Rabu, 30 Desember 2020

SEJARAH SENI SANDIWARA LUDRUK JAWA TIMURAN

A. Ludruk Sebagai Sajian Seni Kerakyatan 

Seni ludruk berkembang di kawasan Jawa Timur sejak kota Surabaya dipimpin oleh Pangeran Pekik pada tahun 1618. Pementasan seni ludruk mengambil lakon kehidupan sehari-hari. Tokohnya terdiri dari lurah, carik, kamituwa, jagatirta, jagabaya dan kebayan. 

Kanjeng Ratu Pandansari memiliki usaha perkebunan di daerah Somobito Jombang. Untuk menghibur karyawan yang bekerja di kebun maka diadakan pentas sandiwara ludruk. Pada pentas tahun 1619 kali ini panggung dan kostum dibuat sangat megah. Lakonnya mengambil cerita Naga Baru Klinthing. Unsur kesaktian dan keteladanan sangat diutamakan dalam pementasan. 

Cerita tentang perjuangan Arya Wiraraja dipentaskan di Tambaksari Surabaya pada tahun 1813. bertindak sebagai sponsor yakni Raden Ajeng Sukaptinah putri Bupati Pamekasan Madura. Tujuan pentas ludruk kali ini agar arek-arek Surabaya mewarisi nilai kepahlawanan yang pernah dilakukan oleh Arya Wiraraja dalam membantu berdirinya kerajaan Majapahit.  

Untuk memperoleh momen tentang seni ludruk perlu kiranya diulas tentang latar belakang, iringan musik, kidungan, dan sejarah pertunjukan. Seni adalah ungkapan perasaan manusia yang berwujud keindahan. Seni edi peni merupakan ciptaan yang mengandung unsur puncak-puncak rasa indah. Seni adi luhung merupakan cipta rasa yang mengandung nilai keluhuran. Gabungan antara seni edi peni dan seni adi luhung menjadi pendukung utama terbentuknya kebudayaan.

Perkembangan kebudayaan Jawa dari masa ke masa selalu menyertakan kesenian sebagai unsur yang penting. Raja-raja bangsawan, pujangga dan pemuka masyarakat terlibat aktif dalam proses penciptaan kesenian. Bahkan kesenian yang bermutu tinggi menjadi sarana legitimasi kekuasaan. Legitimasi kraton Jawa mesti dihadirkan dalam rupa pentas kesenian, misalnya saja saat Jumenengan raja di Kraton Surakarta senantias diiringi dengan Beksan Bedhaya Ketawang. Tari sakral yang berdurasi dua jam menjadi sajian unutk mengokohkan eksistensi Kanjeng Sinuwun.

Dalam masyarakat desa pun kesenian menjadi alat untuk menjaga kesuburan dan suasana ayem tentrem. Tiap waktu panen padi petani nanggap seni tayub. Tujuannya unutk menghormati Dewi Sri. Masyarakat Jawa percaya bahwa Dewi Sri merupakan penguasa tanaman padi. Pentas seni gambyong tayub berorientasi pada kehidupan petani. Kegiatan merti dhusun, bersih desa, nyadran mesti menampilkan kesenian. Nanggap wayang purwa dianggap akan mendatangkan keselarasan dengan lingkungan.

Pementasan seni yang ditujukan untuk hiburan semata. Masyarakat memang memerlukan kesenangan yang bersifat rekreatif. Setelah bekerja berhari-hari, mereka haus hiburan untuk melepaskan lelah. Rasa penat, lungkrah, susah terobati dengan hadirnya kesenian. Fungsi pendidikan dalam seni terletak pada teks-teks yang memuat ajaran, piwulang dan pembinaan. Diharapkan peserta didik akan tercerahkan jiwanya setelah mempelajari nilai luhur seni. Dalam bidang ritual, kesenian menjadi sarana masyarakat untuk mencapai ketentraman lahir batin.

Masyarakat Jawa sudah lama mengenal seni, terutama gamelan dan wayang. Gamelan Jawa merupakan seperangkat instrumen sebagai pernyataan musikal yang sering disebut dengan istilah karawitan. Karawitan berasal dari bahasa Jawa rawit yang berarti rumit, berbelit-belit, tetapi rawit juga berarti halus, cantik, berliku-liku dan enak. 

Kata Jawa karawitan khususnya dipakai untuk mengacu kepada musik gamelan, musik Indonesia yang bersistem nada non diatonis (dalam laras slendro dan pelog) yang garapan-garapannya menggunakan sistem notasi, warna suara, ritme, memiliki fungsi, pathet dan aturan garap dalam bentuk sajian instrumentalia, vokalia dan campuran yang indah didengar.

Seni gamelan Jawa mengandung nilai-nilai historis dan filosofis bagi bangsa Indonesia. Dikatakan demikian sebab gamelan Jawa merupakan salah satu seni budaya yang diwariskan oleh para pendahulu dan sampai sekarang masih banyak digemari serta ditekuni. Secara hipotetis, sarjana Brandes (1889) mengemukakan bahwa masyarakat Jawa sebelum adanya pengaruh Hindu telah mengenal sepuluh keahlian, di antaranya adalah wayang dan gamelan. 

Menurut sejarahnya, gamelan Jawa juga mempunyai sejarah yang panjang. Seperti halnya kesenian atau kebudayaan yang lain, gamelan Jawa dalam perkembangannya juga mengalami perubahan-perubahan. Perubahan terjadi  pada cara pembuatannya, sedangkan perkembangannya menyangkut kualitasnya. Dahulu pemilikan gamelan ageng Jawa hanya terbatas untuk kalangan istana. 

Kini siapapun yang berminat dapat memilikinya sepanjang bukan gamelan-gamelan Jawa yang termasuk dalam kategori pusaka. Secara filosofis gamelan Jawa merupakan satu bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Jawa. Hal demikian disebabkan filsafat hidup masyarakat Jawa berkaitan dengan seni budayanya yang berupa gamelan Jawa serta berhubungan erat dengan perkembangan religi yang dianutnya. 

Istilah gamelan telah lama dikenal di Indonesia, sudah disebut pada beberapa kakawin Jawa kuno. Arti kata gamelan, sampai sekarang masih dalam dugaan-dugaan. Mungkin juga kata gamelan terjadi dari pergeseran atau perkembangan dari kata gembel. Gembel adalah alat untuk memukul. Karena cara membunyikan instrumen itu dengan dipukul-pukul. 

Barang yang sering dipukul namanya pukulan, barang yang sering diketok namanya ketokan atau kentongan, barang sering digembel namanya gembelan. Kata gembelan ini bergeser atau berkembang menjadi gamelan. Mungkin juga karena cara membuat gamelan itu adalah perunggu yang dipukul-pukul atau dipalu atau digembel, maka benda yang sering dibuat dengan cara digembel namanya gembelan, benda yang sering dikumpul-kumpulkan namanya kempelan dan seterusnya gembelan berkembang menjadi gamelan. 

Dengan kata lain gamelan adalah suatu benda hasil dari benda itu digembel-gembel atau dipukul-pukul. Musik-musik etnis di Indonesia 90% jenis musik perkusif, artinya untuk memainkannya dipergunakan alat pukul. Gamelan-gamelan kuna yang masih ada, seperti Gamelan Megamendung (dari Kanoman Cirebon), Kyai Guntur Laut (dari Majapahit), dan Gamelan Sekaten jumlah unitnya masih sedikit. 

Manusia memang selalu tidak puas kepada apa yang sudah ada. Kita selalu ingin mengembangkan apa yang sudah ada. Alat musik etnis ritualis menjadi alat musik religius, kemudian menjadi musik sarana, yaitu gamelan untuk dakwah, untuk sarana pendidikan, untuk media penerangan. Pada jaman gamelan sebagai sarana ini jumlah unitnya selalu mengalami penambahan, antara lain ditambah macam-macam kendang, macam-macam alat musik petik, macam-macam alat musik gesek, bahkan tambur, terbang, jedor, bedug dan lain-lain masuk ke dalam anggota musik gamelan. 

Anak muda sekarang ada yang ingin mengembangkan unit gamelan dengan cara gong dibalik diisi kerikil dan dibunyikan dengan memukul bahunya, kempul diberi kerikil di dalamnya, bonang dipukul-pukul dengan pemukul tambur pada badannya, dan lain-lain. Pradangga Adi Guna Sarana Bina Bangsa. Arti kata motto tersebut adalah Pradangga sama dengan gamelan (prada + angga) artinya “yang punya badan mengkilat”. 

Adi artinya baik, Guna artinya kepandaian, ilmu pengetahuan atau manfaat, Sarana artinya alat, Bina artinya membangun, membimbing atau mendidik, sedangkan Bangsa adalah orang-orang yang bertempat tinggal di suatu tempat yang mempunyai kedaulatan sendiri dan berpemerintahan sendiri. 

Arti kata secara bebas “Apabila gamelan itu digunakan dengan sebaik-baiknya bisa sebagai alat untuk mendidik bangsa”. Adalah suatu kenyataan bila kita mendengar uyon-uyon rasanya seperti kita dibawa ke alam impian yang serba nikmat, lupa segala-galanya. 

Seni mempunyai fungsi dan wujud yang beragam. Bagi masyarakat Jawa gamelan mempunyai fungsi estetika yang berkaitan dengan nilai-nilai sosial, moral dan spiritual. Kita harus bangga memiliki alat kesenian tradisional gamelan. Keagungan gamelan sudah jelas ada. Dunia pun mengakui bahwa gamelan adalah alat musik tradisional timur yang dapat mengimbangi alat musik Barat yang serba besar. Di dalam suasana bagaimanapun suara gamelan mendapat tempat di hati masyarakat. 

B. Teater Ludruk

Kesenian dapat menjadi cermin masyarakat pendukungnya. Bahasa, tari, drama, sastra, dan hiasan mudah ditemukan dalam panggung seni sandiwara. Kesenian sandiwara sering kali dijadikan sebagai ungkapan cita-cita kolektif yang sedang berkembang. Curahan hati yang diekspresikan dalam bentuk drama pada umumnya dilakukan secara fleksibel.

Ludruk merupakan seni sandiwara khas yang tumbuh di Jawa Timur. Sesuai dengan karakter masyarakat Jawa Timur, ludruk sungguh mewakili dan mudah sekali dikenali. Syarat pementasan ludruk telah disepakati bersama, yaitu menggunakan dialek Surabayan. 

Meskipun menggunakan bahasa Jawa krama, tetap terdapat warna kental bahasa Jawa Timuran. Bahasa ini dikenal agak kasar, namun merakyat. Unggah-ungguhing basa tidak diperhatikan secara njlimet. Titik tekannya adalah asek komunikatif. Rakyat awam gampang sekali memahami bahasa seni ludruk.

Pesan-pesan pendidikan kerap kali dimunculkan dalam bahasa ludrukan. Misalnya dalam kidungan Jula-Juli, di samping diungkapkan melalui humor, tetapi tidak jarang diselipkan ajaran-ajaran moral bagi masyarakat. Kadang-kadang kidungan Jula-juli itu memakai bahasa Indonesia yang dicampur dengan bahasa Jawa, sehingga tampak lebih familiar.

Jula-juli

Aku seorang seniman

Berasal dari Surabaya

Aku sedang siaran

Untuk menghibur anda semua

Joget mari joget

Joget aja ngaget

Joget mari joget

Tra la la la la la 

Sawo kecil ditumpakne sepur

Sawo kecik ya dironce-ronce

Sapa pengin uripe makmur

Ayo sing sregep nyambut gawe

Purwodadi iku kuthane

Sing dadi rak nyatane

Cekap semanten kidungan kula

Menawi lepat nyuwun ngapura

Syair kidungan di atas dalam penyusunannya terasa lebih bebas, mudah dicerna dan tidak terikat oleh ketentuan puisi tradisional. Dibandingkan dengan metrum tembang macapat, tentu saja kidungan Jula-juli akan nampak lebih merakyat. Syair-syair yang sederhana itu mudah dibuat dan dimengerti oleh orang kebanyakan. Maka tidak heran bila ideologi-ideologi politik, nilai kebangsaan dan semangat perjuangan menjadi tema dasar kidungan Jula-juli.

E ela elo sawone dipangan uler

E ela elo bocah bodho aja ngaku pinter

Kutipan di atas jelas mengandung aspek pendidikan. Orang tidak boleh keminter. Kalau ingin maju, seseorang harus mau mengakui kekurangannya. Terlebih-lebih dalam menuntut ilmu, orang hendaknya andhap asor atau rendah hati. Beberapa paguyuban ludruk di antaranya adalah Baru budi, Sari Murni, Naga Sakti, Langen Trisno, Kartika Baru, Suzana Baru, Baru Budi Jaya, Seni Budaya, Kopasgat Trisula Darma, Panca Marga, Graha Budaya, Sinar Budaya, Enggal Trisno, Indah Jaya, Tri Jaya, Sriwijaya, Persada dan Taruna Budaya.

Ludruk Kopasgat pada tahun 1983 pentas di desa Mojorembun Rejoso Nganjuk Jawa Timur. Penonton diwajibkan untuk membayar karcis seharga Rp. 100. Uang segitu kalau dibelikan beras bisa mendapat 4 kg. Jadi harganya untuk beli karcis mahal juga. Meskipun mahal karcis terjual habis. Penonton selalu datang berjubel.

Kata-kata mutiara Jawa yang berbunyi becik ketitik ala ketara menjadi peagngan utama seorang penyusun lakon ludruk. Lakon atau cerita biasanya menampilkan suri teladan bagi masyarakat. Kejahatan mesti dikalahkan oleh kebenaran. Pengkhianatan tak mungkin lestari, oleh jiwa perjuangan. Bagi penonton ludruk lakon yang baik mesti memberi pencerahan jiwa.

Berhubung seni ludruk itu berkembang di tengah rakyat biasa, maka penyusunan lakon yang ditampilkan selalu bersumber dari situasi masyarakat sekelilingnya. Hampir semua struktur sosial dapat diperagakan lewat ludruk. Biasanya adegan di kelurahan sangat mendominasi lakon ludruk. Seorang kepala desa atau lurah sedang menghadapi problem internal. Salah seorang staf kelurahan ada yang berlaku tidak benar, karena berambisi untuk mencapat kekuasaan yang lebih tinggi. 

Muncullah tokoh Carik, Kamituwa, Bayan, Jogoboyo, Jogosuto dan Modin. Konflik itu dilanjutkan dengan persekongkolan dengan pihak luar, sehingga berjalan lebih seru. Bisa muncul tokoh dukun santet, perempuan nakal, juragan kaya atau begal kampung.

Dapat ditebak akhir dari cerita itu pasti tokoh protagonis yang dimenangkan. Para penonton pun merasa lega. Struktur cerita happy ending selalu diharapkan oleh penonton. Oleh karena kesedihan dan air mata diobati oleh anugerah dari gelak tawa. Dendam dan kebencian akibat ketidakadilan bisa dibalas secara seimbang. 

Cerita-cerita yang berakhir dengan kesedihan, bagi penonton akan menimbulkan kegelisahan, mengapa kejahatan bisa unggul? Penonton tentu tidak terim dan tersiksa batinnya. Akhir cerita dengan kesedihan pada umumnya dihindari, demi menjaga perasaan pemirsa.

Cerita ludruk yang mengandung nilai heroisme dapat dijumpai dalam lakon Sogol Pendekar Sumur Gumuling. Perjuangan Sogol yang membela kebenaran dan keadilan patut menjadi suri teladan. Sogol tidak rela apabila wilayahnya diperas dan ditindas oleh antek-antek penjajah. Para pemimpin pribumi yang kerap menghisap darah rakyat berhadapan dengan Sogol. 

Ada dukun Kyai Mukhti dan Bayan Sarmidin yang beraliansi untuk membinasakan Sogol. Berkta kesaktian Sogol, keduanya pun tewas akibat polah tingkahnya sendiri. Di sini penonton disuguhi adegan perjuangan yang bernuansa kebangsaan. Tema keagamaan juga digarap para sutradara ludruk. Biasanya menampilkan tokoh pesantren yang sedang melawan gerombolan penjahat. 

Berkat bimbingan seorang Kyai Sakti yang berilmu tinggi, maka sang murid atau santri tadi dapat mengalahkan para penjahat yang kerap bikin onar. Kewibawaan sang Kyai begitu besar di hadapan santri-santrinya sehingga menjadi inspirasi bagi para penonton agar kelak anak-anaknya dapat memperoleh bimbingan dari pesantren. Cerita rakyat seperti Timun Emas, Naga Baru Klinthing, Rawa Pening, Lahar Blitar, menjadi garapan para penyusun ludruk. 

Hampir semua cerita rakyat yang berada di wilayah sekitar dapat dijadikan sebagai sumber lakon. Lakon Warah Suramenggala dan Suminten Edan adalah cerita yang banyak digemari oleh masyarakat Jawa Timur, khususnya daerah Ponorogo dan sekitarnya.

Pentas ludruk jarang menampilkan adegan sejarah konvensional dengan latar keraton. Pemainnya akan kaku berperan sebagai raja dan punggawa. Mengapa demikian? Karena ada konversi umum bahwa adegan kerajaan itu harus menggunakan unggah-ungguh basa dengan sempurna. Krama inggil, mady dan ngoko menjadi syarat mutlak dalam adegan istana, semua dengan tuntutan adegan formal keraton.

Adapun lakon ludruk yang pernah dipentaskan diantaranya Ali Baba dan 40 Penyamun, Andhe-andhe Lumut, Arwah Cemburu, Babad Loceret, Balada Gadis Desa, Bawang Merah Bawang Putih, Beranak Dalam Kubur, Brahmana Manggala, Bldhek Branjangan, Ciung Wanara, Dukun Tiban, Ferry Sedy, Gagak Ngampar, Gagak Solo, Gembong Singayuda, Gendruwo Kendhal Growong, Gladhag Tuban, Hancurnya Istana Hantu, Joko Bereg Sawunggaling, Joko Gondhok, Joko Kandhung, Joko Kendhil, Jaka Sambang, Jaka Sembung. 

Johar Manik, Karso Brandhal, Kopo Genthiri, Lahar Blitar, Lutung Kembar, Maling Caluring, Misteri Gunung Merapi, Mliwis Hitam, Naga Baruklinthing, Nyai Dasimah, Nyai Blorong, Pendhekar Randhu Gumbolo, Pendhekar Selogiri, Pedhut Mataram, Putri Dhuyung, Roro Kembang Sore, Ratapan Perawan Buta, Pak Sakerah Tampon Pajaran, Sangkuriang, Sarip Tambakyasa, Sampek & Ing Tay, Selor Lancuran Mergasana, Seruling Wasiat, Si Pietung, Si Buta Melawan Jaka Sembung, Sogol, Sunan Kalijaga, Sungging Purbengkara, Sundel Bolong, Tutur Tinular, Wahyu Nogososro, Warok Suromenggolo.

Cerita ludruk dengan bahasa kerakyatan cukup memberi hiburan yang segar dan bersemangat. Gelak tawa yang dilontarkan para pelawak selalu mendatangkan gelak ketawa yang terpingkal-pingkal. Tari Remong tanda pentas ludruk dimulai. Tak lupa selingan dari para tandak. 


C. Cerita Ludruk dengan Lakon Panji

1. Pesta Perkawinan

Raja membicarakan dengan permaisurinya perkawinan Panji yang akan datang, Panji yang selama ini tidak mau kawin. Karena itu raja agak heran juga mendengar pemberitahuan Prasanta, yang sementara itu sudah datang kepadanya. Diadakan persiapan untuk perkawinan. Diadakan pesta besar. Malam hari orangpun tidur. Sri berniat buat sementara tidak akan menerima Panji, sebab Sri belum menjelma kembali. Ia pun tidur.  

Panji, yang lupa, bahwa ia baru saja kawin (!), tidur seorang diri dalam paviliun dalam taman. Nila Prabangsa, ketika datang pada pada ibunya Madu-keliku, diganggu oleh ibunya itu, katanya ia ketinggalan jauh oleh Panji. Sebab Panji sudah beristeri. Parabangsa marah, dicabutnya kerisnya dan ia pergi ke tempat ruang wanita untuk membunuh Panji. Tatkala sampai di tempat tidur Sri, dilihatnya dua orang di bawah selimut. 

Dikiranya mereka itu Panji dan kekasihnya, lalu ditikamnya keduanya. Tapi mereka adalah Sri dan Unon. Gempar dalam keraton. Waktu sedang sekarat, Sri masih sempat minta minum. Panji berbisik dalam telinga keduanya, supaya mereka menjelma kembali, masing2 dalam putri Kadiri dan peteri Urawan. Kedua perempuan itu meninggal tidak lama kemudian. Panji tak henti2nya menangisi kekasihnya yang sudah pergi. Tatkala orang bersedia-sedia hendak membuat janji untuknya, api unggun untuk membakar mayatnya sudah siap.

Sebelum Panji menaruh myat Sri dalam api, mayatnya itu hilang dalam tangannya tanpa bekas. Saat ini diceritakan tentang raja Daha. Ia mempunyai tiga orang isteri, yang tua bernama Dewi Rago, yang kedua : Bentari, yang ketiga, Laras –sih. Ketiga-tiganya sedang mengandung. Bentari memfitnah Rago, kalanya Rago, katanya Rago tidak setia dalam perkawinannya. Raja percaya saja dan Rago dikirimnya ke tempat yang sunyi. 

Disana Rago melahirkan seorang anak perempuan, tapi tatkala ia terhantar lemah karena melahirkan itu, Bentari dengan tidak setahunya menukar anak itu dengan seekor anjing. Ketika raja mendengar hal itu, ia datang untuk membuktikan sendiri dan tatkala ia melihat anjing itu, ia memperpanjang hukuman Rago buat masa yang tidak ditentukan. Rago, yang tidak tahu apa kesalahannya, menyerah saja kepada nasibnya.

Pun raja Urawan mendapat anak, mula-mula seorang anak perempuan bernama Wadal-wredi (dalam dongeng biasa Kadal-wredi) alias Retna Cindaga. Setelah itu seorang lagi anak perempuan, yaitu penjelmaan kembali Unon, bernama Kumudaningrat, yang menderita penyakit beser (yaitu sering buang air kecil, tapi sedikit-sedikit). Kemudian seorang anak laki-laki, Arya Panjangkringan alias Sinjanglaga, yang banyak cacat tubuhnya, seperti dagunya terlalu pendek, pincang, dan sebagainya.

Raja Singasari pun mendapat seorang anak perempuan, bernama Mertasari. Mengenai penjelmaan kembali Sri-yaitu putri yang ditukar dengan anjing-anak itu hanyut disungai, dibungkus dengan tikar. Pada suatu tempat ia terkait dan ditemukan oleh seorang seorang lurah Bantrang, yang mempunyai firasat, bahwa anak itu bukan sembarang anak, tapi anak raja. 

Dibawahnya anak itu pulang dan diserahkannya kepada isterinya, yang amat girang, karena ia sendiri tidak mempunyai anak. Laksana oleh suatu keajaiban keluarlah kini dari buah dada perempuan Bantrang yang sudah agak tua, air susu yang diberikannya kepada Nyi Bantrang segala yang perlu untuk memelihara anak itu.

Pada istri-istrinya yang lain pun raja Kadiri mendapat pula anak : Tami-ajeng, keduanya puteri, yang terkecil adalah seorang anak laki-laki, bernama Prabusekar (mestinya : Prabatasekar atau Gunungsari). Kedua putri Kadiri itu sudah dewasa.

Pangeran Jenggala Manik tak terhibur hatinya mengingat kekasihnya yang sudah meninggal. Berkali-kali ia dianjurkan oleh orang tuanya untuk kawin, tapi ia tetap menolak. Saat ini Kilisuci dikirim oleh kakaknya untk mendesak Panji supaya kawin, yaitu dengan putri Kadiri, Tamiaji, yang amat elok parasnya.

2. Kilisuci

Akhirnya Panji mengalah.

Kini Kilisuci pergi ke Kadiri untuk menyunting. Sementara itu Panji bersenang-senang di dalam taman. Di mana-mana ia mendengar orang memuji keelokan putri Kadiri. Ia pergi kepada ayahnya untuk meminta supaya perkawinan itu segera dilangsungkan, karena ia mengira bahwa putri Kadiri itu mungkin penjelmaan kembali Sri. Ayahnya berjanji, tapi ia menunggu dulu kedatangan saudaranya, Kilisuci, yang memajukan lamaan. Lamarannya itu diterima dan tiga hari kemudian ia kembali ke Jenggala Manik untuk memberitahukan kabar baik tentang perjalanannya itu. Segera diadakan persiapan untuk berangkat ke Kadiri.

Dikerahkannya sebuah tentara besar untuk menceritai Pangeran. Seorang raja seberang, bernama Jayalana, yang tinggal dikota Gedahbiru, belum beristeri. Ia bermaksud hendak kawin dengan seorang putri Jawa, yaitu dengan putri raja Kadiri. Tentaranya yang kuat, dipimpin oleh raja-raja taklukannya, raja Johor, Patani, Siak dan lain-lain, dikirim ke Jawa menaiki berbagai jenis perahu. Mereka sampai di tengah laut.

Dalam pada itu tentara Jenggala Manik sampai dikota Kadiri.  Sang Pangeran pergi ke keraton. Setelah pertemuan, paa tamu dari Jangga la di tempatkan dibeberapa bagian keraton. Penjelmaan Sri tumbuh dengan subur pada ki Batrang. Ia diberi nama Wara Temon (Anak-dapat), digambarkan keindahan rupanya. Disini kita menemui penyisipan yang amat mengganggu dalam cerita yang memang sudah buruk dan bertele-tele itu. 

Keelokan Temon jadi amat terkenal di desa-desa berdekatan. Tiap lelaki, tua maupun muda, jatuh cinta padanya. Demikian juga seorang kepala pencuri, bernama Gajah-gumanglar, yang amat kuat dan tidak dapat dilukai. Segala apa yang diperolehnya dengan mencuri dan merampok, diberikannya kepada Bantrang, sehingga yang tersebut kemudian ini menjadi kaya dalam waktu singkat. Tapi karena gadis itu selalu menolak meladeni pencuri itu, Bantrang selalu menjawab permintaannya dengan mengelak.

Di Kadiri Perkawinan Panji dirajakan dengan gemilang. Tapi apabila Panji melihat mempelainya, ia amat kecewa. Ia tidak merasa senang dengannya, tapi selalu teringat kepada penjelmaan Sri. Iapun tidak mau tinggal dalam keraton, tapi pergi dengan Prasanta bermalam di taman. Banyak orang menasehati Panji pulang ke Kraton, tapi Panji tetap menolak. Raja Kadiri memutuskan memberitahu hal itu kepada raja Jenggala Manik dengan surat.

3. Pesanggrahan Tambak Baya

Panji terus bersedih hati di taman mengingat penjelmaan Sri. Doyok dan Prasanta berlucu-lucu tidak pada tempatnya di antara mereka sendiri. Saat ini Prasanta bercerita tentang  pengalaman isteri raja Kadiri yang tertua kepada Panji. Panji menganggap pemberitahuan itu sungguh-sungguh dan ingat akan berbagai kemungkinan.

Jajalalana, raja seberang, tiba di pantai Jawa bersama angkatan lautnya. Mereka mendiami  Pesanggrahan Tambak Baya.  Dalam suatu rapat umum, patih memberitahukan kepada raja, bahwa putri Kadiri, bernama Mindaka, sudah dikawinkan dengan Sang Panji, tapi perkawinan itu tidak baik jadinya: penganten lelaki tidak suka kepada penganten perempuan. 

Raja segera menyuruh susun  sepucuk surat untuk menyunting penganten perempuan itu. Dua orang raja  taklukan membawa surat itu kepada raja Kadiri. Sambil menunggu balasan, sang raja bersenang-senang dalam hutan yang dekat dengan berburu. 

Raja Kadiri bersedia menerima tamu, patih menceritakan kepadanya tentang kedatangan Jajalalana. Para utusan yang membawa surat diberitahukan kedatangaannya dan diminta masuk. Disusun surat balasan, persiapan-persiapan dilakukan untuk menghadapi perang. Raja kembali ke Kraton dan memberitahu permaisuri tentang maksud Jajalalana. Puterinya, sang mempelai, ketika ditanyakan apakah mau kawin dengan Jajalalana, menjawab bahwa ia tidak mau. 

Saat ini diceritakan tentang penjelmaan Sri. Ia mempunyai seorang saudara pria bernama Jaka-bodo, Sri menyuruh saudaranya ini pergi ke pasar untuk menjual sebuah sumping (perhiasan telinga berkembang) seharga 1000 rupiah. Jaka-bodo berangkat ke paar membawa sumping itu, tiap orang yang melihatnya, ingin membelinya, tapi hargaanya terlalu mahal. 

Orang berkerumun. Doyok berlucu-lucu lagi.  Panji tertarik  perhatiannya dan disuruhnya panggil orang yang menjual sumping itu. Setelah ia melihat penjual sumping itu, ia merasa terhibur. Dibelinya sumping itu dan ia senantiasa teringat kepada pembuatnya. Bagaimanakah konon rupanya? Esok paginya  Panji bersama panakawannya (pelayan-pelayannya) pergi ke hutan untuk berburu.

Rara Temon menunggu dengan tak sabar saudaranya pulang,  akhirnya ia datang dengaan uang, hasil penjualan sumping. Sementara ia menceritakan kepada Wara Temon bagaimana terjadinya jual beli itu, datanglah Gajah-gumanglar hendak memaksakan kemauannya. Tapi kali inipun ia ditolak dengan janji-janji. Temon makin mengharapkan kedatangan Panji.

Esok paginya Ni Bantrang dan suaminya pergi ke pasaar. Panji yang mengembara dalam hutan, kehausan, ia pergi ke sebuah desa untuk minum dan dengan demikian tiba di rumah Temon. Setelah ia mengatakan apa maunya, Temon keluar dengan air dalam pnggan emas. Setelah minum dan melihat Temon masuk lagi ke dalam rumah, Panji jatuh pingsan. Temon dipanggil lagi keluar untuk membikin  ia siuman kembali. Hal itu dilakukannya dengan sirih yang dimamahnya. 

Panji dan Temon kini masuk rumah bersama-sama. Para panakawan duduk di pintu. Bantrang dan isterinya kembali dari pasar. Prasanta memenangkan hatinya katanya sang Pangeran sedang di dalam bersama anaknya. Dalam pertemuan Panji dengan Bantrang, Bantrang menceritakan pengalaman-pengalaman Temon. Selanjutnya Bantrang duga juga menceritakan tentang Gajah-gumanglar. Panji berjanji akan membinasakannya kalau dia datang lagi. Baru saja Panji habis bicara, muncullah Gajah, berseru dari jauh supaya Temon menyongsongnya. Menyusul perkelahian antara dia dan Panji, dalam perkelahian itu tentu saja Gajah kalah. Gajah mati kena panah.

Saat ini Temon dibawa oleh sang Pangeran ke kota. Prasanta disuruh brjalan dahulu, untuk memberitahukan, bahwa putri raja yang hanyut dahulu, sudah ditemukan kembali. Suatu rombongan yang besar menjemput sang puteri. Waktu bertemu, Kilisuci memeluk sang puteri. Dimulailah perjalanan pulang ke kota. Kanjeng Sinuwun raja mengenali puterinya dan bertanya kepada Bantrang bagaimana jalannya peristiwa. 

Bantrang bercerita. Untuk memeriksa kebenaran cerita Bantrang, Seri Ratu Rago yang dihukum, dipanggil dan ditanyai. Tapi ia tidak ingat suatu apa, kaena ia waktu itu dalam keadaan  pingsan. Saat ini seorang anak kecil umur empat belas tahun (dimaksud: hari ) disuruh menceritakan kejadian yang sesungguhnya. Anak bayi itu menceritakannya dan semua yang hadir senang. Kemudian anak itu meminta kepada raja supaya menghukum isterinya yang jahat, jika tidak, maka para dewa akan marah kepada Kanjeng Sinuwun. 

Mendengar kata-kata itu raja Kadiri amarah kepada isterinya yang kedua, hendak ditikamnya isterinya itu. Narada tiba-tiba muncul dan menahan raja berbuat demikian, katanya segalanya itu terjadi karena kemauan para Dewa. Pun hari kelahiran Sekartaji adalah kemauan para Dewa. 

Temon setelah dikenali ikut pula membantu dalam kejadian yang menyedihkan dengan sang puteri. Setelah para Panakawaan berlucu-lucu, Narada menghilang lagi. Diadakan pesta besar. Kemudian menyusul perang besar melawan raja seberang yang berakhir dengan kematian. Jajalalana, suatu kejadian yang kita dapati dalam tiap cerita Panji.

4. Buah Perjuangan 

Ketika raja Kadiri duduk di setinggil, Panji datang mempersembahkan kepala raja seberang yang dipenggal. Kepala raja itu kemudian  dipertontonkan di atas tiang. Banyak haarta rampasan yang dibagi-bagikan kepada orang banyak. Dalam pada itu tibalah para Pangeran dari Jenggala Manik. Disebutkan nama-nama mereka. Mereka itu membawa bermacam-macam kendaraan, yang akan dipergunakan oleh Panji dan anak buahya, karena raja Jenggala Manik ingin melihat Panji kembali. Tapi para paangeran harus istirahat sebentar. 

Sang Putri dalam keraton bertanya kepada dayang-dayangnya, bagaimana akhir pertempuran. Dijawab : Panji menang. Sang Putri datang kepada Panji. Panji berkasih-kasihan. Sadulumur hendak berkasih-kasihan pula seperti Panji, dipanggilnya seorang emban dan hendak diperkosanya. 

Esok paginya Panji bersiap-siap hendak pulang ke Jenggala Manik. Bersama isterinya ia pamitan dengan raja. Serombongan besar rakyat jelata bergerak ke jurusan Jenggala Manik, di mana raja sudah duduk menunggu di luar, di kelilingi oleh para pembesar. Setelah mendengar berita bahwa panji sedang dalam perjalanan, sang raja berangkat menyongsongnya. 

Setelah bertemu, mereka kembali kepaseban dan masuk ke dalam keraton. Seri ratu menyambut puterinya dengan isterinya. Kilisuci pun hadir. Apabila raja beserta keluarga duduk dibagian lain keraton, isteri patih datang membawa persembahan kepada Pangeran. Sekrang raja berpendapat, bahwa Prasanta pun harus kawin pula. Bukankah Panji saat ini sudah beristeri? Pilihannya jatuh pada anak angkat isteri patih (Kanistren).

Pada suatu hari, tatkala raja sedang duduk pula diluar, diperintahkannya Panji pergi ke kakeknya, raja Keling. Untuk itu banyak kapal disediakan. Setelah selesai semua, sang raja mengantarkan putranya beserta anak buah ke pelabuhan, Panji naik kapal beserta isterinya. Setelah sampai dilaut luas, kapal diserang badai. Para penumpang kacau balau. Kapal-kapal cerai berai, bahkan terpisah. Tandrakirana terdampar di pulau Bali, sedangkan Panji hanyut ke tanah Dayak. 

Di Jenggala Manik tersiar kabar, bahwa Panji beserta anak buah tenggelam ke dalam laut. Orang berduka cita di Jenggala Manik. Narada datang kepada Panji dan menghiburnya. Orang suci itu menyuruh Panji memakai nama lain, yaitu Jakakusuma dan mengabdikan diri pada raja Urawan, ia harus mengatakan ia orang dayak. Narada menghilang.

Panji memberi nama Jayaleksana kepada Punta, Jaya-sentika kepada Kartala dan Judapati kepada Pamade. Kebetulan ketiga saudaranya itu tidak terpisah dari Panji. Atas usul Jayasantika mereka mula-mula akan menaklukkan kerajaan Cemara Rencana itu mereka laksanakan. 

Raja Cemara sedang duduk dipaseban, dikelilingi oleh para pembesar. Sekonyong-konyong datang orang mengamuk. Setelah bertengkar mulut, mulailah perkelahian. Raja Cemara menyerah kepada Panji. Seorang saudaranya perempuan (atau anaknya) diserahkannya kepada Panji. Putri itu bernama Sureng-rana. Malam hari Panji berkasih-kasihan dengna isterinya yang baru.

Andhe-andhe Lumut, laras slendro pathet nem

Putraku si Andhe-andhe Lumut, 

Tumuruna ana putri nggah-unggahi

Putrine sing ayu rupane, 

Kleting Biru kang dadi asmane

Bu sibu kula boten purun, 

Bu sibu kula boten mudhun

Nadyan ayu sisane si yuyu kangkang


Putraku si Andhe-Andhe Lumut, 

tumuruna ana putri kang ngunggah-¬unggahi, 

putrine sing ayu rupane, 

Kleting Abang iku kang dadi asmane.

Bu sibu kulu mboten purun, 

bu sibu kula mboten mudhun, 

nadyan ayu sisane Si Yuyu Kangkang.


Putraku Si Andhe-Andhe Lumut, 

tumuruna ana putri kang ngunggah-¬unggahi, 

putrine sing ayu rupane, 

Kleting Ireng iku kang dadi asmane.

Bu sibu kulu mboten purun, 

bu sibu kula mboten mudhun, 

nadyan ayu sisane Si Yuyu Kangkang.


Putraku Si Andhe-Andhe Lumut, 

tumuruna ana putri kang ngunggah-¬unggahi, 

putrine sing ayu rupane, 

Kleting Ungu iku kang dadi asmane.

Bu sibu kulu mboten purun, 

bu sibu kula mboten mudhun, 

nadyan ayu sisane Si Yuyu Kangkang.


Putraku Si Andhe-Andhe Lumut, 

tumuruna ana putri kang ngunggah¬-unggahi, 

putrine sing ala rupane, 

kleting kuning iku kang dadi asmane.

Bu sibu kula inggih purun, 

bu sibu kula inggih mudhun, 

nadyan ala nanging pribadine sae.

Tembang Andhe-andhe Lumut memberi pelajaran agar manusia, terutama kaum perempuan selalu menjaga kepribadiannya. Jangan sampai mudah tergoda oleh bujuk rayu yang tidak jelas asal-usul dan tujuannya. Sebaiknya bertingkah laku yang sederhana dan apa adanya. 

Pada akhirnya kejujuran mendapat imbalan kemuliaan. Pengajar Sastra Jawa yang tangguh, unik, sepuh, adalah pembina yang mengkaji Serat Suluk Wujil. Dalam sehari-hari kita berusaha untuk mengamalkan ilmu makrifat warisan Sunan Bonang. Andhe-andhe Lumut mengandung ajaran tentang kesucian.

Ludruk dengan iringan Jula juli menambah suasana semakin hidup. Iringan gamelan kebanyakan disajikan dalam bentuk laras slendro. Tiap adegan menggunakan iringan khas. Misalnya ludruk Pancamarga di Nganjuk, ludruk Sari Murni Jombang dan ludruk Karya Bakti Mojokerto. Seni ludruk ini telah berhasil menampilkan kesenian rakyat yang bermutu.

Oleh Dr Purwadi, M.Hum. Ketua Lembaga Olah Kajian Nusantara LOKANTARA, hp. 087864404347

Tidak ada komentar:

Posting Komentar