Rabu, 19 Mei 2021

EMBOK YATINEM DAN PAK RIDJAN MBANGUN BEBRAYAN [3]


1. Macul dan Mbakul. 
Sambang sambung sawang srawung tulung tinulung. Itulah prinsip yang dihayati Embok Yatinem. Tahun 1970 Embok Yatinem membangun rumah tangga bersama Pak Ridjan. 

Dalam pasrawungan Pak Ridjan mempunyai sifat kebapakan, rasa hormat dan ngemong. Kalau bicara membuat pihak lain akan manggut manggut tanda setuju dan kagum. Pak Ridjan punya gaya diplomasi yang tinggi. 

“Wong urip kudu: amemangun karyenak tyasing sasama, membuat enak hati orang lain.” 

Demikian wejangan Pak Ridjan kepada anak anaknya. Tiba tiba orang lain amat senang dan menikmati keterbukaannya. Saya dan Embok Yatinem banyak belajar tentang pergaulan pada Pak Ridjan. Pak Ridjan mengajari sikap hormat tamu, setia pada janji dan cinta terhadap nilai luhur. 

Di antara tokoh Nganjuk yang berpengaruh kepada pikiran Pak Ridjan adalah dhalang Ki Suwadji Kedhungdandang.

“Ki Suwadji berasal dari desa Kedhungdandang. Maka orang lebih mengenalnya dengan sebutan Suwadji Kedhungdandang. Suaranya gandhem marem, kung dan gumleger.” 

Kenang Pak Ridjan. 
Setelah bodholan dengan iringan lagu Lancaran Maesa Kurda, beliau akan mengumandangkan suluk yang sungguh menakjubkan. 

Rikat lampahing rata tan pantara 
Prapteng sukuning arga
Eram tumingale pakuwon asrine
Dhendheng saengga praja
Umyung pradangga busekan kang wadya

Orang Jawa memang suka menyebut orang dengan disertai asal mula daerahnya. Nama orang yang ditempeli daerahnya contoh: Ki Narto Sabdo Semarang, berarti berasal dari Kota Semarang.

 Ki Anom Suroto Solo, berarti berasal dari Solo. Ki Hadi Sugito Wates, berarti berasal dari daerah Wates Kulonprogo. Selain daerah, orang Jawa juga suka menyebut pakaryan seseorang. Misalnya Pedro Tempe, berarti tukang pembuat tempe. Samini pecel, berarti suka menjual pecel. 

Siklus hari juga menjadi inspirasi buat orang desa untuk memberi nama anak anaknya. Jika lahir hari Pon, anaknya diberi nama Poniman, Ponijo, Ponikem, Poniyem dan lain lain. 

Jika lahir hari Wage, menjadi nama Wagiman, Wagimin, Wagiyem, Waginem. Hari Paing menjadi nama Pairan, Paidi, Painem, Paijem. Hari Legi menjadi nama Legiman dan Legiyem.

 Kadang kadang nama juga diambil dari gabungan dua hari. Setu Legi menjadi nama Tugiyo dan Tuginem. 

Menurut kabarnya Dhalang Suwadji itu suka membuat kreativitas dalam jagat pakeliran. 

“Kerawitannya sangat kompak, banyolannya bikin orang ger-geran. Boleh dibilang sangat meriah. Orang menonton teknik pemanggungannya, semalam suntuk pun betah. Sejak sore hingga pagi hari orang tetap berjejal jejal menonton. Tak ada rasa mengantuk dan bosan.” 

Kesan begitu amat kuat di benak Pak Paimin, yang menjadi penggemarnya. 

Begitulah Ki Suwadji Kedhungdandang amat populer di wilayah saya. Tiap tahun pasti desa saya menanggap Pak Dhalang Suwadji. Orang sedesa urunan untuk ongkos pementasan. Ada perusahaan milik Pak Kasiran, ayahanda Bapak Haji Agus Supriyanto yang buka dan tutup buku selalu diawali dengan pentas wayang purwa dengan dhalang Ki Suwadji. 

Selama membangun urip bebrayan, Pak Ridjan dan Embok Yatinem selalu lancar dan damai, pindha mimi lan mintuna. Cobaan dan ujian hidup dapat diatasi bersama. Pasangan ini sungguh harmonis. 

Keduanya saling melengkapi. Pak Ridjan mahir macul, Embok Yatinem ahli mbakul. Pak Ridjan pintar berproduksi, Embok Yatinem menguasai marketing. Pak Ridjan yang lemah lembut cocok menjadi rem pengendali atas strategi Embok Yatinem yang sering tancap gas dalam bekerja. 

“Kita sekeluarga harus mau seia sekata sehina semalu, saiyeg saeka praya, yen mulya padha disangga.” 

Pesan Embok pada anak anaknya.  
2. Nandur Pari Jero. 

Menanam kebajikan berarti nandur pari jero. Bagi warga Nganjuk alam menjadi sarana kaca benggala. Cermin untuk mawas diri. 

Alam Nganjuk terletak sebelah selatan gunung Kendheng. Gunung Renteng atau Kendheng adalah pegunungan yang berjajar jajar dari Semarang sampai ke daerah barat Surabaya. 

Konon ceritanya, Gunung Kendheng ini merupakan ceceran dari Gunung Mahameru atau Gunung Semeru. Gunung Semeru dipindah dari tanah Hindustan menuju pulau Jawa. Yang memboyong adalah para dewa. 

Di tengah jalan banyak yang cuwil dan tercecer. Ada yang menjadi gunung Salak, Tangkubanprahu, Galunggung, Slamet, Sundara, Sumbing, Telamaya, Merbabu, Merapi, Pandhan, Wilis, Kelut, Brama, dan Anjasmara. Selebihnya menjadi deretan pengunungan Kendheng.

Dari wilayah utara Kabupaten Nganjuk, Gunung Kendheng tampak membujur dari barat ke timur. Tepat membelah wilayah Nganjuk dengan Kabupaten Bojonegoro. Seolah olah benteng kokoh yang memberi rasa aman. Warna biru dari kejauhan semakin tampak asri dan sedap bila mata memandang.

“Harapan para orang tua, jangan sampai ada halangan apa pun yang turun ke wilayah Nganjuk. Semua penyakit cukuplah berhenti di Gunung Kendheng.” 

Kata Mbah Dardjo saat memimpin slametan di sumur gedhe.
Ketika mata memandang ke utara, iklim Nganjuk mudah terbaca. Apakah sedang musim hujan atau musim kemarau. Ini juga banyak dialami oleh warga Nganjuk bagian utara. Kayu kayuan di sekitar Gunung Kendheng banyak ragamnya.

 Ada kayu jati, kayu sono, kayu meranti dan kayu-kayu rajek yang bisa digunakan untuk pagar. Gunung Kendheng sungguh banyak kenangan.

Lukisan tentang geografi tradisional kerap dibuat sinopsis oleh Embok dalam bentuk tembang yang selalu diajarkan pada saya sewaktu kecil. 

Cepu Bojonegoro 
Lor Rembang Kidul Blora
Mengetan Tuban Babat lan Lamongan
Gresik Surabaya

Setelah menikah dengan Pak Ridjan, Embok Yatinem merintis karir dengan menjadi buruh tani. 

“Buruh tani adalah orang yang menjual tenaganya buat orang lain di sawah. Jadi, yang namanya buruh tani itu, tani gurem pun bukan. Mereka tak punya lahan sedikit pun.” Kata Pak Ridjan. 

Beruntunglah berkat ketekunan Pak dan Embok, ada orang yang baik hati dan bermurah padanya. Pak dan Embok diberi pinjaman lahan selama 4 bulan untuk digunakan bercocok tanam. 

Orang yang luhur budinya itu bernama Embah Dardjo dan Embah Rasi. Keduanya selalu memakai tenaga Bapak dan Embok. Embah Dardjo percaya betul kepada Pak Ridjan.

Sawah pinjaman itu disuruh menggarap Bapak secara gratis pada musim kemarau. Dengan rasa semangat dan mandiri anugerah sawah itu ditanami bawang merah. Pinggirnya ditanami terong dan bayem raja. 

Sistem pengairannya dengan menggunakan ebor. Di musim kemarau itu ternyata Bapak dan Embok tetap bertekad untuk mewujudkan swasembada pangan. Sehabis tanaman bawang merah, segera Embok menanam jagung. Bawang merah ditanam bulan Juli - Agustus, sedang jagung ditanam Agustus – Oktober.

 Demikianlah tiap musim kemarau yang kering kerontang, tanah nela berbongkah dan tak ada tanaman di sekitarnya, Embok tetap bersemangat untuk mandiri dan berdikari.

Selama nggarap sawah pinjaman itu, Bapak dan Embok bersahabat karib dengan Pak Munadi. Dia adalah putra Embah Pinem yang sejak kecil diasuh oleh Embah Dardjo dan Embah Rasi. Seringkali saat hujan deras Embok, Bapak dan Pak Munadi berteduh di dalam gubug. 

“Door.....!!! Gluduk...gluduk...dor!!!” 

Suara halilintar menggelegar yang bisa bikin berdebar debar. Langit gelap gulita. Begitu kilat bersinar, tangan mereka langsung menutupi kupingnya. Biar tidak kaget oleh bunyi petir. 

“Mak lap daar........!!!”

Mbah Darjo mengajari japa mantra. 

" Aku putune Ki Ageng Sela" 

Seketika petir berhenti total. Petir takut dengan Ki Ageng Sela. Pernah petir ditangkap oleh Ki Ageng Sela dalam kurungan. 

Hujan deras baru reda setelah hari menjelang malam. Mereka semua lantas pulang. 

“Theot theot the blung ... Theot theot the blung."

Suara kodok ngorek mengiringi perjalanannya. 

“Krik krik krik.”

Jangkrik pun tak mau ketinggalan.

3. Sregep Nyambut Gawe. 

Gawa gawe murih kasembadan. Salah satu kegiatan penting yang dirintis oleh Embok dalam meniti karir kerja adalah tandur.

 Embok Yatinem termasuk pelopor pemberdayaan ekonomi rakyat. Bersama dengan jaringannya, beliau mendirikan Paguyuban Tandur Setia Hati (PTSH). Program utamanya yaitu menerima order menanam padi atau tandur dengan sistem bas basan. 

“Kita bekerja dengan bas basan saja. Adapun model bas basan itu sama dengan borongan. Semakin banyak yang kita kerjakan, upahnya pun semakin berlipat ganda.” 

Embok menjelaskan cara kerja pada anggota anggotanya. 
Tetangga kanan kiri yang senasib, seperjuangan, sekasta dan seideologi berkumpul untuk membuat konsep sekaligus aplikasi organisasi PTSH.

 Saya saksikan mereka tampak segar bugar, riang gembira dan optimis terhadap hidup. Tak ada keluh kesah dan nada buram. Yang ada cuma semangat juang dan derai tawa. Mereka bercanda, guyon maton.

Sebagai ketua paguyuban, Embok berlaku adil dan transparan. Mereka bermusyawarah secara demokratis. Keputusannya pasti bulat. Tak ada yang dirugikan. Meskipun Embok Yatinem menjadi ketua, bayarannya sama dengan anggota. 

Tak ada selisih sedikit pun. Rumah Embok Yatinem yang cuma berdinding gedhek mendapat kehormatan sebagai pusat sekretariat. Tiap malam sesudah Magrib, semua anggota mengadakan rapat sekaligus membagi gaji. 

Bahagia sekali rasanya. Mereka duduk lesehan, nglesot di tikar. Lelah dan capai seolah olah sirna oleh upah yang cukup.

Paguyuban yang dipimpin Embok Yatinem tak ada masalah sama sekali. Mereka kompak, bersatu dan sangat bertanggung jawab. Sebuah paguyuban yang saya kenang hingga sekarang. Sehabis tandur, pekerjaan lain yang menanti yaitu matun padi.

 Matun adalah membersihkan rumput di sela sela tanaman padi. Matun dilaksanakan ketika padi mulai menghijau. Kira-kira berumur 1 bulan, padi sudah bisa dibersihkan rumput rumputnya. Saya dan Embok Yatinem kerap menjual tenaga sebagai pekerja matun.

 Berangkat sekitar jam 7 pagi dan selesai pukul 10 pagi. Dengan basah kuyup, saya pulang bersuka ria. Upah tinggal menerima. Sedangkan rumputnya bisa digunakan untuk makan ternak, terutama suket tuton dan teki. Biasanya rumput itu dibersihkan atau dikopyok lebih dahulu.

Kerja matun yang dilakukan secara bersama sama tentu menunjukkan aktivitas guyub rukun, yang jauh dari tukar padu. Hati sungguh tentram. Di sana sini ada kelakar yang segar, seolah olah masing-masing orang bisa melawak dan menghibur kawan kawannya.

 Ini berlaku di hampir semua pekerjaan petani. Jika dilihat dari upahnya, sebenarnya tidak besar jumlahnya. Cuma saya memahami sebagai status bekerja. Dengan ikut rombongan kerja matun, status saya bukan penganggur. Orang akan menghormati sebagai sebuah profesi dan diberi kompensasi. Soal besar dan kecilnya buat saya tak jadi masalah.

Semua orang sedesa saya dengan telaten dan tekun ikut serta kerja matun. Biasanya yang ikut kerja adalah ibu ibu. Namun, ini semua adalah kerja sambilan, ketika menanti datangnya panen. Dari padi yang tumbuh subur ini akan berbuah. Saya pun siap untuk derep. 

Derep adalah bekerja menuai padi dengan ani-ani. Sebelum ada padi IR dan PB, dulu di daerah saya menanam padi genjah. 

“Padi genjah itu enak, gurih, dan besar-besar, tetapi lama waktu menanamnya. Nandur padi genjah sering dinamakan nandur pari jero.” Kata Embok.

Upah derep itu berupa bawon. Bawon adalah upah yang diperoleh dari padi yang sudah berbentuk gabah. Biasanya dengan pembagian 1 : 8.

 Betapa gembiranya saya bertiga Pak Ridjan, Embok Yatinem dan saya menjadi tani yang sangat gigih. Buat saya panen raya adalah kesempatan emas untuk mencari peluang ekonomi. Maka kesempatan yang bagus ini tidak boleh disia-siakan, harus bersyukur.

Saya meyakinkan bagaimana Embok Yatinem dan Pak Ridjan mengerahkan tenaganya. Petang sudah berangkat. Anai anai sudah siap untuk memotong padi yang menguning. 

Dengan cepat kilat padi padi sudah siap dipikul dalam keranjang, sedang Embok Yatinem mengusung dengan bagor. Saya turut serta mengusung dengan memikul. 

“Engket engket engket!” 

Suara gesekan pikulan yang diikat dengan suh yang dibuat dari penjalin. Semakin nyaring suaranya, semakin menjadikan kebanggaan pemiliknya, sehingga melupakan beban berat dan kelelahan.

 Kemudian dirontokkan dengan diiles atau diinjak-injak. Saya sudah sangat kebal. Batang padi dan daun yang tajam pun sudah tidak mempan lagi untuk melukai kaki saya. Maka semua mengerjakan kerja derep itu dengan riang gembira. Tak ada raut muka lelah. Malahan kalau bisa saat panen raya itu jangan sampai cepat berlalu. 

Saya terbiasa dengan urip ngirit. Gerakan Hemat Nasional yang dianjurkan pemerintah didukung penuh oleh Embok Yatinem. 

Tak tanggung tanggung, dia bersama Pak Ridjan mau ngasak, mencari sisa sisa potongan padi yang tercecer di sawah. Saya masih berusia 5 tahun, Embok ngasak di daerah Balung Gebang. 

“Pak Ridjan sedang wudunen, yaitu bengkak di bagian pantat. Sakitnya minta ampun. Panas dingin dan demam menyertai orang yang sakit wudunen.” 

Kenang Embok lagi. Meskipun demikian Pak Ridjan tetap menunjukkan loyalitasnya. Beliau membantu Embok ngasak di persawahan.

Hujan deras pun tak menjadi halangan. Heran saya, tak ada sedikit pun nada kesedihan yang beliau rasakan. Seolah olah pekerjaan ngasak itu anugerah. Tak gampang orang bisa ngasak. 

Buat Embok ngasak adalah kesempatan yang harus digunakan sebaik baiknya. Kalau orang sekarang ngasak mungkin dianggap pekerjaan yang rendah. Namun waktu dulu ngasak adalah peluang emas.

Sepulang dari ngasak yang jauhnya 20 km dari rumah, Embok akan membawa oleh oleh yang berupa camilan. Makanan kecil saya terima dengan suka gembira. Buat saya, kegiatan Pak dan Embok itu sudah termasuk elit. 

Karena ada sebagian tetangga saya keadaannya jauh lebih susah. Hingga sekarang para tetangga saya belum juga berubah nasibnya. Kasihan benar, hidup mereka begitu begitu saja. Miskin dan menderita.

Sewaktu saya kuliah di Yogya ada kabar yang menyedihkan. Secara berurutan tiga kawan saya di desa yang mengalami kecelakaan yaitu Taryono, Mujiman, dan Kadiran. 

Taryono tangannya terkilir mesin padi sampai tugel thel. Sekarang tangannya tinggal satu, sebelah kiri saja. Sedangkan Mujiman dan Kadiran meninggal secara memelas. Mujiman meninggal di tengah hutan karena kejatuhan dahan pohon yang menusuk badannya. Adapun Kadiran meninggal di gunung Lengko, terperosok ke dalam jurang.

 Baik Mujiman maupun Kadiran meninggal dunia saat isterinya sedang hamil. 

“Selamat jalan kawan, semoga deritamu tertukar dengan surga nirwana.” 

Demikian doa saya dalam hati. Saya pernah bertemu Janda Mujiman yang bernama Paerah sedang bakulan opak upil dan pecel. Tiap sore keliling desa sambil menawarkan dagangannya. 

“Opak pecel ....opak pecel.” 

Suaranya melengking. Sementara anaknya yang sudah ditinggal bapaknya itu dititipkan Mbahnya. 

4. Menghadapi Masa Paceklik. 

Dulu desa saya sering mengalami paceklik, larang pangan. Pak Ridjan yang jualan kayu rencek sepikul hanya dihargai 1 kg beras. Padahal tidak setiap hari bisa mencari kayu rencek di hutan.

 Untuk menghemat kebutuhan maka saya harus bisa mengganti makanan selain nasi beras. Beras waktu itu memang buat keluarga saya amat mahal dan tidak terjangkau. Sebagai penggantinya adalah sega kabul, sega thiwul, sega bethithi, dan sega jagung. 

Dari sekian nasi itu yang paling tidak enak rasanya adalah sega kabul. Sega kabul terbuat dari ampas ketela. 

“Namanya saja ampas, tentu tidak ada nilai gizinya. Lagi pula rasanya ngeres, sepa dan sangat hambar. Kalau dimakan terasa agak mbedhedheg dan sebah di perut. Tapi keadaan memang memaksa saya sekeluarga untuk akrab dengan sega kabul.”

Kata Embok dengan jujur.
Tidak selamanya langit mendung. Tidak selamanya pula saya makan sega kabul. Ada peningkatan status. Saya makan sega thiwul. 

Ini terjadi apabila musim panen ketela pohong tiba. Apabila musim jagung panen saya makan sega bethithi. Sega bethithi dibuat dari ampas jagung. Cuma sega bethithi ini statusnya lebih tinggi daripada sega kabul. Kadang kadang bethithi ini bermetamorfosis menjadi makanan jenjed yang rasanya gosong dan kecut.   

Kemampuan Embok yang perlu dicatat adalah ngelur gaplek. Ngelur gaplek yaitu merendam gaplek untuk dijadikan gathot dan thiwul.

 Gaplek yang direndam beberapa hari itu akan menjadi gaplek dan thiwul yang baik. Alat rendaman yang digunakan yaitu bul atau jambangan. Bul adalah semacam bejana yang terbuat dari tanah liat. Pabrik bul itu desa Babadan. 

Desa yang sejak dulu kala terkenal sebagai pengrajin dari tanah liat. Kuali, kekep, dandang, anglo dan lain lain diproduksi di Babadan ini. Sebelahnya adalah desa Nduwel yang khusus membuat industri genteng.

Pak Ridjan merupakan salah seorang yang memasok kayu bakar untuk ngobong genteng, kuali, bul, jambangan, kekep dan dandang. Kesemuanya memang terbuat dari tanah liat. Dari sini akhirnya banyak muncul aneka ragam usaha. 

Usaha jual beli kayu bakar, transportasi, tanah liat, jasa cari tanah liat dan jasa pembakaran. Desa kanan kirinya juga ikut kecipratan.

Kembali pada gaplek. Dulu untuk mendapat gaplek, orang tua saya harus pergi ke lereng Gunung Pandhan dan Gunung Kendheng. Karena di sana itulah banyak tanaman ketela pohung. 

Memang banyak warga desa saya yang punya aktivitas bisnis di daerah pegunungan. Barang-barang kota di bawa ke gunung. Sebaliknya produksi dari gunung di bawa ke kota seperti pisang, gaplek, burung, buah, kayu, papan, dedaunan dan bahan perkakas meja kursi.

Masakan Embok yang sangat berkesan di hati saya adalah thiwul goreng. Rasanya sangat enak, gurih dan ngangeni. Bahannya sangat murah. 

Cara membuatnya pun gampang sekali. Betul betul sederhana. Tak perlu dana yang besar thiwul goreng cepat didapat berhubung tanpa minyak. Cukup dengan nanangan atau wajan dari tanah liat. Malahan nanangan yang saya pakai itu sering berasal dari bekas kuali yang pecah separo. Barang rusak pun bagi Embok Yatinem tetap saja ada gunanya.

Seingat saya bumbu thiwul goreng itu bawang, tumbar dan lombok. Kadang kadang dikasih pula bawang merah.

 Tepung gaplek yang sudah dicarubi atau dikasih air, lantas ditaruh dalam nanangan. Kegiatan membuat thiwul goreng ini sudah rutin dikerjakan. Tak perlu susah-susah. Saya sekeluarga hafal cara membuatnya. Semata-mata ini semua karena merupakan usaha pemenuhan kebutuhan pokok.

 Kalau dikatakan enak sekali, betul dan ini bersifat subjektif. Sebab thiwul goreng ternyata cukup memberi rasa kenyang. Saya sekeluarga sungguh bisa menikmati. Ini pun bagi keluarga saya cukup membanggakan. 

Kira-kira saya kelas 2 SD, saya punya tugas rutin, yaitu tunggu jagung. Tiap pagi jam 5.00 saya harus berada di Pencol, nama gugusan sawah dekat sungai, 1 km sebelah utara desa saya. 

Waktu itu petani yang menanam jagung sedikit jumlahnya. Di mana-mana hanya oro oro atau padang rumput di musim kemarau.

 Pengairannya cukup diebor, mengambil dengan ciduk batangan bambu dari sungai. Embok ebor bergantian dengan bapak. Kalau Bapak sedang ebor, Embok nyiram brambang.

Tidak heran, jika ketika jagung berbuah, tanaman saya diserbu oleh burung burung. Terutama burung bethet atau kakak tua. Jumlahnya mencapai ratusan. Kalau tidak ditunggu kita kuatir jagung-jagung yang ditanam itu akan habis dimakan manuk bethet. 

Umur saya baru 7 tahun, tetapi dipaksa oleh Embok untuk menjaga jagung di sawah. Wah, sungguh berat. Saya takut karena suasana gelap.

 Sawah masih remang remang dan membikin bulu kuduk berdiri. Saya menutup mata dengan tangan. Terus terang, saya bekerja sedikit terpaksa. Orang takut mau bagaimana lagi.

Satu-satunya yang menghibur saya, yaitu ketika ada rombongan orang ngemblek, menggotong kayu gelondongan lewat.

 Rasa takut saya pelan pelan hilang. Matahari mulai terbit, dan para petani sedikit demi sedikit sudah ke sawah. Alhamdulillah, senang sekali hati saya. Sambil memukul mukul kentongan bambu, saya berteriak-teriak mengusir manuk bethet. 

“He, he, he, manuk bethet. Kowe kabeh silahkan pergi ke hutan sana. Jangan mengganggu jagungku.” 

Suara saya menggelegar menghiasi kesunyian sawah di pagi yang masih remang remang itu. 

Baru ketika jam sudah menunjukkan pukul 06.30 orang sudah banyak petani yang pergi ke sawah dengan memakai celana komprang hitam, saya sudah mulai terbebaskan dari tugas. Ada kenangan manis dalam tugas ini, yaitu saya rumpuk atau membakar jagung untuk sarapan pagi. 

Di samping buah jagung yang berbiji, ada lagi buah jagung susulan yang lebih muda. Namanya janten yang cocok untuk sayur bening. Sedangkan batang pohon jagung namanya tebon, berguna untuk pakan ternak. Setelah jagung dipanen saya segera uset, yaitu membersihkan klobotnya. 

Kemudian dikeringkan yang siap upil jagung. Upil jagung ini membuat ibu jari saya mlocot, gosong kemerah merahan. 

Klobot adalah kulit yang membalut biji jagung. Bapak-bapak sering menggunakan klobot untuk perabot rokok tingwe, nglinting dhewe. Sebelum tersedia kertas seperti sekarang, orang merokok cukup membuat sendiri.
 Tembakau dibungkus dengan klobot lalu dilinting. 

“Rek rek wuk.” 

rokok tingwe mulai disumet. Dengan menarik nafas, asap rokok diakep. 

“Ah, ....!!!” 

Asap rokok keluar dari lubang hidungnya. Nikmat benar. 
Di tengah kesulitan bahan makanan itu, ada pertolongan dari keluarga Mbah Podho Pinem. Embok Yatinem berhasil membangun hubungan batin yang mendalam dengan keluarga Mbah Podho Pinem.

 Terhadap anak anaknya pun terjalin sikap akrab yang amat harmonis. Memang Embok Yatinem begitu hormat pada Mbah Podho dan Mbah Pinem. Tak dapat diragukan lagi, Mbah Podho dan Mbah Pinem merupakan figur yang selalu dimintai nasihat. 

Apa saja kata Mbah Podho dan Mbah Pinem, Embok Yatinem akan berusaha melaksanakan sebaik baiknya. Embok begitu percaya kepada Mbah Podho dan Mbah Pinem. 

Setiap kali Embok punya gawe, dengan sukarela sowan. Tak ketinggalan pada tiap-tiap hari raya Idul Fitri, Embok dan Bapak senantiasa mau atur sungkem pangabekti. Hanya tempat inilah yang mampu memberi rasa aman, tentram dan damai. 


5. Jajan Pasar. 

Bahan mentah yang bisa diolah menjadi makanan tradisional jumlahnya beraneka ragam. Berkaitan dengan jagat perjagungan itu, salah satu lagu yang amat sering dilantunkan oleh Embok Yatinem adalah Lagu Caping Gunung. 

Embok langsung bergembira ria sambil rengeng rengeng : 

Caping Gunung
Dhek jaman berjuang
Njur kelingan anak lanang
Biyen takopeni
Ning saiki ana ngendi

Jarene wis menang
Keturutan sing digadhang
Biyen ninggal janji
Ning saiki apa lali

Neng gunung takcadhongi  sega jagung
Yen mendung taksilihi caping gunung

Syukur bisa nyawang
Gunung desa dadi reja
Dene ora ilang
Nggone padha lara lapa

Sewaktu saya kecil, makan nasi beras itu sudah boleh dibilang amat mewah. Makan nasi beras saat-saat tertentu saja.

 Biasanya hari Lebaran, Nyadranan  dan ketika sedang punya gawe. Pukul 2.00 dini hari, Embok sudah siap dengan lumpang dan alu. Pak Ridjan sering membantu ndheplok jagung. 

“Crek – crek – crek ….. “ 

Suara alu menumbuk jagung bersahut sahutan. Saya dengan Wuragil masih enak-enaknya tidur pulas, mancal kemul. Baru jam 04.00 saya bangun. Pekerjaan ndeplok jagung sudah rampung.

Tenaga untuk adang jagung ini harus melalui proses yang amat panjang. Dimulai dengan upil jagung, mepe, ngekum, ngecrek kemudian ndheplok untuk dijadikan tepung. Alu, lumpang dan tampah adalah pirantinya. Saya lihat tangan Embok sampai ngapal.

 Tepung jagung siap ditanak. Bethithi, atau pucuk biji jagung yang berwarna putih juga dijadikan sega. Kadang juga untuk sarapan saya. Rasanya menurut saya ya sudah enak tenan. Setelah dicarubi, baru ditanak lagi sampai matang benar. 

Nasi jagung biasanya dengan sayur bening. Itu sudah cukup buat membuat tenaga. Begitulah masa keluarga saya makan nasi jagung. Harus diakui, nasi jagung dengan sambel korek itu rasanya cukup lezat dan enak. Cuma proses membuatnya sangat menguras tenaga.

Kepandaian Embok Yatinem dalam mengolah jagung adalah masakan ampok. Nasi jagung terlebih dulu melewati proses ampok. Singkat kata ampok merupakan nasi jagung yang baru pada tahap setengah matang.

 Rasa ampok itu sangat gurih. Makan baru satu kepal sudah akan terasa kenyang. Karena bentuknya padat dan berisi. Dari ampok ini kemudian dilunakkan dengan dicampur air. Namanya dicarubi. Sejam kemudian ditanak lagi hingga matang benar. Ampok itu enaknya jika dimakan masih hangat. 

“Kalau sudah dingin, rasanya jauh sekali berkurang. Bahkan akan terasa mentah. Bila masih manget manget sebaiknya cepat cepat dimakan. Jangan sampai terjadi ampok adhem dan anyep.” saran Embok.

Sebenarnya adanya ampok itu adalah simbol kreativitas orang miskin, biar bisa bertahan hidupnya. Ampok adalah penemuan luar biasa atas makanan. Orang kota barangkali kurang tahu apa itu ampok. 

Mungkin saja melihat pun belum. Bila perlu ampok itu bisa dimodifikasi sedemikian rupa, sehingga dapat digunakan sebagai suguhan yang semakin layak. Pengembangan ampok supaya menjadi makanan yang lebih bergengsi statusnya maka perlu sentuhan dari kelas menengah dan peneliti. Semoga akan menjadi kenyataan.

Penemuan lain dari Embok yang sempat saya ingat adalah jenang pelok. Pelok adalah isi pelem atau mangga. Mangga yang sudah masak itu terdapat pelok yang keras bentuknya. Pada umumnya pelok itu dibuang setelah dimakan daging buahnya. 

Menurut pendapat umum pelok termasuk bagian dari mangga yang tidak berguna. Di tangan Embok pelok menjadi sebuah makanan yang enak. Saya disuruh mengumpulkan pelok dari berbagai tempat.

Pelok-pelok yang terkumpul itu saya keringkan. Dipepe atau dijemur di halaman rumah. Kemudian pelok itu dikupas dan dibuang kulitnya. Ternyata di dalamnya itu ada dagingnya juga. Dibersihkan dan direndam dalam air kira kira semalam. Dijemur lagi sampai kering betul.

 Langkah selanjutnya adalah ndeplok atau menumbuk pelok-pelok yang kering itu sampai lembut. Jadilah pelok-pelok yang kasar itu kemudian menyerupai bubuk beras yang halus dan lembut. Proses pembuatan jenang pelok siap dilaksanakan.

Kalau saya amati, pembuatan jenang pelok itu tak ubahnya dengan membuat jenang atau dodol. Rasanya pun lezat juga. Apalagi bila dikasih bumbu yang lengkap, pasti akan menjadi lebih enak. Sebuah kreativitas Embok Yatinem yang mengagumkan.

  Di tengah derita nestapa itu ada pihak yang menjadi penyejuk bagi Embok Yatinem yaitu Keluarga Besar Bulurejo. Ayah dari Embok Yatinem berasal dari Dukuh Bulurejo. Namanya Mbah Sariman. Mbah Sariman, Mbah Tinem, Mbah Tinah dan Mbah Sarijan adalah putra Mbah Buyut Sori.

Keluarga Bulurejo ini sangat dihormati oleh Embok saya. Mbah Sibi dan Mbah Tinem amat peduli dan sayang dengan Embok. Tiap kali punya hajad, Embok selalu sowan kepada beliau. Rasa hormat pada keluarga Bulurejo merupakan bagian penting dari kehidupan Embok.

 Demikian pula ketika Embok Yatinem menyelenggarakan perhelatan, Embah Bulurejo ini berusaha untuk ikut mendukung. Sedapat dapatnya Embah Sibi dan Embah Tinem ini akan rawuh untuk memberi doa restu. Tampaklah suasana yang guyub rukun dan mengesankan.

 Kewajiban saya sekarang adalah melestarikan dinasti dinasti yang sudah mempunyai hubungan baik dengan Embok Yatinem. Anak keturunan mereka adalah saudara saudara saya yang perlu dihormati. 

Kecuali masakan demi memenuhi kebutuhan jasmaniah Embok Yatinem juga sering membuat makanan yang bernuansa rohaniah yaitu jajan apem. 

Jajan apem termasuk kue tradisional Jawa yang dibuat sebagai pengiring upacara ritual. Tiap Nyadran dan bada Idul Fitri, Embok mesti bikin jajan apem. 

“Kadang-kadang sulit dimengerti, semua orang sudah bikin apem. Kenapa masih bikin apem lagi. Padahal jumlahnya sudah menumpuk numpuk. Itu akan mubazir, sia sia belaka. Hitungan ekonomis mengatakan demikian.” 

kata Si Wuragil menggugat. 

“Tapi, nanti dulu. Apem termasuk jajan spiritual. Fungsinya untuk memenuhi kebutuhan rohani. Orang Jawa tidak akan merasa tenang hatinya, kalau tidak mengikuti seremonial yang sudah diwariskan oleh nenek moyang secara turun temurun.” 

Nurul yang pernah nyantri di Pondok Kedhung Lo Kediri menjelaskan.

Embok Yatinem termasuk orang yang amat peduli dan taat menjalankan warisan kultural leluhurnya. Apa pun kata sesepuh desa, Embok akan bersedia menjalankan dengan penuh perhatian. 

Tak ada niat sedikit pun untuk melanggar. Sikap yang terpercaya atas tradisi dan adat. Berapa pun biaya yang hendak dikeluarkan, Embok tak mau menghiraukan. 

“Harga diri lebih tinggi daripada jual beli.” 

Begitulah sesanti dan motto Embok dalam memandang hidup.
Ternyata menurut Pak Kyai yang sedang berceramah memberi penjelasan seperti ini. 

“Apem berasal dari bahasa Arab, afuwun artinya meminta maaf. Setaraf dengan jajan apem adalah kupat yang merupakan akronim ngaku lepat.” 

Dua kata yang saling berkaitan, mengaku salah dan meminta maaf. Selain apem, jajan ritual lainnya yaitu jadah, jenang, rengginang, pura, orok orok, kupat dan lepet.

Kutha Angin

Kutha Bondowoso mas misuwur tapene,
Cak cak Surabaya ja lali rujak cingure,
Timbang bali nglentung wingka Babad luwung,
Mojokerto jipang wedang angsle asli Malang,

Njajah desa milang kori nggoleki condhonging ati,
Brem kutha Mediun kripik Trenggalek tamba gumun,
Kediri tahu takwane yen Nganjuk kondhang angine.

Begitulah bumi Nganjuk dengan lukisan alam nan menawan. Nganjuk harus dipelihara secara bener pener kober pinter bleger seger. Ini wasiat para leluhur.

Oleh Purwadi, 
Ketua Lembaga Olah Kajian Nusantara LOKANTARA, hp. 087864404347

Tidak ada komentar:

Posting Komentar