Rabu, 30 Desember 2020

SEJARAH TARI GAMBYONG SEBAGAI LAMBANG KESUBURAN

 

A.            Asal Usul Tari Gambyong

Tari gambyong sesungguhnya berhubungan dengan bidang pertanian. Sajian tari gambyong dipersembahkan untuk menghormati kehadiran Dewi Sri. Dalam kepercayaan kejawen, Dewi Sri adalah bidadari yang mengayomi para petani. Dewi Sri dipercaya sebagai pengurus kemakmuran.

Cerita Dewi  Sri yang dihormati oleh masyarakat Jawa dimulai ketika Ki Ageng Tarub akan menikahkan putrinya yang bernama Dewi Nawangsih. Pada waktu malam midodareni dewi Nawangwulan turun dari kahyangan. Dewi Nawangwulan adalah istri Ki Ageng Tarub yang berasal dari Karang Kawidodaren. Dewi Nawangsih menikah dengan Raden Kejawan atau Lembu Peteng putra Prabu Brawijaya V Raja Majapahit.

Dinasti kerajaan Jawa selalu memuliakan Ki Ageng Tarub. Semua keturunan raja Mataram menganggap Ki Ageng Tarub sebagai leluhur yang perlu dihormati. Letak makam leluhur Mataram ini bertempat di desa Tarub Kecamatan Tawangharjo Kabupaten Grobogan. Pelaksanaan upacara dipimpin oleh KRT Hastono Adipuro pada tanggal 10 Januari 2012.

Dalam melaksanakan tugasnya, jurukunci ini dibantu oleh beberapa orang staf yang berfungsi untuk memperlancar jalannya upacara ritual. Masing-masing menggunakan busana Jawa: jarik, sabuk wala, cindhe, timang, beskap, blangkon, slop, samir dan lambang Radya Laksana.

Kompleks makam terdiri dari cungkup makam Ki Ageng Tarub dan RM Bondan Kejawan. Bangunannya mirip Masjid Demak. Unsur Islam dan budaya Jawa terpadu indah. Di sebelahnya terdapat kantor juru kunci. Di situ ketuanya KRT Hastono Adipuro dengan pelindung Pengageng Sasono Wilopo Kraton Surakarta Hadiningrat.

Dengan demikian makam ini tetap di bawah kekuasaan kraton Surakarta yang merupakan kelanjutan dari dinasti Mataram, Pajang, Demak dan Majapahit. Dengan demikian ritual tahunan di makam Ki Ageng Tarub ini menjadi alat ampuh untuk memperteguh asal-usul dari sebuah dinasti, sebab akan mendapat dukungan dari masyarakat tradisional.

Tempat wudhu berbentuk istimewa. Padasan ini berupa genthong. Airnya berasal dari sendang Widodari. Gapura masuk dengan pagar yang mengelilingi makam tidak terlalu tinggi, tetapi cukup indah dan asri. Dari luar bisa dilihat suasana makam. Karena pagar ini setinggi orang dewasa. Dalam kompleks makam ini tertata rapi dan bersih.

Pintu cungkup pertama adalah makam Raden Mas Bondan Kejawan. Beliau adalah cucu Prabu Brawijaya, raja Majapahit. Cungkup kedua adalah makam Ki Ageng Tarub. Kedua-duanya seperti bangunan kembar. Sekilas seperti dua bangunan masjid. Di antara kedua makam itu dipisahkan sungai, airnya gemericik mengalir. Di tengah-tengahnya adalah pohon Sambi. Tingginya pohon Sambi yang rindang dan rimbun ini menambah wibawa makam.

Bagi kalangan kejawen Ki Ageng Tarub merupakan tokoh spiritual legendaris. Beliau adalah suami Dewi Nawangwulan. Seorang bidadari cantik yang amat dihormati oleh para petani. Konon Dewi Nawangwulan mampu mencegah masa paceklik, sehingga petani tetap kecukupan sandang dan pangan. Perkawinan antara Joko Tarub dengan Dewi Nawangwulan ini menurunkan Dewi Nawangsih. Dari tokoh-tokoh legendaris ini muncul nama populer yang bernama Ki Ageng Sela.

Beliau adalah tokoh sakti mandraguna yang mampu menangkap petir. Bila ada kilat dan petir yang menggelegar, maka diampirkan untuk bilang bahwa dirinya adalah cucu Ki Ageng Sela. Ditanggung pasti selamat. Hanya saja, makam Ki Ageng Sela terpisah dengan jarak 5 km, sama-sama di wilayah Kabupaten Grobogan. Peninggalan rohani yang tetap lestari dari keturunan tokoh legendaris ini adalah berupa pepali atau petuah luhur.

Masyarakat Jawa mempelajari, memahami, menghayati dan mengamalkan pepali, agar hidupnya mendapat dalam padang dan terang. Pepali ialah peninggalan Ki Ageng Sela, moyang Panembahan Senapati, pendiri Kerajaan Mataram Kedua, yang dimaksudkan sebagai didikan kesusilaan, kebatinan dan keagamaan bagi keturunannya.

Ki Ageng Sela sendiri ialah cucu Raden Lembu Peteng atau Raden Bondan Kejawan, putera Prabu Brawijaya (Raja Majapahit yang terakhir) dari isterinya yang termuda, wanita dari Wandan atau Bandan (Pulau Bandaneira). Karena ibunya orang Bandan dan ayahnya orang Jawa, Raden Lembu Peteng itu bernama juga Bondan Kejawan, yang berarti keturunan orang Bandan yang menjadi orang Jawa. Dalam historiografi tradisional Bondan Kejawan mendapat posisi yang terhormat.

Peralihan kekuasaan dari Kraton Majapahit ke Kraton Demak Bintara diwarnai cerita folklor beraneka ragam. Masing-masing dengan sudut pandang serta kepentingan yang berlainan. Ki Ageng Sela hidup dalam jaman Kerajaan Demak, yang ketika itu di bawah pemerintahan Sultan Trenggana, jadi dalam abad ke 16. Kiranya ia dilahirkan di sekitar permulaan abad ke 16 atau akhir abad ke 15.

Dugaan ini berdasarkan cerita yang mengatakan bahwa pemuda Sela pernah ditolak menjadi anggota Korps Prajurit Tamtama (Pasukan Penggempur) Kerajaan Demak. Sebabnya dalam ujian untuk mengalahkan banteng, ia memalingkan kepalanya, ketika akibat pukulannya, darah yang menyembur dari kepala banteng, mengenai matanya.

Karena memalingkan kepalanya itu, ia dipandang tidak tahan melihat darah, dan karena itu tidak memenuhi syarat. Perannya dalam historiografi tradisional yaitu turut serta mendidik Joko Tingkir yang kelak menjadi Raja Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijaya.

Ki Ageng Sela dianggap sebagai guru spiritual yang waskitha ngerti sakdurunge winarah. Kerajaan Demak Islam mulai berkembang di sekitar 1520. Maka kiranya tidak banyak salahnya, bila kelahiran Sela kita letakkan di sekitar akhir abad ke 15. Malu karena penolakan tadi, pemuda Sela berbulat tekad untuk mendirikan kerajaan sendiri. Bila cita-cita ini tidak dapat tercapai olehnya sendiri, maka ia mengharapkan keturunannyalah yang akan mencapainya.

Ia mengundurkan diri ke sebuah desa, di sebelah timur kecamatan Tawangharjo, kabupaten Purwodadi. Di sana ia hidup sebagai petani dan memperdalam pengetahuannya tentang agama, filsafat dan ilmu hidup untuk memperluas pengaruhnya kepada rakyat, yang sedang mengalami kegoncangan dalam pandangan hidupnya, akibat perebutan kekuasaan antara ajaran Hinduisme dan Islam. Lambat laun pengaruhnya berkembang, sehingga ia mendapat julukan Ki Ageng Sela.

Desa di mana Ki Ageng Sela bertempat tinggal kemudian dinamakan desa Sela juga. Maksudnya untuk mendirikan kerajaan sendiri baru dapat dilaksanakan oleh cicitnya, Sutawijaya, Ngabei Loring Pasar, yang kemudian sebagai raja pertama Kerajaan Mataram Kedua, memakai gelar Panembahan Senapati ing Ngalaga (Yang dipertuan Panglima Perang). “Serat Pepali” peninggalan Ki Ageng Sela, jelas mencerminkan peralihan jaman dalam keagamaan.

Filsafat hidup Ki Ageng Sela, sebagai juga filsafat hidup para Sembilan Wali, merupakan suatu synthese dari unsur-unsur keagamaan yang dibawa oleh agama Islam dan unsur-unsur agama Hindu. Bagaimana filsafat hidup Ki Ageng Sela, para pembaca dapat menyelami sendiri dengan membaca kitab Pepali ini. Serat Pepali Ki Ageng Sela ditulsi dalam bentuk metrum tembang macapat. Resitasi yang amat disukai oleh masyarakat Jawa.

Geneologi yang menghubungkan dengan Ki Ageng Tarub amat menguntungkan dinasti Kerajaan Jawa, untuk menumbuhkan kepatuhan dan kharisma. Ki Ageng Sela adalah yang menurunkan raja-raja Mataram, dan Susuhunan Paku Buwana XII di Surakarta Hadiningrat adalah keturunan beliau yang ke-17. Silsilahnya adalah sebagai berikut : Prabu Brawijaya V dengan Putri Wandan Kuning berputra Raden Bondan Kejawan.

Raden Bondan Kejawan dengan Rr. Nawangsih berputra : Kyai Ageng Getas Pendawa. Kyai Ageng Getas Pendawa dengan Nyai Ageng Getas Pendawa “sepuh” berputra : Kyai Ageng Sela (Kyai Ageng Ngabdulrahman ing Sesela), putra kedua. Kesaktian yang beliau miliki antara lain disadap dari salah seorang Wali Sanga yaitu Sunan Kalijaga. Setelah wafat beliau dimakamkan di desa Sela, kecamatan Tawangharjo, kabupaten Purwodadi-Grobogan Jawa Tengah.

Di waktu mudanya Ki Ageng Sela bernama Bagus Songgom dan merupakan seorang yang sakti mandraguna. Legitimasi politik tradisional sering digambarkan dengan turunnya wahyu, ndaru atau pulung. Untuk itu diperlukan sebuah ketajaman hati yang mengetahui tingkat-tingkat penghayatan spiritual. Mulai dari syariat, tarikat, hakikat dan makrifat.

Dalam khasanah kawruh Jawa dikenal dengan adanya sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa dan sembah rasa. Pengetahuan puncak dasar mistik meliputi ngelmu sangkan paraning dumadi, satataning panembah, rasa sejati, kawruh tuwa kadigdayan dan kanuragan menjadi syarat mutlak, agar seorang tokoh berkharisma dan disegani.

Ki Ageng Tarub dan Ki Ageng Sela dipercaya oleh masyarakat Jawa memiliki daya linuwih. Dalam Babad Tanah Jawi disebutkan bahwa Ki Ageng Sela termasuk figur yang turut mengasuh Joko Tingkir. Atas petunjuk Ki Ageng Sela pula, Joko Tingkir atau Mas Karebet bersedia mengabdi ke Kasultanan Demak Bintoro. Joko Tingkir akhirnya diambil menantu raja Demak Sultan Trenggono.

Surutnya kraton Demak, panggung kekuasaan di Tanah Jawa digantikan oleh Kasultanan Pajang. Rajanya adalah Joko Tingkir atau Mas Karebet dengan gelar Sultan Hadiwijaya. Menurut Babad Tanah Jawi ayah Joko Tingkir bernama Ki Kebo Kenongo atau Ki Ageng Pengging. Kawan-kawannya yaitu Ki Ageng Sela, Ki Ageng Butuh, Ki Ageng Banyubiru dan Ki Ageng Pringapus. Mereka adalah guru kebatinan yang handal dan mumpuni.

Keberadaan mereka amat berpengaruh di lingkungan masyarakat Jawa. Ki Kebo Kenanga adalah putra Bupati Pengging yaitu Adipati Handayaningrat, istrinya bernama Ratu Pembayun, putra Prabu Brawijaya yang sulung. Dengan demikian Joko Tingkir dan istrinya, Ratu Kambang merupakan pertemuan dua dinasti besar.

Putra Adipati Handayaningrat yang lain adalah Ki Kebo Kanigoro dan Lembu Amiluhur. Ceritera Joko Tarub adalah contoh yang tidak berbeda dengan peristiwa baik Ken Arok maupun Raden Paku. Pada suatu malam hari Nyai Ageng Tarub pergi ke tempat makam dan melihat ada benda bersinar.

Didekatilah benda tersebut, ternyata seorang bayi laki-laki yang bagus parasnya. Bayi tersebut dibawanya pulang dijadikan anaknya dan diberi nama Raden Joko Tarub. Ialah yang kemudian dapat memperisteri seorang bidadari bernama Dewi Nawangsih. Puteri ini kelak menjadi isteri Lembu Peteng atau Bondan Kejawan seorang putera raja Brawijaya yang dititipkan pada Ki Ageng Tarub. Joko Tarub yang kemudian juga bernama Ki Ageng Tarub.

Busana tari gambyong menggunakan nyamping atau jarik dengan motif Sidomulyo. Harapannya paska pementasan tari gambyong mendapatkan kemuliaan. Busana dilengkapi dengan kemben pinjung, sanggul, selendang. Tak ketinggalan cunduk mentul, stagen, giwang. Kesempurnaan tari gambyong juga direnggani dengan untaian bunga melati, sehingga kanan kiri semerbak harum. 

B. Tari Gambyong Tayub untuk Menghormati Dewi Sri

Peranan penari gambyong amat menentukan dalam sejarah berdirinya kerajaan di Jawa. Ambil contoh kerajaan Pajang yang berdiri tahun 1456 dimulai dengan pementasa tari gambyong. Ki Ageng Butuh, Ki Ageng Banyubiru, Ki Ageng Pringapus, Ki Ageng Sela, Ki Ageng Karanglo mendapat penghormatan untuk ngibing dengan kalung sampur.

Putri Panembahan Senapati raja Mataram yang memerintah tahun 1582 – 1601 adalah penari gambyong istana. Demi keselamatan kerajaan Mataram Putri Pembayun rela mbarang keliling dari desa ke desa. Ritual tari gambyong ini mendapat pengawalan dari Ki Ageng Juru Mertani.

Kraton Pajang dan Mataram menghormati adat istiadat warisan  nenek moyang. Masyarakat Jawa terutama petani yang tinggal di pedesaan amat menghormati Dewi Sri yang menjadi lambang kesuburan. Tari gambyong tayub dipercaya sebagai sarana untuk menghormati Dewi Sri. Dalam kebudayaan Jawa, Dewi Sri dipercaya dapat mendatangkan kesuburan dan kemakmuran.

Penari tayub menempati posisi penting dan mendapat pelatihan khusus sebelum mereka pentas. Kledhek adalah seniwati asal tanah Jawa yang bertugas menari dan menyanyi saat penyelenggaraan pentas seni beksa langen tayub. Masyarakat Banyumas, Cilacap, Purbalingga dan Kebumen menyebut kledhek dengan istilah Ronggeng.

Kabupaten Banjarnegara dan Wonosobo memberi nama Lengger. Orang Yogyakarta, Sleman, Bantul, Gunungkidul, Kulonprogo mengenal dengan sebutan Ledhek. Nama Tandhak populer di wilayah Jombang, Mojokerto, Lamongan, Surabaya, Sidoarjo dan Malang. Kledhek mempunyai sinonim dengan ledhek, ronggeng, lengger dan tandhak.

Upacara nyadran, bersih desa, sepasaran bayi, pernikahan, tetakan, merti dhusun, merti bumi, slup-slupan rumah, panen, wiwit dan boyongan selalu mengundang kledhek untuk berjoged. Kehadiran kledhek demi laku ritual yang dapat menolak bala, bebas dari bencana dan rintangan hidup. Semua slamet wilujeng, tenteram lahir batin.

Oleh karena itu penyelenggaraan seni tayub itu harus mengikuti kaidah, norma, pakem, tradisi, adat-istiadat aturan yang baku. Ketentuan ini telah diwariskan secara turun-temurun. Dalam tata cara langen tayub, kledhek mendapat gelar kehormatan waranggana.

Kata waranggana berasal dari bahasa Sansekerta yaitu wara dan anggana. Wara berarti wanita yang mulia, agung dan anggun. Sedangkan anggana mempunyai makna indah, adi luhung dan edi peni. Dalam pandangan masyarakat Jawa seorang kledhek, pesindhen atau warang-gana sungguh-sungguh diperlukan, disegani, dihormati, dimuliakan, dielu-elukan dan kajen keringan. Kledhek menjadi sumber kemakmuran.

Pertunjukan Tari Masih erat terkait dengan kepercayaan. Bagi para petani yang rajin menanam padi di sawah tentu meyakini kledhek sebagai kekasih Dewi Sri. Kepercayaan Jawa bahwa Dewi Sri merupakan widodari yang mengurusi pangan. Pari bisa tumbuh subur manakala diemong oleh Dewi Sri.

Perlindungan, pengayoman serta perhatian Dewi Sri pada petani menyebabkan pangan berlimpah ruah. Murah sandang, pangan dan papan menjadi cita-cita utama para among tani. Sembada dan sempulur kehidupan itu manakala tersedianya sandang, pangan, papan. Para kadang among tani begitu tinggi harapannya pada Dewi Sri.

Kadang tani mengerti cara menghormati Dewi Sri, yaitu dengan nanggap kledhek. Tiap kali kledhek njoged di rumahnya, berarti tanah sawahnya subur. Gerak tari kledhek menjadi pupuk, rabuk dan humus. Alunan suara kledhek menyebabkan tegalan gembur. Tanduranijo royo-royo memberikan harapan datangnya rejeki yang berlipat ganda. Seolah-olah kledhek penyambung hubungan antara Dewi Sri dengan para tani di sawah.

Dewi Sri sebagai istri Bathara Wisnu menjelma di Tanah Jawa memang menjadi penyelaras kehidupan. Dalam cerita pewayangan Dewi Sri pernah nitis pada Dewi Citrawati, permaisuri Prabu Harjuna Sasrabahu raja di kraton Mahespati. Kemudian nitis pada diri Dewi Sinta, permaisuri Prabu Rama Wijaya, raja Pancawati. Lantas nitis pada diri Dewi Wara Sembadra, istri Raden Arjuna di Kasatriyan Madukara.

Dewi Sri atau Dewi Widowati selalu disebut oleh Prabu Dasamuka di mana saja. Dengan harapan kerajaan Alengka Diraja dan sejahtera. Bathara Wisnu pun berpengaruh atas alam pikiran masyarakat petani. Dunia ini dijaga oleh Sang Hyang Wisnu. Segala makhluk halus dan roh jahat yang dikuasai oleh Bathara Kala hanya bisa dikendalikan oleh Sang Hyang Wisnu.

Upacara sakral ruwatan Murwakala menempatkan Bathara Wisnu se-bagai patron, pelindung dan pelestari alam. Melalui Dhalang Kandha Buwana, Bathara Wisnu menjelma untuk membebaskan dari amukan Bathara Kala. Pasangan Dewa Wisnu dan Dewi Sri dianggap pahlawan bagi petani. Penokohan atas dua figur ini kuat mengakar dalam hati petani.

Diharapkan segala makhluk halus tak mengganggu. Dhandhang Mangore, Nusa Kambangan dan Pasetran Ganda Mayit menjadi sentra lokasi para mahluk halus seperti jin, setan, priprayangan, ilu-ilu, banaspati, engklek-engklek, warudhoyong, thong-thong sot, dhemit, medhon, genderuwo, sundel bolong.

Dengan rapal dan rajah yang dibacakan oleh Dhalang Kandha Buwana, titisan Bathara Wisnu tentu tidak akan sor prebawa atau kalah pamor. Semua lelembut takut oleh mantra sakti warisan Bathara Wisnu yang diutarakan oleh Ki Dhalang Kandha Buwana.

Hama wereng, walang sangit, uler, klabang, kalajeng-king, kala sundep, tikus dan sejenisnya adalah musuh utama bagi petani. Hewan pagebluk ini betul-betul merugikan petani. Cara mengusir hama tanaman ini harus menggunakan aktivitas ritual dan spiritual. Wayang, kledhek, kethoprak, ludruk, jathilan, kentrung, emprak, dhongkrek, srandhul, ndolalak dan reog merupakan sarana mengusir berbagai hama pertanian.

Semua seni tradisional itu disenangi oleh Dewi Sri. Oleh karena itu perlu ditanggap. Masyarakat hendaknya menempuh apresiasi seni sejak dini. Nanggap kledhek berarti rejekinya mbanyu mili, mengalir deras. Sawab dan sawan kledhek berpengaruh pada doa serta panuwun petani. Petani merasakan harapannya terkabul jika kledhek mau mendoakan.

Doa kledhek pasti dipenuhi Tuhan. Kledhek yang mau mendoakan penanggapnya terbukti manjur. Seolah-olah kledhek adalah perantara atau penghubung antara Tuhan dengan petani. Ilmu dan laku kledhek mempermudah komunikasi dengan Sing Nggawe urip.

Sumbaga atau aura spiritual kledhek terpancar saat tampil di panggung. Tangan bergerak, kaki melangkah dan suara melengking, pada saat itulah kledhek tampil dengan segala pancaran wibawa. Sinar yang gemerlapan dari kledhek itu menembus relung-relung jagad raya. Air yang mengalir dan udara yang berhembus pun ikut mengawal keagungan serta keanggunan kledhek. Kutu-kutu walang antaga, iber-iberan serta gegremetan turut bersuka ria.

Langen tayub manivestasi pesta alam. Sejak cikar datang membawa gamelan, para makhluk halus sudah menanti dengan riang gembira. Gamelan digelar bangsa yang tak kasat mripat mulai berdatangan. Mereka berpartisipasi demi kelancaran langen tayub.

Gong gedhe diberi menyan, dupa, sekar, sajen dan kokoh tanda bukti bahwa barisan pedhanyangan menyambut perhelatan. Sepanjang uyon-uyon, gamelan ditabuh pagi sampai sore hari, para penghuni alam lain itu mau merasakan indahnya gendhing-gendhing yang berkumandang memenuhi awang-awang.

Petani yang nanggap tayub percaya akan makmur. Panen berlimpah ruah, jauh dari hama. Padi, palawija, pala pendhem, pala gumandhul, pala kesimpar, karang kitri memberi penghasilan. Sayur dan buah membuat kekayaan bertambah. Tanah, air udara dan api cocok dengan suara gamelan. Di waktu malam mereka berdoa bersama suara kledhek yang mengalun merdu.

Sesungguhnya ada pengaruh gejolak ekonomi terhadap perkembangan seni. Bakul-bakul palen, bakul panganan, bakul dolanan, siap-siap untuk menawarkan dagangan. Penonton ramai, untung pasti berlipat ganda. Palen adalah penjual yang menjajakan mainan, plembungan, slathokan, wayang, kitiran dan ragam dolanan anak-anak. Mereka pindah dari tempat satu ke tempat lain. Dimana saja ada tontonan, bakul palen silih berganti berdatangan.

Keuntungan yang berlipat ganda cukup menghidupi keluarga. Betapa tidak, anak-anak kecil pasti minta dibelikan mainan. Berapa pun harganya, pasti diminta. Modalnya cuma nangis. Orang tua dan kakek nenek meluluskan permintaan anak kecil. Panganan berlimpah ruah saat tayuban berlangsung. Penjual makanan meliputi soto, sega pecel, opak sambel, tepo, tahu, tempe, cucur, ote-ote, ondhe-ondhe, kacang goreng dan gandhos.

Tidak lupa teh panas dan wedang kopi. Duduk jigang, omong-omong dan udut terasa asyik. Suasana gembira ria dirasakan anak-anak, remaja dan orang tua. Berkat nanggap tayub perhelatan terasa sigrak, segar dan menyenangkan. Muka mereka berseri-seri. Panas terik selama kerja di sawah hilang sama sekali. Itulah pengaruh tayuban.

Sepanjang jalan kanan kiri penuh orang berjualan. Anak-anak berlari-lari, bermain-main dengan teman sebaya. Dengan memakai lampu strongking, teplok, senthir dan cublik dirasa lebih dari cukup. Peradaban desa yang dihuni para petani merupa-kan kawasan mandiri, produktif dan kreatif. Sandang, pangan, papan, seni, ritual, diciptakan dan disediakan sendiri.

Selama berabad-abad desa dan petani dihitung dalam pergaulan dunia. Desa dan petani berkontribusi atas dinamika peradaban. Desa adalah komunitas otarki yaitu masyarakat yang dapat meme-nuhi kebutuhan sendiri secara mandiri. Perlu adanya usaha serius dalam pelestarian seni tari.

Langen tayub telah memutar roda perekonomian. Ujaring mbok bakul sinambi wara, informasi yang bersambung dari mulut ke mulut, gathok tular, menular dari seseorang ke pihak lain. Tontonan tayub akan segera menyebar ke segala pelosok, dari perkotaan, pedesaan dan pegunungan. Kesenian tradisional yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat.

C. Lambang Kesuburan untuk Pertanian

Kraton Surakarta yang didirikan oleh  Sinuhun Paku Buwana II pada tanggal 17 Suro 1745 selalu menyertakan sajian tari gambyong. Terutama untuk pementasan di wilayah karang padesan. Dengan tujuan para petani mendapat perlindunagn spiritual sehingga hatinya menjadi ayem, ayom.

Para petani selalu mengharapkan kesuburan buat tanamannya. Dewi Sri dianggap sebagai lambang kesuburan di tanah Jawa. Ki Ageng Tarub sebagai suami Dewi Nawangwulan diharapkan membawa berkah bagi dunia pertanian. Masyarakat Jawa yang berprofesi sebagai petani di pedesaan pada saat panen kerap mementaskan seni langen tayub.

Kledhek adalah seniwati yang bertugas menari dan menyanyi pada saat pagelaran seni langen tayub. Sepanjang Pegunungan Kendheng yang berjajar-jajar mulai dari Kabupaten Pati, Sragen, Grobogan, Blora, Tuban, Ngawi, Bojonegoro, Nganjuk dan Lamongan langen tayub berkembang sebagai seni adi luhung dan edi peni.

Nanggap kledhek dipercaya akan mendatangkan kesuburan serta kemakmuran. Para petani meyakini bahwa tari gambyong kledhek merupakan seniwati yang dipersembahkan kepada Dewi Sri. Sejak jaman kraton kuno, Dewi Sri selalu menjaga tanaman padi di tanah Jawa, agar tumbuh dengan subur. Ketika Dewi Sri nganglang jagad, maka padi yang ditanam oleh petani kalis ing sambekala.

Segala macam hama: wereng, tikus, uler, kala sundep, walang sangit akan menyingkir dan disengker di Gunung Kendheng.Kehadiran kledhek memang diperlukan oleh petani. Nanggap langen tayub menjadi kewajiban pada saat nyadran, bubak bumi dan bersih desa. Tari gambyong dalam pentas seni tayub menjadi sarana untuk memperoleh jiwa yang ayem tentrem.

Untuk mencapai tujuan mulia ini, seorang kledhek, waranggana, ronggeng, ledhek, lengger atau tayub wajib menempuh ngelmu dan laku. Kledhek perlu ngadi salira, ngadi busana. Tata cara ngelmu laku kledhek dilakukan dengan tapa ngrame, tapa ngidang, tapa ngeli, tapa ngalong, tapa kungkum, tapa ngrowot dan tapa pati geni.

Para penari gambyong ini kerap menjalankan lelaku di Gunung Donorojo, tempat bertapanya Kanjeng Ratu Kalinyamat. Tidak lupa kungkum di Grojogan Sewu, ereng-erenging Gunung Wilis. Kadang kala mengheningkan cipta di pesisir Segara Kidul. Tujuannya supaya mendapat anugerah sumbaga dan perbawa, sinar sri panggung yang mempunyai daya pikat lahir batin.

Pada tanggal 24 April 2001 diselenggarakan gembyangan waranggana tayub. Acara ini dihadiri oleh Bupati Nganjuk Jawa Timur, Dr. Soetrisno R, M.Si. Tempatnya di desa Ngrajek Sambirejo Tanjung Anom Kabupaten Nganjuk.  Terlebih dulu dimulai dengan pasugatan tari gambyong pangkur.

Pimpinan makhluk halus di sekitar gunung Kendheng, Gunung Wilis, Gunung Pandhan dan Gunung Lawu menyukai sepuluh gendhing yang dipakai gembyangan kledhek. Ketika gendhing tadi diiringi suara gamelan seketika para dhanyang sama mbeksa, njoged dan menari riang gembira.

Oleh karena itu kesepuluh gendhing sakral ini menjadi sajian wajib saat upacara sakral gembyangan waranggana. Sajian gendhing ritual ini sesuai dengan tuntunan pakem.

 

1.            Eling-eling

Muji sukur marang kang Maha Kuwasa

Keparengan kula matur

Pra seniman seniwati

Saking Ngrajek Sambirejo

Kang sampun sawega gati

Murwakani nugrahane Gusti

 

2.            Golekan

Bersih desa pancen perlu

Kanggone kawula iki

Kasembadan kang sedyane

Murah sandhang boga yekti

 

3.            Bendungan

Para tani padha nungkul

Kedhuk bumi nggarap sawah

Murih dana murah pangan

Sandhang kalawan papan

 

4.            Teplek

Braja Karna, Karna pinutra Jawata

Karerantan, kepanggya sekedhap

Bersih desa den pepetri

Caos dhahar cikal bakal

Ingkang hambabat desa iki

Kabeh para dhanyang desa

Tuwa mudha jaler estri

Yo ayo para kanca

Gumregah bareng njangkah

Ngluhurake kabudayan

Amurih aruming bangsa

 

5.            Gangga Mina

Pra kanca kula sadarum

Ingkang sami ngupaya mina

Kalisa ing sambikala

Katekan kang sinedya

Dhuh Gusti Kang Maha Agung

Tansah paringa pepadhang

Dhumateng para kawula

Nelayan ing samudra

 

6.            Astrakana

E astrakana 2x

Gedhang garing limpang limpung 2x

Dhondhong rete-rete 2x

Aku condhong karo kowe 2x

E, yo ayo kanca 2x

Saiyek saeka praya 2x

Sing guyub sing rukun 2x

Mengeti bersih desa

Setahun sepisan dha elinga

 

7.            Ana Ini

Ana ini ana 2x

Wiwit jaman kuna

Apa wae wis ana

Mbudidaya den lestarekna

Jroning padha makarya

Aja padha sembrana

Kudu eling lan waspada

Ja ninggal adat tata cara

Setahun pisan dha eling

 

8.            Gandariya

Gandrung gandariya

E gandrung manuke apa

Manuk manuk podhang

Mencoke neng papah gedhang

Mencoke ing sampiran

Re re  sawo glethak

Njenggelek tangi maneh

 

Dayane banyu sumur tan sedhudha

Sumorot cahyane

Jamas rikma sarira tirta

Cundhuk kembang kanthil kenanga

Re re sawo glethak

Jenggelek tangi maneh

 

9.            Ijo-ijo

Ijo-ijo muluk-muluk

Sampur ijo wis keceluk

Saiki wus kesayuk

Para waranggana sak Nganjuk

Kabeh padha suka-suka

Prangkat desa lan kawula

Wus kelakon bersih desa

Waranggana wis kawisuda

 

10.          Kembang Jeruk

Paripurna paripurna

Sukuran bersih desa

Sami nir ing sambekala

Sumangga sami sesanti

Jaya jaya wijayanti

Tungkul ngawula negari

Satemah lulus lestari

Wisuda waranggana menjadi sarana rekonsiliasi antara jagad lahir dengan jagad batin. Kledhek yang diwisuda diberi cundhuk mentul yang melambangkan sudah resmi menjadi waranggana. Kemudian disuruh memegang godhong waru, yang melambangkan katresnan sejati. Siraman air dari  grojogan Sedhudha agar kalis ing sambekala. Upacara sakral ini berlangsung dan wajib dilakukan sebelum waranggana, kledhek, tandak, pesindhen atau ronggeng tampil di pasaran.

Kledhek yang misuwur, kondhang, kawentar, kasusra, tenar dan ternama mesti diperoleh dengan cara ngelmu dan laku. Ketrampilan dan pengalaman dengan yakin berguru kepada kledhek senior dan para sesepuh. Lelaku dengan menjalankan lara lapa tapa brata.

Tari gambyong sebagai lambang kesuburan sangat perlu dipentaskan secara terus menerus. Dengan pagelaran tari gambyong ini para petani akan giat bekerja, sehingga negara tercukupi sandang pangan papan.

Oleh Dr Purwadi, M.Hum. Ketua Lembaga Olah Kajian Nusantara LOKANTARA, hp. 087864404347

Tidak ada komentar:

Posting Komentar