Kethoprak merupakan jenis kesenian sandiwara Jawa. Pada masa
pemerintahan Rakai Pikatan yang berkuasa tahun 840 – 856 telah dikembangkan
seni sandiwara. Lakonnya tentang kisah percintaan Raden Bandung Bondowoso
kepada Rara Jonggrang. Pementasan ini bersamaan dengan peresmian pemugaran
candi Prambanan.
Pada jaman kerajaan Singosari pada tahun 1223 diadakan
pagelaran sandiwara ceritanya tentang perjalanan Dewi Kilisuci. Putri Raja
Airlangga ini menjadi pertapa yang sangat sakti mandraguna. Berkat kesaktiannya
Dewi Kilisuci dianggap sebagai sesepuh kerajaan Jenggala dan kerajaan Daha.
Segala keputusan Dewi Kilisuci menjadi pertimbangan utama bagi pelaksanaan
kebijakan negara.
Cerita tentang percintaan digambarkan dengan sempurna pada masa pemerintahan Prabu Jayakatwang di Kediri. Pada tahun 1283 diselenggarakan pementasan sandiwara. Lakonnya mengambil tentang percintaan Panji Asmarabangun dengan Galuh Candrakirana. Secara serial dipentaskan juga lakon Ande-ande Lumut, Enthit, dan Panji Kudanawarsa.
Lakon sandiwara umumnya mengambil tema sejarah yang bernilai
pendidikan, kepahlawanan, keutamaan, serta keteladanan. Unsur pembinaan mental
spiritual masyarakat sangat diperhatikan dalam pentas sandiwara. Dengan
demikian sandiwara menjadi sarana yang efektif untuk membina karakter bangsa.
Teater dalam khasanah seni tradisional lebih populer dengan
istilah sandiwara. Berbagai macam bentuk sandiwara tradisional di antaranya
adalah kethoprak, ludruk, kentrung, wayang kulit, wayang gedhog, wayang thengul
dan wayang klithik. Pementasan sandiwara tradisional itu senantiasa menggunakan
pedoman pakem yang berprinsip pada aspek tontonan, tuntunan dan tatanan.
Sandiwara secara etimologis berasal dari bahasa Sansekerta.
Sandi berarti rahasia, lambang, simbol, misteri dan samar-samar. Wara artinya
berita, warta, informasi, ajaran, piwulang atau pesan-pesan. Secara maknawiyah
sandiwara mengandung pengertian ajaran kehidupan yang disampaikan dengan penuh
perlambang estetis. Dalam hal ini penonton diberi kebebasan untuk menafsirkan
pesan-pesan simbolik.
Interpretasi terhadap kandungan serta piwulang pentas
sandiwara pada umumnya memang memuat sasmitaning ngaurip, sebagaimana pagelaran
wayang purwa. Wayang adalah wewayangan
atau bayang-bayang kehidupan yang meliputi purwa, madya, wasana yang perlu
tafsir semiotik dan hermeneutik.
Seiring dengan kesadaran hidup berbangsa dan bernegara, pada
awal abad XX, tumbuh beraneka rupa organisasi kemasyarakatan. Budi Utomo
sebagai cikal bakal kebangkitan nasional, kemudian disusul oleh menjamurnya
organisasi yang bersifat modern, baik keagamaan, pendidikan, politik maupun
seni. Rupa-rupanya masing-masing organisasi itu juga membina perkumpulan teater
sebagai wahana sosialisasi visi, misi organisasi. Tema dan lakon yang diusung
biasanya selalu berkaitan dengan garis ideologi.
Kelompok kebudayaan yang tergabung dalam angkatan Balai
Pustaka menekankan topik pro kontra terhadap adat istiadat yang dianggap kolot.
Komunitas seni budaya membawa persoalan sekitar kawin paksa, minimnya
emansipasi wanita dan masalah domestik rumah tangga. Jelas sekali para pegiat budaya
menghendaki suasana yang lebih longgar, tanpa dikekang oleh tradisi yang
ketinggalan zaman.
Lain halnya dengan komunitas yang tergabung dalam Balai
Pustaka, Angkatan Pujangga Baru memberi warna yang lebih luas. Komunitas
Pujangga Baru dengan tokoh-tokohnya seperti Sutan Takdir Alisyahbana, Sanusi
Pane, Armyn Pane dan Amir Hamzah mengarahkan kebudayaan Indonesia ke arah yang
lebih universal.
Setelah Indonesia merdeka, orientasi kebudayaan menga-lami
pergeseran. Semangat anti asing bergelora. Pentas-pentas teater pun kerap
mengutip idiom ultranasionalis. Misalnya rawe-rawe rantas malang-malang putung,
sedumuk bathuk sanyari bumi ditohi pati pecahing dada wutahing ludira, lila lan
legawa kanggo mulyaning negara, holopis kuntul baris. Semua semboyan ini sesuai
dengan derap revolusi. Darah anak muda yang bergolak akan mudah membara dengan
ungkapan-ungkapan patriotik.
Pernyataan heroisme itu semakin bersemangat tatkala terdapat
gagasan perang melawan dominasi asing. Sangat disadari oleh para pemimpin saat
itu, bahwa slogan propagandis yang populis di tengah rakyat perlu sebagai
penyalur energi.
Untuk ungkapan yang menunjukkan anti penjajahan terdapat
dalam kalimat melu Landa urip rekasa, melu Jepang kesingkang-singkang. Teater
tradisional yang terwadahi dalam perkumpulan seni ludruk, kethoprak dan wayang
wong pada era tahun 1950-an akrab dengan
lagu-lagu yang berisi slogan dan propaganda. Kita kutipkan lagu PNI :
Lagu PNI
Sosio
nasional demokrasi
Kepala
banteng segitiga PNI
Buruh
tani saka guru revolusi
Aja
rame-rame ana pedhet liwat kene
Pedhet
loreng-lorang yen wis gedhe dadi banteng
Hidup
Bung Karno!
Dokumentasi kegiatan teater yang berhubungan dengan kampanye
politik banyak disimpan dalam perpustakaan Cornel University. Barangkali sangat
menarik bila arsip dan dokumentasi itu kita buka lantas dipelajari, diteliti
dan dikaji secara mendalam sebagai refleksi dan referensi historis. Dengan
demikian kita dapat membuat anyaman peradaban dengan berpijak kepada nilai
kearifan masa lampau.
Pergantian kepemimpinan nasional berdampak pula kepada
perilaku berkesenian. Banyak group teater yang berpindah haluan. Sebelumnya
teater tradisional banyak yang menjadikan partai politik sebagai patron.
Kemudian ketika tentara berkuasa, group-group seni teater pun berafiliasi
dengan penguasa baru. Dapat diambil contoh Kethoprak Mataram Sapta Mandala
Kodam VII Diponegoro.
Group kethoprak ini terang-terangan menyebutkan bahwa Kodam
VII Diponegoro beserta jajarannya adalah pihak yang menjadi pembina. Adalagi
kelompok Ludruk Kopasgat Trrisula Darma. Kopasgat adalah Komando Pasukan Gerak
Cepat yang bermarkas di Lapangan Udara Iswahyudi Jawa Timur. Paguyuban Ludruk
ini di bawah pembinaan TNI Angkatan Udara.
Sementara wayang wong, kethoprak dan ludruk akhir-akhir ini
jarang tampil. Alasannya beaya produksi sekarang terlalu mahal. Tanpa ada
sponsor yang mendukung finansial rasanya terlalu berat. Untuk itu memang
diperlukan usaha yang kreatif agar permasalahan ini bisa diatasi bersama, tanpa
mengaburkan esensi unsur seni.
Panggung teater Indonesia kini banyak diperankan oleh pegiat
sinetron, kethoprak humor, film terjemahan, komedi malam, yang tiap saat
ditayangkan melalui berbagai stasiun televisi. Kelompok ini bisa eksis karena
dukungan dana yang berlimpah ruah dari perusahaan besar. Akan tetapi ada
kegelisahan baru karena pementasan teater lewat televisi penggarapanya kurang
maksimal.
Para pelakunya terlalu sedikit pengalaman sehingga hasil
produksinya mendapat reaksi yang kurang menyenangkan di hadapan para
pemirsanya. Kita ambil contoh sinetron dengan judul Jaka Tarub, Jaka Tingkir dan
Prabu Angling Darma. Penampilan sinetron ini tampak kurangnya dari segi
improvisasi, kharakterisasi dan musikalisasi.
Harapan kita dunia teater Indonesia akan mengalami kemajuan.
Pegiat seni perlu lebih keras dalam berusaha dan bekerja. Inovasi dan kreasi
mesti ditingkatkan terus-menerus dengan cara melakukan pengkajian dan
pendalaman. Bila perlu melakukan kerja sama dengan kelompok antar bidang.
B. Pementasan Seni Kethoprak
Cerita ketoprak banyak diambil dari Babad Demak, Babad
Pajang, Babad Majapahit, Babad Tanah Jawi, Babad Kraton, Babad Kartasura, Babad
Mangkubumi dan Babad Dipanagara. Unsur ketauladanan dan kepahlawanan para
bangsawan Jawa mendominasi lakon ketoprak.
Bagi kebanyakan orang Jawa, ketoprak merupakan sumber
inspirasi nasionalisme sekaligus sarana nostalgia pada kehidupan masa lampau.
Kebijakan dan kebajikan yang diperagakan dalam ketoprak membuat para pemirsanya
seolah-olah bagian dari panggung.
Menurut Wiwien Widyawati (2010), ada juga ketoprak yang
menceritakan kisah dengan setting Timur Tengah. Negeri Mesir, Yaman, dan Turki
menjadi latar cerita. Biasanya lakon ini bersumber dari kitab-kitab Menak yang
telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa.
Pujangga Kyai Yasadipura berhasil menerjemahkan Serat Menak
Sarehas, Menak Gandrung, Umarmaya Umarmadi, Rengganis, Menak Lare dan Nabi
Yusuf. Semua cerita ini mengandung nama Islam. Hadirnya nama Islam ini sekaligus
cara akomodatif untuk melakukan akulturasi kebudayaan.
Kalau diamati secara sungguh-sungguh, ketoprak menjadi
legitimasi yang ampuh atas eksistensi Kerajaan Mataram. Pendiri Mataram yang
bernama Panembahan Senapati diceritakan dapat menakhlukkan dahsyatnya pantai
selatan, bahkan penguasanya yang bernama Kanjeng Ratu Kidul dijadikan garwa
prameswari.
Tokoh bijaksana yang mendukung keprabon Senopati adalah trio
legendaris yaitu Ki Ageng Pemanahan, Ki Ageng Penjawi dan Ki Ageng Juru
Martani. Ketiganya betul-betul dilukiskan sebagai pribadi agung dan anggun.
Tutur kata, ilmu dan tingkah lakunya sangat ideal sebagai panutan.
Dalam lakon Arya Penangsang Gugur, ketiga sesepuh Mataram
itu sangat berjasa dalam membela Raja Pajang, Sultan Hadiwijaya. Dengan begitu
munculnya Sutawijaya yang kelak menjadi raja Mataram pertama dapat nglintir
keprabon berdasarkan kerelaan Sultan Hadiwijaya. Bahkan dalam banyak cerita
ketoprak, Sutawijaya adalah putra Sultan Hadiwijaya.
Raja-raja Mataram selanjutnya digambarkan sebagai pahlawan
besar dan sakti mandraguna. Terlebih-lebih gambaran mengenai Sultan Agung,
bahkan diberi gelar setara wali. Dalam berbagai cerita, Sultan Agung tampil
sebagai narendra gugn binathara, mbahu dhendha nyakrawati, ambeg adil
paramarta, memayu hayuning bawana.
Pada suatu saat Sultan Agung dan raja-raja sebelumnya mesti
mendapat restu dan bimbingan spiritual dari Kanjeng Sunan Kalijaga.
Kenyataannya, semua raja Jawa Islam meyakini bahwa Sunan Kalijaga adalah guru
spiritual yang berwibawa dan sangat dihormati.
Kelebihan ketoprak dalam setiap kali adegan adalah
keterampilan dalam menerapkan unggah-ungguhing basa, kasar alusing rasa dan
jenggar genturing tapa. Kemampuan berbahasa Jawa halus sesuai dengan kaidah
parama sastra menjadi ukuran mutlak bagi pemainnya. Pengetahuan tentang
udanegara dan tata praja akan memantapkan perwatakan. Seorang raja yang sedang
lenggah sinewaka mesti tampil berwibawa dan meyakinkan. Dia menjadi pusat
perhatian.
Pemain yang didhapuk sebagai garwa prameswari haruslah putri
cerdas yang tak boleh nguciwani. Ulat, patrap, dan pangucap hendaknya bisa
mengimbangi sang raja, baik dalam hal wawasan maupun kelakuan. Bila perlu
nasihat atau paramayoga yang dihaturkan pada sang Baginda Raja dapat ngudhari
ruwet rentenge negari. Oleh karena itu, peraga yang didhapuk sebagai prameswari
mesti banyak latihan. Mimik, gerak dan cara berucap perlu gladhen
terus-menerus, sehingga penampilannya memuaskan semua pihak.
Ajaran mengenai kearifan hidup ditunjukkan oleh Sultan
Hadiwijaya ketika mau dibunuh oleh seorang utusan Adipati Jipang. Berkat
kesaktian Sultan Hadiwijaya pusaka yang digunakan untuk membunuh itu tidak
mempan. Dia tidak dihukum, malahan diberi hadiah. Begitulah keluhuran budi
Sultan Pajang yang pantas menjadi suri tauladan.
Juga ketika Sultan Hadiwijaya masih muda dengan nama Joko
Tingkir yang suka mencari ilmu pengetahuan. Tidak ada tokoh dalam sejarah Jawa
yang gigih menuntut ilmu seperti Joko Tingkir. Di mana pun ada orang pandai,
dia mesti berguru. Kisah ini mengingatkan tokoh pewayangan, Raden Arjuna, yang
suka berguru kepada brahmana suci.
Mobilitas vertikal yang dilakukan oleh Joko Tingkir ternyata
melalui proses pendadaran yang tidak gampang. Strategi kultural dan struktural
dipakai Joko Tingkir dalam mewujudkan cita-citanya. Sebagai keturunan darah
biru, Joko Tingkir mampu memposisikan diri secara tepat, dengan cara merangkul
kelas menengah, birokrasi, cendekiawan dan kaum pinggiran. Sukses gemilang Joko
Tingkir membuktikan idiom tradisional lara lapa tapa brata dalam perjuangan.
Contoh lakon kethoprak yang mengambil tema sejarah yaitu
cerita Prabu Brawijaya dan cerita Joko Tingkir. Lakon Prabu Brawijaya merupakan
cerita legitimasi historis. masyarakat Jawa berharap atas keteladanan Prabu
Brawijaya Raja Majapahit.
Prabu Brawijaya adalah raja Majapahit yang telah mewariskan
semangat kebangsaan dan kenegaraan. Jaman keemasan Kraton Majapahit selalu
dikenang dari masa ke masa dengan penuh rasa kebanggaan. Wilayah luas,
pemerintahan berwibawa, militer kuat, rakyat makmur, pendidikan maju,
penguasaan bahari kelautan, dan kebudayaan berkembang adalah prestasi gemilang
yang diukir oleh Prabu Brawijaya dalam memimpin kraton yang beribukota di
Trowulan, Mojokerto ini.
Dalam lintasan sejarah, Prabu Brawijaya benar-benar
kepanjingan wahyu cakraningrat, yang merupakan lambang derajat kekuasaan. Siapa
saja yang memperoleh wahyu ini, dirinya dipercaya akan mampu memegang kendali
kepemimpinan. Dinasti Prabu Brawijaya kelak menjadi penguasa Jawa yang
terkemuka dan berpengaruh.
Para raja Kasultanan Demak Bintoro adalah keturunan langsung
Prabu Brawijaya. Demikian pula Kraton Pajang dengan rajanya, Sultan Hadiwijaya,
masih mengalir darah raja besar Majapahit. Munculnya Kraton Mataram pun secara
genealogis adalah trah Dinasti Prabu Brawijaya.
Sedemikian besar pengaruhnya dalam panggung sejarah
nasional, maka setiap pemimpin kontemporer masa kini yang muncul akan selalu
berusaha mengklaim dirinya masih keturunan Prabu Brawijaya. Legitimasi politik
yang bersifat magis genetis ini memang membuat percaya diri di kalangan
pemimpin lokal dan nasional. Bagi mereka Petilasan Prabu Brawijaya tetap
menjadi referensi, refleksi dan inspirasi.
Sedangkan lakon Joko Tingkir bertolak dari pendirian
kerajaan Pajang pada tahun 1546. Dengan berlatar daerah Pengging, pementasan
kethoprak dengan lakon Joko Tingkir cukup memberi hiburan segar. Penonton dapat
mengambil suri teladan atas perjuangan yang gigih.
Joko Tingkir dalam panggung sejarah Indonesia mempunyai
beberapa keunggulan kepribadian (psikologis), kemasyarakatan (sosiologis),
keturunan (genetis), kenegaraan (yuridis) dan keagamaan (asketis). Kelima
keunggulan itu menjadikan Joko Tingkir mampu tampil sebagai tokoh yang handal,
fenomenal dan profesional.
Ditinjau dari segi genetis, Joko Tingkir merupakan trah
Kraton Majapahit. Jelas sekali dia adalah satria agung trahing kusuma rembesing
madu, keturunan bangsawan besar. Secara sosiologis keluarga besar Joko Tingkir
berhasil membangun jaringan sosial yang kuat dan mengakar. Ayah Joko Tingkir
yang bernama Ki Ageng Pengging menjadi pelopor Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM). LSM pimpinan Ki Ageng Pengging ini selalu didukung oleh anak muda, kelas
menengah dan kaum reformis yang rindu perubahan.
Akhirnya Joko Tingkir menjadi raja di Kraton Pajang dengan
gelar Sultan Hadiwijaya. Secara yuridis kenegaraan dia dapat mewujudkan good
governance dan clean government, pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Ini
wajar sekali, karena semasa mudanya Joko Tingkir memiliki psikologi kepribadian
yang mengagumkan.
Dia gemar belajar tekun dan bekerja keras, dengan dilambari
prinsip ngelmu laku, lara lapa, tapa brata dan cegah dhahar lawan guling.
Sebuah asketisme keagamaan yang intinya mengutamakan keselarasan pikir dan
dzikir, dengan mengurangi kenikmatan jasmaniah.
Pada masa pemerintahan Kraton Pajang mulai terjadi
intrik-intrik politik antar berbagai kekuatan yang ingin berkuasa, Joko Tingkir
berusaha untuk mendidik putra-putrinya agar selalu menekuni ilmu pengetahuan
dan keagamaan. Dalam hal suksesi kepemimpinan, Joko Tingkir lebih mengedepankan
asas meritokrasi, demokrasi, kredibilitas dan kapabilitas seseorang.
Bahkan Joko Tingkir dapat mengarahkan putra sulungnya yang
bernama Pangeran Benowo untuk menjadi ulama besar. Gagasan Pangeran Benowo ini
pula yang menjadi cikal bakal tradisi pendidikan pesantren di Jawa.
C. Lakon Damarwulan Ngenger
1. Adegan
Ratu Kencana Wungu
Ratu Ayu atau Dewi Kencana Wungu sedang dihadap oleh para
pemuka Majapahit. Yang paling dekat dengan sri baginda ialah Patih Dalam Dewi
Rarasati, dan Patih Luar Logender. Yang dibicarakan ialah masalah peperangan
yang terjadi antara Majapahit dengan Blambangan. Sudah agak lama tidak ada
beritanya. Dewi Rarasati menduga bahwa pasukan Majapahit berhasil mengatasi
musuh.
Alasannya, jika pasukan Majapahit terdesak tentu telah ada
utusan ke Majapahit menyampaikan laporan atau minta bantuan. Tiba-tiba datanglah
Layangseta dan Layangkumitir dari medan perang. Kedua anak Patih Logender itu
bukannya turut bertem¬pur, melainkan hanya sebagai pengawas belaka. Kedua
satria itu melaporkan bahwa dalam medan pertempuran di Prabalingga telah
terjadi pertempuran sengit.
Adipati Kediri dan Adipati Tuban telah gugur di medan perang
melawan Urubisma. Berita tersebut tentu saja sangat mengejutkan, dan sekaligus
membuat Dewi Rarasati sangat sedih karena ayahnya, yakni Adipati Ranggalawe dan
Tuban telah gugur pula dalam peperangan.
Dewi Rarasati hampir-hampir tidak dapat menahan
kesedihan¬nya, dan berniat masuk ke dalam api tumangan. Untunglah setelah
dinasihati oleh Dewi Kencana Wungu hati Dewi Rarasati menjadi tenang dan
akhirnya pasrah atas segala ketentuan Yang Maha¬agung.
Negara Majapahit sudah kehilangan semua pahlawannya yang
dapat dipercaya membela negara. Dewi Kencana Wungu sangat bingung dan prihatin,
lebih-lebih jika melihat Dewi Rarasati, yang sangat dicintainya. Siapa gerangan
yang bisa mengemban tugas mempertahankan negara Majapahit dan sekaligus
menghancurkan Menakjingga?
Dewi Kencana Wungu memutuskan untuk mengada¬kan sayembara.
Tak perduli orang hina dina, cacat ataupun orang yang teramat pelit, asal saja
mampu mempertahankan negara Majapahit dan menghancurkan Menakjingga, maka orang
itu akan dinobatkan menjadi raja menduduki takhta Majapahit.
Sehabis mengucapkan sayembara dan memberi perintah kepada
Patih Logender untuk menyebarluaskan sayembara itu, Dewi Kencanawungu masih
membicarakan gugurnya Adipati Ranggalawe Tuban dengan Dewi Rarasati.
Selanjutnya Dewi Kencana Wungu akan berusaha memohon
pertolongan dewata, dengan harapan akan datangnya sarana yang dapat
menghindarkan keruntuhan kerajaan Majapahit. Ratu Ayu atau Dewi Kencana Wungu
lalu masuk ke dalam sanggarnya untuk bersamadi.
2. Patih
Logender Menyebarluaskan Sayembara
Di paseban luar Patih Logender, Tumenggung Arya Sisimping,
Raden Layangseta, Raden Layangkumitir, Tumenggung Arya Tiron, Tumenggung Menak
Giyanti, Tumenggung Rangga Minangsraya tengah membicarakan sayembara yang baru
saja diucapkan oleh Ratu Ayu Dewi Kencana Wungu.
Layangseta Layangkumitir menyatakan kesanggupannya membunuh
Prabu Urubisma. Kemudian sayembara itu diumumkan dan disebarluaskan kepada
seluruh bala tentara Majapahit. Sedangkan diantara para punggawa tidak seorang
pun menyatakan kesanggupannya.
Dalam pada itu Dewi Kencana Wungu mengutus seorang parekan
ke paseban luar untuk memberi tahu Patih Logender bahwa Sri Ratu berkehendak
memanggil istri Adipati Ranggalawe beserta para putranya supaya berkumpul di
Majapahit. Parekan berangkat ke Tuban dikawal oleh Tumenggung Menak Giyanti,
dan Tumenggung Rangga Minangsraya.
3. Damarwulan
Berperang Dengan Layangseta Layangkumitir
Sudah beberapa waktu lamanya Damarwulan, putra Patih Mandura
yang digantikan oleh Logender, mengabdi ke Kepatihan Majapahit. Oleh pamannya,
Damarwulan diberi tugas menjaga gapura, mengawasi orang yang keluar masuk ke
Kepatihan, dan mengurus taman. Adanya Damarwulan di Kepatihan belum diketahui
oleh Layangseta Layangkumitir, demikian pula sebaliknya Damarwulan pun belum
mengenal kedua putra Patih Logender itu.
Mereka baru saling mengenal setelah terjadi perkelahian
antara mereka karena kesombongan Layangseta Layangkumitir. Kedua putra Patih
Logender itu ternyata tidak mampu melawan kekuatan Damarwulan. Mereka lalu
menggunakan senjata keris. Akan tetapi keris pun tak dapat melukai Damarwulan.
Perkelahian itu berakhir dengan keluarnya Patih Logender yang memperkenalkan
satu sama lain.
Sejak saat itu tugas Damarwulan tidak lagi di gapura dan
sebagai juru taman, melainkan menjadi pemelihara kuda dan penyabit rumput.
Pakaiannya yang bagus diganti dengan pakaian penyabit rumput. Tinggalnya juga
di kandang kuda bersama dengan dua orang abdinya, Sabdapalon dan Nayagenggong.
Keadaan Damarwulan sangat menyedihkan. Ia sangat prihatin. Untunglah kedua
orang abdinya selalu menghiburnya.
4. Gugurnya
Adipati Ranggalawe
Istri Adipati Tuban Dyah Banowati dihadap oleh ketiga
pu¬tranya ialah Dewi Sekati, Raden Buntaran, dan Raden Watangan. Mereka juga
sedang membicarakan perang yang terjadi antara Majapahit dan Blambangan.
Menurut dugaan mereka Adipati Menakjingga pasti dapat dikalahkan oleh junjungan
mereka Adi¬pati Ranggalawe. Bahkan mereka sudah membayang-bayangkan apa yang
akan diminta jika ayahnya pulang dengan membawa ke¬menangan.
Pembicaraan mereka belum selesai ketika tiba-tiba abdi
pemba¬wa payung Wangsapati datang sambil memegangi lukanya. Wangsa¬pati membawa
kabar tentang tewasnya Adipati Ranggalawe dalam peperangan melawan Prabu
Urubisma. Setelah selesai melapor, Wangsapati jatuh terkulai, mati di hadapan
Dyah Banowati. Seke¬tika Kadipaten Tuban hujan tangis.
Melihat kesedihan ibunya serta kakaknya, Raden Buntaran dan
Watangan mohon diri pergi ke medan perang untuk menuntut balas. Kedua putra
Adipati Tuban itu sudah tidak dapat dicegah lagi. Melihat kedua putranya
berangkat, Dyah Banowati ingin mengikutinya ke medan perang. Akan tetapi
tiba-tiba datanglah utusan dan Majapahit yang terdiri dari Nyai Lurah Sepetmadu
Nyai Lurah Wilaja, Rangga Minangsraya, dan. Menak Giyanti.
Atas saran Nyai Lurah Sepetmadu, Tumenggung Rangga
Minangsraya dan Menak Giyanti diperintahkan menyusul dan menghalang-halangi
kepergian Raden Watangan dan Buntaran ke medan perang. Namun usaha mereka tidak
berhasil. Kedua tumenggung terpaksa mengiringkan kedua satria Tuban ke medan
perang
5. Buntaran
Dan Watangan Berhadapan Dengan Angkatbuta Ongkotbuta
Raden Buntaran dan Watangan yang bermaksud menyerang
Probolinggo, ketika tiba di Pasuruhan terhalang oleh barisan Patih Angkatbuta
Ongkotbuta. Tak ada pilihan lain bagi kedua satria Tuban itu kecuali menggempur
musuh yang menghalangi perjalanannya. Raden Watangan dan Buntaran mengamuk
dengan gagah berani.
Banyak satria Blambangan yang terbunuh, antara lain Menak
Wirubraja, Basukenta, Brajapati, Linduparang, Linduwulung, Bimakendra dan
Destapati. Baratkatiga yang mencoba menghalang-halangi amukan Raden Watangan
juga tidak berhasil. Ia terpaksa lari menyelamatkan diri.
Patih Angkatbuta yang melihat bala tentaranya porak poranda
segera maju ke medan perang. Mula-mula ia berhadapan dengan Raden Watangan,
yang dapat ditangkapnya hidup-hidup. Raden Buntaran pun akhirnya dapat ditawan
oleh Patih Angkatbuta. Pengiring setia Raden Buntaran dan Watangan, yakni
Demang Ga¬tul sengaja menyerah agar dapat terus mendampingi kedua tuan¬nya.
Ketiga tawanan itu kemudian dibawa ke Probolinggo. Semen¬tara itu Rangga
Minangsraya beserta beberapa orang pengiringnya segera meninggalkan medan
pertempuran dan kembali Majapahit.
6. Raden
Watangan Dan Buntaran Di Penjara
Di Kadipaten Probolinggo Prabu Urubisma sedang mabuk
kepayang karena rindunya kepada Ratu Ayu Kencana Wungu. Prabu Urubisma tidak
sadar bahwa pada waktu itu ia sedang di hadap oleh para raja dan punggawa.
Setelah sadar mereka merencanakan untuk segera langsung menyerang ibukota
Majapahit.
Tiba-tiba datanglah utusan Patih Angkatbuta, yakni
Udanprahara dan Baratkatiga membawa tiga orang tawanan perang. Di hadapan Prabu
Urubisma kedua satria Tuban menantang minta dibunuh saja agar segera dapat
menyusul mendiang ayahnya yang telah gugur di medan perang.
Akan tetapi Prabu Urubisma memutuskan lain. Raden Buntaran,
Raden Watangan dan Demang Gacul dimasukkan ke dalam penjara besi yang terletak
di lereng Gunung Semeru.
7. Damarwulan
Menjadi Penyabit Rumput
Raden Damarwulan yang mendapat tugas sebagai pemelihara kuda
dan sekaligus sebagai penyabit rumput, pada suatu hari sedang berada di
tengah-tengah hutan duduk di bawah pohon dihadap kedua punakawannya Sabdapalon
dan Nayagenggoni Mereka kebingungan mencari rumput karena hutannya telah banyak
yang dibakar sehingga rumputnya menjadi kering. Akhirnya mereka sepakat untuk
pulang saja, dengan harapan di tengah perjalanan dapat memperoleh rumput.
Di sepanjang jalan Damarwulan selalu menjadi perhatian
orang-orang perempuan yang sangat terpesona melihat ketampanannya. Bahkan ada
di antara orang perempuan itu yang mencoba menggodanya. Namun Damarwulan tak
mau melayaninya. Sementara itu ada dua orang bekas abdi Ki Patih Maudara yang
telah menjai pedagang.
Teringat akan kebaikan Patih Maudara semasa hidupnya, kedua
pedagang yang bernama Biyang Parunjang dan Puspalaya ingin sekali membalas
kebajikan tuannya. Kebetulan mereka berpapasan dengan Raden Damarwulan. Dengan
takjimnya mereka mendekat.
Dalam pembicaraan yang terjadi Damarwulan hanya minta
bantuan agar kedua bekas abdi ayahnya itu menyumbang rumput setiap harinya
untuk kuda-kuda milik Ki Patih Logender. Biyang Parunjang dan Puspalaya
menyatakan kesanggupannya.
8. Dewi
Anjasmara Bertemu Dengan Damarwulan
Dewi Anjasmara adalah putra bungsu Patih Logender. Cantik
dan baik hati. Berbeda dengan ayah dan kedua kakaknya, Anjas¬mara sangat
kasihan melihat Damarwulan. Di hati Anjasmara sudah tumbuh perasaan cinta
terhadap Damarwulan. Bahkan ia bertekad lebih baik mati jika tidak dapat
bersanding dengan Damarwulan.
Sementara itu Raden Damarwulan dengan kedua panakawannya
sedang memperbincangkan nasib mereka, terutama nasib Damarwulan. Walaupun
demikian kedua panakawannya mengingatkan Damarwulan akan pesan eyangnya di
Paluamba agar Damarwulan tetap tabah menghadapi segala keadaan dan penderitaan
yang sedang dialaminya.
Tengah mereka berbincang-bincang tampak oleh mereka
Anjasmara dengan dua orang emban datang. Damarwulan kebingungan menanggapinya.
Lalu atas nasihat kedua panakawannya ia bersemadi mengungsikan diri dan mohon
perlindungan dewa. Ia sudah seperti mati. Akan tetapi karena terus-menerus
dibangunkan oleh Anjasmara akhirnya Damarwulan kembali sadar.
Damarwulan dan Anjasmara sudah berjanji sehidup semati, lalu
mereka meninggalkan istal kuda pindah ke dalam taman diiringkan oleh para emban
dan panakawan. Kemudian kedua remaja itu berkasih-kasihan. Hal itu akhirnya
diketahui oleh Layangseta Layangkumitir. Layangseta Layangkumitir menyerang
Damarwulan tetapi selalu dihalang-halangi oleh Anjasmara.
Anjasmara ditikam, akan tetapi tidak mempan. Kemudian
Damarwulan turun tangan melawan Layangseta Layangkumitir dan ternyata keduanya
tidak mampu melawan Damarwulan. Layangseta Layangkumitir lalu lapor kepada
ayahnya. Dewi Anjasmara dan Raden Damarwulan akhirnya dipenjara.
Pentas kethoprak terjadi pada tanggal 28 Juni 1987. Siswa
SMP Negeri Rejoso I Kabupaten Nganjuk memberi hiburan kepada masyarakat dengan
mengambil tokoh kerajaan. Pementasan Kethoprak yang dilakukan oleh siswa siswi
ini cukup memberi rasa kebanggaan. Oleh karena di sana terdapat kolaborasi seni
antara iringan gamelan, olah vokal sindenan, tata busana dan gladhen akting.
Sajian ini bisa ditiru oleh artis kethoprak generasi selanjutnya.
Kethoprak juga dipentaskan pada tanggal 2 Mei 2019 di aula
RRI Semarang. Turut menjadi pemain yakni Ganjar Pranowo Gubernur Jawa Tengah.
Lakonnya bersumber dari kisah Wali Sanga pada masa Kasultanan Demak Bintoro.
Pentas kethoprak kali ini melibatkan banyak unsur seniman yang terdiri dari
mahasiswa, praktisi, LSM, dan pegiat budaya. Ternyata kethoprak masih digemari
oleh masyarakat.
Pementasan seni kethoprak perlu dukungan masyarakat dan
pemerintah. Gedung, kostum, literatur, manajemen, peralatan serta personil
memerlukan perhatian yang seksama. Pembinaan kethoprak yang bermutu diharapkan
bisa memberi hiburan pada masyarakat. Unsur pendidikan dan hiburan diselipkan
dalam pentas kethoprak secara seimbang.
Oleh Dr Purwadi, M.Hum. Ketua Lembaga Olah Kajian Nusantara
LOKANTARA HP. 087864404347
Tidak ada komentar:
Posting Komentar