Kamis, 07 Januari 2021

SEJARAH PUSAKA KARATON SURAKARTA MAESA KETURUNAN KYAI SLAMET

A. Maesa dalam Sejarah Peradaban Jawa.

Pusaka Karaton Surakarta Hadiningrat beragam wujudnya. Tari Bedhaya Ketawang sangat sakral. Bersamaan dengan tingalan jumenengan raja. Pusaka lain yang penting adalah Maesa keturunan Kyai Slamet. 

Kerbau bule keturunan Kyai Slamet bertempat di Pengging Banyudono Boyolali. Sebagai pamong ditugaskan KRA Ahmadi Hadinagoro anggota Paguyuban Kawula Karaton Surakarta Hadiningrat atau PAKASA Cabang Boyolali. Tanggal 20 Desember 2020 tim Lembaga Olah Kajian Nusantara LOKANTARA datang di Pengging. Sekedar turut berpartisipasi untuk ngalap berkah kagungan dalem Karaton Surakarta Hadiningrat. 

Tim LOKANTARA didampingi oleh Tim PAKASA Nganjuk. Ketua Pakasa Nganjuk, KRT Sukoco Madunagoro berkenan memimpin rombongan. Ketua cabang LOKANTARA Nganjuk, Ida Sri Murtini juga hadir. Kehadirannya dalam rangka menjaga tradisi Jawa yang adi luhung. 

Gagasan pelestarian budaya ini didukung penuh oleh ketua Pakasa Jepara, KRT Bambang Hadipuro. Demi budaya Kraton Surakarta, warga Pakasa Jepara dan Banjarnegara kerap berkegiatan seni. Juga ritual di Parangkusumo dan Pajimatan Imogiri. 

Keberadaan Kyai Maesa berhubungan dengan ritual sosio historis. Perlu kiranya diberi uraian tentang makna maesa atau kebo. Dikaitkan dengan seluk beluk tokoh historis, supaya terdapat pemahaman yang utuh sepuh. Unsur kebudayaan ini sudah lama berjalan. Tentu memiliki akar yang sangat kuat. 

Kata maesa berarti kerbau. Bahasa Jawa ngoko menyebut dengan istilah kebo. Peradaban Jawa mengenal maesa atau kebo yang digunakan untuk nama tokoh sejarah.

Pada tahun 1222 Kerajaan Singosari berdiri. Tokoh terkenal yang tampil yakni Kebo Ijo. Dari Tumapel ke Singosari telah mewarnai sejarah gemilang. Pada masa pemerintahan Kertanegara Kerajaan Singosari menjadi negeri besar makmur berwibawa.

Penggunaan Kebo pada jaman Majapahit terjadi tahun 1423. Namanya Kebo Marcuwet, seorang bangsawan Klungkung Bali yang memimpin Kadipaten Blambangan. Kebo Marcuwet memiliki pusaka tanduk kerbau. Sebagai oposisi kerajaan Majapahit, Kebo Marcuwet ditaklukkan oleh Joko Umbaran yang punya aji gada wesi kuning. Waktu itu Kerajaan Majapahit diperintah oleh raja putri Ratu Kencono Wungu.

Panglima Kasultanan Demak Bintara bernama Ronggo Tohjoyo atau Maesa Jenar. Setelah pensiun dini dari dinas militer tahun 1507, Maesa Jenar melakukan tapa ngrame. Di mana saja Maesa Jenar siap sedia memberi pertolongan. Barisan ilmu hitam yang mengganggu keamanan negara berhasil dilumpuhkan. Penjahat yang memeras masyarakat diberantas oleh Maesa Jenar. Dia selalu muncul sebagai pahlawan besar. Maesa Jenar memang sakti mandraguna.

Ilmu kanuragan jaya kawijayan diperoleh dari Kebo Kanigoro, Kebo Kenongo dan Lembu Amiluhur. Ketiganya adalah putra Adipati Sri Makurung Handayaningrat, Bupati Pengging. Adipati Handayaningrat menikah dengan Ratu Pembayun, putri Sinuwun Prabu Brawijaya V raja Majapahit. Bangsawan Pengging ini menurunkan Joko Tingkir atau Mas Karebet. Kelak Joko Tingkir tahun 1546 menjadi raja Pajang. Bergelar Sultan Hadiwijaya Kamidil Syah Alam Akbar Panetep Panatagama.

Kebo Kanigoro tokoh guru Kejawen yang waskitha ngerti sakdurunge winarah. Guru kebatinan ini menyebarkan ilmu sejati di lereng Gunung Merbabu. Pengajaran ngelmu kasampurnan dengan tata cara gagrag Pengging. Ilmunya meliputi kawruh satataning panembah.

Sedangkan Kebo Kenongo dipandang sebagai tokoh politik kerakyatan. Ayah Joko Tingkir ini terbiasa hidup mandiri. Bertani di sawah, beternak dan berkebun diusahakan dengan sungguh sungguh, agar tidak bergantung pada kekuasaan. Pengikut Kebo Kenongo lintas batas. Terdiri dari para guru spiritual, penghayat Kejawen dan penggerak sosial.

Para murid Syekh Siti Jenar ini begitu solid membangun jaringan sosial. Tampil Ki Ageng Butuh, Ki Ageng Selo Ki Ageng Banyubiru, Ki Ageng, Pring Apus, Ki Ageng Ngerang, Ki Ageng Sobo, Ki Ageng Karanglo. Kiprah mereka menjadi embrio tumbuhnya aliran kejawen.

B. Pusaka Maesa Keturunan Kyai Slamet.

Atas lilah ketua Lembaga Dewan Adat Karaton Surakarta, GKR Dra Wandansari Koes Moertiyah M.Pd, kunjungan budaya terselenggara. KRT Sukoco Madunagoro dan KMT Ida Madusari beserta rombongan Pakasa Nganjuk diterima dengan hangat oleh pengurus Pakasa Kabupaten Boyolali. 

Pamong Pakasa Boyolali bernama Kanjeng Teguh Hadinagoro hendak berdialog di Pesanggrahan Pracimoharjo. Letaknya di desa Paras Cepogo Boyolali. Program antar Pakasa terjalin. Pakasa Nganjuk dan Boyolali merintis kegiatan bersama. 

Minggu 20 Desember 2020 ini hari bersejarah. Adapun pembahasan mengenai Kyai Slamet merupakan program khas Pakasa Boyolali. Kepercayaan Kraton pada pengurus Pakasa Boyolali merupakan kemuliaan. Berkah yang menjadi anugerah. 

Pemeliharaan Maesa keturunan Kyai Slamet memiliki arti filosofis yang dalam. Arti kata slamet berarti selamat. Istilah lain slamet yakni wilujeng, rahayu, widada, basuki, sugeng. Kebo Kyai Slamet mengacu pada tujuan keselamatan lahir batin.

Masyarakat percaya bahwa dengan menghormati Kyai Slamet hidupnya selalu ayem tentrem sejahtera. Keluarga lancar rejeki. Warga sehat kuat. Penghormatan kepada Maesa keturunan Kyai Slamet menjadi tradisi yang turun tumurun.

Peranan pelopor Pakasa terasa betul. Misalnya Kanjeng Surojo Hadinagoro, pamong Pakasa yang bersemangat. Dari alur keluarga masih keturunan Trah Kepatihan. Aktif dalam Forum Budaya Mataram, Musium dan benda purbakala. Dinamika budaya Boyolali disertai dengan pengkajian, penelitian dan penghayatan. Di tangannya bentuk tradisi dan modernisasi berjalan serasi.

Lapangan puluhan Pengging tempat menggembala Kebo Bule. Kanjeng Ahmadi bekerja tiap hari. Berdarma bakti pada Karaton Surakarta Hadiningrat. Dengan keyakinan mendapatkan berkah. Sebuah keyakinan yang sudah terbukti kebenaran. 

Maesa Kyai Slamet selalu mendapat penghormatan dari para raja. Empu Supo jaman Karaton Pengging diperintah oleh Prabu Kusumo Wicitro tahun 423. Empu Supo turut serta mengasuh Kyai Maesa Slamet. Atas dhawuh raja Pengging. 

Pujangga Kyai Yasadipura diberi wasiat oleh ayahanda Bupati Padmonagoro. Pusaka Kyai Slamet memberi berkah pada Kawula dalem karaton Surakarta Hadiningrat. Juga pujangga Raden Ngabehi Ranggawarsita selalu memberi penghormatan yang tinggi pada pusaka Kerajaan.

Jumlah Kyai maesa yang diasuh KRA Ahmadi Hadinagoro sejumlah 11 ekor. Terdiri dari jsntan dan betuna. Kategori jantan yaitu Kyai Pahang, Kyai raji, Kyai jalu, Kyai jlitheng. Kategori betina yakni Nyai Pon Sepuh, nyai inem, nyai nora, nyai iyeng, nyai melati cemeng, nyai pon muda, nyai wanti.

Jabatan KRA Ahmadi Hadinagoro di  karaton Surakarta Hadiningrat yaitu Abdi Dalem Srati maesa ing Pengging. Ada lagi yang bertugas di Cepogo lereng Gunung Merapi dan gunung Merbabu.

Tiap malam Jumat Pahing pusaka  Maesa keturunan Kyai Slamet dikirap. Rute kitab dari kandang menuju alun Alun Pengging. Berakhir di Masjid Cipto Mulyo. Pamong berpakaian Srati. Peserta dari berbagai kawasan.

Menurut KRA Ahmadi Hadinagoro Kyai Maesa keturunan Kyai Slamet mendapat sesaji dan wilujengan. Malam Jumat Pahing berdoa bersama dipimpin abdi dalem ulama.

Keterangan abdi dalem Srati dilanjutkan di Pesanggrahan Pracimoharjo Paras Boyolali. Sekaligus memantau perkembangan gunung Merapi dan Gunung Bibi. Lahar dan lava gunung Merapi terlindungi oleh Wibawa gunung Bibi. Gunung Bibi dianggap lebih sepuh wutuh tangguh dan berpengaruh.

Pusaka maesa keturunan Kyai Slamet memberi berkah pada masyarakat. Karaton Surakarta Hadiningrat menjadi penjaga keselarasan jagad gumelar dan jagad gumulung.

Oleh Dr Purwadi M.Hum. Ketua Lembaga Olah Kajian Nusantara LOKANTARA Hp 087864404347.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar