Rabu, 30 Desember 2020

SEJARAH KAYU JATI CEPU

 

A.            Jenis Jenis Kayu Jati Cepu.

Wilayah Cepu memiliki kekayaan kayu jati yang bermutu tinggi. Cepu Bojonegoro, lor Rembang kidul Blora, nengetan Tuban Babad lan Lamongan, Gresik Surabaya.

Lingkungan jati Cepu menawan selalu. Pemilihan kayu jati harus sesuai dengan bangunan yang dirancang. Jenis jenis kayu jati beragam rupa.

Kawruh kalang memuat pedoman tentang bangunan yang dibuat dari kayu jati. Diuraikan dalam serat Centhini karya Sinuwun Paku Buwana V, Raja Karaton Surakarta Hadiningrat tahun 1820-1823. Keterangan tentang kayu jati berhubungan dengan paugeran urip.

1. Jati bang.

Kayu jati ini keras, halus dan nglenga atau berminyak. Sebagai bahan bangunan akan menjadi awet dan kokoh. Pemilik mendapat belas kasih dari sesama.

2. Jati kembang.

Jenis jati kembang memiliki urat seperti ukiran kembang. Berwarna kecoklat coklatan. Cocok untuk hiasan bangunan. Akan tampak lebih indah. Pemilik lancar usaha.

3. Jati sungu.

Jati sungu berwarna hitam. Wujudnya mirip sungu atau tanduk. Bisa memperindah rupa bangunan. Pemilik mendapatkan pekerjaan yang terhormat.

4. Jati kapur.

Jati kapur batangnya lunak. Serabut atau uratnya kasar. Berwarna keputihan putihan. Cocok untuk bangunan yang berhawa panas dan tanahnya gersang. Pemilik memiliki kesabaran tinggi.

5. Jati uger uger.

Kayu jati yang berasal dari batang pohon yang bercabang rangkap. Cocok untuk membuat pintu kori, pintu cepuri, pintu regol. Agar masyarakat mendapat kedamaian dan ketentraman.

6. Jati traju mas.

Kayu jati yang bercabang tiga. Cocok untuk bangunan molo, blandar, pangeret. Pemilik akan mendapat harta berlimpah, rejeki mbanyu mili.

7. Jati Pandawa.

Jati bercabang lima lambang kekompakan. Cocok sebagai bahan soko guru atau tiang utama. Tekad pendawa lima memperkokoh tali persaudaraan.

8. Jati Mulo.

Jati ini berasal dari lingkungan berair dan berhawa lembab. Kayu jati mulo untuk tiang penyangga. Pemilik akan bersemangat kerja. Cita cita luhur terlaksana.

9. Jati tunjung.

Kayu jati yang menjadi susuh manuk. Terutama sarang burung elang. Pemilik akan naik pangkat, punya derajat. Status sosial lebih terpandang.

10. Jati gedong.

Jati yang berurat melingkar kokoh indah. Berguna untuk bahan papan, alamari, gebyok. Pemilik akan dikagumi lingkungan sekitar.

11. Jati gedam.

Jati yang dihingapi hewan iber iberan. Cocok untuk bahan perkakas rumah. Meja kursi, dipan, dingklik. Pemilik akan punya pengikut yang patuh.

12. Jati monggang.

Kayu jati yang tumbuh di gumuk atau onggokan tanah yang tinggi. Cocok untuk membuat gardu, Pesanggrahan, rumah peristirahatan. Pemilik punya jiwa ramah pemurah, luwes bergaul.

13. Jati gendhong.

Jati yang tumbuh di tanah pekarangan. Cocok untuk bahan mainan anak. Perkakas buat momong balita. Pemilik menjadi pribadi yang menyenangkan.

14. Jati gedheg.

Kayu jati yang punya gembolo atau bagian yang menonjol. Cocok untuk dinding pembatas. Kadang kadang untuk tirai atau warana. Pemilik punya kepercayaan diri yang kuat.

15. Jati gadhu.

Kayu jati ini punya tonjolan mirip gandhik atau pipisan. Cocok untuk pembuatan kandang ternak. Pemilik akan kaya dalam hal ingon ingon sapi, kebo, wedus, jaran. Kejayaan bertambah terus.

Dari perspektif historis, Cepu Blora perlu dilacak secara semantis. Nama kabupaten Blora memang arum kuncara. Kata Blora berasal dari kata Belo dan Ara ara. Blora juga bermakna belo ing ara ara. Belo itu anak kuda. Ara ara berarti padang rumput. Belo merupakan hewan piaraan yang punya masa depan gemilang. Belo yang dirawat dengan baik akan menjadi hewan ternak yang mewah megah. Kalau beruntung kuda yang bermutu tinggi pasti menjadi kesayangan para bangsawan utama.

Dalam tradisi kerajaan Jawa hewan kuda merupakan sebuah kebanggaan yang bergengsi tinggi. Belo yang digembala dipadang rumput akan menjadi bahan perhatian semua mata yang menatap. Tak terkecuali wilayah Blora. Sejak dulu menjadi perhatian berbagai pihak. Di Blora ada imbalan yang sangat memadai. Sesungguhnya kabupaten Blora memiliki perjalanan sejarah yang panjang. Pada jaman kerajaan Majapahit wilayah Blora kerap menjadi tujuan kunjungan para pejabat istana.

Pada tahun 1352 Prabu Hayamwuruk berkunjung ke Bedander Bojonegoro. Raja Majapahit ini napak tilas perjuangan leluhurnya yaitu Prabu Joyonagoro. Perjalanan diteruskan ke Cepu Blora. Di sana beliau mengamati potensi alam Cepu Blora yang berlimpah ruah. Kayu jati dan minyak merupakan kekayaan alam yang mahal harganya. Kerajaan Majapahit memberi perlindungan dan pengaturan yang menguntungkan rakyat.

Kerajaan Majapahit masa kepemimpinan Prabu Brawijaya V semakin peduli pada wilayah Blora. Prabu Brawijaya V pernah tapa ngeli di Kali Lusi. Beliau juga melakukan meditasi di Gunung Kendheng. Rombongan kraton Majapahit kembali ke Surabaya naik perahu Kyai Rajawesi. Berangkat dari Cepu de-ngan menelusuri Bengawan Solo.

Masyarakat Blora telah sepakat menetapkan hari jadi kabupaten Blora. Hari ulang tahunnya diambil dari Kamis Kliwon tanggal 2 Sura 1675 atau 11 Desember 1749. Bupati pertama dijabat oleh Adipati Wilwatikta. Saat itu Blora dibawah pembinaan kraton Surakarta Hadiningrat. Rajanya bernama Sinuwun paku Buwana III.

Dalam Serat Centhini karya Sinuwun Paku Buwana V yang memerintah karaton Surakarta Hadiningrat tahun 1820-1823 Blora banyak disebut. Wilayah Blora memiliki 5 keunggulan.

1.            Kayu Jati.

Kayu jati Blora berkualitas internasional. Penanaman kayu jati memerlukan waktu yang lama. Setidak tidaknya 50 tahun. Itu baru bisa dipanen. Hari raya tentu lebih baik.

2.            Minyak tanah.

Sumur yang mengalir di wilayah Cepu menjadi kekayaan berlimpah ruah. Karunia Tuhan yang diberikan kepada masyarakat Blora amat besar.

3.            Semen Gamping.

Sepanjang gunung Sewu dan gunung Kendheng merupakan bahan untuk membuat semen. Bahkan sudah tersedia. Tinggal mengolah saja sudah menjadi barang mewah.

4.            Padi Gogo.

Padi gogo ditanam di ladang yang kering. Tidak perlu air yang cukup. Padi gogo tumbuh subur di sekitar tanah tandus. Rasanya enak sekali. Mutu rasanya berkelas dunia.

5.            Burung Perkutut.

Manuk kutut bersuara merdu, nyaring atau kung. Orang yang mendengar akan merasa tenang ayem tentrem. Burung perkutut sekitar gunung Kendheng sungguh memikat dan mahal harganya.

Tim kerajaan Surakarta sejak tahun 1810 sudah melakukan kajian yang mendalam atas wilayah Blora. Gunung Kendheng gunung Sewu, gunung Pandhan diulas terperinci. Penjelasan dari serat Centhini yang disusun tim karaton Surakarta dapat dijadikan panduan untuk mengolah wilayah Blora. Sepanjang sungai Bengawan Solo merupakan kawasan alam yang menye-diakan kekayaan yang amat banyak. Cuma perlu pengaturan yang jeals. Jangan sampai terjadi keributan. Itulah gunanya aturan hidup.

Kemajuan kabupaten Blora menjadi perhatian dunia sejak tahun 1862. Sinuwun Paku Buwana IX raja Kraton Surakar-ta Hadiningrat mengundang investor internasional. Pelabuhan Tanjung Emas Semarang diperbaiki. Mutu ketrampilan juru ukir Jepara ditingkatkan dengan pelatihan. Transportasi yang menghubungkan stasiun Cepu dibangun dengan sangat bagus. Jalur kereta api dibangun menghubungkan Cepu Surabaya dan Cepu Semarang. Betapa strategisnya kota Cepu Blora. Pemuda-pemudi Cepu dilatih dalam bidang teknologi modern. Mereka bisa bekerja di perusahaan kereta api.

Sinuwun Paku Buwono X memerintah tahun 1893-1939. Pemuda pemudi dari wilayah Banjarejo, Bogarejo, Cepu, Japan dan Jati diundang untuk belajar pengelolaan kebun teh di Ampel Boyolali pada tahun 1915. Setelah itu mereka bekerja dengan sistem kontrak. Upahnya lebih dari memadai. Setiap 3 bulan karyawan kebun teh ini diberi fakansi untuk kunjung orang tua di kampung. Semua biaya ditanggung perusahaan.

Pemuda pemudi Jeken, Kedungtuban, Kradenan, Kunduran, Ngawen, Sambong, Randublatung, Todanan, Tunjungan pada tahun 1916 diajak belajar manajemen gula di pabrik Gondang Winangun. Pengalaman berharga ini berguna untuk menyongsong masa depan.

Kepercayaan masyarakat Cepu Blora terhadap benda magis jati tinggi sekali. Beberapa kayu jati yang mesti dihindari. Jati klabang pipitan, tundhung, sadhang, sundhang, sondho, sarah. Sebaiknya jati ini dihindari.

Jenis jati sial lainnya yaitu jati sujen terus, wutak ati, prabatang, gombang, galigang, gronang, gandhongan, gosong, gronggang, buntel mayit. Jati ini membawa petaka. Bisa digunakan setelah diberi syarat khusus.

Kabupaten Blora memiliki sesanti atau motto MUSTIKA. Akronim MUSTIKA ini bermakna Maju, Unggul, Sehat, Tertib, Indah, Kontinyu, Aman. Harapan rakyat Blora ini disajikan dalam bentuk lagu laras pelog berjudul Blora Mustika.

Maju terus pembangunan nagri

Unggul kabul kuncara kang ginayuh

Sehat lahir kalawan batine

Tertib rancak tumata tuwin titi permati

Indah agawe tentreming rasa

Kontinyu tan kendhat kang binundi

Aman ayem temah karta raharja.

Lagu Blora Mustika tersebut populer sejak tahun 1984. Para wiyaga, waranggana sering mengumandangkan lagu Blora Mustika. Bahkan dalam seni tayub menjadi lagu favorit. Dengan garab balung yang kreatif, kendangan yang sigrak tentu membuat pengibing merasa cocok. Mereka njoged sesuai dengan irama. Suara ibu waranggana tayub yang merdu menjadikan mereka gembira ria. Penanggap rata-rata sedang punya hajad. Mantu, khitan, kelahiran bayi sering mengundang rombongan langen tayub.

Pengembangan seni budaya Blora boleh dikata maju sekali. Rakyat Blora tampil bahagia dengan nanggap tayub. Wilayah Cepu, Jepon, Randublatung mudah dijumpai pementasan seni tayub. Pengrawit tayuban rata rata dinamis, bebas dan sigrak. Nama yang terdengar selalu meriah, sensual dan menarik untuk gerakan. Seni tayub membuat bahagia bersama.

B.            Kiprah Perjuangan Pimpinan Wilayah.

Kekayaan wilayah Cepu Blora berlimpah ruah. Pemimpin mengatur harta warisan nenek moyang. Kemakmuran diharap dirasakan oleh sekalian warga negara.

Kayu jati Cepu Blora merupakan warisan dunia yang perlu penataan. Misalnya cara menghindari balak atau petaka.

Jati pipitan kulitnya panas. Pemilik mudah cekcok, sengketa, bertengkar. Hawanya sumuk tak bisa tentram.

Jati tundhung mudah untuk saling mengusir. Jati sadhang melintang di sungai yang mendatangkan kesusahan.

Ada lagi jati sondho rebah di atas tunggak, yang menurunkan martabat. Jati sarah hanyut, membuat halangan laku. Jati sujen terus bikin lubang temus, membuat pemilik gagal total. Semua aturan ini perlu diperhatikan.

Para pemimpin amat peduli keselamatan. Larangan ini berlaku untuk sekalian warga. Pengetahuan tentang kayu jati dipelajari teliti.

1.            Tumenggung Wilatikta 1749-1762. Dilantik pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwono III, raja Surakarta Hadiningrat.

2.            Tumenggung Jayeng Tirtanata 1762-1782. Dilantik pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwono III, raja Surakarta Hadiningrat.

3.            RT Tirtakusuma 1782-1812. Dilantik pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwono III, raja Surakarta Hadiningrat.

4.            RT Prawirayuda 1812-1823. Dilantik pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwono IV, raja Surakarta Hadiningrat.

5.            RT Tirtanegoro I 1823-1842. Dilantik pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwono V, raja Surakarta Hadiningrat.

6.            Adipati Cokronegoro I 1842-1843. Dilantik pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwono VII, raja Surakarta Hadiningrat.

7.            RT Tirtonegoro II 1843-1847. Dilantik pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwono VII, raja Surakarta Hadiningrat.

8.            RT Notowijoyo 1847-1857. Dilantik pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwono VII, raja Surakarta Hadiningrat.

9.            RT Cokronegoro II 1857-1886. Dilantik pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwono IX, raja Surakarta Hadiningrat.

10.          RT Cokronegoro III 1886-1912. Dilantik pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwono X, raja Surakarta Hadiningrat.

11.          RM Abdulkadir Jaelani 1912-1926. Dilantik pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwono X, raja Surakarta Hadiningrat.

12.          RM Cakraningrat 1926-1938. Dilantik pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwono X, raja Surakarta Hadiningrat.

13.          RM Murjono Joyodigdo 1938-1942. Dilantik pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwono XI, raja Surakarta Hadiningrat.

14.          RM Sujono 1942-1945. Dilantik pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwono XI, raja Surakarta Hadiningrat.

15.          MR Iskandar 1945-1948. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.

16.          R Wibisono 1948-1949. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.

17.          R Siswadi Joyodigdo 1949-1952. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.

18.          R Sujono 1952-1957. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.

19.          Sunartio 1957-1960. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.

20.          Sukirno Sastrodimejo 1960-1967. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.

21.          Srinardi 1967-1973. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.

22.          Supadi Yudodarmo 1973-1979. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.

23.          Sumarno SH 1979-1989. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.

24.          Sukardi Harjoprawiro 1989-1999. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.

25.          Ir. Basuki Widodo 1999-2007. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Habibie.

26.          Yudhi Sancoko 2007-2010. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

27.          Joko Nugroho 2010-2020. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Joko Widodo.

Para pemimpin menata wilayah Cepu. Tanaman kayu jati dijaga dengan sepenuh hati. Mutu jati Cepu sudah dikenal di seluruh dunia.

C.            Wilayah Blora dalam Ulasan Serat Centhini

Aran ing Krendha wahana, urute si Kendheng gunung, abanjar dawa puniku, karo ing si Tengger arga, titahing dewa sadarum, kang murih marang ing dina, kailangan umur puput.

Ing kene nggon ingsun nyetra, kariya milih sireku, samono mau kang purun, nuninggih rama sandika, putrane anyuwun sangu, warni arta swidak uwang, abragging pawon sadarum.

Miwah sen isening griya, lempir glaran ingkang alus, myang sumekan warni catur, pandhan binethot sajuga, ijem ringin kalihipun, katri songer namanira, daringin jangkeping catur.

Ing tembe nak putu ingkang, sami kapengin mangrasuk, sinjang sekaran puniku, mawia jawab ing kula, sadangunira mangrasuk, kula lilani nganggoa, panganten inggal puniku.

Bilih boten makatena, datan lega manahulun, tampia upata ningsun, ya rara luwih prayoga, daktururane kang kantun, mundur Dyah Bathari Durga, Hyang Panyarikan mangayun.

Mangenjali aturira, kawula anyuwun sangu, ron karopak ingkang alus, kalih kisi pangot waja, pamintamu ingsun angsung, mundur Sang Hyang Panyarikan, mesat mring kayanganipun.

Gya Lebakipun mangarsa, nembah matur dhuh pukulun, ingkang abdi nyuwun sangu, ayam jaler estri gesang, lele kalih ingkang idhup, gecok ingkang warna warna, tuwin sinjang tuluh watu.

Sagegem sisih wos pethak, warni sanga tumpengipun, jadah warni sanga namung, sekul asahan penakan, kupat lepet legandha nung, pula gringsing pula gimbal, awug awug kaduk juruh.

Tatedhan bangsa kukusan, remikan sapepakipun, rujak bakal ingkang wutuh, cadhong jenang ingkang pepak, pala kasimpar gumantung, pala pendhem mamentahan, tuwin sinjang perlunipun.

Kangge nggendhong kang tatedhan, prayoga ing panyuwunmu, Lebakiyuk wus amundur, Keblak dheklak kang mangarsa, marenges nembah umatur, pukulun gusti kawula, ingkang abdi nyuwun sangu.

Sekul ulam myang panganan, kawradinken kancaulun, prayoga sapanyuwunmu, Keblakdhekla kang wus medal, Kalabanjar amangayun, kawula pun Kalabanjar, plataran panggenan ulun.

Ywa supe dipretenana, tumpeng sakilan nggilipun, wiyar sapecak pleng namung, sawontene ulam ulam, dupa sekar campur bawur, picis patang ketheng wetah, yen tan makaten saestu.

Mindhak krep ngumpetken bocah, iya atut panjalukmu, daktuturane kang pungkur, Kalabanjar wus umesat, Kalaencer sowan matur, Kalsencer namakula, manggen prapatan delanggung.

Dipertenana wakingwang, tumpeng sapecak nggillipun, kang sakilan wiyaripun, lawuh ulam gegorengan, ulam gego-dhogan namung, jajanganan kembang gantal, dupa picis ketheng wolu.

Yen boten makaten apan, kula mindhak asring mbesur, jenggleng tyang numpak kudhestu, iya ing panuwunira, daktuturana kang pungkur, Kalaencer sampun mesat, Kalajathok majeng matur.

Kalajathok nama amba, manggen ing watoning salu, menek gelem nyanak ulun, saben saben mentas nedha, watoning amben puniku, nggih kadekekana upa, mung kalih sisih thil namung.

Kang ajeg hya kongsi kendhat, yen wonten wisa puniku, saking jawi asalipun, amba sagah mangsulena, iya Jathok panyuwunmu, daktuturane kang wuntat, kang sinung ling sampun mundur.

Kalajangkung mareg nembah, amba nama Kalajangkung, manggen ulon ulon ulun, kang dados panyuwunamba, yen temen panyanakipun, saben tilem myang tileman, sampun sok idu mandhuwur.

Bilih wonten wisa wisa, kang saking nginggil puniku, kula sagah nulak wangsul, iya banget panrimengwang, daktuturane kang pungkur, Kalajangkung wus amesat, Nyi Kalaijen mangayun.

Nyai Kalaijen amba, cumadhong dhawuh pukulun, punapa tumut tinundhung, punapa pareng kantuna, sira misia lestantun, apa panggaweyanira, Kalaijen nembah matur.

Nuninggih dhateng sendika, anamung panuwun ulun, yen nuju wedalanipun, lare momonge kang pepak, iya dakwisik kang pungkur, Kalaijen wus umesat, gantya sinom sekaripun.

Manawi gembesan tanah, redi eler Kendheng saurutneki, namung sapalih winangun, kadi cenggering ayam, bilih sampun dados gebengan puniku, utawi balok namanya, sakarsa karsa wus kenging.

De bilih badhe kinarya, talang wuwung utawi dandosanning, baita sasaminipun, kedah manah kabucal, sarta cinalonan sadhapuring wuwung, kalawan dhapuring talang, baita sasamineki.

Panyigaring kanang wreksa, naminipun kapaju patrapneki, rumuhun kakencong mujur, wit pucuk trus bongkotnya, kiwa tengen utawi ngandhap myang luhur, kencongan ing nginggil nulya, katancepan paju wiwit.

Pucuk dumugi bongkotnya, longkangipun paju sami nyakaki, sakathahing paju paju, ginandhenan dumugya, ing kencongan ngandhap terusaning luhur, wradin paju tekeng ngandhap, gya sinigar langkung gampil.

Wondene ta kajeng ingkang, ageng ageng patrap panggarap neki, ing bongkot utawi pucuk, kang labet gagethakan, kakencongan malang gya tinrapan paju, mugi lajeng ginandhena, yen kajeng genge samundhing.

Gandhenipun semprong nama, gendhing semprong tinartamtu ngungkuli, genging kajeng kang pinaju, semprong ginantung malang, neng wit witan ingkang caket wonten ngriku, kinandhut tinarik ngangkah, saget nuthuk paju sami.

Ing sasampunipun sigar, dyan rinimbas utawi den prejengi, kadamel saprelunipun, gebingan myang balabag, terangipun ingkang sama kencong mujur, sakiwa tengening wreksa, utawi ing ngandhap nginggil.

Winadung amujur panjang, awit bongkot dumugi pucuk neki, kados kakalenan mujur, wondene kencong malang, pernah bongkot utawi kapernah pucuk, winadung supados krowak, kenginga dipunseseli.

Ing paju sacekapira, menggah paju wau ingkang kinardi, kajeng jati ingkang burus, ing bongkot wradin papak, pucuk lan-cip radi gepeng wujudipun, dene ageng panjangira, dinugi kang nguwaweni.

Kang nama kajeng kocoran, panegornya tan tineres rumiyin, maksih gesang angrembuyung, gya tinegor kewala, patrap patrap panegor pangrebasipun, pamrejeng sasaminira, kadi kang kasebut ngarsi.

Mung wusing dadya gebingan, gya kinethok ginambang tharik tharik, kadi amben isthanipun, neng panggonan kang banar, laminipun tigang wulan para langkung, punika sampun prayoga, kaangge parabot panti.

Yen kajeng badhe baita, tuwin wuwung talang sasamineki, panggenan pamenthengipun, kang asrep myang keyuban, laminipun ugi tigang wulan langkung, sanadyan kajeng kocoran, saget awet sawatawis.

Mangkya bab sirap winarna, naminipun wonten sakawan warni, sawarni Dumba rannipun, wiyarnya ing ukuran, kalih tengah kaki sapanginggilipun, panjang wiwit ukur tiga, kaki sapanginggil neki.

Kalih sirap Gupe rannya, lawan Dumba geng panjang boten sami, ukur awit wiyaripun, satunggal kaki minggah, panjang ka-lih satengan kaki ingukur, minggah dumugi ukuran, kirangipun tigang kaki.

Tiga nama sirap Dhara, wiyaripun pitung edim manginggil, dene ukur panjangipun, pan kalih kaki minggah, catur sirap gedhong dene wiyaripun, namung sekawan dim minggah, panjang gangsalwelas edim.

Kajeng kang kadamel sirap, tinartamtu awet tan nguciwani, teteresan ingkang burus, manawi bangsa ngandhap, tiyang alit purun damel sirap wau, saking glinggang saha brungkah, manawi pundhutan aji.

Tuwin para luhur samya, kedah negor saking teresan tuwin, negor ingkang taksih idhup, piliyan ugi ingkang, burus mulus nir cacat saurutipun, patraping panyigarira, sampuning rebah kang uwit.

Pinilih kang tanpa cacat, serat burus kadi kasebut ngarsi, ginethak sasisihipun, sapanjanging kang sirap, dipun ancas angiras kadamel lancur, gethakan gya kaanjingan, paju lajeng den gandheni.

Paju kang kapara kathah, patrapipun kapara krep prayogi, mila makaten liripun, urut serating wreksa, saha boten pecah nalisir myang remuk, yen wus dadya balebekan, gya rinimbas denaloni.

Dalam lintasan sejarah budaya ternyata kabupaten Blora selalu menjadi perhatian para sarjana dunia. Semua kerajaan Jawa menjadikan Blora sebagai tempat untuk mempertajam kualitas manajemen kenegaraan. Oleh karena itu para pemimpin tersebut senantiasa menggunakan konsep manunggaling kawula Gusti dalam menata kabupaten Blora.

Kabupaten Blora sudah tepat memiliki sesanti atau semboyan Blora Mustika: Maju, Unggul, Sehat, Tertib, Indah, Kontinyu, Aman. Konsep yang indah ini bertambah indah ketika disajikan dalam bentuk lelagon gendhing.

Oleh Dr Purwadi, M.Hum. Ketua Lembaga Olah Kajian Nusantara LOKANTARA, Hp 087864404347.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar