A. Asal Usul Tari Gambyong
Tari gambyong sesungguhnya berhubungan dengan bidang
pertanian. Sajian tari gambyong dipersembahkan untuk menghormati kehadiran Dewi
Sri. Dalam kepercayaan kejawen, Dewi Sri adalah bidadari yang mengayomi para petani.
Dewi Sri dipercaya sebagai pengurus kemakmuran.
Cerita Dewi Sri yang
dihormati oleh masyarakat Jawa dimulai ketika Ki Ageng Tarub akan menikahkan
putrinya yang bernama Dewi Nawangsih. Pada waktu malam midodareni dewi
Nawangwulan turun dari kahyangan. Dewi Nawangwulan adalah istri Ki Ageng Tarub
yang berasal dari Karang Kawidodaren. Dewi Nawangsih menikah dengan Raden
Kejawan atau Lembu Peteng putra Prabu Brawijaya V Raja Majapahit.
Dinasti kerajaan Jawa selalu memuliakan Ki Ageng Tarub. Semua keturunan raja Mataram menganggap Ki Ageng Tarub sebagai leluhur yang perlu dihormati. Letak makam leluhur Mataram ini bertempat di desa Tarub Kecamatan Tawangharjo Kabupaten Grobogan. Pelaksanaan upacara dipimpin oleh KRT Hastono Adipuro pada tanggal 10 Januari 2012.
Dalam melaksanakan tugasnya, jurukunci ini dibantu oleh
beberapa orang staf yang berfungsi untuk memperlancar jalannya upacara ritual.
Masing-masing menggunakan busana Jawa: jarik, sabuk wala, cindhe, timang,
beskap, blangkon, slop, samir dan lambang Radya Laksana.
Kompleks makam terdiri dari cungkup makam Ki Ageng Tarub dan
RM Bondan Kejawan. Bangunannya mirip Masjid Demak. Unsur Islam dan budaya Jawa
terpadu indah. Di sebelahnya terdapat kantor juru kunci. Di situ ketuanya KRT
Hastono Adipuro dengan pelindung Pengageng Sasono Wilopo Kraton Surakarta
Hadiningrat.
Dengan demikian makam ini tetap di bawah kekuasaan kraton
Surakarta yang merupakan kelanjutan dari dinasti Mataram, Pajang, Demak dan
Majapahit. Dengan demikian ritual tahunan di makam Ki Ageng Tarub ini menjadi
alat ampuh untuk memperteguh asal-usul dari sebuah dinasti, sebab akan mendapat
dukungan dari masyarakat tradisional.
Tempat wudhu berbentuk istimewa. Padasan ini berupa
genthong. Airnya berasal dari sendang Widodari. Gapura masuk dengan pagar yang
mengelilingi makam tidak terlalu tinggi, tetapi cukup indah dan asri. Dari luar
bisa dilihat suasana makam. Karena pagar ini setinggi orang dewasa. Dalam
kompleks makam ini tertata rapi dan bersih.
Pintu cungkup pertama adalah makam Raden Mas Bondan Kejawan.
Beliau adalah cucu Prabu Brawijaya, raja Majapahit. Cungkup kedua adalah makam
Ki Ageng Tarub. Kedua-duanya seperti bangunan kembar. Sekilas seperti dua
bangunan masjid. Di antara kedua makam itu dipisahkan sungai, airnya gemericik
mengalir. Di tengah-tengahnya adalah pohon Sambi. Tingginya pohon Sambi yang
rindang dan rimbun ini menambah wibawa makam.
Bagi kalangan kejawen Ki Ageng Tarub merupakan tokoh
spiritual legendaris. Beliau adalah suami Dewi Nawangwulan. Seorang bidadari
cantik yang amat dihormati oleh para petani. Konon Dewi Nawangwulan mampu
mencegah masa paceklik, sehingga petani tetap kecukupan sandang dan pangan.
Perkawinan antara Joko Tarub dengan Dewi Nawangwulan ini menurunkan Dewi
Nawangsih. Dari tokoh-tokoh legendaris ini muncul nama populer yang bernama Ki
Ageng Sela.
Beliau adalah tokoh sakti mandraguna yang mampu menangkap
petir. Bila ada kilat dan petir yang menggelegar, maka diampirkan untuk bilang
bahwa dirinya adalah cucu Ki Ageng Sela. Ditanggung pasti selamat. Hanya saja,
makam Ki Ageng Sela terpisah dengan jarak 5 km, sama-sama di wilayah Kabupaten
Grobogan. Peninggalan rohani yang tetap lestari dari keturunan tokoh legendaris
ini adalah berupa pepali atau petuah luhur.
Masyarakat Jawa mempelajari, memahami, menghayati dan
mengamalkan pepali, agar hidupnya mendapat dalam padang dan terang. Pepali
ialah peninggalan Ki Ageng Sela, moyang Panembahan Senapati, pendiri Kerajaan
Mataram Kedua, yang dimaksudkan sebagai didikan kesusilaan, kebatinan dan
keagamaan bagi keturunannya.
Ki Ageng Sela sendiri ialah cucu Raden Lembu Peteng atau
Raden Bondan Kejawan, putera Prabu Brawijaya (Raja Majapahit yang terakhir)
dari isterinya yang termuda, wanita dari Wandan atau Bandan (Pulau Bandaneira).
Karena ibunya orang Bandan dan ayahnya orang Jawa, Raden Lembu Peteng itu bernama
juga Bondan Kejawan, yang berarti keturunan orang Bandan yang menjadi orang
Jawa. Dalam historiografi tradisional Bondan Kejawan mendapat posisi yang
terhormat.
Peralihan kekuasaan dari Kraton Majapahit ke Kraton Demak
Bintara diwarnai cerita folklor beraneka ragam. Masing-masing dengan sudut
pandang serta kepentingan yang berlainan. Ki Ageng Sela hidup dalam jaman
Kerajaan Demak, yang ketika itu di bawah pemerintahan Sultan Trenggana, jadi
dalam abad ke 16. Kiranya ia dilahirkan di sekitar permulaan abad ke 16 atau
akhir abad ke 15.
Dugaan ini berdasarkan cerita yang mengatakan bahwa pemuda
Sela pernah ditolak menjadi anggota Korps Prajurit Tamtama (Pasukan Penggempur)
Kerajaan Demak. Sebabnya dalam ujian untuk mengalahkan banteng, ia memalingkan
kepalanya, ketika akibat pukulannya, darah yang menyembur dari kepala banteng,
mengenai matanya.
Karena memalingkan kepalanya itu, ia dipandang tidak tahan
melihat darah, dan karena itu tidak memenuhi syarat. Perannya dalam
historiografi tradisional yaitu turut serta mendidik Joko Tingkir yang kelak
menjadi Raja Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijaya.
Ki Ageng Sela dianggap sebagai guru spiritual yang waskitha
ngerti sakdurunge winarah. Kerajaan Demak Islam mulai berkembang di sekitar
1520. Maka kiranya tidak banyak salahnya, bila kelahiran Sela kita letakkan di
sekitar akhir abad ke 15. Malu karena penolakan tadi, pemuda Sela berbulat
tekad untuk mendirikan kerajaan sendiri. Bila cita-cita ini tidak dapat
tercapai olehnya sendiri, maka ia mengharapkan keturunannyalah yang akan
mencapainya.
Ia mengundurkan diri ke sebuah desa, di sebelah timur
kecamatan Tawangharjo, kabupaten Purwodadi. Di sana ia hidup sebagai petani dan
memperdalam pengetahuannya tentang agama, filsafat dan ilmu hidup untuk
memperluas pengaruhnya kepada rakyat, yang sedang mengalami kegoncangan dalam
pandangan hidupnya, akibat perebutan kekuasaan antara ajaran Hinduisme dan
Islam. Lambat laun pengaruhnya berkembang, sehingga ia mendapat julukan Ki
Ageng Sela.
Desa di mana Ki Ageng Sela bertempat tinggal kemudian
dinamakan desa Sela juga. Maksudnya untuk mendirikan kerajaan sendiri baru
dapat dilaksanakan oleh cicitnya, Sutawijaya, Ngabei Loring Pasar, yang
kemudian sebagai raja pertama Kerajaan Mataram Kedua, memakai gelar Panembahan
Senapati ing Ngalaga (Yang dipertuan Panglima Perang). “Serat Pepali”
peninggalan Ki Ageng Sela, jelas mencerminkan peralihan jaman dalam keagamaan.
Filsafat hidup Ki Ageng Sela, sebagai juga filsafat hidup
para Sembilan Wali, merupakan suatu synthese dari unsur-unsur keagamaan yang
dibawa oleh agama Islam dan unsur-unsur agama Hindu. Bagaimana filsafat hidup
Ki Ageng Sela, para pembaca dapat menyelami sendiri dengan membaca kitab Pepali
ini. Serat Pepali Ki Ageng Sela ditulsi dalam bentuk metrum tembang macapat.
Resitasi yang amat disukai oleh masyarakat Jawa.
Geneologi yang menghubungkan dengan Ki Ageng Tarub amat
menguntungkan dinasti Kerajaan Jawa, untuk menumbuhkan kepatuhan dan kharisma.
Ki Ageng Sela adalah yang menurunkan raja-raja Mataram, dan Susuhunan Paku
Buwana XII di Surakarta Hadiningrat adalah keturunan beliau yang ke-17.
Silsilahnya adalah sebagai berikut : Prabu Brawijaya V dengan Putri Wandan
Kuning berputra Raden Bondan Kejawan.
Raden Bondan Kejawan dengan Rr. Nawangsih berputra : Kyai
Ageng Getas Pendawa. Kyai Ageng Getas Pendawa dengan Nyai Ageng Getas Pendawa
“sepuh” berputra : Kyai Ageng Sela (Kyai Ageng Ngabdulrahman ing Sesela), putra
kedua. Kesaktian yang beliau miliki antara lain disadap dari salah seorang Wali
Sanga yaitu Sunan Kalijaga. Setelah wafat beliau dimakamkan di desa Sela,
kecamatan Tawangharjo, kabupaten Purwodadi-Grobogan Jawa Tengah.
Di waktu mudanya Ki Ageng Sela bernama Bagus Songgom dan
merupakan seorang yang sakti mandraguna. Legitimasi politik tradisional sering
digambarkan dengan turunnya wahyu, ndaru atau pulung. Untuk itu diperlukan
sebuah ketajaman hati yang mengetahui tingkat-tingkat penghayatan spiritual.
Mulai dari syariat, tarikat, hakikat dan makrifat.
Dalam khasanah kawruh Jawa dikenal dengan adanya sembah
raga, sembah cipta, sembah jiwa dan sembah rasa. Pengetahuan puncak dasar
mistik meliputi ngelmu sangkan paraning dumadi, satataning panembah, rasa
sejati, kawruh tuwa kadigdayan dan kanuragan menjadi syarat mutlak, agar
seorang tokoh berkharisma dan disegani.
Ki Ageng Tarub dan Ki Ageng Sela dipercaya oleh masyarakat
Jawa memiliki daya linuwih. Dalam Babad Tanah Jawi disebutkan bahwa Ki Ageng
Sela termasuk figur yang turut mengasuh Joko Tingkir. Atas petunjuk Ki Ageng
Sela pula, Joko Tingkir atau Mas Karebet bersedia mengabdi ke Kasultanan Demak
Bintoro. Joko Tingkir akhirnya diambil menantu raja Demak Sultan Trenggono.
Surutnya kraton Demak, panggung kekuasaan di Tanah Jawa
digantikan oleh Kasultanan Pajang. Rajanya adalah Joko Tingkir atau Mas Karebet
dengan gelar Sultan Hadiwijaya. Menurut Babad Tanah Jawi ayah Joko Tingkir
bernama Ki Kebo Kenongo atau Ki Ageng Pengging. Kawan-kawannya yaitu Ki Ageng
Sela, Ki Ageng Butuh, Ki Ageng Banyubiru dan Ki Ageng Pringapus. Mereka adalah
guru kebatinan yang handal dan mumpuni.
Keberadaan mereka amat berpengaruh di lingkungan masyarakat
Jawa. Ki Kebo Kenanga adalah putra Bupati Pengging yaitu Adipati
Handayaningrat, istrinya bernama Ratu Pembayun, putra Prabu Brawijaya yang
sulung. Dengan demikian Joko Tingkir dan istrinya, Ratu Kambang merupakan
pertemuan dua dinasti besar.
Putra Adipati Handayaningrat yang lain adalah Ki Kebo
Kanigoro dan Lembu Amiluhur. Ceritera Joko Tarub adalah contoh yang tidak
berbeda dengan peristiwa baik Ken Arok maupun Raden Paku. Pada suatu malam hari
Nyai Ageng Tarub pergi ke tempat makam dan melihat ada benda bersinar.
Didekatilah benda tersebut, ternyata seorang bayi laki-laki
yang bagus parasnya. Bayi tersebut dibawanya pulang dijadikan anaknya dan
diberi nama Raden Joko Tarub. Ialah yang kemudian dapat memperisteri seorang
bidadari bernama Dewi Nawangsih. Puteri ini kelak menjadi isteri Lembu Peteng
atau Bondan Kejawan seorang putera raja Brawijaya yang dititipkan pada Ki Ageng
Tarub. Joko Tarub yang kemudian juga bernama Ki Ageng Tarub.
Busana tari gambyong menggunakan nyamping atau jarik dengan
motif Sidomulyo. Harapannya paska pementasan tari gambyong mendapatkan
kemuliaan. Busana dilengkapi dengan kemben pinjung, sanggul, selendang. Tak
ketinggalan cunduk mentul, stagen, giwang. Kesempurnaan tari gambyong juga
direnggani dengan untaian bunga melati, sehingga kanan kiri semerbak
harum.
B. Tari Gambyong Tayub untuk Menghormati Dewi Sri
Peranan penari gambyong amat menentukan dalam sejarah
berdirinya kerajaan di Jawa. Ambil contoh kerajaan Pajang yang berdiri tahun
1456 dimulai dengan pementasa tari gambyong. Ki Ageng Butuh, Ki Ageng
Banyubiru, Ki Ageng Pringapus, Ki Ageng Sela, Ki Ageng Karanglo mendapat
penghormatan untuk ngibing dengan kalung sampur.
Putri Panembahan Senapati raja Mataram yang memerintah tahun
1582 – 1601 adalah penari gambyong istana. Demi keselamatan kerajaan Mataram
Putri Pembayun rela mbarang keliling dari desa ke desa. Ritual tari gambyong
ini mendapat pengawalan dari Ki Ageng Juru Mertani.
Kraton Pajang dan Mataram menghormati adat istiadat
warisan nenek moyang. Masyarakat Jawa
terutama petani yang tinggal di pedesaan amat menghormati Dewi Sri yang menjadi
lambang kesuburan. Tari gambyong tayub dipercaya sebagai sarana untuk
menghormati Dewi Sri. Dalam kebudayaan Jawa, Dewi Sri dipercaya dapat
mendatangkan kesuburan dan kemakmuran.
Penari tayub menempati posisi penting dan mendapat pelatihan
khusus sebelum mereka pentas. Kledhek adalah seniwati asal tanah Jawa yang
bertugas menari dan menyanyi saat penyelenggaraan pentas seni beksa langen
tayub. Masyarakat Banyumas, Cilacap, Purbalingga dan Kebumen menyebut kledhek
dengan istilah Ronggeng.
Kabupaten Banjarnegara dan Wonosobo memberi nama Lengger.
Orang Yogyakarta, Sleman, Bantul, Gunungkidul, Kulonprogo mengenal dengan
sebutan Ledhek. Nama Tandhak populer di wilayah Jombang, Mojokerto, Lamongan,
Surabaya, Sidoarjo dan Malang. Kledhek mempunyai sinonim dengan ledhek,
ronggeng, lengger dan tandhak.
Upacara nyadran, bersih desa, sepasaran bayi, pernikahan,
tetakan, merti dhusun, merti bumi, slup-slupan rumah, panen, wiwit dan boyongan
selalu mengundang kledhek untuk berjoged. Kehadiran kledhek demi laku ritual
yang dapat menolak bala, bebas dari bencana dan rintangan hidup. Semua slamet
wilujeng, tenteram lahir batin.
Oleh karena itu penyelenggaraan seni tayub itu harus
mengikuti kaidah, norma, pakem, tradisi, adat-istiadat aturan yang baku.
Ketentuan ini telah diwariskan secara turun-temurun. Dalam tata cara langen
tayub, kledhek mendapat gelar kehormatan waranggana.
Kata waranggana berasal dari bahasa Sansekerta yaitu wara
dan anggana. Wara berarti wanita yang mulia, agung dan anggun. Sedangkan
anggana mempunyai makna indah, adi luhung dan edi peni. Dalam pandangan
masyarakat Jawa seorang kledhek, pesindhen atau warang-gana sungguh-sungguh
diperlukan, disegani, dihormati, dimuliakan, dielu-elukan dan kajen keringan.
Kledhek menjadi sumber kemakmuran.
Pertunjukan Tari Masih erat terkait dengan kepercayaan. Bagi
para petani yang rajin menanam padi di sawah tentu meyakini kledhek sebagai
kekasih Dewi Sri. Kepercayaan Jawa bahwa Dewi Sri merupakan widodari yang
mengurusi pangan. Pari bisa tumbuh subur manakala diemong oleh Dewi Sri.
Perlindungan, pengayoman serta perhatian Dewi Sri pada
petani menyebabkan pangan berlimpah ruah. Murah sandang, pangan dan papan
menjadi cita-cita utama para among tani. Sembada dan sempulur kehidupan itu
manakala tersedianya sandang, pangan, papan. Para kadang among tani begitu
tinggi harapannya pada Dewi Sri.
Kadang tani mengerti cara menghormati Dewi Sri, yaitu dengan
nanggap kledhek. Tiap kali kledhek njoged di rumahnya, berarti tanah sawahnya
subur. Gerak tari kledhek menjadi pupuk, rabuk dan humus. Alunan suara kledhek
menyebabkan tegalan gembur. Tanduranijo royo-royo memberikan harapan datangnya
rejeki yang berlipat ganda. Seolah-olah kledhek penyambung hubungan antara Dewi
Sri dengan para tani di sawah.
Dewi Sri sebagai istri Bathara Wisnu menjelma di Tanah Jawa
memang menjadi penyelaras kehidupan. Dalam cerita pewayangan Dewi Sri pernah
nitis pada Dewi Citrawati, permaisuri Prabu Harjuna Sasrabahu raja di kraton
Mahespati. Kemudian nitis pada diri Dewi Sinta, permaisuri Prabu Rama Wijaya,
raja Pancawati. Lantas nitis pada diri Dewi Wara Sembadra, istri Raden Arjuna
di Kasatriyan Madukara.
Dewi Sri atau Dewi Widowati selalu disebut oleh Prabu
Dasamuka di mana saja. Dengan harapan kerajaan Alengka Diraja dan sejahtera.
Bathara Wisnu pun berpengaruh atas alam pikiran masyarakat petani. Dunia ini
dijaga oleh Sang Hyang Wisnu. Segala makhluk halus dan roh jahat yang dikuasai
oleh Bathara Kala hanya bisa dikendalikan oleh Sang Hyang Wisnu.
Upacara sakral ruwatan Murwakala menempatkan Bathara Wisnu
se-bagai patron, pelindung dan pelestari alam. Melalui Dhalang Kandha Buwana,
Bathara Wisnu menjelma untuk membebaskan dari amukan Bathara Kala. Pasangan
Dewa Wisnu dan Dewi Sri dianggap pahlawan bagi petani. Penokohan atas dua figur
ini kuat mengakar dalam hati petani.
Diharapkan segala makhluk halus tak mengganggu. Dhandhang
Mangore, Nusa Kambangan dan Pasetran Ganda Mayit menjadi sentra lokasi para
mahluk halus seperti jin, setan, priprayangan, ilu-ilu, banaspati,
engklek-engklek, warudhoyong, thong-thong sot, dhemit, medhon, genderuwo,
sundel bolong.
Dengan rapal dan rajah yang dibacakan oleh Dhalang Kandha
Buwana, titisan Bathara Wisnu tentu tidak akan sor prebawa atau kalah pamor.
Semua lelembut takut oleh mantra sakti warisan Bathara Wisnu yang diutarakan
oleh Ki Dhalang Kandha Buwana.
Hama wereng, walang sangit, uler, klabang, kalajeng-king,
kala sundep, tikus dan sejenisnya adalah musuh utama bagi petani. Hewan
pagebluk ini betul-betul merugikan petani. Cara mengusir hama tanaman ini harus
menggunakan aktivitas ritual dan spiritual. Wayang, kledhek, kethoprak, ludruk,
jathilan, kentrung, emprak, dhongkrek, srandhul, ndolalak dan reog merupakan
sarana mengusir berbagai hama pertanian.
Semua seni tradisional itu disenangi oleh Dewi Sri. Oleh
karena itu perlu ditanggap. Masyarakat hendaknya menempuh apresiasi seni sejak
dini. Nanggap kledhek berarti rejekinya mbanyu mili, mengalir deras. Sawab dan
sawan kledhek berpengaruh pada doa serta panuwun petani. Petani merasakan
harapannya terkabul jika kledhek mau mendoakan.
Doa kledhek pasti dipenuhi Tuhan. Kledhek yang mau mendoakan
penanggapnya terbukti manjur. Seolah-olah kledhek adalah perantara atau
penghubung antara Tuhan dengan petani. Ilmu dan laku kledhek mempermudah
komunikasi dengan Sing Nggawe urip.
Sumbaga atau aura spiritual kledhek terpancar saat tampil di
panggung. Tangan bergerak, kaki melangkah dan suara melengking, pada saat
itulah kledhek tampil dengan segala pancaran wibawa. Sinar yang gemerlapan dari
kledhek itu menembus relung-relung jagad raya. Air yang mengalir dan udara yang
berhembus pun ikut mengawal keagungan serta keanggunan kledhek. Kutu-kutu
walang antaga, iber-iberan serta gegremetan turut bersuka ria.
Langen tayub manivestasi pesta alam. Sejak cikar datang
membawa gamelan, para makhluk halus sudah menanti dengan riang gembira. Gamelan
digelar bangsa yang tak kasat mripat mulai berdatangan. Mereka berpartisipasi
demi kelancaran langen tayub.
Gong gedhe diberi menyan, dupa, sekar, sajen dan kokoh tanda
bukti bahwa barisan pedhanyangan menyambut perhelatan. Sepanjang uyon-uyon,
gamelan ditabuh pagi sampai sore hari, para penghuni alam lain itu mau
merasakan indahnya gendhing-gendhing yang berkumandang memenuhi awang-awang.
Petani yang nanggap tayub percaya akan makmur. Panen
berlimpah ruah, jauh dari hama. Padi, palawija, pala pendhem, pala gumandhul,
pala kesimpar, karang kitri memberi penghasilan. Sayur dan buah membuat
kekayaan bertambah. Tanah, air udara dan api cocok dengan suara gamelan. Di
waktu malam mereka berdoa bersama suara kledhek yang mengalun merdu.
Sesungguhnya ada pengaruh gejolak ekonomi terhadap
perkembangan seni. Bakul-bakul palen, bakul panganan, bakul dolanan, siap-siap
untuk menawarkan dagangan. Penonton ramai, untung pasti berlipat ganda. Palen
adalah penjual yang menjajakan mainan, plembungan, slathokan, wayang, kitiran
dan ragam dolanan anak-anak. Mereka pindah dari tempat satu ke tempat lain.
Dimana saja ada tontonan, bakul palen silih berganti berdatangan.
Keuntungan yang berlipat ganda cukup menghidupi keluarga.
Betapa tidak, anak-anak kecil pasti minta dibelikan mainan. Berapa pun
harganya, pasti diminta. Modalnya cuma nangis. Orang tua dan kakek nenek
meluluskan permintaan anak kecil. Panganan berlimpah ruah saat tayuban
berlangsung. Penjual makanan meliputi soto, sega pecel, opak sambel, tepo,
tahu, tempe, cucur, ote-ote, ondhe-ondhe, kacang goreng dan gandhos.
Tidak lupa teh panas dan wedang kopi. Duduk jigang,
omong-omong dan udut terasa asyik. Suasana gembira ria dirasakan anak-anak,
remaja dan orang tua. Berkat nanggap tayub perhelatan terasa sigrak, segar dan
menyenangkan. Muka mereka berseri-seri. Panas terik selama kerja di sawah
hilang sama sekali. Itulah pengaruh tayuban.
Sepanjang jalan kanan kiri penuh orang berjualan. Anak-anak
berlari-lari, bermain-main dengan teman sebaya. Dengan memakai lampu
strongking, teplok, senthir dan cublik dirasa lebih dari cukup. Peradaban desa
yang dihuni para petani merupa-kan kawasan mandiri, produktif dan kreatif.
Sandang, pangan, papan, seni, ritual, diciptakan dan disediakan sendiri.
Selama berabad-abad desa dan petani dihitung dalam pergaulan
dunia. Desa dan petani berkontribusi atas dinamika peradaban. Desa adalah
komunitas otarki yaitu masyarakat yang dapat meme-nuhi kebutuhan sendiri secara
mandiri. Perlu adanya usaha serius dalam pelestarian seni tari.
Langen tayub telah memutar roda perekonomian. Ujaring mbok
bakul sinambi wara, informasi yang bersambung dari mulut ke mulut, gathok
tular, menular dari seseorang ke pihak lain. Tontonan tayub akan segera
menyebar ke segala pelosok, dari perkotaan, pedesaan dan pegunungan. Kesenian
tradisional yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat.
C. Lambang Kesuburan untuk Pertanian
Kraton Surakarta yang didirikan oleh Sinuhun Paku Buwana II pada tanggal 17 Suro
1745 selalu menyertakan sajian tari gambyong. Terutama untuk pementasan di
wilayah karang padesan. Dengan tujuan para petani mendapat perlindunagn
spiritual sehingga hatinya menjadi ayem, ayom.
Para petani selalu mengharapkan kesuburan buat tanamannya.
Dewi Sri dianggap sebagai lambang kesuburan di tanah Jawa. Ki Ageng Tarub
sebagai suami Dewi Nawangwulan diharapkan membawa berkah bagi dunia pertanian.
Masyarakat Jawa yang berprofesi sebagai petani di pedesaan pada saat panen
kerap mementaskan seni langen tayub.
Nanggap kledhek dipercaya akan mendatangkan kesuburan serta
kemakmuran. Para petani meyakini bahwa tari gambyong kledhek merupakan seniwati
yang dipersembahkan kepada Dewi Sri. Sejak jaman kraton kuno, Dewi Sri selalu
menjaga tanaman padi di tanah Jawa, agar tumbuh dengan subur. Ketika Dewi Sri
nganglang jagad, maka padi yang ditanam oleh petani kalis ing sambekala.
Segala macam hama: wereng, tikus, uler, kala sundep, walang
sangit akan menyingkir dan disengker di Gunung Kendheng.Kehadiran kledhek
memang diperlukan oleh petani. Nanggap langen tayub menjadi kewajiban pada saat
nyadran, bubak bumi dan bersih desa. Tari gambyong dalam pentas seni tayub
menjadi sarana untuk memperoleh jiwa yang ayem tentrem.
Untuk mencapai tujuan mulia ini, seorang kledhek,
waranggana, ronggeng, ledhek, lengger atau tayub wajib menempuh ngelmu dan
laku. Kledhek perlu ngadi salira, ngadi busana. Tata cara ngelmu laku kledhek
dilakukan dengan tapa ngrame, tapa ngidang, tapa ngeli, tapa ngalong, tapa
kungkum, tapa ngrowot dan tapa pati geni.
Para penari gambyong ini kerap menjalankan lelaku di Gunung
Donorojo, tempat bertapanya Kanjeng Ratu Kalinyamat. Tidak lupa kungkum di
Grojogan Sewu, ereng-erenging Gunung Wilis. Kadang kala mengheningkan cipta di
pesisir Segara Kidul. Tujuannya supaya mendapat anugerah sumbaga dan perbawa,
sinar sri panggung yang mempunyai daya pikat lahir batin.
Pada tanggal 24 April 2001 diselenggarakan gembyangan
waranggana tayub. Acara ini dihadiri oleh Bupati Nganjuk Jawa Timur, Dr.
Soetrisno R, M.Si. Tempatnya di desa Ngrajek Sambirejo Tanjung Anom Kabupaten
Nganjuk. Terlebih dulu dimulai dengan
pasugatan tari gambyong pangkur.
Pimpinan makhluk halus di sekitar gunung Kendheng, Gunung
Wilis, Gunung Pandhan dan Gunung Lawu menyukai sepuluh gendhing yang dipakai
gembyangan kledhek. Ketika gendhing tadi diiringi suara gamelan seketika para
dhanyang sama mbeksa, njoged dan menari riang gembira.
Oleh karena itu kesepuluh gendhing sakral ini menjadi sajian
wajib saat upacara sakral gembyangan waranggana. Sajian gendhing ritual ini
sesuai dengan tuntunan pakem.
1. Eling-eling
Muji sukur marang kang Maha Kuwasa
Keparengan kula matur
Pra seniman seniwati
Saking Ngrajek Sambirejo
Kang sampun sawega gati
Murwakani nugrahane Gusti
2. Golekan
Bersih desa pancen perlu
Kanggone kawula iki
Kasembadan kang sedyane
Murah sandhang boga yekti
3. Bendungan
Para tani padha nungkul
Kedhuk bumi nggarap sawah
Murih dana murah pangan
Sandhang kalawan papan
4. Teplek
Braja Karna, Karna pinutra Jawata
Karerantan, kepanggya sekedhap
Bersih desa den pepetri
Caos dhahar cikal bakal
Ingkang hambabat desa iki
Kabeh para dhanyang desa
Tuwa mudha jaler estri
Yo ayo para kanca
Gumregah bareng njangkah
Ngluhurake kabudayan
Amurih aruming bangsa
5. Gangga
Mina
Pra kanca kula sadarum
Ingkang sami ngupaya mina
Kalisa ing sambikala
Katekan kang sinedya
Dhuh Gusti Kang Maha Agung
Tansah paringa pepadhang
Dhumateng para kawula
Nelayan ing samudra
6. Astrakana
E astrakana 2x
Gedhang garing limpang limpung 2x
Dhondhong rete-rete 2x
Aku condhong karo kowe 2x
E, yo ayo kanca 2x
Saiyek saeka praya 2x
Sing guyub sing rukun 2x
Mengeti bersih desa
Setahun sepisan dha elinga
7. Ana Ini
Ana ini ana 2x
Wiwit jaman kuna
Apa wae wis ana
Mbudidaya den lestarekna
Jroning padha makarya
Aja padha sembrana
Kudu eling lan waspada
Ja ninggal adat tata cara
Setahun pisan dha eling
8. Gandariya
Gandrung gandariya
E gandrung manuke apa
Manuk manuk podhang
Mencoke neng papah gedhang
Mencoke ing sampiran
Re re sawo glethak
Njenggelek tangi maneh
Dayane banyu sumur tan sedhudha
Sumorot cahyane
Jamas rikma sarira tirta
Cundhuk kembang kanthil kenanga
Re re sawo glethak
Jenggelek tangi maneh
9. Ijo-ijo
Ijo-ijo muluk-muluk
Sampur ijo wis keceluk
Saiki wus kesayuk
Para waranggana sak Nganjuk
Kabeh padha suka-suka
Prangkat desa lan kawula
Wus kelakon bersih desa
Waranggana wis kawisuda
10. Kembang
Jeruk
Paripurna paripurna
Sukuran bersih desa
Sami nir ing sambekala
Sumangga sami sesanti
Jaya jaya wijayanti
Tungkul ngawula negari
Satemah lulus lestari
Wisuda waranggana menjadi sarana rekonsiliasi antara jagad
lahir dengan jagad batin. Kledhek yang diwisuda diberi cundhuk mentul yang
melambangkan sudah resmi menjadi waranggana. Kemudian disuruh memegang godhong
waru, yang melambangkan katresnan sejati. Siraman air dari grojogan Sedhudha agar kalis ing sambekala.
Upacara sakral ini berlangsung dan wajib dilakukan sebelum waranggana, kledhek,
tandak, pesindhen atau ronggeng tampil di pasaran.
Kledhek yang misuwur, kondhang, kawentar, kasusra, tenar dan
ternama mesti diperoleh dengan cara ngelmu dan laku. Ketrampilan dan pengalaman
dengan yakin berguru kepada kledhek senior dan para sesepuh. Lelaku dengan
menjalankan lara lapa tapa brata.
Tari gambyong sebagai lambang kesuburan sangat perlu
dipentaskan secara terus menerus. Dengan pagelaran tari gambyong ini para
petani akan giat bekerja, sehingga negara tercukupi sandang pangan papan.
Oleh Dr Purwadi, M.Hum. Ketua Lembaga Olah Kajian Nusantara
LOKANTARA, hp. 087864404347
Tidak ada komentar:
Posting Komentar