A. Jenis Jenis Kayu Jati Cepu.
Wilayah Cepu memiliki kekayaan kayu jati yang bermutu
tinggi. Cepu Bojonegoro, lor Rembang kidul Blora, nengetan Tuban Babad lan
Lamongan, Gresik Surabaya.
Lingkungan jati Cepu menawan selalu. Pemilihan kayu jati
harus sesuai dengan bangunan yang dirancang. Jenis jenis kayu jati beragam
rupa.
Kawruh kalang memuat pedoman tentang bangunan yang dibuat
dari kayu jati. Diuraikan dalam serat Centhini karya Sinuwun Paku Buwana V,
Raja Karaton Surakarta Hadiningrat tahun 1820-1823. Keterangan tentang kayu
jati berhubungan dengan paugeran urip.
1. Jati bang.
Kayu jati ini keras, halus dan nglenga atau berminyak.
Sebagai bahan bangunan akan menjadi awet dan kokoh. Pemilik mendapat belas
kasih dari sesama.
2. Jati kembang.
Jenis jati kembang memiliki urat seperti ukiran kembang.
Berwarna kecoklat coklatan. Cocok untuk hiasan bangunan. Akan tampak lebih
indah. Pemilik lancar usaha.
3. Jati sungu.
Jati sungu berwarna hitam. Wujudnya mirip sungu atau tanduk.
Bisa memperindah rupa bangunan. Pemilik mendapatkan pekerjaan yang terhormat.
4. Jati kapur.
Jati kapur batangnya lunak. Serabut atau uratnya kasar.
Berwarna keputihan putihan. Cocok untuk bangunan yang berhawa panas dan
tanahnya gersang. Pemilik memiliki kesabaran tinggi.
5. Jati uger uger.
Kayu jati yang berasal dari batang pohon yang bercabang
rangkap. Cocok untuk membuat pintu kori, pintu cepuri, pintu regol. Agar
masyarakat mendapat kedamaian dan ketentraman.
Kayu jati yang bercabang tiga. Cocok untuk bangunan molo,
blandar, pangeret. Pemilik akan mendapat harta berlimpah, rejeki mbanyu mili.
7. Jati Pandawa.
Jati bercabang lima lambang kekompakan. Cocok sebagai bahan
soko guru atau tiang utama. Tekad pendawa lima memperkokoh tali persaudaraan.
8. Jati Mulo.
Jati ini berasal dari lingkungan berair dan berhawa lembab.
Kayu jati mulo untuk tiang penyangga. Pemilik akan bersemangat kerja. Cita cita
luhur terlaksana.
9. Jati tunjung.
Kayu jati yang menjadi susuh manuk. Terutama sarang burung
elang. Pemilik akan naik pangkat, punya derajat. Status sosial lebih
terpandang.
10. Jati gedong.
Jati yang berurat melingkar kokoh indah. Berguna untuk bahan
papan, alamari, gebyok. Pemilik akan dikagumi lingkungan sekitar.
11. Jati gedam.
Jati yang dihingapi hewan iber iberan. Cocok untuk bahan
perkakas rumah. Meja kursi, dipan, dingklik. Pemilik akan punya pengikut yang
patuh.
12. Jati monggang.
Kayu jati yang tumbuh di gumuk atau onggokan tanah yang
tinggi. Cocok untuk membuat gardu, Pesanggrahan, rumah peristirahatan. Pemilik
punya jiwa ramah pemurah, luwes bergaul.
13. Jati gendhong.
Jati yang tumbuh di tanah pekarangan. Cocok untuk bahan
mainan anak. Perkakas buat momong balita. Pemilik menjadi pribadi yang
menyenangkan.
14. Jati gedheg.
Kayu jati yang punya gembolo atau bagian yang menonjol.
Cocok untuk dinding pembatas. Kadang kadang untuk tirai atau warana. Pemilik
punya kepercayaan diri yang kuat.
15. Jati gadhu.
Kayu jati ini punya tonjolan mirip gandhik atau pipisan.
Cocok untuk pembuatan kandang ternak. Pemilik akan kaya dalam hal ingon ingon
sapi, kebo, wedus, jaran. Kejayaan bertambah terus.
Dalam tradisi kerajaan Jawa hewan kuda merupakan sebuah
kebanggaan yang bergengsi tinggi. Belo yang digembala dipadang rumput akan
menjadi bahan perhatian semua mata yang menatap. Tak terkecuali wilayah Blora.
Sejak dulu menjadi perhatian berbagai pihak. Di Blora ada imbalan yang sangat
memadai. Sesungguhnya kabupaten Blora memiliki perjalanan sejarah yang panjang.
Pada jaman kerajaan Majapahit wilayah Blora kerap menjadi tujuan kunjungan para
pejabat istana.
Pada tahun 1352 Prabu Hayamwuruk berkunjung ke Bedander
Bojonegoro. Raja Majapahit ini napak tilas perjuangan leluhurnya yaitu Prabu
Joyonagoro. Perjalanan diteruskan ke Cepu Blora. Di sana beliau mengamati
potensi alam Cepu Blora yang berlimpah ruah. Kayu jati dan minyak merupakan
kekayaan alam yang mahal harganya. Kerajaan Majapahit memberi perlindungan dan
pengaturan yang menguntungkan rakyat.
Kerajaan Majapahit masa kepemimpinan Prabu Brawijaya V
semakin peduli pada wilayah Blora. Prabu Brawijaya V pernah tapa ngeli di Kali
Lusi. Beliau juga melakukan meditasi di Gunung Kendheng. Rombongan kraton
Majapahit kembali ke Surabaya naik perahu Kyai Rajawesi. Berangkat dari Cepu
de-ngan menelusuri Bengawan Solo.
Masyarakat Blora telah sepakat menetapkan hari jadi
kabupaten Blora. Hari ulang tahunnya diambil dari Kamis Kliwon tanggal 2 Sura
1675 atau 11 Desember 1749. Bupati pertama dijabat oleh Adipati Wilwatikta.
Saat itu Blora dibawah pembinaan kraton Surakarta Hadiningrat. Rajanya bernama
Sinuwun paku Buwana III.
Dalam Serat Centhini karya Sinuwun Paku Buwana V yang
memerintah karaton Surakarta Hadiningrat tahun 1820-1823 Blora banyak disebut.
Wilayah Blora memiliki 5 keunggulan.
1. Kayu
Jati.
Kayu jati Blora berkualitas internasional. Penanaman kayu
jati memerlukan waktu yang lama. Setidak tidaknya 50 tahun. Itu baru bisa
dipanen. Hari raya tentu lebih baik.
2. Minyak
tanah.
Sumur yang mengalir di wilayah Cepu menjadi kekayaan
berlimpah ruah. Karunia Tuhan yang diberikan kepada masyarakat Blora amat
besar.
3. Semen
Gamping.
Sepanjang gunung Sewu dan gunung Kendheng merupakan bahan
untuk membuat semen. Bahkan sudah tersedia. Tinggal mengolah saja sudah menjadi
barang mewah.
4. Padi
Gogo.
Padi gogo ditanam di ladang yang kering. Tidak perlu air
yang cukup. Padi gogo tumbuh subur di sekitar tanah tandus. Rasanya enak
sekali. Mutu rasanya berkelas dunia.
5. Burung
Perkutut.
Manuk kutut bersuara merdu, nyaring atau kung. Orang yang
mendengar akan merasa tenang ayem tentrem. Burung perkutut sekitar gunung
Kendheng sungguh memikat dan mahal harganya.
Tim kerajaan Surakarta sejak tahun 1810 sudah melakukan
kajian yang mendalam atas wilayah Blora. Gunung Kendheng gunung Sewu, gunung
Pandhan diulas terperinci. Penjelasan dari serat Centhini yang disusun tim
karaton Surakarta dapat dijadikan panduan untuk mengolah wilayah Blora.
Sepanjang sungai Bengawan Solo merupakan kawasan alam yang menye-diakan
kekayaan yang amat banyak. Cuma perlu pengaturan yang jeals. Jangan sampai
terjadi keributan. Itulah gunanya aturan hidup.
Kemajuan kabupaten Blora menjadi perhatian dunia sejak tahun
1862. Sinuwun Paku Buwana IX raja Kraton Surakar-ta Hadiningrat mengundang
investor internasional. Pelabuhan Tanjung Emas Semarang diperbaiki. Mutu
ketrampilan juru ukir Jepara ditingkatkan dengan pelatihan. Transportasi yang
menghubungkan stasiun Cepu dibangun dengan sangat bagus. Jalur kereta api
dibangun menghubungkan Cepu Surabaya dan Cepu Semarang. Betapa strategisnya
kota Cepu Blora. Pemuda-pemudi Cepu dilatih dalam bidang teknologi modern. Mereka
bisa bekerja di perusahaan kereta api.
Pemuda pemudi Jeken, Kedungtuban, Kradenan, Kunduran,
Ngawen, Sambong, Randublatung, Todanan, Tunjungan pada tahun 1916 diajak
belajar manajemen gula di pabrik Gondang Winangun. Pengalaman berharga ini
berguna untuk menyongsong masa depan.
Kepercayaan masyarakat Cepu Blora terhadap benda magis jati
tinggi sekali. Beberapa kayu jati yang mesti dihindari. Jati klabang pipitan,
tundhung, sadhang, sundhang, sondho, sarah. Sebaiknya jati ini dihindari.
Jenis jati sial lainnya yaitu jati sujen terus, wutak ati,
prabatang, gombang, galigang, gronang, gandhongan, gosong, gronggang, buntel
mayit. Jati ini membawa petaka. Bisa digunakan setelah diberi syarat khusus.
Kabupaten Blora memiliki sesanti atau motto MUSTIKA. Akronim
MUSTIKA ini bermakna Maju, Unggul, Sehat, Tertib, Indah, Kontinyu, Aman.
Harapan rakyat Blora ini disajikan dalam bentuk lagu laras pelog berjudul Blora
Mustika.
Maju terus pembangunan nagri
Unggul kabul kuncara kang ginayuh
Sehat lahir kalawan batine
Tertib rancak tumata tuwin titi permati
Indah agawe tentreming rasa
Kontinyu tan kendhat kang binundi
Aman ayem temah karta raharja.
Lagu Blora Mustika tersebut populer sejak tahun 1984. Para
wiyaga, waranggana sering mengumandangkan lagu Blora Mustika. Bahkan dalam seni
tayub menjadi lagu favorit. Dengan garab balung yang kreatif, kendangan yang
sigrak tentu membuat pengibing merasa cocok. Mereka njoged sesuai dengan irama.
Suara ibu waranggana tayub yang merdu menjadikan mereka gembira ria. Penanggap
rata-rata sedang punya hajad. Mantu, khitan, kelahiran bayi sering mengundang
rombongan langen tayub.
Pengembangan seni budaya Blora boleh dikata maju sekali.
Rakyat Blora tampil bahagia dengan nanggap tayub. Wilayah Cepu, Jepon,
Randublatung mudah dijumpai pementasan seni tayub. Pengrawit tayuban rata rata
dinamis, bebas dan sigrak. Nama yang terdengar selalu meriah, sensual dan
menarik untuk gerakan. Seni tayub membuat bahagia bersama.
B. Kiprah
Perjuangan Pimpinan Wilayah.
Kekayaan wilayah Cepu Blora berlimpah ruah. Pemimpin
mengatur harta warisan nenek moyang. Kemakmuran diharap dirasakan oleh sekalian
warga negara.
Kayu jati Cepu Blora merupakan warisan dunia yang perlu
penataan. Misalnya cara menghindari balak atau petaka.
Jati pipitan kulitnya panas. Pemilik mudah cekcok, sengketa,
bertengkar. Hawanya sumuk tak bisa tentram.
Jati tundhung mudah untuk saling mengusir. Jati sadhang
melintang di sungai yang mendatangkan kesusahan.
Ada lagi jati sondho rebah di atas tunggak, yang menurunkan
martabat. Jati sarah hanyut, membuat halangan laku. Jati sujen terus bikin
lubang temus, membuat pemilik gagal total. Semua aturan ini perlu diperhatikan.
Para pemimpin amat peduli keselamatan. Larangan ini berlaku
untuk sekalian warga. Pengetahuan tentang kayu jati dipelajari teliti.
1. Tumenggung
Wilatikta 1749-1762. Dilantik pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwono III,
raja Surakarta Hadiningrat.
2. Tumenggung
Jayeng Tirtanata 1762-1782. Dilantik pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwono
III, raja Surakarta Hadiningrat.
3. RT
Tirtakusuma 1782-1812. Dilantik pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwono III,
raja Surakarta Hadiningrat.
4. RT
Prawirayuda 1812-1823. Dilantik pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwono IV,
raja Surakarta Hadiningrat.
5. RT
Tirtanegoro I 1823-1842. Dilantik pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwono V,
raja Surakarta Hadiningrat.
6. Adipati
Cokronegoro I 1842-1843. Dilantik pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwono VII,
raja Surakarta Hadiningrat.
7. RT
Tirtonegoro II 1843-1847. Dilantik pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwono
VII, raja Surakarta Hadiningrat.
8. RT
Notowijoyo 1847-1857. Dilantik pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwono VII,
raja Surakarta Hadiningrat.
9. RT
Cokronegoro II 1857-1886. Dilantik pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwono IX,
raja Surakarta Hadiningrat.
10. RT
Cokronegoro III 1886-1912. Dilantik pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwono X,
raja Surakarta Hadiningrat.
11. RM
Abdulkadir Jaelani 1912-1926. Dilantik pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwono
X, raja Surakarta Hadiningrat.
12. RM
Cakraningrat 1926-1938. Dilantik pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwono X,
raja Surakarta Hadiningrat.
13. RM Murjono
Joyodigdo 1938-1942. Dilantik pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwono XI, raja
Surakarta Hadiningrat.
14. RM Sujono
1942-1945. Dilantik pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwono XI, raja Surakarta
Hadiningrat.
15. MR
Iskandar 1945-1948. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.
16. R Wibisono
1948-1949. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.
17. R Siswadi
Joyodigdo 1949-1952. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.
18. R Sujono
1952-1957. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.
19. Sunartio
1957-1960. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.
20. Sukirno
Sastrodimejo 1960-1967. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.
21. Srinardi
1967-1973. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.
22. Supadi
Yudodarmo 1973-1979. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.
23. Sumarno SH
1979-1989. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.
24. Sukardi
Harjoprawiro 1989-1999. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.
25. Ir. Basuki
Widodo 1999-2007. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Habibie.
26. Yudhi
Sancoko 2007-2010. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono.
27. Joko
Nugroho 2010-2020. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono dan Presiden Joko Widodo.
Para pemimpin menata wilayah Cepu. Tanaman kayu jati dijaga
dengan sepenuh hati. Mutu jati Cepu sudah dikenal di seluruh dunia.
C. Wilayah
Blora dalam Ulasan Serat Centhini
Aran ing Krendha wahana, urute si Kendheng gunung, abanjar
dawa puniku, karo ing si Tengger arga, titahing dewa sadarum, kang murih marang
ing dina, kailangan umur puput.
Ing kene nggon ingsun nyetra, kariya milih sireku, samono
mau kang purun, nuninggih rama sandika, putrane anyuwun sangu, warni arta
swidak uwang, abragging pawon sadarum.
Miwah sen isening griya, lempir glaran ingkang alus, myang
sumekan warni catur, pandhan binethot sajuga, ijem ringin kalihipun, katri
songer namanira, daringin jangkeping catur.
Ing tembe nak putu ingkang, sami kapengin mangrasuk, sinjang
sekaran puniku, mawia jawab ing kula, sadangunira mangrasuk, kula lilani
nganggoa, panganten inggal puniku.
Bilih boten makatena, datan lega manahulun, tampia upata
ningsun, ya rara luwih prayoga, daktururane kang kantun, mundur Dyah Bathari
Durga, Hyang Panyarikan mangayun.
Mangenjali aturira, kawula anyuwun sangu, ron karopak
ingkang alus, kalih kisi pangot waja, pamintamu ingsun angsung, mundur Sang
Hyang Panyarikan, mesat mring kayanganipun.
Gya Lebakipun mangarsa, nembah matur dhuh pukulun, ingkang
abdi nyuwun sangu, ayam jaler estri gesang, lele kalih ingkang idhup, gecok
ingkang warna warna, tuwin sinjang tuluh watu.
Sagegem sisih wos pethak, warni sanga tumpengipun, jadah
warni sanga namung, sekul asahan penakan, kupat lepet legandha nung, pula
gringsing pula gimbal, awug awug kaduk juruh.
Tatedhan bangsa kukusan, remikan sapepakipun, rujak bakal
ingkang wutuh, cadhong jenang ingkang pepak, pala kasimpar gumantung, pala
pendhem mamentahan, tuwin sinjang perlunipun.
Kangge nggendhong kang tatedhan, prayoga ing panyuwunmu,
Lebakiyuk wus amundur, Keblak dheklak kang mangarsa, marenges nembah umatur,
pukulun gusti kawula, ingkang abdi nyuwun sangu.
Sekul ulam myang panganan, kawradinken kancaulun, prayoga
sapanyuwunmu, Keblakdhekla kang wus medal, Kalabanjar amangayun, kawula pun
Kalabanjar, plataran panggenan ulun.
Ywa supe dipretenana, tumpeng sakilan nggilipun, wiyar
sapecak pleng namung, sawontene ulam ulam, dupa sekar campur bawur, picis
patang ketheng wetah, yen tan makaten saestu.
Mindhak krep ngumpetken bocah, iya atut panjalukmu,
daktuturane kang pungkur, Kalabanjar wus umesat, Kalaencer sowan matur,
Kalsencer namakula, manggen prapatan delanggung.
Dipertenana wakingwang, tumpeng sapecak nggillipun, kang
sakilan wiyaripun, lawuh ulam gegorengan, ulam gego-dhogan namung, jajanganan
kembang gantal, dupa picis ketheng wolu.
Yen boten makaten apan, kula mindhak asring mbesur,
jenggleng tyang numpak kudhestu, iya ing panuwunira, daktuturana kang pungkur,
Kalaencer sampun mesat, Kalajathok majeng matur.
Kalajathok nama amba, manggen ing watoning salu, menek gelem
nyanak ulun, saben saben mentas nedha, watoning amben puniku, nggih kadekekana
upa, mung kalih sisih thil namung.
Kang ajeg hya kongsi kendhat, yen wonten wisa puniku, saking
jawi asalipun, amba sagah mangsulena, iya Jathok panyuwunmu, daktuturane kang wuntat,
kang sinung ling sampun mundur.
Kalajangkung mareg nembah, amba nama Kalajangkung, manggen
ulon ulon ulun, kang dados panyuwunamba, yen temen panyanakipun, saben tilem
myang tileman, sampun sok idu mandhuwur.
Bilih wonten wisa wisa, kang saking nginggil puniku, kula
sagah nulak wangsul, iya banget panrimengwang, daktuturane kang pungkur,
Kalajangkung wus amesat, Nyi Kalaijen mangayun.
Nyai Kalaijen amba, cumadhong dhawuh pukulun, punapa tumut
tinundhung, punapa pareng kantuna, sira misia lestantun, apa panggaweyanira,
Kalaijen nembah matur.
Nuninggih dhateng sendika, anamung panuwun ulun, yen nuju
wedalanipun, lare momonge kang pepak, iya dakwisik kang pungkur, Kalaijen wus
umesat, gantya sinom sekaripun.
Manawi gembesan tanah, redi eler Kendheng saurutneki, namung
sapalih winangun, kadi cenggering ayam, bilih sampun dados gebengan puniku,
utawi balok namanya, sakarsa karsa wus kenging.
De bilih badhe kinarya, talang wuwung utawi dandosanning,
baita sasaminipun, kedah manah kabucal, sarta cinalonan sadhapuring wuwung,
kalawan dhapuring talang, baita sasamineki.
Panyigaring kanang wreksa, naminipun kapaju patrapneki,
rumuhun kakencong mujur, wit pucuk trus bongkotnya, kiwa tengen utawi ngandhap
myang luhur, kencongan ing nginggil nulya, katancepan paju wiwit.
Pucuk dumugi bongkotnya, longkangipun paju sami nyakaki,
sakathahing paju paju, ginandhenan dumugya, ing kencongan ngandhap terusaning
luhur, wradin paju tekeng ngandhap, gya sinigar langkung gampil.
Wondene ta kajeng ingkang, ageng ageng patrap panggarap
neki, ing bongkot utawi pucuk, kang labet gagethakan, kakencongan malang gya
tinrapan paju, mugi lajeng ginandhena, yen kajeng genge samundhing.
Gandhenipun semprong nama, gendhing semprong tinartamtu
ngungkuli, genging kajeng kang pinaju, semprong ginantung malang, neng wit
witan ingkang caket wonten ngriku, kinandhut tinarik ngangkah, saget nuthuk
paju sami.
Ing sasampunipun sigar, dyan rinimbas utawi den prejengi,
kadamel saprelunipun, gebingan myang balabag, terangipun ingkang sama kencong
mujur, sakiwa tengening wreksa, utawi ing ngandhap nginggil.
Winadung amujur panjang, awit bongkot dumugi pucuk neki,
kados kakalenan mujur, wondene kencong malang, pernah bongkot utawi kapernah
pucuk, winadung supados krowak, kenginga dipunseseli.
Ing paju sacekapira, menggah paju wau ingkang kinardi,
kajeng jati ingkang burus, ing bongkot wradin papak, pucuk lan-cip radi gepeng
wujudipun, dene ageng panjangira, dinugi kang nguwaweni.
Kang nama kajeng kocoran, panegornya tan tineres rumiyin,
maksih gesang angrembuyung, gya tinegor kewala, patrap patrap panegor
pangrebasipun, pamrejeng sasaminira, kadi kang kasebut ngarsi.
Mung wusing dadya gebingan, gya kinethok ginambang tharik
tharik, kadi amben isthanipun, neng panggonan kang banar, laminipun tigang
wulan para langkung, punika sampun prayoga, kaangge parabot panti.
Yen kajeng badhe baita, tuwin wuwung talang sasamineki,
panggenan pamenthengipun, kang asrep myang keyuban, laminipun ugi tigang wulan
langkung, sanadyan kajeng kocoran, saget awet sawatawis.
Mangkya bab sirap winarna, naminipun wonten sakawan warni,
sawarni Dumba rannipun, wiyarnya ing ukuran, kalih tengah kaki
sapanginggilipun, panjang wiwit ukur tiga, kaki sapanginggil neki.
Kalih sirap Gupe rannya, lawan Dumba geng panjang boten
sami, ukur awit wiyaripun, satunggal kaki minggah, panjang ka-lih satengan kaki
ingukur, minggah dumugi ukuran, kirangipun tigang kaki.
Tiga nama sirap Dhara, wiyaripun pitung edim manginggil,
dene ukur panjangipun, pan kalih kaki minggah, catur sirap gedhong dene
wiyaripun, namung sekawan dim minggah, panjang gangsalwelas edim.
Kajeng kang kadamel sirap, tinartamtu awet tan nguciwani,
teteresan ingkang burus, manawi bangsa ngandhap, tiyang alit purun damel sirap
wau, saking glinggang saha brungkah, manawi pundhutan aji.
Tuwin para luhur samya, kedah negor saking teresan tuwin,
negor ingkang taksih idhup, piliyan ugi ingkang, burus mulus nir cacat
saurutipun, patraping panyigarira, sampuning rebah kang uwit.
Pinilih kang tanpa cacat, serat burus kadi kasebut ngarsi,
ginethak sasisihipun, sapanjanging kang sirap, dipun ancas angiras kadamel
lancur, gethakan gya kaanjingan, paju lajeng den gandheni.
Paju kang kapara kathah, patrapipun kapara krep prayogi,
mila makaten liripun, urut serating wreksa, saha boten pecah nalisir myang
remuk, yen wus dadya balebekan, gya rinimbas denaloni.
Dalam lintasan sejarah budaya ternyata kabupaten Blora
selalu menjadi perhatian para sarjana dunia. Semua kerajaan Jawa menjadikan
Blora sebagai tempat untuk mempertajam kualitas manajemen kenegaraan. Oleh
karena itu para pemimpin tersebut senantiasa menggunakan konsep manunggaling
kawula Gusti dalam menata kabupaten Blora.
Kabupaten Blora sudah tepat memiliki sesanti atau semboyan
Blora Mustika: Maju, Unggul, Sehat, Tertib, Indah, Kontinyu, Aman. Konsep yang
indah ini bertambah indah ketika disajikan dalam bentuk lelagon gendhing.
Oleh Dr Purwadi, M.Hum. Ketua Lembaga Olah Kajian Nusantara
LOKANTARA, Hp 087864404347.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar