Jumat, 22 Januari 2021

SEJARAH ALAS KETONGGO TEMPAT SEMEDI PANEMBAHAN SENAPATI

A.Daya Magis Alas Ketonggo 

Panembahan Senapati mendirikan kerajaan Mataram pada tahun 1582. Berdirinya kerajaan Mataram atas anugrah Sultan Hadiwijaya raja Pajang. Ki Ageng Pemanahan diberi hadiah alas Mentaok sebagai cikal bakal kraton Mataram. Panembahan Senapati atau Danang Sutawijaya terlebih dulu melakukna lara lapa tapa brata.

Alas Ketonggo dijadikan Panembahan Senapati untuk melakukan meditasi spiritual. Ilmu iku kelakone kanthi laku. Saat melakukan tatacara lelaku ini, Danang Sutawijaya atau Panembahan Senapati mendapat wahyu keprabon. Cahaya ndaru cumlorot manjing dalam diri pribadi. Pada kesempatan ini Panembahan Senapati mendapat tiga wahyu sekaligus yaitu pendita, raja dan tentara.

Tatacara semedi yang dilakukan oleh Panembahan Senapati mendapat anugerah berlimpah ruah. Dari tenaga gaib dirinya menjadi jalma limpat seprapat tamat. Alas Ketonggo ini berada di daerah Ngawi. Tepatnya di sebelah barat Kota Ngawi yang berupa dengan jajaran hutan jati. Di sini juga mengalir Kali Ketonggo yang merupakan anak sungai Bengawan Madiun.

Kawasan Alas Ketonggo terdapat tugu manik kencono. Sebagian orang menyebut dengan istilah Tugu Manik Kumolo. Pada malam hari, ndaru-ndaru beraneka warna pating cumlorot dari segala jurusan. Tugu manik kencono menjadi tempat untuk manekung bagi Panembahan Senapati. Wujud tugu manik kencono ini berupa sebuah watu linggang yang berwarna putih.

Dengan demikian Alas Ketonggo memiliki nilai sejarah yang penting bagi proses berdirinya kerajaan Mataram. Perkembangan selanjutnya banyak warga Ngawi yang menjadi orang penting pada masa Panembahan Senapati memerintah antara tahun 1582-1601. Bahkan pertemuan Panembahan Senapati dengan Retno Dumilah bertempat di Walikukun, Widodaren, Ngawi.

Kanjeng Ratu Retno Dumilah kelak menjadi garwa prameswari Panembahan Senapati raja Mataram. Wajar sekali apabila warga Ngawi menduduki posisi strategis di struktur birokrasi Mataram. Retno Dumilah adalah putri Pangeran Timur, Bupati Madiun. Beliau juga disebut dengan nama Pangeran Ranggajumena. 

Nama kabupaten Ngawi mengandung makna filosofi yang tinggi. Kata Kawi berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu Kawi. Arti kata Kawi yakni penyair, sastrawan, pengaran, pujangga, sarjana, winasis, cendekiawan, sesepuh, orang pintar, waskitha, wicaksana. Ngawi berarti usaha seseorang untuk menjadi kaum bijaksana atau waskitha ngerti sadurunge winarah. 

Ngawi berasal dari kata Kawi. Penamaan Ngawi sesungguhnya anugerah dari Empu Tantular. Pada tanggal 7 Juli 1338 Empu Tantular berkunjung ke daerah Karangjati. Beliau mengantar raja Hayamwuruk yang sedang melakukan kunjungan kerja. Di Padepokan Karangjati Empu Tantular memberi sesorah tentang ngelmu kasampurnan. Beliau menerangkan kitab Sutasoma.

Dengan demikian kabupaten Ngawi memiliki sejarah yang besar. Kerajaan Majapahit dikenal sebagai negeri yang gemah ripah loh jinawi, tata tentrem karta raharja. Prabu Hayamwuruk memerintah kerajaan Majapahit tahun 1350 sampai 1386. Daerah Ngawi merasa mendapat pengayoman agung. Saat itu Majapahit memang gedhe obore, padhang jagade, dhuwur kukuse, adoh kuncarane.

Kunjungan pembesar Majapahit dalam rangka reboisasi di kawasan gunung sewu. Pejabat Majapahit di sepanjang gunung Kendheng, gunung Sewu, gunung Pandan dan gunung Kenteng. Pegunungan ini penting dijaga karena berkaitan langsung dengan daerah aliran Bengawan Solo. Wilayah Ngawi termasuk daerah yang dibina oleh kerajaan Majapahit. penanaman kayu jati di sekitar Ngawi guna melestarikan sumber daya alam. Kedudukan Ngawi nantinya di bawah pembinaan Kasultanan Demak Bintara. 

Pada tahun 1493 warga Widodaren banyak yang berguru kepada Ki Ageng Tarub di Grobogan. Mereka belajar adat pasang blek ketepe, tuwuhan dan tebu wulung. Untuk menghormati ajaran Ki Ageng Tarub mengajari tata cara malam midodareni. Kisah Dewi Nawangwulan amat populer di daerah Widodaren Ngawi.

Pahargyan manten bagi masyarakat Ngawi kerap dengan menampilkan tari Orek-orek. Sesungguhnya gerak tari ini merupakan hasil unsur warga Widodaren saat berguru kepada Ki Ageng Tarub. Gerakan tari Orek-orek sangat atraktif dinamis. Mirip dengan seni langen tayub. Tujuannya untuk mendatangkan kesuburan dan kemakmuran.

Wilayah Ngawi sejak tahun 1546 berada dalam pengaruh Kasultanan Pajang, Rajanya bernama Joko Tingkir atau Mas Karebet. Kelak bergelar Kanjeng Sultan Hadiwijaya. Gurunya bernama Ki Ageng Butuh, Sragen. Orang Ngawi banyak yang berguru kepada Ki Ageng Butuh tentang kawruh sangkan paraning dumadi. Berbekal ilmu pengetahuan ini warga Ngawi sebagian ditarik untuk menjadi laskar prajurit kerajaan Pajang. Sebelum bertugas pada umumnya prajurit Pajang dari Ngawi ini terlebih dulu tapa kungkum di Kali Ketonggo.

Raja Mataram yang kerap di gunung Liliran yaitu Kanjeng Sinuwun Amangkurat Amral. Beliau memerintah kraton Mataram tahun 1677 – 1703. Prajurit Mataram yang mengawal raja juga melakukan ritual di makam Joko Budug. Para peziarah yakin bahwa panuwunan akan terkabul. Kukuse dupa kumelun, ngeningken tyas sang apekik. Hubungan batin dengan kerajaan Mataram sangat dekat.

Maklum sebagian warga Gendingan dan Mantingan dulu banyak yang menjadi murid Syekh Siti Jenar. Mereka belajar ilmu ngrogo sukmo, sehingga mereka menjadi jalma limpat sepraprat tamat. Syekh Siti Jenar mbabar kawruh manunggaling kawula Gusti, ilmu makrifat tingkat tinggi.

Perpindahan ibukota Mataram dari Kartasura ke Surakarta melibatkan orang Ngrambe. Pada tahun 1745 waga Ngrambe banyak yang tinggal di daerah Mojosongo Surakarta. Mereka ahli bangunan yang terbuat dari kayu jati. Tukang-tukang dari Ngrambe cukup hebat dan disegani di kalangan utama Kraton Surakarta Hadiningrat. Nanti banyak anak cucunya yang menjadi abdi dalem.

Ngawi resmi menjadi kabupaten otonom terjadi pada tanggal 31 Agustus 1830. Tumenggung Sumowidigdo dilantik menjadi Bupati Ngawi oleh Kanjeng Sinuwun Paku Buwono VII, raja karaton Surakarta Hadiningrat. Masyarakat Ngawi gembira ria. Kehidupan rakyat subur makmur, murah sandang pangan papan.

Kanjeng Sinuwun Paku Buwono IX membuka kebun Teh Jamus pada tahun 1866. Tempatnya di desa Girikerto Sine Ngawi. Hasil usaha ini untung berlimpah ruah. Penghasilan lebih dari cukup. Bidang ekonomi rakyat meningkat pesat. Kesenian berkembang maju. Gamelan, kerawitan, tembang, wayang tampil megah mewah. Rakyat Ngawi merasa beruntung dibina oleh Kraton Surakarta Hadiningrat.

Perhatian Kraton Surakarta lebih dari cukup. Tanggal 24 Mei 1884 stasiun Walikukun berdiri kokoh. Kereta api membuat warga menjadi mudah murah. Kabupaten Ngawi semakin sejahtera. Kemajuan ilmu pengetahuan juga diperhatikan. Kanjeng Adipati Purwodiprojo pada tahun 1881 mengundang  ilmuwan dunia yang bernama E Dubois. Beliau ahli purbakala yang membuat musium Trinil. Nama Trinil Ngawi melambung di kancah ilmuwan internasional. Kabupaten Ngawi semakin arum kuncara ngejayeng jagad raya. 

Keberadaan Alas Ketonggo sepanjang masa menjadi sarana untuk mahas ing asepi bagi kalangan Kejawen. Kawasan ini masih berurutan dengan tempat semedi yang berada di lereng Gunung Lawu. Masyarakat Jawa meyakini sebagai tempat Prabu Brawijaya V raja Majapahit memasuki alam kamuksan.

Terdapat beberapa sanggar pamulangan yang berada di kawasan Alas Ketonggo, yakni Punden Ageng Srigati, Watu Dhakon, Tugu Mas, Umbul Jambe, Siti Inggil, Tempur Sedalem, Sendang Drajat, Sendang Panguripan, Sendang Mintowiji dan Kori Gapit. Alas Ketonggo ini beralamat di desa Babadan Kecamatan Paron Kabupaten Ngawi Jawa Timur.

B.Tatacara Lelaku di Alas Ketonggo

Para pembesar kerajaan Mataram memang kerap melakukan lelana brata. Kegiatan laku batin ini bermula dari lereng Gunung Lawu kemudian dilanjutkan tapa brata di Alas Ketonggo. Tapa brata ini juga dilengkapi dengan laku tapa kungkum di Kali Ketonggo.

Tapa ngeli dan tapa kungkum di Alas Ketonggo dilakukan pada bulan Suro dengan ubarampe yang jangkep, genep, genah.  Para abdi dalem Mataram yang terhimpun dalam lembaga Purwa Kinanthi menyediakan sesaji dan ubarampe upacara. Pendherek tapa brata ini juga terlebih dahulu melakukan upacara wilujengan.

Kinanthi 


Kukusing dupa kumelun

Ngeningken tyas sang apekik

Kang kawengku sagung jajahan

Nanging sanget angikibi

Sang Resi Kanekaputra

Kang anjok saking wiyati

Abdi dalem Purwa Kinanthi yang mengurusi tatacara wilujengan di Alas Ketonggo kelak juga dipekerjakan sebagai petugas adat di kadipaten Ngawi. Pada masa pemerintahan Bupati Tumenggung Kertonegoro tahun 1834 giat melakukan pelatihan kuliner di daerah Delanggu. Ibu-ibu dari wilayah Bringin, Geneng, Gerih, Jogorogo dikirim untuk belajar masak memasak. 

Makanan kecil berupa: putu tegal, carabikang, mendhut, koci, semar mendhem dibungkus telur dadar, dikocok santan kental. Sambal goreng kering jangan ketinggalan, campurlah udang dengan hati, rambak, kulit ayam, petis yang telah dibumbui, nasi lemas, nasi pulen, nasi liwet, ayam jantan yang dikebiri. Minuman dari daun belimbing wuluh rendamlah dalam air, makanan kecil: ceriping ketela, ceriping lingik, pisang goreng dengan gula, karang gurih.

Tahun 1835 berikutnya giliran daerah Karanganyar, Karangjati, Kasreman, Kedunggalar, Kendal, Kwadungan. Ibu-ibu belajar di kawasan kuliner Baki Sukoharjo. Meng-hidangkan nasi bucu pulen punuk lunak putih berada di atas piring besar. Ikan, pecel, ayam, sayur bening segar, sayur padhamara dhara ayam betina yang hampir bertelur terlihat berminyak kuahnya, opor itik, betutu ayam utuh tanpa tulang, dendeng gepuk goreng, kathik sebangsa derkuku hijau goreng, burung gulathik goreng, daging empal besar lunak, dendeng irisan, sujen age, rempah daging cacah dibulatkan dibungkus daun dan diasapi, kerupuk, sayur besengek atam, kacang, sambal goreng, sambal kacang, cabai pedas serta petis; lalaban, kacang, kecipir, kecemeh sejenis slada, terong, mentimun, bawang merah, tempe merah, toge kacang hijau, gudhe, kemangi, semua lauk pauk ini di atas piring agak besar, telah ditata di depan. Hidangan teh didepannya, tenongan berisi makanan manis-manis, dan makanan untuk pagi hari, seperti juadah, ledre, serabi, gem-blong, lempeng, wajik, jenang, carabikang dan puthu.

Sedangkan ibu-ibu yang berasal dari daerah Man-tingan, Ngawi, Ngrambe, Padas, Pangkur, Paron dan  Pitu belejar teori memasak di daerah Mojosongo Boyolali. Adakan selamatan pada waktu mendirikan tarub, sebanyak dua ambeng nasi lulut nasi dicampur ketan dengan kunyit dan dua ambeng nasi wuduk nasi gurih bersantan, enam ambeng nasi asahan, nasi golong dua puluh pasang, jajan pasar macam-macam makanan dari pasar, dhawet, rujak beserta tempatnya, pecel ayam, sayur menir bening, ma-sakan atau bumbu lembaran masakan bersantan ayam jago putih, jenang merah putih bening, serta jenang baro-baro jenang putih tengah di beri jenang merah serta dicampur gula kelapa. 

Jongkong inthil, pisang ayu, makan nasi pulan, pang-gang pudhak, sayur menir, pecel ayam betina yang masih muda, dendeng rusa lunak, dan lalap seledri, kecambah dan kemangi, makanan carabikang, koci, mendut dan timus. Buras berpikir tentang nasi gaga, ikan teri asin putih, pecel iso, semanggi, dan dendeng pendhul sapi. Berbagai masakan yang enak-enak seperti randha keli, rara mendut, pipis tuban, pipis kopyor, lemet, pasung, gantal lemper, semar tinandu, plered, gempol, tidak lupa juga kopyor rujak kawis, clorot, jenang pathi sagu, jadah dan jenang dodol. Semua sudah tersaji dan ditempatkan dalam berbagai piring.

Program berikutnya dilakukan pada tahun 1836. Bidang masak-memasak dipelajari oleh ibu-ibu dari Sine, Walikukun, Widodaren. Mereka dikirim ke daerah Colomadu Karanganyar. Nasi tumpeng diletakkan di depan nasi liwet, ikan tambra goreng, sayur pindang sungsum, kare, brongkos sambel goreng mangut, besengek ayam dan opor. Pepesan tambra palung, besengek angsaran, bontot goreng, kathik goreng, glathik goreng, jerohan derkuku, cuwiyun, gangsir, emprit peking bondhol, age betutu, telur asin, babad galeng, rempela ati, kerupuk terung, srundeng daging empal, abon, sate daging, kuah, lalapan terung, mentimun, sambal lethok lombok, petis, belut, kecemeh, pare, belut, dan kacang panjang. Hidangan minuman temulawak, dan jahe dengan gula kelapa, makanan wajik otek, jepen, jagung, jali, juwawut atau sekoi, cantle.

Untuk program kuliner umum, pelatihan dilakukan oleh perwakilan Kabupaten Ngawi. Tujuannya untuk meningkatkan ketrampilan industri rumah tangga. Di surau hidangan segera diatur, nasi putih ditempatkan dipiring besar berprada berhias, sayur kluwih, sayur asem pedes, betutu, besengek ayam, dendeng gepuk goreng, empal agi, dendeng age, dendeng panjen serta sate, babad galeng seregan, opor bebek, pepes ikan laut, palung rempah belut, bothok jambal, burung dara goreng, burung gelatik goreng, lidah hati, limpa goreng, masakan brongkos, sambal goreng kemiri dan kacang, gadhon, telur mata sapi, telur dadar, abon, kerupuk terung, lombok kenceng, petis banyar, lalap kacang dan krai, terong, kecipir, dan kara, kunci lempuyang, dan umbi poh.

Pengetahuan tentang minuman tradisional perlu dijadikan bahan pelatihan. Hingga kini hasil pelatihan kuliner itu masih diwariskan pada generasi penerus. Pengusaha  kuliner dari kabupaten Ngawi tersebar di seluruh kepulauan nusatara. Teh, kopi, gemblong, lempeng, kolak ketan, jenang, ledre isen, bikang, pithu, pisang mayang cangkir, glali sutera, jenang caca, surabi, kupat mujid, pisang kuning bakar, dan dendeng gepuk bakar, semuanya sudah ditata di depan. Pasugatan kang edi mirasa. 

C. Keris Kyai Joko Pituruh dan Tombak Kyai Tambangprono

Keris Kyai Joko Pituruh dan Tombak Kyai Tambangprono merupakan pusaka sipat kandel Kanjeng Ratu Retno Dumilah. Putri Pangeran Timur bupati Madiun ini adalah permaisuri Panembahan Senapati Raja Mataram. Pada awalnya kedua insan ini berselisih paham. Tetapi akhirnya menjadi pasangan suami istri.

Pusaka lain yang dimiliki oleh Retno Dumilah adalah Tombak Kyai Tundung Mediun. Panembahan Senapati sempat mengalami kuwalahan. Dia tidak mampu menundukkan kesaktian Retno Dumilah. Atas saran Ki Jurumartani lantas Panembahan Senapati menakhlukkan Retno Dumilah dengan pusaka Asmara Turida.

Penakhlukan Panembahan Senapati kepada Retno Dumilah dengan jemparing Asmara Turida ini bertempat di Walikukun, Widodaren, Ngawi. Keduanya lantas menikah dan melakukan kegiatan-kegiatan spiritual di Alas Ketonggo. Trahing kusumo rembesing madu wijining atapa tedhake handana warih.

Kadipaten Ngawi selalu mengadakan upacara wilujengan di Alas Ketonggo. Hal ini merupakan tatacara yang telah diwariskan oleh Kanjeng Ratu Retno Dumilah yang menjadi permaisuri Panembahan Senapati. Para bupati Ngawi memang mendapat warisan wulang wuruk dari kerajaan Mataram.

1.Raden Tumenggung Sumowidigdo, 1830 – 1832, Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono VII, raja kraton Surakarta Hadiningrat.

2.Tumenggung Malang Nugroho, 1832 – 1834, Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono VII, raja kraton Surakarta Hadiningrat.

3.Tumenggung Kertonegoro, 1834 – 1837, Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono VII, raja kraton Surakarta Hadiningrat.

4.Adipati Yudodiningrat, 1837 – 1869, Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono VII, raja kraton Surakarta Hadiningrat.

5.Adipati Sumaningrat, 1869 – 1877, Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono IX, raja kraton Surakarta Hadiningrat.

6.Adipati Brotodiningrat, 1877 – 1885, Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono IX, raja kraton Surakarta Hadiningrat.

7.Tumenggung Sosroadiningrat, 1885 – 1887, Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono IX, raja kraton Surakarta Hadiningrat.

8.Adipati Purwodiprojo, 1887 – 1902, Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono IX, raja kraton Surakarta Hadiningrat.

9.Adipati Otoyo, 1902 – 1905, Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono X, raja kraton Surakarta Hadiningrat.

10.Tumenggung Sasra Busana, 1905 – 1943, Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono X, raja kraton Surakarta Hadiningrat.

11.Adipati Suryoadicokro, 1943 – 1944, Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono XI, raja kraton Surakarta Hadiningrat.

12.Raden tumenggung Sidarto, 1944 – 1947, Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono XI, raja kraton Surakarta Hadiningrat.

13.Mudayat, 1947 – 1950, Dilantik pada masa pemerintah-an Presiden Soekarno.

14.Ahmad Sapardi, 1950 - 1958, Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.

15.Suherman, 1958 – 1965, Dilantik pada masa peme-rintahan Presiden Soekarno.

16.Bambang Subiantoro, 1965  - 1967, Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.

17.Suwoyo, 1967 – 1973, Dilantik pada masa pemerin-tahan Presiden Soekarno.

18.Panuju, 1973 – 1983, Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.

19.Sularjo, 1983 – 1988, Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.

20.Sudarno Harjo Prawiro, 1988 – 1993, Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.

21.Sudibyo, 1993 – 1994, Dilantik pada masa pemerin-tahan Presiden Soeharto.

22.Subagyo, 1994 – 1999, Dilantik pada masa pemerin-tahan Presiden Soeharto.

23.dr. Harsono, 1999 – 2010, Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Habibie.

24.Ir. Budi Sulistyo, 2010 – 2020, Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Alas Mantingan Ngawi sudah misuwur. Mantingan merupakan kota kecamatan yang berada di kabupaten Ngawi. Tempatnya dekat dengan perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kota Mantingan selalu tampil indah permai, ijo royo-royo dan sedap bila dipandang mata. Tanduran tumbuh subur, kiri kanan jalan terdapat taman yang asri. Kesenian berkembang, pertanian maju, dan tata kota terlihat rapi. Pengembangan pariwisata di kota Mantingan akan meningkatkan kualitas wisata di kabupaten Ngawi.  

Pengaruh karaton Surakarta Hadiningrat atas budaya Ngawi begitu besar. Busana, petungan, mantenan, gamelan, karawitan, adat istiadat, gendhing umumnya menggunakan gagrag Surakarta. Kebudayaan menjadi penyeimbang rokhani masyarakat Ngawi. Keselarasan hidup dapat dicapai dengan menjernihkan sumber seni edi peni budaya adi luhung. Kabupaten Ngawi menjadi pendukung budaya Kawi. Yakni keselarasan cipta rasa karsa. 

Kawasan Alas Ketonggo bagi masyarakat Ngawi dianggap sakral. Sebagaimana wulang wuruk Ratu Retno Dumilah, putri Pangeran Timur bupati Madiun yang selalu berjasa pada masyarakat Ngawi. Terutama abdi dalem Mataram yang berasal dari Gendingan, Ngrambe, Walikukun, Mantingan, Paron dan Widodaren. Mereka adalah pengikut setia Kanjeng Ratu Retno Dumilah.

Dari Alas Ketonggo ini pula Ratu Retno Dumilah mendapat pusaka keris Kyai Tundung Mediun. Pasukan makhluk halus di Alas Ketonggo merasuk pada diri prameswari Mataram. Putri bupati Madiun ini juga mendapat daya linuwih dari tugu manik kumolo. Retno Dumilah juga mendapat sebutan sebagai Dyah Ratu Mekarsari.

Lelaku tapa brata yang dijalankan oleh Retno Dumilah di tugu manik kumolo diiringi segenap pembesar kadipaten Madiun. Lantas dilanjutkan ke daerah Simo yang terletak 12 km sebelah utara kota Magetan. Di lereng timur Gunung Lawu ini Ratu Retno Dumilah mendapat keris Kyai Naga Pituruh.

Kesaktian Retno Dumilah permaisuri Panembahan Senapati ini memang hebat mengagumkan. Retno Dumilah atau Dyah Ratu Mekarsari juga mendapat anugrah di tugu manik kumolo Alas Ketonggo. Yakni tombak Kyai Tambangprono. Begitulah Alas Ketonggo yang menjadi sarana tapa brata Panembahan Senapati beserta garwa prameswari.

Oleh: Dr. Purwadi M.Hum, ketua Lembaga Olah Kajian Nusantara LOKANTARA, Hp: 0878 6440 4347

Tidak ada komentar:

Posting Komentar