Jumat, 22 Januari 2021

SEJARAH GUNUNG BROMO TEMPAT SEMEDI PRABU HAYAMWURUK

A.Daya Linuwih Gunung Bromo. 

Tiap tahun Prabu Hayamwuruk melakukan upacara Sarada. di Gunung Bromo. Sejak dinobatkan sebagai raja Majapahit tahun 1350, Prabu Hayamwuruk rajin mengadakan tata cara. 

Empu Tantular selaku Pujangga istana diutus untuk memimpin upacara Sarada. Arti Sarada adalah memuliakan arwah leluhur. Masyarakat Jawa sekarang menyebut Sarada dengan istilah nyadran. 

Bulan ruwah dianggap waktu yang penting. Masyarakat Jawa pulang kampung untuk sowan di makam leluhur. Kegiatan ini dinamakan nyadran. Terusan dari kata Sarada. 

Perkembangan selanjutnya oleh Prabu Hayamwuruk lebih disempurnakan. Raja Majapahit putra Tri Buana Tungga Dewi ini mendukung upacara Kasada di Gunung Bromo. Prabu Hayamwuruk berkenan hadir tahun 1354.

Upacara Kasada di Gunung Bromo dipimpin oleh Empu Prapanca. Sekalian sarasehan tentang kitab Negara Kertagama. Tata praja Majapahit diajarkan rakyat sampai desa pegunungan. 

Bersamaan itu pula wilayah Lumajang mendapat perhatian. Kerajaan Majapahit amat gemati dengan Lumajang yang bermakna luhur. Lumajang Berarti Melu Majune Jangkah kang Panjang.

Makna luhur itu dihayati oleh para sesepuh. 

Masyarakat Lumajang selalu memiliki cita-cita yang luhur, gagasan yang agung dan gerak langkah yang anggun. 

Lumajang bermakna melu majune jangkah kang panjang. Melu mengandung arti ikut, berpartisipasi, menyertai, menyumbang, memberi kontribusi. Majune jangkah berarti mengikuti laju jaman yang serba berubah. Kang panjang mengandung rentang waktu yang sangat lama.

Keteladanan masyarakat Lumajang berlaku sejak tanggal 14 Dulkangidah 1665 Saka atau 15 Desember 1255. Saat itu Lumajang dalam pembinaan kerajaan Singosari yang diperintah oleh Prabu Kertanegara.

Raja Singosari Prabu Kertanegara adalah tokoh yang populer di kalangan rakyat Lumajang. Beliau seorang pemimpin yang wibawa, bijaksana, suka menolong, dermawan, peduli nasib orang kecil, jujur, rendah hati, rela berkorban, ramah tamah, pemurah. Setiap bulan Suro Prabu Kertanegara mahas ing ngasepi, manjing wana wasa, tumurune jurang terbis. Beliau lara lapa tapa brata. Raja Singosari ini memang sakti mandraguna. Prabu Kertanegara memberi nama Lumajang yang bermakna melu majuning jangkah kang panjang.

Labuh labet kerajaan Singosari terus berlanjut pada generasi berikutnya. Menantu Raja Kertanegara bernama Raden Wijaya. Beliau pendiri kerajaan Majapahit tahun 1293. Ayahnya Pangeran Mahesa Cempaka, sepupu Prabu Kertanegara. Ibunya berasal dari Lumajang. 

Namanya Dyah Iswari, putri Dahyang Padmamurti. Wajar sekali bila kerajaan Singosari dan Majapahit memiliki hubungan emosional dengan warga Lumajang. Raja Majapahit tiap bulan Ruwah mengadakan upacara Sarada di Lumajang. Upacara Sarada bertujuan untuk memuliakan arwah leluhur.

Pada tahun 1312 Prabu Jayanegara datang ke wilayah Lumajang. Beliau mengikuti upacara Yadnya Kasada. Panitia sudah menentukan jadwal upacara Yadnya Kasada, yaitu tanggal 15 bulan Kasodo atau kesepuluh. Tempatnya di gunung Bromo.

Prabu Jayanegara diminta oleh masyarakat Tengger untuk memimpin jalannya upacara Kasada. Raja Airlangga  sebagai titisan dewa yang bertugas untuk memelihara keselamatan dunia. Raja Jawa Majapahit ini memang selalu memangku hayuning bawana.

Selama memimpin upacara Yadnya Kasada panitia bekerja dengan sistem organisasi yang rapi. Bidang keamanan diserahkan pada warga dari daerah Candipuro, Gucialit, Jatiroto. Bidang konsumsi akomodasi dan transportasi ditangani warga dari daerah Kedungpajang, Klakah, Kunir, Padang, Pasirian, Pasujambe. Bidang acara ritual dipegang oleh warga dari daerah Pronojiwo, Randuagung, Senduro, Ranuyoso, Rowokangkung, Sukodono. 

Bidang among tamu diserahkan kepada warga dari daerah Tekung, Sumbersuko, Tempursari, Tempeh. Mereka bekerja gotong royong. Melayani raja Majapahit akan mendatangkan anugerah besar.

Kerajaan Majapahit selanjutnya dipimpin oleh raja putri, Tri Bhuana Tunggadewi. Beliau memerintah  tahun 1328 – 1350. Kesetaraan gender sudah dikenal orang Jawa sejak lama. Pria wanita punya kedudukan yang sama.

Kepemimpinan Maharaja Tri Bhuana Tunggadewi sangat mengagumkan. Beliau seorang raja yang ber budi bawa laksana, hambeg adil paramarta. Tidak pernah pilih kasih. Sekalian warga negara sama kedudukan dalam hukum. Tumindak becik diganjar, tumindak luput nampa pidana. Negara Majapahit benar-benar ayem tentrem, agung ngrembuyung.

Tri Bhuana Tunggadewi pada tahun 1334 melakukan bakti sosial di kawasan bukit timur laut Lumajang.

Raja Majapahit datang lengkap dengan aparat dan prajurit. Bakti sosial kali ini sekaligus untuk memberi nama deretan pegunungan. Atas usul Pangeran Mangkubumi, deretan perbukitan itu diberi nama Pegunungan Lyang, pemberian nama pegunungan Lyang diambil dari kakeknya Dahyang Padmamurti. Bagi pembesar Majapahit pegunungan Lyang dianggap angker, wingit dan sakral.

Tahun 1350 – 1386 Prabu Hayamwuruk memimpin kerajaan Majapahit. Patih Gajahmada mendampingi dengan setia. Empu Tantular mengarang kitab Sutasoma, sebagai panduan hidup. Empu Prapanca menyusun kitab Negara Kertagama.

Kerajaan Majapahit tampil sebagai negeri kang gedhe obore, padhang jagade, dhuwur kukuse, adoh kuncarane, ampuh kawibawane. Bebasan kang cerak manglung, kang tebih mentiyung. Sedaya sami pasok glondhong pengareng areng, peni peni raja peni, guru bakal guru dadi, emas picis raja brana.

Kemakmuran yang berlimpah ruah, menyebabkan Prabu Hayamwuruk dengan mudah melaksanakan program kerja. Wilayah Lumajang mendapat perhatian utama. 

Bagi Prabu Hayamwuruk wilayah Lumajang merupakan pepundhen kang pinundhi pundhi pindha pusaka. Pejabat spiritual Majapahit disuruh membina juru kunci yang menjaga Gunung Hyang, Gunung Bromo dan Gunung Semeru. Prabu Hayamwuruk  pernah tapa kungkum di kali Mujur. Benar sekali dengan ritual di Kali Mujur nasib raja Majapahit juga selalu mujur. Widada kalis ing sambikala.

Kunjungan Prabu Hayamwuruk senantiasa disertai dengan siraman rohani. 

Empu Prapanca memberi wulangan wejangan wedharan tentang sangkan paraning dumadi. Sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, sembah rasa. Itulah puncak spiritual tertinggi atau manunggaling kawula Gusti. Kitab Negara Kertagama menjadi acuan untuk memahami jagad gedhe lan jagad cilik.

Adat upacara dilakukan demi menjaga keselarasan hidup. Sesaji dan uba rampe disediakan jangkep genep genah. 

B.Lingkungan Gunung Bromo Menjaga Keselarasan Hidup. 

Upacara Kasada berlangsung di Gunung Bromo. Tradisi ini sudah berlangsung sejak tahun 1360 jaman Kerajaan Majapahit. Prabu Hayamwuruk melakukan sebagai program Kerajaan. 

Ketentraman selalu  Menyertai warga Gunung Bromo Lumajang. 

Adipati Menak Sembuyu dari Kabupaten Blambangan datang ke Lumajang pada tahun 1467. Beliau berkunjung bersama putrinya, Dewi Sekardadu. Pada perjalanan pulang Adipati Menak Sembuyu bertemu dengan Maulana Ishaq. Dewi Sekardadu menikah dengan Maulana Ishaq, lantas lahirlah seorang anak yang cerdas, ilmuwan, cendekiawan, rupawan, dan agamawan. Namanya Raden Paku.

Betapa bahagianya Adipati Menak Sembuyu. Cucu kesayangan di antar ke Surabaya untuk berguru kepada Kanjeng Sunan Ampel. Raden Paku akhirnya bergelar Sunan Giri. Beliau ditetapkan untuk mendirikan peguron di Gresik. Kelak Raden Paku atau Sunan Giri menjadi anggota Dewan Wali Sanga. Bahkan Sunan Giri menjadi penasihat utama raja Demak dan raja Pajang. Lewat Sunan Giri ini raja Demak dan Pajang melaksanakan tata cara adat kejawen di Gunung Bromo.

Dewi Sekardadu dan Maulana Ishaq pada tahun 1487 datang ke Lumajang.

Tujuanya untuk membagi lenga tala. Minyak ini berkhasiat untuk mencegah penyakit gudig. Wabah pageblug mayangkara sedang terjadi di sepanjang kali Asem, kali Winong, kali Sumbergebang, kali Banter. Dewi Sekardadu yang kaya raya ini segera turun tangan. Bersama dengan anak buahnya yang tinggal di Lamongan, Dewi Sekardadu memberi pertolongan kepada sesama. Masyarakat Lumajang pun bebas dari penyakit menular. 

Hidup kembali aman nyaman.

Pengalaman Dewi Sekardadu cukup luas. Beliau tinggal di Lamongan. Di sana beliau menjadi suadagar kaya raya. Hasil bumi mendatangkan keuntungan besar. Dewi Sekardadu pernah berkunjung di kawasan kebun teh Merbabu. Dari pengalaman ini, lantas beliau mengajak ahli agrobis untuk datang ke desa binaan maka diajaklah pembesar, Kertowono. Usaha ini berhasil sekali.

Tiap punya hajad selalu meditasi di wilayah sekitar Gunung Bromo. Penduduk bergembira bukan main. Kebun teh Kertowono berada di daerah Gucialit Lumajang. Pemandangan sungguh asri indah. Cocok untuk wisata alam. Hawanya sejuk, di bawah kaki Gunung Bromo, Dewi Sekardadu amat berjasa. Sudah selayaknya putri Adipati Menak Sembuyu ini dihormati oleh penduduk Lumajang sepanjang masa.

Perkebunan karet dan coklat dipelopori oleh raja Mataram, Sri Amangkurat Amral tahun 1688. Beliau adalah cucu Pangeran Pekik Bupati Surabaya. Nama kecilnya yaitu Raden Rahmat. Beliau sering diajak keliling wilayah bang wetan bersama kakeknya.

Pangeran Pekik Bupati Surabaya dan Ratu Wandansari merupakan pasangan yang suka budidaya  agrobisnis. Wilayah Lumajang loh subur kang sarwa tinandur.

Kanjeng Sinuwun Paku Buwono IV juga pernah datang ke wilayah Lumajang pada tahun 1812. Beliau bersama dengan Kanjeng Ratu Mas, putri Bupati Lamongan yang menjadi permaisurinya. 

Lelaku di Gunung Bromo meneruskan tradisi leluhur. Raja karaton Surakarta Hadiningrat ini sedang melakukan program kerja di wilayah Bang Wetan. Ibu ibu dari Lumajang lantas diajak untuk datang ke Surakarta. Mereka kursus batik di Laweyan. Kemudian dilanjutkan dengan belajar meracik jamu di Tawangsari.

Hubungan Lumajang dengan karaton Surakarta Hadiningrat selalu akrab. Pada tanggal 16 Mei 1896 Sinuwun Paku Buwono X melakukan kunjungan di Lumajang. Beliau turut meresmikan stasiun kereta api. Bersamaan dengan itu dilakukan pula peresmian stasiun Klakah, stasiun Pasisiran, stasiun Balung, stasiun Rambipuji. Stasiun di Lumajang ini sangat berguna sekali untuk kelancaran lalu lintas barang dan jasa.

Pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwana X ini Lumajang mendapat status kabupaten otonom pada tahun 1928. Raja karaton Surakarta melantik Kanjeng Raden Tumenggung Kertodirejo sebagai Bupati Lumajang. Beliau menjabat bupati Lumajang tahun 1928 – 1941. Surat keputusan diserahkan oleh Patih Sosrodiningrat. Tak lupa tirakatan di Gunung Bromo. 

Bupati Lumajang tahun 1941 dilantik oleh Sinuwun Paku Buwono XI. Raden Abu Bakar menjabat Bupati Lumajang tahun 1941 – 1948. Kabupaten Lumajang semakin ayem tentrem, murah sandang pangan papan.

Masyarakat Lumajang yang tinggal di sekitar Gunung Bromo terbiasa lelaku. Mahas ing ngasepi, sedhakep saluku tunggal. Mereka mengheningkan cipta berdoa demi kelestarian semesta. 

C. Tata Cara Warisan Prabu Hayamwuruk. 

Adat Istiadat yang bersumber dari sejarah tetap rahayu lestari. Para Bupati Lumajang  berjasa pada nusa bangsa. Pemimpin ini mendapat teladan dari Prabu Hayamwuruk raja Majapahit. 

1.Adipati Kertodirojo 1928 – 1941

Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono X, raja kraton Surakarta Hadiningrat.

2.Raden Abu Bakar 1941 – 1948

Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono XI, raja kraton Surakarta Hadiningrat.

3.Raden Sastrodikoro 1048 – 1959

Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.

4.Raden Sukardjono 1949 – 1966

Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.

5.Subowo  1966 – 1973

Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.

6.Suwandi Rustam 1973 – 1983

Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.

7.Karsid 1983 – 1988

Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.

8.Samsi Ridwan 1988 – 1993

Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.

9.Tarmin Haryadi  1993 – 1998

Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.

10.Achmad Fauzi  1998 – 2008

Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.

11.Sjahrazad Masdar 2008 – 2015

Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

12.As’at Malik   2015 – 2018

Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.

13.Thoriqul Haq   2018 – 2023

Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.


Dhandhanggula Sholawat Rukun Islam   


Rukun Islam kang lima puniki. 

Katindakna mring para sasama. 

Aja padha ditinggalke. 

Rukun lima puniku. 

Sahadate kang angka siji. 

Kang angka loro sholat. 

Dene kang katelu. 

Rhomadhon nindakna pasa. 

Kapat zakat ping lima ngibadah haji. 

Rukun Islam sampurna. 


Yen wancine tansah dielingke. 

Yen wancine padha nindakake. 

Adzan wus ngumandhang. wayahe sembahyang

Netepi wajib dhawuhe Pangeran. 


Sholat dadi cagake agama. 

Limang wektu kudu tansah dijaga. 

Kanthi istiqomah lan sing tumakninah. 

Luwih sempurna yen berjamaah. 


Subuh luhur lan ashar. 

Sholat sayekti ngedohke tindak mungkar. 

Magrib lan isyak jangkepe. 

Prayogane ditambah sholat sunate. 


Jo sembrana iku prentah agama. 

Ngelingana neng donya mung sadela. 

Sabar lan tawakal pasrah sing kuwasa. 

Yen kepareng besuk munggah suwarga. 

Masyarakat Lumajang yang berada di bawah kaki Gunung Bromo selalu melakukan kegiatan yang menuju pada keselarasan hidup.

 Aspek jasmani dan rohani dilaksanakan dengan penuh keseimbangan. Dhandhanggula ini cocok untuk dakwah Islamiyah. Rukun Islam menjadi saka guru yang utama.

Prabu Hayamwuruk raja Majapahit kerap melakukan meditasi di Gunung Bromo. Leluhur raja Majapahit berasal dari Lumajang. Perlu diperhatikan tiap hari. Syahadat, sholat, puasa, zakat dan haji sedapat-dapatnya dilaksanakan dengan tertib.

Pada jaman Demak tahun 1483 Lumajang makin maju. Sekitar daerah Gunung Bromo pun terdapat toleransi keyakinan. Rukun Islam itu menuju keselamatan dunia akhirat. 

Dengan berbekal ajaran yang luhur, masyarakat Lumajang sekitar Gunung Bromo senantiasa mendapatkan ketentaman lahir batin sepanjang masa. Lumajang benar benar melu majune jangkah kang panjang.

Gunung Bromo juga disebut sebagai argo dahono. Dalam sejarahnya untuk menghormati jasa Bathara Brama. Karena berhasil menata tanah Jawa dari Negeri Hindustan. Jadilah Pulau Jawa yang gemah ripah loh jinawi, tata tentrem karta raharja.

Aman damai guyub rukun ayem tentrem diusahakan warga Tengger. Secara periodik warga Tengger melakukan upacara Yadnya Kasada. Mereka hadir dari wilayah Gunung Bromo bagian Lumajang, Pasuruan, Malang dan Probolinggo. 

Mandala utama, mandala madya dan mandala nistha punya makna filosofis dalam upacara Yadnya Kasada. Awalnya pimpinan upacara dilakukan oleh pasangan bangsawan Majapahit. Yakni Rara Anteng dan Joko Seger. 

Untuk menghormati pasangan suami pembesar Kraton Majapahit itu semua sepakat. Rara Tengger dan Joko Seger dilestarikan. Dengan singkatan Tengger. 

Turun tumurun warga Tengger melakukan upacara Yadnya Kasada di kawah Gunung Bromo. Dengan ketinggian 2329 m Kawah Gunung Bromo mendapat sesaji. Dengan japa mantra berkumandang. Demi dunia yang selaras serasi dan seimbang, Ayu hayu rahayu.

Oleh : Dr. Purwadi, M.Hum. Ketua Lembaga Olah Kajian Nusantara – LOKANTARA, hp 087864404347. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar