajib bagi petani untuk nanggap kledhek. Upah dari petani diberikan kledhek untuk bekal hidup. Hubungan tersebut berlangsung berabad-abad. Keluarga petani merasa terhibur, nyaman, aman atas jasa kesenian yang diberikan kledhek tayub.
Hubungan kledhek dengan petani berdasarkan kerelaan dan kenyataan sejarah. Betapa sedihnya hati petani bila tak ada kesempatan ngibing, njoged, mbeksa, menari. Setelah bekerja keras di sawah, berada di bawah terik matahari yang panas, para petani membutuhkan hiburan.
Tentu saja hiburan itu harus benar-benar sesuai dengan kehendak nurani petani. Banyak kesenian yang ada, tetapi hanya sedikit yang cocok dengan selera petani. Tayuban dianggap mendarah mendaging, satu jiwa, satu rasa. Keberadaan tayub dengan segala pernak-pernik adalah fakta kultural, fakta sosial, fakta ritual dan fakta spiritual.
Pertanian sangat memerlukan keseimbangan. Alam petani sejiwa dengan alam tayuban. Tanya tayub, kledhek, niyaga, kehidupan petani menjadi gersang, tandus, kering, hampa, kosong dan tidak menarik. Petani krasan bekerja di sawah karena ada kledhek yang menjaga adat istiadat, tradisi dan budaya pertanian. Keberadaan petani dengan sejarah Dewi Sri adalah soko guru ekonomi masyarakat nusantara.
Oleh Dr Purwadi, M.Hum. Ketua Lembaga Olah Kajian Nusantara LOKANTARA, hp. 087864404347
Tidak ada komentar:
Posting Komentar