Rabu, 20 Januari 2021

SEJARAH SYEKH SUBAKIR DI PERTAPAN GUNUNG TIDAR

A.Pusaka Kyai Damar Murub dan Kendi Pratala. 

Pusaka Damar murub dan Kendi Pratala merupakan warisan Syekh Subakir yang menjadi guru sakti di pertapan Gunung Tidar. Kyai Damar Murub berupa pusaka keris. Sedang Kendi Pratala adalah pusaka yang berupa tempat untuk menyimpan air. Kedua pusaka itu mempunyai daya linuwih yang ampuh, sepuh, tangguh.

Gunung Tidar terletak di daerah Magelang, Jawa Tengah. Pada jaman dulu Gunung Tidar menjadi tempat berdirinya pertapan yang dikelola oleh Syekh Subakir. Sebelumnya Syekh Subakir adalah raja di Kraton Medang Kamulan yang bergelar Prabu Aji Saka. Setelah lengser keprabon madeg pendhita namanya dirubah menjadi Syekh Subakir. Pada masa tuanya lebih menekankan kegiatan oleh rasa.

Syekh Subakir mbabar ngelmu kasampurnan di pertapan Gunung Tidar. Terbiasa dengan laku tapa brata. Kerap melakukan tapa ngalong, tapa ngidang, tapa pendhem, tapa kungkum, tapa ngrame. Jadilah Syekh Subakir sebagai brahmana yang kesdik paningale, lantip panggraitane, mateng semedine.

Siswa di pertapan Gunung Tidar berasal dari Bangwetan, Bangkulon, kawasan pesisir dan mancanegara. Syekh Subakir terbukti sebagai brahmana yang sakti mandraguna. Syekh Subakir atau Empu Sangkala berpengalaman sebagai pangembat tata praja, sebagai raja di Kraton Medang Kamulan. Makanya Syekh Subakir yang berpengalaman di bidang pemerintahan dan ilmu kebatinan ini sangat dihormati oleh para ulama dan raja.

Pusaka andalan Syekh Subakir yaitu keris Kyai Damar Murub. Dalam riwayatnya pusaka keris Kyai Damar Murup merupakan hadiah dari Kyai Semar. Tokoh panakawan ini tinggal di padukuhan Klampisireng atau Karangkedempel. Sebagian lagi menyebut dengan dusun Karangtumaritis. Syekh Subakir pernah diwejang tentang asal-usul ngelmu sangkan paraning dumadi.

Daya linuwih Syekh Subakir didukung adanya pusaka Kendi Pratala. Pusaka ini merupakan tempat air yang terbuat dari keramik. Bentuknya seperti moncong dengan paruh berjumlah empat buah. Kendi pratala setiap bulan Sura diberi sesaji oleh para siswa di pertapan Gunung Tidar. Kendi pratala dan keris damar murub menjadi kekuatan spiritual Syekh Subakir dalam menjalankan ilmu laku.

Kedua pusaka Syekh Subakir itu hadiah Kyai Lurah Semar yang merupakan penjelmaan Sang Hyang Ismaya. Kehadiran Sang Hyang Ismaya turun ke ngarcapada menjelma Kyai Lurah Semar atas dhawuh perintah Sang Hyang Wenang. Beliau merupakan dewa yang tinggal di kayangan Alang-alang Kumitir.

Adapun Syekh Subakir yang merupakan penguasa kraton Medang Kamulan adalah tokoh yang berasal dari negeri Hindustan. Beliau bernama Aji Saka atau Isaka. Sejarah ini didasarkan pada Serat Mahaparwa, karangan Empu  Satya di Mamenang, Kediri, pada tahun  851 Surya (S) atau 879 Candra (C). Pada waktu ini tanah Arab di Timur Tengah sedang mengalami jaman Nabi Isa. Waktu itu Pulau Jawa belum bernama Jawa dan masih menjadi satu dengan  Pulau Sumatra, Madura dan Bali. Sunyi sepi  belum ada manusia. 

Maka para dewa yang berkahyangan  di puncak  Gunung Tengguru tanah Hindi, yang nantinya disebut Gunung Himalaya, datang ke Pulau Jawa. Pimpinan para dewa adalah Sanghyang Manikmaya, atau Sanghyang Guru. Ia menjadi raja mengepalai para dewa. Maka pulau tadi dinamakan Pulau Jawa oleh Sanghyang Manikmaya, berasal dari kata  dawa.Akan tetapi pada waktu itu yang menyebut demikian hanya para dewa. Setelah para dewa  di Pulau Jawa lamanya 15 tahun, lalu semua muksa kembali ke kahyangan di puncak Gunung Tengguru tanah Hindi. Pulau Jawa kembali sepi seperti sedia kala.

Tersebutlah, di tanah Hindustan ada seorang raja brahmana, bernama Prabu Isaka atau yang disebut Prabu Aji Saka. Prabu Isaka tadi adalah putra Prabu Iwasaka atau Batara Anggajali. Batara Anggajali adalah anak Batara Ramayadi atau yang bernama Ramadi. Empu Ramadi adalah putra Sanghyang Ramaprawa. Sanghyang Ramaprawa anak Sanghyang Hening saudara Sanghyang Tunggal. Ia bertahta lamanya 46 tahun, negerinya dihancurkan oleh musuh.

Prabu Isaka turun tahta dan mengungsi ke hutan. Di hutan ditemui oleh ayahandanya yang  telah menjadi dewa  yang bernama Batara Anggajali tadi. Prabu Isaka diajari berbagai laku oleh ayahnya sehingga ia mendapatkan banyak kesaktian sebagaimana para dewa. Setelah itu ia diperintahkan untuk bertapa di sebuah pulau yang panjang (dawa) yang sepi dan telah diberi nama oleh Sanghyang Guru yakni Pulau Jawa. Prabu Isaka kamudian bergegas mencarinya. 

Setelah cukup lama, ia menemukan pulau yang masih sunyi, kira-kira di sebelah tenggara tanah Hindustan. Ketika pertama kali Prabu Isaka menginjak di pesisir utara pulau Jawa, menurut hari Hindu menjelang hari Buda, menjelang   masa kartika, dalam tahun sambrama.Jaman pancamakala mencapai 768 tahun. Prabu Isaka lalu mengelilingi seluruh pulau dari ujung barat laut hingga ujung tenggara.

Prabu Isaka sangat terkagum-kagum mengetahui panjangnya pulau, karena dari Aceh sampai Bali masih utuh menjadi satu. Serta dalam pulau tersebut banyak tanaman jawawut sepanjang pulau. Menurut pemikiran Prabu Isaka, cocok dengan pemberian nama oleh Sanghyang Guru seperti yang diceritakan ayahandanya. Maka Prabu Isaka juga memberi nama Pulau Jawa, artinya pulau jawawut, atau pulau panjang. Inilah permulaan pulau ini bernama Pulau Jawa. Serta banyaknya gunung, sungai dan hutan-hutan yang dilalui diberi nama semua oleh Prabu Isaka. Tanah yang diinjak pertama kala diberi nama Purwapada.

Diceritakan perjalanan Prabu Isaka mengelilingi Pulau Jawa mendapat kemudahan dari Hyang Suksma. Ia hanya membutuhkan waktu 103 hari, sudah merata semua.  Prabu Isaka lalu bertempat di Gunung Hyang, yakni Gunung Kendeng di daerah Prabalingga dan Besuki. Hutan-hutannya dibabat dan didirikan rumah. Permulaan pembabatan ketika hari soma tanggal 14, pada masa  sitra, masih dalam tahun sambrama. 

Pada waktu itu, Prabu Isaka bernama Empu Sangkala, serta berkehendak menghitung  angka tahun lamanya bertapa. Karena pembabatan hutan Gunung Hyang dijadikan sebagai angka permulaan tahun, maka dinamakan tahun Sangkala. Yakni pada masa kartika dalam tahun sambrama dalam hitungan tahun  matahari atau rembulan. Adapun bunyi sengkalannya sama dengan tahun kepala satu, Jebug Sawuk, menandai tahun 1, yakni permulaan adanya tahun Jawa yang dipakai sebagai pedoman di kemudian hari, serta awal mula Pulau Jawa ditempati manusia.

B. Pengajaran Ilmu Kasampurnan. 

Ngelmu kasampurnan diajarkan di pertapan Gunung Tidar oleh Syekh Subakir. Perjalanan Syekh Subakir dari negeri Hindustan ke tanah Jawa melalui proses historis yang sangat panjang. Kawruh sangkan paraning dumadi menjadi bahan refleksi kolektif. Tersebutlah, ketika Empu Sangkala sudah menetap di Gunung Hyang, ia senantiasa memuja dan semedi setiap hari mengheningkan cipta, menghayati kehendak Yang Maha Kuasa.

Pada suatu hari Empu Sangkala kedatangan cahaya putih. Dalam cahaya kelihatan putri cantik rupawan mengaku  bernama Dewi Sri, serta memberi ajaran segala rupa pengasihan ulah asmaragama, asmaranala, asmaratura, asmaraturida dan asmarandana. Empu Sangkala paham dan Batari Sri lalu muksa. Hari itu Empu Sangkala memberi nama hari Sri.

Kemudian hari berikutnya, Empu Sangkala kedatangan cahaya kuning. Yang berada dalam cahaya kuning kelihatan raksasa mengaku bernama Sanghyang  Kala. Ia mengajarkan berbagai rupa ulah sandi upaya panduking karti sampeka, dan menggunakan pangedepan, panglerepan serta  segala sesuatunya. Empu Sangkala paham lalu Sanghyang Kala muksa. Pada hari itu Empu Sangkala menamainya hari Kala.

Kemudian hari berikutnya, Empu Sangkala kedatangan cahaya merah. Yang berada dalam cahaya merah kelihatan brahmana mengaku bernama Sanghyang Brahma. Ia mengajarkan segala rupa pengetahuan mengatahui sebelum terjadi, waspada  kepada yang ghaib atau yang samar.  Empu Sangkala paham lalu Sanghyang Brahma muksa. Pada hari itu Empu Sangkala menamainya hari Brahma.

Kemudian hari berikutnya, Empu Sangkala kedatangan cahaya hitam. Yang berada dalam cahaya hitam kelihatan seorang lelaki satria mengaku bernama Sanghyang Wisnu. Ia mengajarkan segala rupa ulah keperwiraan, kesaktian, dan segala ilmu jaya kawijayan. Empu Sangkala sudah paham lalu Sanghyang Wisnu muksa. Hari itu Empu Sangkala menamainya hari Wisnu.

Kemudian hari berikutnya, Empu Sangkala kedatangan cahaya hijau berwarna-warni. Yang berada dalam cahaya kelihatan seperti mengawasi, bernama Sanghyang Guru. Ia mengajarkan berbagai rupa ulah kepandaian memanah, atau ilmu kesempurnaan dan penitisan  mati dalam hidup, dan kemuliaan asal mula semua.  Empu Sangkala sudah paham lalu Sanghyang Guru muksa. Hari itu oleh Empu Sangkala dinamainya hari Guru.

Pada hari berikutnya, Empu Sangkala melakukan sembah lima kali. Dalam satu hari satu kali. Mulai hari Sri, Empu Sangkala menyembah kepada Dewi Sri, menghadap ke timur. Pada hari Kala menyembah kepada Sanghyang Kala, menghadap ke selatan. Pada hari Brahma menyembah Sanghyang Brahma, menghadap ke barat. Pada hari Wisnu menyembah Sanghyang Wisnu, menghadap ke utara. Pada hari Guru, menyembah kepada Sanghyang Guru, menunduk ke bumi dan mendongak ke angkasa. Demikian selamanya.

Dari kaki Gunung Tidar Magelang terlihat desa kecil indah di puncak gunung. Dikisahkan, di puncak gunung yang luar biasa ada pertapa bernama Syekh Wakidiyat. Ada endang empat orang cantik-cantik hampir kembar rupanya. Pertama bernama Endang Kismani, kedua Endang Brahmani, ketiga Endang Aniladi dan keempat Endang Jahnawi. Wajahnya sama cantiknya, sederhana menarik hati, berdandan menurut tata krama. Andaikata bunga indah belum menyebarkan bau harumnya, madunya belum terhisap. 

Tempat Sang pendeta duduk di balai kembang, airnya jernih mengitarinya, ditepinya ditumbuhi bunga-bungaan yang sedang berbunga semerbak harum. Padepokan tersebut disebut Gunung Tidar, pusat tanah Jawa. Dari pucak Candi Borobudur, gunung Tidar jelas terlihat indah bersinar terang. 

C. Tanah Perdikan Borobudur. 

Dalam agama Hindu dikenal sistem kekuasaan yang berupa konsep dewa raja. Samaratungga adalah raja Mataram Kuno dari Dinasti Syailendra, penganut agama Budha Mahayana. Raja Samaratungga ini mempunyai karya monumental, yaitu Candi Borobudur. Samaratungga berperan menjadi pengatur segala dimensi kehidupan rakyat. 

Dari naskah-naskah berbahasa Jawa Kuno seperti Kitab Canda Karana, Agastya Parwa, Adi Parwa, Saba Parwa, Swarga-rohana Parwa, Arjuna Wiwaha, Hari Wangsa, Wreta Sancaya dan Kunjara Karna, dapat ditelusuri bahwa dasar-dasar pandangan hidup Jawa sudah berlangsung sejak kuno. Salah satunya adalah pandangan hidup tentang dusun. Raja menjadikan para prajurit-prajuritnya untuk mengepalai dusun dan mempertahankan dusun sebagai tempat tinggalnya itu dari serbuan musuh. Sikap setia kepada dusun sebagai tanah yang disakralkan. 

Putri Samartungga yang terkenal cerdas dan cantik jelita adalah Pramodha Wardhani. Pramodha Wardhani juga bergelar Sri Kahulunan, artinya seorang sekar kedhaton yang menjadi tumpuan harapan bagi rakyat. Pramodha Wardhani kelak menjadi permaisuri raja Rakai Pikatan. Pasangan suami istri ini sangat legendaris di mata rakyat Jawa. 

Keharmonisannya membuat rakyat Mataram bertambah aman dan damai. Hanya saja, adik Pramodha Wardhani yang bernama Balaputra Dewa kurang terkenal. Akhirnya dia merantau ke Sumatra dan mendirikan kerajaan Palembang. Dalam menjalankan pemerintahan dan keagamaan, Pramoda Wardhani menggunakan pedoman Wahyu Kadewan sebagai berikut:

Dalam Serat Pustaka Raja Purwa, raja dalam mengatur agama dengan ilham dari dewa. Seorang raja dari Kerajaan Pur-wacarita yang menguasai seluruh Jawa, yakni Sri Maha Punggung atau Sri Maharaja Kano, dianggap merupakan peletak dasar keagamaan orang Jawa, karena ia mendapat wahyu kadewan. Kata kano berasal dari kata kanwa, sama dengan katong dari kata katwang yang artinya adalah raja. Sejak saat itu, orang Jawa dibagi dalam enam agama yakni Brahma, Wisnu, Indra, Bayu, Sambo dan Kala. Masing-masing memiliki ritual yang berbeda-beda. 

Lebih lengkapnya, wahyu kadewan tersebut berbunyi sebagai berikut: “Ini ketetapan agama yang dikuasakan kepadamu, menguasai alam, penguasa yang menjadi penegak kebenaran. Hai Kano, semua orang harus tunduk dan tunduk kepada agamanya serta melaksanakan pernata agama yakni penghulu, identitas diri, cara beribadah, laku, tapa, hari raya, larangan, wewenang, wasiat, kematian, perbuatan dan jalan kemuliaannya. 

Ingatlah Panata Gama ini: Balaputra Dewa adalah putra Raja Samaratungga yang beragama Budha. Ibunya bernama Dewi Tara. Prasasti Ratu Baka tahun 856 menyebutkan bahwa telah terjadi perebutan kekuasaan yang merupakan tuntutan atas tahta kerajaan di Jawa Tengah dari Balaputra Dewa terhadap Rakai Pikatan. Adapun yang menjadi sebab tuntutan tersebut kemungkinan besar ialah Balaputra merasa irihati melihat kekuasaan dan pengaruh Rakai Pikatan di Jawa Tengah setelah Samaratungga wafat. 

Karena Rakai Pikatan berasal dari dinasti Sanjaya, maka Balaputra tidak setuju. Balaputra merasa berhak atas tahta kerajaan di Jawa Tengah, karena dia anak laki-laki Samaratungga yang berdarah Syailendra. Dalam peperangan tersebut pihak Balaputra mengalami kekalahan, tetapi dia tidak terbunuh dan dalam posisi diburu oleh Rakai Pikatan. Kemudian ia melarikan diri ke Sumatera, akhirnya ia menjadi raja di Sriwijaya. 

Balaputra Dewa akhirnya bermukim di Palembang. Dia mendirikan Kerajaan Sriwijaya. Sengketa di Tanah Jawa berakhir dengan jaya di Swarnadwipa. Sriwijaya pun kelak dapat tampil sebagai kerajaan maritim yang gemilang dan kondang. Pedoman yang digunakan oleh Balaputra Dewa dalam menjalankan roda pemerintahan adalah lima perilaku terpuji. 

Istilah Borobudur berasal dari kata bara = biara, budur = tinggi. Bangunan Candi Borobudur terdiri dari tiga bagian yaitu: kamadhatu, rupadhatu, dan arupadhatu. Kamadhatu, Merupakan alam bawah, tempat bersemayamnya manusia lumrah. Secara simbolis mengandung arti tingkat manusia dalam usia kanak-kanak, yang masih tergoda oleh kesenangan duniawi, bermain-main, hedonis rekreatif, dan egoistis. 

Rupadhatu, Merupakan alam antara tempat bersemayamnya manusia yang sudah mencapai tingkat kedewasaan. Manusia yang bertanggung jawab, sungguh-sungguh berusaha untuk mencapai cita-cita, seimbang, dan humanistik. Arupadhatu, Merupakan alam atas tempat bersemayamnya manusia yang telah mencapai kesempurnaan hidup, insan kamil, makrifat dan waskitha ngerti sadurunge winarah.

Candi Borobudur terletak di Magelang dengan dikelilingi gunung Merapi, Merbabu, Sumbing, Sindoro dan Menoreh. Di dekat juga terdapat Candi Pawon, Candi Mendut dan Candi Sewu. Ketiga candi ini adalah warisan Dinasti Syailendra yang memerintah antara tahun 778-abad 10 di Jawa Tengah. Dinasti Syailendra berasal dari India.

Pembagian strata dalam Candi Borobudur itu melambangkan cipta, rasa dan karsa manusia. Istilah cipta dalam budaya Jawa populer dengan adanya nama Begawan Ciptaning, yaitu nama tokoh Arjuna ketika sedang melakukan tapa brata di Wukir Indrakila. Juga istilah keplasing cipta yaitu ketajaman nalar menerobos batas ruang dan waktu.

Istilah cipta lebih dekat pada aspek logika, penalaran dan kebenaran. Olah pikir sama dengan olah cipta, yaitu kegiatan pemikiran untuk memperoleh kebenaran ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Kemajuan teknologi selalu didukung oleh kebenaran ilmiah dan logis. Kalau tidak sesungguhnya perkembangan teknologi itu tidak jauh dari ilmu pertukangan saja. Di Indonesia, lembaga pendidikan formal dari SD sampai Perguruan Tinggi dituntut untuk mengembangkan keilmiahan dengan cara menemukan metode baru dalam setiap harinya.

Rasa dalam budaya Jawa mendapat apresiasi yang cukup tinggi. Adanya istilah bawa rasa, angon rasa, rasa pangrasa menunjukkan orang Jawa sangat peduli dengan aspek perasaan. Dalam istilah kefilsafatan rasa dekat dengan konsep estetika. Menjaga perasaan berarti menghormati batin orang lain agar tidak sakit hati dan terluka.

Pikiran, ucapan dan tindakan yang selalu angon rasa berarti berhati-hati terhadap apapun produk ucapan dan sikap, jangan sampai mengganggu perasaan orang lain. Orang yang egois dan materialis sulit sekali memahami perasaan orang lain. Tentu saja, sikap yang kurang memper-hatikan orang lain akan membuat persahabatan menjadi mudah renggang. Persaudaraan yang hanya dilandasi pikiran untung rugi biasanya tidak akan langgeng.

Karsa berarti kehendak, kemauan, keinginan atau tekad bulat untuk diwujudkan dalam kenyataan. Dengan demikian karsa berarti lebih dekat dengan nilai perjuangan. Dalam ilmu filsafat karsa erat kaitannya dengan nilai kebaikan.

Tokoh Bima dalam wayang, menggambarkan tekad kuat dan suci serta gigih dalam mencapai cita-cita. Lakon Bimasuci yang mengisahkan cita-cita Bima untuk mencari air kehidupan, dilakukannya dengan sepenuh tekad yang sangat patut diteladani. Setelah bertemu dengan yang dicari, kemudian Bima pun menyebarkan pengalamannya pada orang lain. Di Pertapaan Argakelasa ia membuka padepokan ilmu pengetahuan yang digunakan untuk menyebarkan ilmu kepada orang lain.

Kabupaten Magelang memiliki sejarah peradaban yang agung dan anggun. Kraton Pajang dipimpin oleh Sultan Hadi-wijaya menjadikan daerah daerah tertentu sebagai wilayah perdikan. Misalnya wilayah yang diapit Gunung Merapi, Gunung Merbabu, Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, Gunung Telamaya, Gunung Ungaran dan Gunung Menoreh, sebagai daerah perdikan yang memiliki hak-hak keistimewaan.

Sultan Hadiwijaya atau Joko Tingkir menyadari bahwa Naga Baru klinthing pernah melingkari gunung dengan ekor dan lidah. Kegiatan tepung gelang inilah asal mula nama Magelang.

Saat naik prau gethek yang berhulu dari gunung Merbabu Joko Tingkir atau Mas Karebet menghayati makna hidup. Kali Serang bermata air dari Gunung Merbabu, lantas mengalir ke wilayah Semarang, Salatiga, Boyolali, Grobogan, Kudus, Demak dan Jepara. Atas petunjuk Ki Ageng Banyubiru, Joko Tingkir mendapat kewibawaan di Kasultanan Demak Bintara. Kelak Joko Tingkir atau Mas Karebet menjadi raja di Kraton Pajang. Babad Tanah Jawi menyebut dengan

Tembang Megatruh

Sigra milir sang gethek sinangga bajul, 

Kawan dasa kang njageni, Ning ngarsa miwah ing pungkur, 

Tanapi ing kanan kering, Sang gethek lampahnya alon.

Naiknya Joko Tingkir atau Mas Karebet menjadi raja Pajang tak lepas dari jasa Ki Ageng Penjawi, Ki Ageng Pemanahan, Ki Ageng Juru Martani dan Ki Ageng Karotangan.

Daerah Magelang diserahkan oleh Sultan Hadiwijaya kepada Ki Ageng Karotangan. Beliau adik Ki Ageng Pemanahan. Kedua orang tokoh pendiri Mataram ini anak kandung Ki Ageng Enis yang sumare di Laweyan. Ki Ageng Enis anak Ki Ageng Sela. Sedang Ki Ageng Sela anak Ki Ageng Getas Pendawa. Adapun Getas Pendawa merupakan anak Lembu Peteng atau Bondan Kejawan yang menikah dengan Dewi Nawangsih.

Dalam sejarah Jawa Nawangsih adalah putra Ki Ageng Tarub yang menikah dengan Dewi Nawangwulan. Ki Ageng Tarub sendiri adalah putra Dewi Rasawulan yang menikah dengan Syekh Magribi atau Makdum Ibrahim. Dewi Rasawulan anak Bupati Tuban, Kanjeng Adipati Wilwatikta.

Sudah diketahui pula bahwa Adipati Wilwatikta adalah ayah Kanjeng Sunan Kalijaga. Dengan demikian Ki Ageng Karotangan masih satu darah dengan Sunan Kalijaga. Ki Ageng Karotangan sebagai ahli budaya, agama, seni, sastra, pertanian dan pemerintahan layak diberi tugas untuk membina wilayah Magelang. Untuk sementara pimpinan Magelang diserahkan kepada Adipati Mandaraka. Beliau anak Ki Ageng Karotangan yang lama diasuh oleh Ki Ageng Juru Martani.

Harap diketahui bahwa Juru Martani adalah tokoh utama Mataram yang tidak punya anak. Sehingga beliau cukup dengan mengasuh kemenakan-kemenakannya. Harapan ini terwujud karena semua anak didik Ki Ageng Juru Martani menjadi orang ternama. Misalnya Ngabehi Loring Pasar atau Danang Sutawijaya kelak menjadi raja Mataram pertama dengan gelar Panembahan Senopati. 

D.Sarana Pendidikan Patih Kerajaan

Dulu di daerah Paremono Muntilan Magelang dijadikan pusat pelatihan pejabat Mataram. Kecakapan, pengalaman, ketrampilan, keilmuwan seseorang sangat diperhatikan dalam menjalankan pemerintahan di Kerajaan Mataram. Warga keturunan dari daerah Magelang yang patut dikenang sepanjang masa adalah Patih Mandaraka dan Patih Sindureja. Kedua priyagung luhur ini pernah menduduki jabatan eksekutif kepatihan di kraton Mataram.

Baiklah kita tinjau sejenak asal usul Patih Mandaraka dan Patih Sindureja dalam perspektif sosiologis dan historis. Di Trojayan Paremono Mungkid Magelang sejarah Kepatihan Kraton Mataram dibicarakan oleh para trah keturunan pada hari Jum’at, 12 April 2019. Mereka adalah keluarga besar keturunan Ki Ageng Karotangan yang tinggal di Trojayan, Paremono, Mung-kid, Magelang. Dengan didukung oleh GKR Wandansari, pengageng kraton Surakarta Hadiningrat, kehidupan para leluhur dibahas dengan berbagai sudut pandang. Leluhur mereka telah memberi warisan adi luhung edi peni, yang wajib untuk dilestarikan.

Tokoh sentral yang mencapai puncak karir politik bernama Arya Sindurejo. Dari asal-usulnya Arya Sindurejo adalah putra Patih Mandaraka. Sedang Patih Mandaraka sendiri adalah putra Ki Ageng Karotangan. Beliau adik Ki Ageng Pemanahan. Sejak kecil Patih Mandaraka diasuh oleh Ki Juru Martani. Para pendiri kraton Mataram sungguh sungguh mendidik generasi penerus. Patih Mandaraka menjadi pejabat negara yang mumpuni, trampil dan berwawasan jauh ke depan.

Kerajaan Mataram tampil menjadi negara besar, wibawa dan disegani di seluruh kawasan Nusantara. Dalam sisi lain Ki Ageng Karotangan memiliki anak asuh yang bernama Rara Tuntang. Sebetulnya Rara Tuntang adalah anak Ki Ageng Saba. Sejak kecil diasuh oleh Ki Ageng Karotangan. Kelak Rara Tuntang diambil istri oleh Pangeran Radin, anak Pangeran Benowo. Jadi Rara Tuntang menjadi menantu Pangeran Benowo, keturunan Sultan Hadiwijaya raja Pajang. 

Perkawinan Pangeran Radin dengan Dewi Rara Tuntang menurunkan Dewi Mayangsari. Kelak putri ini menikah dengan Sri Susuhunan Amangkurat Agung. Permaisuri Dewi Mayangsari menurunkan Gusti Raden Mas Drajad atau Pangeran Puger. Nanti bergelar Sinuwun Paku Buwono I. Anak didik Ki Ageng Karotangan menurunkan raja besar, Sinuwun Paku Buwono naik tahta antara tahun 1708-1719. Ibukota Mataram saat itu di Kartasura.

Sedangkan dua putranya yakni Patih Mandaraka dan Sindurejo menjadi birokrat handalan di Mataram. 

Sebelum menduduki jabatan patih, Sindurejo pernah menjabat Bupati Tegal. Meninggalnya Ki Ageng Karotangan tahun 1703. Lima tahun sebelum Sinuwun Paku Buwono menjadi raja. Alangkah bahagianya, kalau ki Ageng Karotangan tahu bahwa cucunya menjadi raja Mataram. Sinuwun Paku Buwono I menikah dengan Kanjeng Ratu Mas Balitar, putri Bupati Madiun.

Sesungguhnya hubungan Kedu, Cilacap, Tegal, Pekalongan dan Semarang begitu sangat erat. Hampir semua Bupati Tegal pernah mengenyam pendidikan di Magelang. Turun-temurun pengetahuan tentang pemerintahan diajarkan di sekitar gunung Tidar.

Pertanian, perkebunan dan peternakan diberikan sebagai bahan pengajaran. Kelak para pemimpin mengerti arti penting ketahanan pangan. Tempat pendidikan ini menjadi terkenal di kawasan Nusantara. Lulusan Magelang tempo dulu bisa menjadi pemimpin yang handal, bermoral dan profesional.

Pendidikan Tata Praja di wilayah Magelang atas inisiatif dan sponsor Kanjeng Ratu Wetan, garwa prameswari Sinuwun Amangkurat Tegalarum. Fasilitas dan perlengkapan belajar mengajar disediakan dengan layak. Gedung, meja, kursi dan papan tulis disediakan. 

Semua biaya ditanggung oleh Kanjeng Ratu Wetan. Maklum beliau memiliki usaha mebel, ekspor impor kayu, pelayaran, semen dan perahu. Boleh dikatakan Ratu Wetan adalah pengusaha sukses. Perusahaan yang dikelola Kanjeng Ratu Wetan berpusat di daerah Banyumanik Semarang.

Sekedar diketahui bahwa Ratu Wetan pernah dididik dalam bidang niaga oleh Kanjeng Ratu Kalinyamat di Jepara. Sebagai cucu Sultan Hadiwijaya atau Joko Tingkir, Kanjeng Ratu Wetan diharapkan mampu tampil sebagai penerus kebesaran kraton Demak, Pajang dan Mataram. Kecerdasan, kelincahan, ketrampilan dan kecantikan Kanjeng Ratu Wetan tersohor di seluruh negeri.

Pantas sekali mendapat tempat terhormat di sisi Sri Susuhunan Amangkurat Agung. Peranannya di Kraton Mata-ram boleh dikatakan paling menonjol. Keputusan raja Amangkurat banyak berasal dari inisiatif Ratu Wetan. Usulan beliau didukung oleh modal dan pendanaan yang cukup berlimpah ruah.

Pernikahan Amangkurat Agung dengan Ratu Wetan telah melahirkan priyayi agung. Beliau adalah Gusti Raden Mas Drajad. Kelak bergelar Sri Susuhunan Paku Buwono I. Bertahta di Kraton Mataram Kartasura pada tahun 1708-1719.

Kerajaan Mataram semakin arum kuncara di bawah kepemimpinan Sinuwun Paku Buwono I. Bersama dengan sang prameswari, Kanjeng Ratu Mas Balitar, kerajaan Mataram menyelenggarakan program wajib belajar. Kanjeng Ratu Mas Balitar sendiri menulis kitab Serat Ambiya dan Serat Menak yang memadukan cerita Jawa, Arab dan Cina. Kerajaan Mataram Kartasura terkenal sebagai pengem-bangan ilmu pengetahuan.

Pengaruh trah Kanjeng Ratu Wetan meluas di daerah pesisir, Kedu, Banyumas, dan Tegal. Basis pengikut garwa prameswari ini terlalu kuat.

Prestasi gemilang ini berbuah pada solidaritas trah Mataram sampai saat ini. Jasa besar ini perlu dikenang dan diwariskan. Magelang menjadi daerah perdikan, menjadi istimewa saat Sinuwun Paku Buwono memimpin Kraton Mataram Kartasura. Magelang diberi nama Kebon dalem yang membentang dari Potrobangsan hingga Banyumas. Tanaman kopi, buah-buahan, teh tumbuh subur. Sayur mayur beraneka ragam jenisnya. Semua memberi kemakmuran negeri.

Status Magelang menjadi daerah administrasi pemerintahan terjadi pada tahun 1818. Beliau diangkat oleh Sinuwun Paku Buwono IV, raja Surakarta. 

Pimpinan daerah adalah Mas Ngabehi Danukromo dengan gelar Kanjeng Raden Tumenggung Danuningrat. Sebagai kota tua, hari jadi Magelang ditetapkan pada tanggal 11 April 907 Masehi. Sistem pemerintahan saat itu dipimpin oleh Raja Balitung, yang disebut dalam Prasasti Mantyasih. Kabupaten Magelang digambarkan sebagai negeri yang unggul, agung, makmur, aman damai. Daftar Bupati Magelang yang ber budi bawa laksana. 

1.Tumenggung Danuningrat I, 1812-1826. Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono IV, raja Surakarta Hadiningrat.

2.Tumenggung Danuningrat II, 1826-1862. Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono VI, raja Surakarta Hadiningrat.

3.Tumenggung Danuningrat III, 1862-1878. Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono IX, raja Surakarta Hadiningrat. 

4.Tumenggung Danukusumo, 1878-1908. Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono IX, raja Surakarta Hadiningrat.

5.Tumenggung Danusugondo, 1908-1939. Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono X, raja Surakarta Hadiningrat.

6.RAA Sastrodiprojo, 1939-1945. Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono XI, raja Surakarta Hadiningrat.

7.RAA Said Prawirosastro, 1945-1946. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.

8.R Yudodibroto, 1946-1954. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.

9.MG Arwoko, 1954-1957. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.

10.Sugeng Sumodilogo, 1957-1960. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.

11.Drs. Adnan Widodo, 1960-1967. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.

12.Drs. Ahmad, 1967-1979. Dilantik pada masa pemerin-tahan Presiden Soeharto.

13.drh. Supardi, 1979-1983. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.

14.Drs. Sulistiyo, 1983-1984. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto

15.Muhammad Solichin, 1984-1994. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.

16.Kol. Kardi, 1994-1999. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.

17.Drs. Hasyim Affandi, 1999-2004. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden BJ Habibie.

18.Ir. Singgih Sanyoto, 2004-2014. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Megawati.

19.Zaenal Arifin, 2014-sekarang. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo.

Gunung Merapi dan Merbabu terletak di sebelah timur Magelang. Kedua gunung ini berdiri kokoh gagah nan indah. Lingkungan pegunungan Merapi Merbabu mengandung kekayaan yang berlimpah ruah. Di antara kaki Gunung Merbabu dan kaki Gunung Merapi yang berdiri berjajar, ada gunung kecil yang disebut dukuh Candhi. Jalannya menanjak hingga tiba di puncak. 

Di situ mereka melihat kuburan tanpa cungkup, hanya diteduhi pohon cempaka. Kuning putih bunganya bertaburan semerbak harum mewangi. Kuburan itu bercahaya menyinari alam sekitar. Menurut cerita orang-orang tua, itu makam raja Majapahit, Sang Prabu Brawijaya V. 

Pemandangan indah permai. Di sebelah utara, terlihat air Rawa Pening luas, di tengah telaga terlihat pulau mengapung menurut tiupan angin, ke timur, barat, ke tengah ke utara serta ke selatan. Tidak ada tumbuh pohon kayu yang besar. Yang terlihat hanyalah rumput katang yang berwarna hijau menarik hati. 

Keberadaan Gunung Tidar lebih dilihat dari perspektif kultural spiritual. Sebagian orang mengartikan Gunung Tidar dengan akronim mati sadar. Dengan harapan orang selalu ingat ajaran Syekh Subakir, agar tetap eling lan waspada.

Oleh: Dr. Purwadi, M.Hum. Ketua Lembaga Olah Kajian Nusantara LOKANTARA, Hp: 0878 6440 4347

Tidak ada komentar:

Posting Komentar