Prasaja berarti terbuka, apa adanya, sesuai dengan kebutuhan. Urip prasaja selalu mengutamakan keselarasan antara keinginan dan kebutuhan.
Ekonomi prasaja diterapkan oleh Embok Yatinem demi menjaga kepercayaan. Usaha bisa lebih lancar. Beban pikiran terasa lebih ringan.
Dalam lantunan sindhenan wayang purwa terdapat wulang wuruk. Kerap didengar lewat siaran radio.
Kinanthi.
Padha gulangen ing kalbu,
Ing sasmita marih lantip,
Aja pijer mangan nendra,
Kaprawiran den kaesthi,
Pesunen sariranira,
Cegah dhahar lawan guling.
Tembang Kinanthi petikan Serat Wulangreh karya Sinuwun Paku Buwana IV itu merupakan intisari ajaran sufisme kejawen. Mengajarkan praktek urip prasaja.
Urip samadya dan mencegah makan tidur yang berlebihan adalah prinsip ekonomi yang benar benar dipegang oleh Embok Yatinem. Kepada siapa saja Embok akan menerapkan efektivitas dan efisiensi ekonomi.
Apalagi dalam soal bisnis, tak ada istilah kawan dan saudara. Semua diberlakukan disiplin. Bahkan untuk belanja anak anaknya pun, Embok akan sangat ketat.
Anggaran ketat ini ternyata membawa ketahanan ekonomi pada keluarga saya. Tak ada kamus dikejar kejar hutang oleh orang. Hutang amat dihindari oleh Embok.
“Lebih baik lapar daripada golek utangan.”
Kata Embok berulang-ulang. Ini harga mati.
Orang akan bebas dan tak ada keraguan sedikit pun terhadap Embok dalam soal uang. Banyak tetangga yang titip uang pada Embok Yatinem.
Apabila ada tanggungan, Embok ingin segera membereskan. Kalau punya hutang, ingin cepat-cepat melunasi. Jika sampai ditagih, Embok langsung berusaha sekuat tenaga untuk bertanggung jawab. Tidak ada sedikit pun terdapat niat untuk menunda nunda, mengulur ulur.
Itu sudah menjadi tradisi Embok. Relasi bisnis Embok semua sudah membuktikan. Bagi saya tentu membanggakan. Spirit dan mental terhormat ini sudah menjadi darah daging bagi keluarga saya.
Mungkin juga ini ditanamkan dalam pendidikan anak-anaknya. Beliau amat ketat dan peduli terhadap disiplin belajar saya. Tak ada ampun bila belajar saya merosot prestasinya. Sebab musababnya akan beliau tanyakan. Tentu saja saya ketakutan.
Guyon maton adalah senda gurau, berkelakar, bersuka ria dengan melihat empan papan. Bersenda gurau dengan tetap menjaga hak dan martabat orang lain akan menciptakan suasana gembira dan segar. Guyon maton menghindari hinaan dan celaan.
Begitu Embok menasehati saya.
Embok Yatinem amat suka berkelakar. Di rumah saya setiap hari terdengar gelak tawa.
Kadang kadang sampai ngakak, terbahak bahak. Gojlokan segar benar-benar membikin akrab. Kenyataannya banyak sahabat Embok yang senang berkawan. Tak ada rasa ewuh pekewuh. Seolah-olah mereka tak ada jarak dengan Embok.
Rumah saya cukup strategis posisinya. Tepat di pinggir jalan raya dan jalan menuju sawah. Sebelahnya ada sumur bur tempat pemandian umum. Jadi hampir 24 jam mesti ada orang yang lalu lalang.
Belum lagi angkutan pedesaan yang lewat di depan rumah. Mereka berhenti di depan rumah. Mereka berhenti untuk beli rokok dan bensin. Di sela-sela pergaulan itu, Embok pintar bikin guyonan.
“Mampir ngombe dhisik, Te.”
Panggil Embok pada Ketua RT Darjan.
“Mengko wae, aku isih nyiram brambang.”
Sebagai bisnisman, taktik Embok ini sangat tepat. Banyak pelanggan yang kerasan berhubungan dengan Embok. Orang ke sawah yang panas, pulangnya haus, mampir dulu untuk mengambil kendhi.
Mak cles, begitulah rasa kendhi alami. Embok benar benar pintar membuat hati orang senang.
2. Mandhor Alas.
Ingat mandhor Gendir?
Watak kemaruk terhadap jabatan menular kepada rekan seprofesinya, mandhor Godril. Nama sebenarnya Suparno. Dijuluki Godril karena kalau sedang ngibing tayuban dia suka gendhing Godril.
Meskipun gendhing Godril enak didengar, tapi jogetnya mandhor Godril tidak karu karuan. Sebab dia kerap ndem-ndeman sampai teler. Jika sudah mabuk, jogetnya biyayakan. Sekali tempo ngambung kledhek. Mak sengok!!!
“Ciu gambar manuk, aku melu apa entuk.”
Mak sengok!
Kledhek yang pipinya diserobot oleh Suparno Godril pun cuma mesam mesem. Kledhek Jumikem dari Ngrajek itu terus saja nembang.
“Ciu sak gelase, aku melu selawase.”
Mak sengok!
Lelagon yang merupakan senggakan dari gedhing Uler Kambang ini menambah Godril semakin sembranan, edane saya ndadi.
Pertunjukan Langen Tayub Sarwo Laras selesai menjelang pagi.
Meskipun ngantuk Godril harus segera piket, jaga alas di protelon Rondo Kuning. Sesekali dia angop. Uhaa.....!
Tampak gigi emasnya.
Siang itu hawa panas sekali. Bulan Oktober merupakan puncak dari panasnya musim kemarau.
Mbah Bardan sahabat dan guru spiritual Embok yang berjualan gerabah, bul, genthong, kuali. Kalau jalan pelan sekali, karena kakinya kena sakit polio. Dia tampak istirahat di bawah pohon asem. Keringatnya gembrobyos. Kadang-kadang berkipas dengan capil cekuthuknya.
“Hai, Bardan.”
“Dalem, Pak Godril.”
“Ke sini dulu, kita ngombe ngombe. Ayo makan.”
“Tumben mandhor Godril ramah dan murah.”
Bardan berkata dalam hati. Bardan pun segera menghampiri mandhor Godril yang sedang duduk duduk di warung. Kemudian Bardan disuruh makan sego pecel. Lauk pauknya tempe tahu dan rempeyek. Lahap betul. Secangkir kopi sudah dihidangkan.
“Bardan, saya akan jaga hutan lagi. Saya tadi makan dua pincuk. Lauknya rempela ati, minumnya susu coklat. Tolong dibayari ya.”
Godril bilang begitu sambil glegeken.
“Hoek, hoek, hoek.”
“Nuwun sewu, Pak Godril. Kok saya disuruh bayar. Dagangan saya baru laku separo. Jadi saya belum dapat untung.”
Mbah Bardan tampak kaget.
“Embuh ora weruh. Setiap hari kamu kan lewat jalan alas yang saya jaga ini. Jadi ini merupakan ongkos pajak. Tahu?”
Ucap Godril sambil ngloyor begitu saja.
“Mbah Bardan, Pak Godril itu memang dablek. Sing sabar kemawon.”
Kata Lik Darsini, pemilik warung.
“Iya Lik Darsini.”
Bardan pun mengalah. Daripada harus ribut. Tawakkal dia tinggi sekali.
“Gusti Allah ora sare.”
Kata Mbah Bardan sambil menarik napas panjang.
Ibarat pagar makan tanaman. Godril sering mengambil barang inventaris kantor. Lama kelamaan kebiasaan buruknya ini ketahuan juga. Kini mandhor Godril seperti wayang tanpa gapit, sudah tak bertugas lagi.
”Dia dipecat karena kasus uang kayu sepanyol”
Kata Lik Darsini.
“Opo kuwi, kok ada kayu sepanyol?”
Tanya Mbah Bardan.
“Separo nyolong.”
Di usianya yang lanjut Suparno Godril bekerja angon dua ekor wedus. Bajunya gantung kepuh dan compang camping. Untunglah Mbah Bardan yang hidupnya sudah makmur itu tetap ramah kepada Suparno Godril.
3. Sambang Sambung Tulung Tinulung.
Embok Yatinem suka mengajak para tetangga untuk jalan jalan. Kalau pergi ke luar kota, Embok berusaha untuk membawa rombongan.
Transportasi, akomodasi, dan konsumsi semua yang menanggung Embok Yatinem. Mereka yang terlibat biasanya pernah berjasa dengan Embok. Itu merupakan wujud dari rasa yang ingin membalas budi baik.
“Agar selalu mengingat labuh labet, jasa baik orang. Sebisa bisanya mau memperlihatkan dengan ucapan terima kasih.”
Embok berpesan kepada anak anaknya.
Kebiasaan ini sekaligus sebagai sarana untuk rekreasi bersama. Tak usah mahal-mahal, yang penting kebahagiaan bisa merata. Orang lain dapat merasakan.
"Andum kabagyan, yang berarti berbagi rasa senang, itu mudah dilakukan. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing, saeyeg saeka praya."
Kata Embok. Sambil mengunjungi saya dan Wuragil di Yogya, Embok mengajak tetangga kanan kiri ke Borobudur, Kraton, Malioboro, Prambanan dan Gembira Loka.
Dengan biaya yang tak memberatkan, acara rekreasi bareng itu berjalan mulus, tanpa ada persoalan yang berarti. Kebiasaan Embok Yatinem kini saya lanjutkan. Saya sering mengajak kawan kawan untuk rekreasi kecil kecilan dengan kemampuan yang terjangkau, sekedar golek lelipuring ati.
Rasa sosial Embok Yatinem itu tinggi sekali. Malah boleh dibilang di atas rata-rata. Tak pandang siapa pun orangnya akan mendapat perlakuan yang layak dan istimewa.
Rumah saya penuh dengan orang setiap hari. Tidak ada batas jam tamu. Kapan pun datang akan diterima dengan senang hati. Hilir mudik tiada henti. Mereka betah ngobrol ngalor ngidul sesuka hati. Tak ada yang melarang. Semua pasti merasakan keterbukaan keluarga saya.
Rasa ewuh pekewuh, sungkan dan ragu pasti sirna bila berhubungan dengan Embok. Sudah menjadi tradisi yang kuat, bila ada orang yang sedang duduk-duduk Embok lantas membuat wedang kopi. Ini bukan untuk tamu resmi. Siapa saja yang berdiskusi di pekarangan saya akan disuguh oleh Embok dengan wedang kopi.
Apabila jumlahnya cukup banyak dan dalam suasana informal, kopinya diwadahi jembung atau rantang. Masing masing dipersilakan nyidhuk sendiri. Suasana bertambah mat dan gayeng sekali.
Embok kemudian tiduran di sekitar orang yang sedang jagongan itu, dengan nggelar klasa. Semua juga maklum. Suasana santai dan egaliter.
Betapa indahnya kehidupan Embok bersama jaringan sosialnya itu. Mereka kompak, rukun dan saling menghargai. Terhadap Embok Yatinem mereka amat sayang. Di antara mereka telah terjalin hubungan batin yang begitu lekat dan erat.
Sebagai anak, saya akan meneruskan metode menggalang solidaritas sosial yang dicontohkan Embok dengan cara sambang, sambung, srawung, tulung tinulung.
4. Sepeda Onthel Rangsang Bumi.
Kendaraan penting untuk kelancaran jalan. Saya mempunyai sepeda othel yang bernama Kanjeng Kyai Rangsang Bumi.
Kereta angin ini berjasa mengantar ke mana mana. Begitu tamat dari SMA, sepeda ini saya bawa ke Yogya dengan dinaikkan sepur.
Dengan nitih Kyai Rangsang Bumi ini, saya pernah mengajak Embok keliling kota Yogyakarta. Sayang sekali, pada tahun 1993 sepeda kesayangan ini hilang dicuri orang.
Kebangeten tenan. Sepeda onthel elek saja kok ada yang mau nyolong. Selamat berpisah Kanjeng Kyai Rangsang Bumi. Kamu tegel betul meninggalkanku.
Tangis hati saya tersedu-sedan!
Setelah kepergian Kanjeng Kyai Rangsang Bumi, kawan-kawan satu kelas di Pascasarjana urunan membelikan sepeda onthel lagi buat saya.
Sepeda Baru ini saya beri nama Ratu Adil Heru Cokro yang hingga kini masih kuat dan kokoh untuk mengantar saya ke mana mana. Rupa rupanya maling takut kuwalat untuk nyolong lagi karena wibawa Sang Ratu Adil.
Dari sekian banyak jenis transportasi, sepeda onthel menawarkan berbagai keunggulan. Di antaranya yaitu sepeda onthel tidak mengeluarkan polusi dan pencemaran lingkungan yang bisa mengganggu kesehatan masyarakat. Berapa saja jumlah sepeda onthel tidak akan mengotori udara.
Mahmudi yang kini gemar menulis buku kejawen suka komentar begitu. Keuntungan lain dari kendaraan sepeda onthel adalah sebagai sarana olah raga yang mudah, murah, meriah, dan ramah. Sepeda onthel sejak dulu kala mudah ditemui di mana mana.
Kalau ada suku cadang yang rusak, untuk menggantinya pun tidak terlampau sulit dilakukan. Bentuknya memang relatif sederhana, sehingga untuk memperbaiki onderdil yang sudah aus hampir setiap orang dapat melakukan.
Secara ekonomis harga sepeda onthel sangat murah, sehingga tiap-tiap orang pasti sanggup membeli. Dari sepeda onthel yang bentuknya sederhana sampai sepeda onthel yang bergaya mewah, harganya hampir terjangkau oleh semua lapisan sosial.
Belanja sepeda onthel tak akan begitu mengganggu anggaran rumah tangga. Saat ini sebenarnya sepeda onthel telah menjelma sebagai kendaraan yang moderat dan merakyat. Ditinjau dari segi kemeriahan tentu saja sepeda onthel tidak kurang meriahnya.
Alfan Faizin yang suka diskusi tentang peradaban juga berkata demikian. Bisa dibayangkan dalam suasana santai, orang dengan dampyak dampyak mancal sepeda onthel. Disana gelak tawa dan senda gurau akan menghiasi jalan.
Masing masing orang akan merasakan suasana senasib dan seperjuangan. Demokratisasi sepeda onthel mesti bisa ditiru oleh demokratisasi sosial, politik, dan ekonomi. Ternyata proses demokratisasi dapat dimulai melalui naik sepeda onthel yang tampaknya kecil, namun sungguh bermakna yang sangat dalam.
Keramahan sepeda onthel terletak dari rendahnya tingkat resiko. Harus diakui bahwa sepeda onthel jauh dari mara bahaya, karena laju kecepatannya masih di bawah standar mesin. Dibanding dengan kendaraan bermotor masih minim sekali kecelakaan yang ditimbulkan oleh sepeda onthel. Maka tidak berlebihan bila sepeda onthel termasuk sarana transportasi yang betul betul ramah.
Begitu penjelasan Prof. Dr. Suhardi, Guru Besar yang setiap hari mengayuh sepeda onthel. Sepeda onthel yang mampu menampakkan citra mudah, murah, meriah, dan ramah itu barangkali yang menjadikan bangsa-bangsa yang sudah sangat maju tetap melestarikan eksistensi transportasi sepeda onthel.
Di Eropa, Amerika, Korea, Cina, dan Jepang biasa sekali warganya naik kendaraan sepeda onthel. Pagi Sore mereka menggunakan sepeda onthel sebagai alat transportasi.
Tak ada aura rendah diri terhadap kendaraan sepeda onthel.
Ganjar yang telah lama hidup di Jepang tampak sekali jengkel.
Kita bisa memahami fenomena sepeda onthel di negara maju. Berhubung teknologi sudah berkembang pesat, maka perubahan desain dan mode tidak terlampau mengagetkan.
Penemuan aneka ragam teknologi menjadi barang biasa. Tiada kemewahan dalam hal teknologi. Justru mereka pelan pelan kembali ke alam. Semakin asli sifat alamiahnya, semakin tinggi gengsinya.
Berbeda jauh dengan bangsa kita. Teknologi di negeri ini relatif baru. Orang akan merasa gumun setahun jimbleng serendheng dengan kehadiran teknologi. Baik itu teknologi transportasi, komunikasi maupun informasi. Masing masing pihak akan pamer dengan benda benda teknologi yang dimiliki.
Meskipun berasal dari membeli, orang akan tetap merasa bangga. Bangga karena termasuk orang berada yang mampu membeli. Apalagi kemampuan daya beli yang memang tidak merata, maka kepemilikan terhadap teknologi merupakan sebuah prestasi dan prestise.
Komersialisme benda benda teknologi berpangkal tolak dari paham tersebut. Orang akan merasa berharga, kajen keringan dan dihormati bila bisa memiliki dan membeli. Soal produktivitas dan kreativitas sama sekali bukan menjadi faktor penentu.
Asal bisa memiliki dan membeli orang akan diperhitungkan oleh pihak lain. Kenyataannya dalam masyarakat kita memang begitu.
Tapi keyakinan tersebut pelan-pelan akan bergeser, seiring dengan semakin banyaknya orang yang mampu memiliki dan membeli.
Kata Sarjono yang gregeten sama kapitalisme global.
Kalau saat ini keberadaan sepeda onthel di negeri ini semakin berkurang penggemarnya, itu sebuah proses yang wajar. Untuk sementara waktu, orang ingin mencicipi enaknya kendaraan bermesin.
Bermacam macam modifikasi transportasi sedang membanjiri jalan jalan. Mereka adalah sejenis OKB atau Orang Kaya Baru yang baru saja berubah status. Biarkan saja, nanti pasti akan bosan sendiri.
Sepeda motor pun sekarang telah hilang daya gensinya. Mobil yang murah-murah mulai berkeliweran. Hanya mobil mewah saja yang dipandang bergengsi.Papar Ida ahli Biologi dari Kebumen.
Numpak Sepur
Sinten nunggang sepur,
lunga nyang Kediri,
Wong niki sepur dhur,
bayare setali.
Sapa trima nggonceng konangan kondhektur
Yen didhendha kenceng,
napa boten kojur.
Sinten nunggang sepur,
lunga dhateng Nganjuk,
Sinten pengin makmur,
aja seneng umuk.
5. Titihan Tempo Doeloe.
Pada awal abad 20, sepeda onthel populer dengan sebutan kereta angin. Hanya orang kaya saja yang bisa emat-ematan dengan kendaraan kereta angin.
Betapa mewahnya sepeda onthel saat itu. Kita bisa membayangkan sepeda onthel yang menjadi klangenan para priyagung. Para pejabat sekitar tahun 1945 pun menggunakan titihan kereta angin.
Sejalan dengan berkembangnya teknologi, sepeda pun akhirnya menjadi kendaraan rakyat yang bisa dimiliki oleh siapa saja. Mereka yang dulu naik sepeda onthel berganti kendaraan sepeda motor. Sepeda motor pun digantikan mobil roda empat.
Dengan berbagai merek dan bentuknya, saat ini mobil pun juga mulai dimiliki oleh rakyat kebanyakan. Coba kita lihat, berapa banyak bakul-bakul di pasar yang menggunakan roda empat. Juga pedagang PKL sudah banyak yang mengangkut dagangannya dengan kendaraan mobil.
Kata Eko Budi Santoso yang aktif mengikuti kuliah Isbuja. Kita berharap kelak sepeda onthel pun dilirik kembali oleh masyarakat, tanpa harus disertai rasa malas, minder, dan berkecil hati.
Mudah mudahan orang mamandang sepeda onthel sebagai kendaraan yang praktis dan ekonomis, sebagaimana ditunjukkan oleh bangsa-bangsa maju. Yakin saja, kereta angin akan kembali berjaya. Mari kita beramai ramai emat-ematan dengan sepeda onthel.
Perjalanan Embok Yatinem dari Nganjuk ke Yogyakarta sering menggunakan kereta api. Cocok benar dengan lelagon.
Sinten Numpak Sepur.
Sinten numpak sepur,
Mbayare setali,
Sinten pengin makmur
Mangga dhateng ngriki.
Lelagon numpak sepur itu sering didendhangkan oleh Embok Yatinem. Saya kerap mendengar lagu Embok itu. Hanya saja, selama ini jurusan Nganjuk – Yogya cuma dilewati kereta ekonomi. Semua tahu seperti apa keadaan kereta api kelas ekonomi.
Semua pasti sepakat jika kereta api kelas ekonomi perlu pembenahan yang sangat serius. Di sana sungguh terjadi dehumanisasi yang sangat menjatuhkan martabat manusia. Keberadaan pengamen, pedagang, pengemis, penyapu dan penumpang gelap sungguh telah menyengsarakan orang banyak.
Mereka suka memaksa, membentak bentak, mendorong dorong dan mengancam segala. Sungguh mengganggu ketenangan dan ketentraman. Padahal penumpang sepur ekonomi itu kebanyakan dari kelas bawah. Mereka sama sama orang melarat, tapi kenapa tega menindas.
Demikian kata Nasir Syar’an yang suka merenung tentang kehidupan.
“Kebersihan kereta api jauh dari memadahi. Penumpangnya untel-untelan seperti gerih. Bau apek, pesing, langu dan kecut tumplek blek jadi satu.”
Kata Mbak Marmi yang sering pulang Kertosono dengan naik sepur Sri Tanjung.
Saya kasihan sekali bila Pak Ridjan dan Embok Yatinem naik sepur. Pasti dia kena gangguan orang liar di dalam kereta. Seolah olah sepur itu menjadi pemilik pengamen dan pengemis. Bapak dan Embok lantas memberi uang, semata mata untuk menghindari keributan.
Sampai dengan awal tahun 1980-an, naik dhokar masih menjadi sebuah kemewahan. Dari desa saya sampai kota Nganjuk, transportasi hanya dhokar atau andhong.
Belum ada angkutan teknologi seperti mikrolet atau colt. Bisa mencarter dhokar sudah hebat. Tetangga kanan kiri akan menganggap hebat dan kagum. Belum tentu keluarga saya bisa naik dhokar setahun sekali. Betapa berbunga-bunganya hati saya bisa mencarter dhokar.
Saya sekeluarga seolah-olah telah menikmati indahnya dunia. Mata menerawang sejauh batas pandangan sebagaimana pepatah Jawa, midering rat angelangut, lelana njajah negeri. Berkeliling dunia yang jauh ibarat tanpa tepi.
Dari kota Nganjuk menuju desa banyak kenangan yang terlintas dalam benak saya.
Alangkah indahnya warna warni kota. Listrik, jalan aspal, gedung-gedung, alun-alun, toko-toko dan keramaian pasar. Semua tidak ada di desa. Begitu jauh keadaan kota dengan desa. Bagi saya tentu saja keadaan itu cukup mengagumkan.
Bagaimana tidak, awal tahun 1980-an baru ada satu orang di desa saya yang mempunyai pesawat TV. Itu pun, pakai setrum accu. Begitulah keadaan dhokar yang berkaitan dengan kesederhanaan transportasi desa.
6. Jimat Sapu Jagat.
Dari sudut penghayatan keagamaan, Embok Yatinem masuk dalam kultur kejawen. Embok amat peduli dengan ritual kuno. Mistik, dukun, klenik, dan upacara tradisional amat dipatuhi oleh Embok. Ketika saya masuk kuliah, Embok mengajak ke rumah Embah Dukun. Namanya Kyai Trunokaryo.
“Ndhuk, ini jimat sapu jagad, kanggo daya piandele anakmu. Setiap malam Jumat Legi harus diberi sesaji berupa kembang telon.”
Embah Truno memberi jampi-jampi dan jimat kepada Embok, sebagai bekal merantau ke Yogya. Embok cuma menurut saja. Kepercayaan Embok Yatinem kepada tenaga gaib memang sudah mendarah mendaging.
“Ndhuk, kalau keluar pintu kakimu wajib nggedruk bumi kaping 7 sambil megeng napas.”
“Inggih Mbah Truno, nyuwun pangestu.”
Ruang tamu Mbah Trunokaryo tampak berwibawa betul. Di sana ada keris, tombak dan songsong. Di senthong tengahnya terdapat dupa, kemenyan dan bau minyak srimpi. Benar benar wingit.
Baru menginjak tahun 1997 Embok saya mulai belajar agama. Mungkin pengaruh tetangga di Mojorembun, yang tradisi agama dan pendidikannya relatif cukup baik, Embok pelan pelan sadar akan arti penting syariat. Beliau melihat praktek agama yang serius itu akan menambah kehidupan lebih bermutu. Embok lantas belajar agama dari hal-hal yang paling ringan.
Doa doa dan bacaan dalam sholat dipelajari. Gerakan gerakan sholat juga diperhatikan, sehingga akhirnya beliau menjalankan sholat secara mandiri.
Semoga ibadah beliau itu bisa menjadi contoh bagi kaum kejawen lain. Tak ada kata terlambat dalam belajar. Arti penting agama tersurat dalam Serat Wedhatama.
tembang Pangkur.
Mingkar mingkuring angkara,
akarana karenan Mardi siwi,
sinawung resmining kidung
Sinuba sinukarta
Mrih katarta pakartining ngelmu luhung
Kang tumrap ing tanah Jawa
Agama ageming aji.
Guru ngaji keluarga saya adalah keluarga Pak Turi. Dalam bidang agama saya berguru kepada Pak Turi dan Bu Rubingah. Sepasang suami istri ini hingga kini tetap istiqomah dalam menyiarkan agama.
“Agama merupakan sarana untuk mencapai kehidupan yang damai lahir batin. Siang malam seharusnya seseorang tetap menjadikan agama sebagai petunjuk hidup,”
Kata beliau. Pak Turi dan Bu Rubingah pernah lama menjadi tetangga saya. Setiap sore saya dan teman teman ngaji kepada keluarga Pak Turi.
Kitab yang dipelajari yaitu Jus Amma. Saya menyebut dengan istilah populer Turutan. Kitab Turutan ini saya kaji dari Surat Al Fatehah sampai selesai. Harus diakui bahwa didikan Pak Turi ini berguna bagi saya.
Kalau ada hal hal yang bersifat spiritual, tak lupa saya minta nasihat pada Pak Turi. Tidak hanya itu, saya pun sering minta tolong PakTuri untuk memimpin doa.
Selain itu yang turut serta mempengaruhi pikiran keagamaan keluarga saya adalah keluarga Pak Haji Maksum. Guru agama saya yang secara spesialis mengajarkan sejarah dan analisa adalah Bapak Haji Maksum dan Bu Hajah As.
Sampai saya sekolah di SMA, saya tetap berguru kepada Pak Haji Maksum. Beliau mempunyai kemampuan orasi dan ceramah di depan umum secara mengagumkan. Saya amat tertarik bila beliau ceramah.
Walaupun hari hujan dan jalan amat becek, saya tetap setia mengikuti pengajian Pak Haji Maksum. Dari cerita, nasihat dan ceramah Pak Haji Maksum saya berusaha mengamalkan dalam kehidupan sehari-l hari.
Sungguh saya amat beruntung punya guru ngaji yang ikhlas, tulus, rajin dalam hal menularkan ilmunya. Ucapan bijak beliau senantiasa menyejukkan hati. Setiap lebaran saya dan Embok Yatinem tak lupa sowan pada beliau. Pak Haji Maksum adalah guru agama SD dan sorenya mengajar ngaji. Di saat siang hari beliau dengan tekun bekerja di sawah. Figur-figur yang benar-benar dapat dijadikan teladan.
Bagi saya apalah susahnya mengingat-ingat masa lampau yang memang indah. Semoga saya tetap dapat berbakti kepada guru-guru saya yang ikhlas itu.
Berkat didikan guru guru ngaji yang mulia itu, saya berkesempatan mengajar di Pesantren Darussalam Ciamis, Jawa Bara, sebuah pondok besar yang dipimpin Bapak KH Irfan Helmi.
Putra beliau adalah Bapak Fadhil Munawar Manshur, dosen Sastra Arab UGM dan Rektor Institut Agama Islam Darussalam yang ramah dan tawadhu kepada siapa saja.
Urip prasaja dihayati oleh Embok Yatinem. Pelajaran ini diperoleh dari siaran wayang purwa lewat radio. Pagelaran wayang cocok untuk memupuk ajaran kejawen.
Oleh Purwadi.
Ketua Lembaga Olah Kajian Nusantara LOKANTARA, hp. 087864404347
Tidak ada komentar:
Posting Komentar