Rabu, 19 Mei 2021

EMBOK YATINEM [2] MEMEGANG PAUGERAN KEJAWEN


1. Gemi Nastiti Ngati Ati. 
Orang desa seperti Embok Yatinem punya landasan hidup yang kuat. Prinsip hidup wejangan nenek moyang. Yakni Gemi nastiti ngati ati. 

Inilah bekal utama untuk memutar roda bebrayan. Begitu masuk kelas 1 SD pada tahun 1978, Embok Yatinem menganggap bahwa saya harus bisa mandiri. Maka perlu diberi tanggung jawab. Saya dibelikan seekor kambing jantan, dibeli dari Pakde Giyar. 

Kambing itu saya panggil Berok Gembel. Pagi, sore saya punya tugas untuk angon, menggembala Berok Gembel. Kadang kadang harus ngarit, yaitu mencari rerumputan untuk pakan ternak.

 Bagi saya menggembala dan ngarit merupakan tugas yang harus dijalani hingga kuliah semester 3 tahun 1991. Setelah dewasa keadaan itu lantas mengingatkan saya pada tembang ilir-ilir karangan Kanjeng Sunan Kalijaga :

Ilir-ilir tandure wis sumilir, 
tak ijo royo-royo tak sengguh temanten anyar, 
bocah angon penekna blimbing kuwi, 
lunyu-lunyu ya penekna kanggo masuh dodotira, 

dodotira kumitir bedhah ing pinggir, 
dondomana jrumatana kanggo seba mengko sore, 
mumpung padhang rembulane,
mumpung jembar kalangane, 
Ya suraka surak iyun.

Tafsir tembang itu kurang lebih demikian. 

Ilir-ilir tanaman sudah bersemi, tampak menghijau ibarat penganten baru. 
Wahai penggembala panjatlah blimbing itu, meski licin panjatlah untuk mencuci kain,
 kain yang sedang robek pinggirnya, Jahitlah dan tamballah, 
untuk menghadap nanti sore, 
mumpung bulan terang dan lebar tempatnya.
 Mari bersorak bergembira

Embok Yatinem sendiri adalah orang yang punya ketrampilan dalam ngarit rumput. Tangannya gesit dan gerakannya cepat. Dalam waktu singkat pakan ternak sudah terkumpul dalam kampli, karung dari plastik. Saya sendiri cuma mengikuti Embok dari belakang. Ya namanya anak kecil. 

Kadang kala saya juga mencari klethong garing, yaitu kotoran sapi yang mengering. 

“Klethong garing bisa dijadikan pengganti kayu bakar. Apinya sangat bagus dan sedap.”

 Ini kata Embok menjelaskan. Perlu diteliti mengapa kotoran sapi berubah aromanya setelah mengering. Keuntungan lain dari beternak yaitu bisa ikut kerja matun atau mencabut rumput di sela sela tanaman padi.

 Upah kerja matun sekitar Rp 200-an. Berangkat pukul 07.00-11.00. Saya sering diajak, sehingga dua orang dapat gaji  Rp 400.

 Uang itu sebagian saya gunakan untuk merehap rumah Damar Kanginan.
Masa masa sulit yang saya rasakan sebagai peternak kambing adalah saat hujan turun seharian, sejak pagi sampai malam. 

“Mbek-mbek-mbek!!!” 
Kambing berteriak keras berulang-ulang yang membikin kuping cumpleng. 
Suasana jadi gaduh.

 Rupanya kambing kambing itu sama protes karena lapar. Tapi apa boleh buat, rumput sulit dicari karena hujan. Hati saya benar-benar kesel, sebel dan gregeten. Mau marah pada kambing? Ya pasti saja kambing tak mengerti perasaan saya.

2. Aliran Kali Pencol.

Lama sekali keluarga saya beternak kambing dan sapi. Pertama punya kambing seekor. Dibeli dengan modal Rp. 3.000. Setelah besar laku Rp. 10.000 jadi untung Rp. 7.000. Dari keuntungan itu dibelikan babon, induk kambing yang akhirnya berkembang menjadi 5 ekor. 

Sungguh ternak itu bagi saya adalah harta yang cukup membanggakan. Ternak jadi status sosial yang bisa mengangkat gengsi keluarga. Percaya diri keluarga saya semakin tinggi. Kalau dihitung secara ekonomis, beternak itu sebetulnya rugi. Tapi secara sosial tinggi harganya. Klop dengan filsafat eksistensialis Rene Descartes.

“Cogito ergo sum, saya berpikir, maka saya ada.” 
Sedangkan saya sendiri berkeyakinan yang lebih variatif. 

“Saya menggembala, maka saya ada.”

Di mata tetangga dan orang lain lima ekor kambing itu jelas cukup kelihatan. Di jalan kelima ekor itu berduyun duyun. Saya menggiring kambing dengan cukup bangga. Saya merasa lebih bermakna. Hidup saya merasa punya peran yang penting. Posisi sebagai pemilik 5 ekor kambing seperti halnya memilih sebuah lembaga.

Saya pernah angon kambing di Alas Jalin yang jauhnya 6 km dari desa saya bersama Mbah Saimin, Mbah Toiman dan Mbah Katam. Mereka sekarang sudah cinandhi ing ngawiyat, almarhum semua. Pada saatnya saya juga akan mendapat giliran mati. Inna lillahi wa inna illaihi raji’un. Kita semua milik Allah SWT dan akan kembali berpulang kepada-Nya. 

Gairah hidup yang penuh semangat itu tercermin dengan sikap saya yang terus-menerus ngarit, mencari rumput untuk pakan ternak. Dalam menjalankan aktivitas ngarit ini, Embok Yatinem kerap menelusuri Kali Pencol. 

“Disebut Kali Pencol, karena bentuknya memang mencal mencol. Dari hulu sampai hilir bentuknya berlika-liku, meliuk-liuk seperti luk keris nagasasra, pusaka handalan Maesa Jenar.” 

Demikian penjelasan Mbah Dardjo yang suka ndongeng cerita sejarah kuno. Kali Pencol hulu dan hilirnya cuma melingkar di desa saya. Pangkalnya di sebelah barat desa, ujungnya di sebelah timur desa.

Di kali Pencol inilah saya mencari kayu krangkong untuk bahan bakar. Kayu krangkong terkenal alot, ulet dan kenyal. Sulit dikeringkan, sepanjang masih ada kulitnya. Bahkan jika diletakkan dalam tanah kayu krangkong itu akan tumbuh dengan sendirinya. 

“Untuk bisa digunakan sebagai kayu bakar, kayu krangkong terlebih dahulu harus dibersihkan kulitnya.” begitu Embok mengajar kepada saya. 

Hidup saya banyak dihabiskan di sekitar kali Pencol. Kali Pencol memberi kenangan sewaktu kecil bersama Embok. 

Kali itu tidak dalam dan jarang sekali meluap airnya, tapi bisa untuk bluron, berenang dengan berbagai gaya Boleh dikatakan kali Pencol adalah selokan panjang yang terjadi secara alamiah.

Embok dan saya tak pernah menjadikan kali Pencol sebagai sarana untuk mencari ikan. Paling paling ngarit dan ebor. Kali Pencol memang cocok untuk menyimpan air di musim kemarau.

 Bapak sering ngodrok yaitu mengebor dengan odrok, agar keluar mata airnya. Mata air yang memancar itulah yang digunakan untuk mengairi sawah. Memang Bapak dan Embok sudah dapat merekayasa alam untuk digunakan manfaatnya.

3. Ingon-ingon Raja Kaya. 

Punya seekor sapi, sungguh membahagiakan keluarga. Sapi itu menjadi harta yang amat tinggi nilainya, setelah tanah dan rumah. 

Orang Jawa menyebut sapi sebagai raja kaya. Betapa khawatirnya saat sapi harapan itu tiba tiba sakit keras. Badannya lemah dan tak kuat berdiri. Semua anggota keluarga cemas hatinya. Untuk mengobati rasa ragu, Embok lantas haul atau bernadzar. 

“Bila sapi saya sembuh, nanti saya sekeluarga akan mengarak ke pasar Wage untuk dikalungi kembang.” kata Embok.

Rupa-rupanya haul Embok itu dikabulkan oleh Tuhan. Sapi sembuh langsung diarak beramai-ramai ke pasar. Bapak, Embok dan saya pagi hari jam 4 menggiring sapi. Di pasar Kerep sapi dikalungi untaian kembang telon, yaitu bunga bungaan wangi yang diuntai.

 Kontan saja, kejadian itu menjadi sebuah pembicaraan di jalan.

Tak ada rasa minder sedikit pun. Mereka yang iseng tidak serius omongannya.
 Paling cuma bilang, kok banget-banget anggone ngingu sapi. Saya sepakat membiarkan olokan itu. Toh saya bangga juga. 

Selama ini saya menjumpai kaulan ke pasar itu sebanyak 2 kali. Saya bertiga riang gembira ketika lihat sapi sembuh. 

Di situ ada nilai semangat spiritual yang tinggi terhadap raja kaya atau sapi. Karier beternak saya pun meningkat. Saya beli seekor sapi. Masyarakat memandang kehidupan saya menjadi lebih meningkat. Bahkan saya sempat punya 3 ekor sapi. Sungguh peningkatan hidup yang patut saya syukuri.

Ketika saya naik kelas 3 SMP, keluarga saya mengalami krisis ekonomi. 

Biar tidak jatuh karena utang, Bapak dan Embok sepakat menjual sapi satu-satunya. Sebagian hasil uang menjual sapi itu digunakan untuk membeli buku saya guna persiapan Ebtanas, Evaluasi Belajar Tahab Akhir Nasional. Pupus sudah karier saya sebagai peternak sapi.

4. Bakul Janganan Bayem Terong. 

Kutha cilik sangisore Gunung Wilis
iku pantes dadi pecangkramaning pra turis
yo kanca ning Seduda ing perenging arga
lelumban lan byur-byuran
weh bagasing raga
rampung njajan nginep neng pesanggrahan
wis mesthi kepranan nyawang kaendahan
Jo lali jo keri kutha Nganjuk mranani

Orang Nganjuk menyebut Gunung Wilis dengan nama Gunung Kidul. Para penduduknya disebut dengan brang kidul. Seolah olah buat orang tidak pernah bepergian, Gunung Wilis dan sekitarnya itu sudah tampak sangat jauh.

 Meskipun dengan kampung halaman saya letaknya agak jauh, namun Gunung Wilis tampak jelas punggungnya. Besar, gagah, biru dan sangat menawan hati. Bagi mereka yang mendaki Gunung Wilis pasti bakal ketemu dengan Grojogan Sewu yang terkenal dengan nama Air Terjun Sedhudha. 

“Ada kepercayaan bahwa siapa saja yang mandi di Grojogan Sedhudha akan selalu awet muda.” 

Kata Pak Arif staff  protokol Pemda Ngajuk, yang sampai saat ini tetap setia mendampingi Pak Tris, mantan Bupati Nganjuk.

Sampai sekarang sungguh sayang Embok belum pernah mengunjungi Sedudo. Mungkin ini semua disebabkan oleh kepentingan dan alasan untuk rekreasi. Maklum sekali, lama Embok Yatinem hidup dalam kesulitan lahir batin. Padahal Embok sudah sering pergi ke Malang, Surabaya, Surakarta, Yogyakarta dan Semarang. 

Tiap hari Embok memandang Gunung Wilis yang menjulang tinggi. Di sebelah utara gunung Wilis ini Embok menggerakkan bahtera kehidupan.

 Pukul 13.00-16.00 biasanya Embok mencari dagangan. Beliau pergi ke sawah-sawah untuk memborong sayur mayur milik para tetangga. Bila sudah dapat 1 rinjing penuh, barulah beliau pulang. 

Sore sehabis Maghrib dagangan sayur mulai ditata. Bayem diuntingi, diikat dengan tali debog. Waktu itu belum ada listrik, penerangan cukup dengan lampu cublik. Lampu teplok pun sudah terasa mewah. Kalau ada angin seringkali padam. Itu sudah biasa. Saya baru bisa menikmati lampu petromaks atau strong king, tahun 1980.

 Lampu listrik baru masuk ke desa saya tahun 1986. Tetapi keluarga saya belum mampu memasang karena dari segi finansial tidak memungkinkan. Namun saya menyiasati dengan cara belajar di pinggir jalan yang terang. Kadang-kadang saya lama tinggal di masjid untuk segera dapat nunut penerangan.

 Meskipun amat sibuk, Embok tidak mau mengganggu saya belajar. Sudah menjadi tradisi, Embok tak pernah memberi perintah apa pun ketika saya sedang belajar. Apalagi saat ujian tiba, Embok pasti paham. Ora kersa paring dhawuh.

Kira-kira tahun 1981, usia Embok ngancik 30 tahun. Saya baru masuk kelas 3 SD. Embok mencoba melakukan ekspansi bisnis. Saya diajak Embok bakul janganan ke luar desa. Embok nggendhong rinjing dan saya mikul. Di tengah persawahan yang saya lalui, Embok membuat analisa.

“Le, nanti hidup itu penuh saingan. Kita harus kerja keras. Kalau tidak, akan tersingkir.” 

Setibanya di desa Bangsri yang jauhnya 5 km, saya dibelikan satu pincuk sego pecel. Embok cuma melihat saya makan, tidak ikut sarapan. Ternyata Embok amat ngirit. Karena untung belum didapatkan, maka pengeluaran harus ditekan. Tapi ya kebangeten! Terlalu menerapkan prinsip ekonomi.

Prinsip dasar ekonomi, yaitu pengeluaran yang sedikit-dikitnya dan pemasukan yang sebesar-besarnya itu dipegang oleh Embok. Beliau benar-benar orang yang hemat dan gemi nastiti. 

Cermat dalam keuangan dibuktikan oleh Embok Yatinem yang tidak sampai dililit dan dibilit hutang. Semua orang yang terlibat hubungan hutang piutang dengan Embok Yatinem ditanggung pasti lancar dan beres.

5. Bakul Kacang di Ludrukan. 

Ludruk adalah seni khas Jawa Timur. Ada rombongan ludruk yang amat populer. 

Namanya Ludruk Kopasgat Trisula Dharma. Di tempat tempat pertunjukan itu saya dan Embok Yatinem melakukan bisnis eceran kacang, jeruk, krupuk. Embok Yatinem berjualan di dasaran, dengan menggelar plastik. Saya bakulan dengan cara ider. Tiap penonton saya tawari. 

"Opak tombo ngelak, krupuk tombo ngantuk.” 

Demikian strategi marketing saya pada penonton ludruk.
Bila dagangan habis, saya wajib lapor keuangan pada Embok. 

Kemudian ambil barang dagangan lagi. Embok  sangat teliti menghitung. Saya masih ingat ketika ada pembukaan pentas ludruk untuk pertama kalinya, Embok menghafalkan lagu Tandhuk Majeng dari Madura :

Ngapote waklajere etangale,
Reng majeng tantonala pade mole,
Mateguk deri ombak pajelena,
Omon ajeling odik nao reng majengan
Abental ombak sapo angin salanjengan
Ole olang paraona alajere
Ole olang alajere ka Madura

Kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia kira-kira demikian : tampak putih layar perahu. Para nelayan sedang sama pulang.

 Bersinggungan ombak perjalanannya. Demikianlah kehidupan para nelayan. Berbantal ombak berselimut angin. Berlayar setiap hari. Kini sedang menuju Tanah Madura. 

Ludruk Kopasgat Trisula Darma terkenal sekali di Jawa Timur sekitar tahun 1970-1980-an. Markas ludruk ini di Kabupaten Madiun. Sebulan sekali siaran di RRI. Rombongan Ludruk ini di bawah binaan kesatuan TNI AU yang berdomisili di Maespati. Kopasgat singkatan dari Komando Pasukan Gerak Tepat. 

Memang para personil yang ikut mendukung pentas Ludruk Kopasgat kebanyakan berasal dari artis-artis sekaligus tentara. Saat itu tentara memang bisa jaya dan sukses di segala bidang. Di samping itu juga karena semangat korp militer yang sangat solid. Dalam bidang seni pun kiprahnya juga cukup meyakinkan dan mengagumkan masyarakat.

Embok Yatinem pun juga sangat tertarik atas penampilan rombongan Ludruk Kopasgat. Pemainnya serba terpilih, iringan karawitan juga sangat bagus disertai dengan teknik pemanggungan modern. 

Saat jaya jayanya Ludruk Kopasgat di pelosok desa belum ada lampu penerangan listrik. Di mana saja ketika Ludruk Kopasgat pentas, dari segala penjuru akan berduyun duyun menonton. Orang akan berebut tempat. Hampir bisa dipastikan semua penonton akan puas. Maka, meskipun jauh tempatnya, orang juga tidak malas menyaksikan. Pulang ke rumah ditanggung senang, nggayeng dan terpenuhi kebutuhan batinnya. Ludruk Kopasgat memang jadi idola masyarakat.

6. Konsultasi Sesepuh. 

Sesepuh kejawen dianggap juru penerang. 

Gandane kang kembang gadhung, 
Lawan sekar-sekar menur, 
Kang esmu arum, 
Winor lan oyot-oyotan, 
Kadi kusuma kang mangambar-ambar, 
Wor kukusing dupa kang kumelun, 
Kadi kusuma memba bathara.

Suluk pedhalangan di atas digunakan sebagai ater-ater ngobong dupa di sanggar pamelengan.

Suasana magis yang menggambarkan orang semedi. Kehidupan yang bernapaskan kejawen masih subur di daerah saya. Meskipun masjid dan mushola ada dimana-mana, falsafah kejawen masih mendominasi cara berpikirnya. Sebagian lagi mendalami aliran kebatinan. 

Ajaran Sapto Darmo juga tumbuh dan ada pengikutnya. Pemimpinnya bernama Pak Tawar, seorang mantri polisi yang mempunyai sifat sabar drana. Beliau tak pernah marah sekalipun. Pendapa rumah Pak Tawar merupakan bale pengrawit yang dihiasi dengan seperangkat gamelan dan wayang purwa. Pak Tawar juga mempunyai Paguyuban Seni Puspito Laras yang manajemennya diserahkan kepada Pak Karen. 

Lama sekali saya belajar seni kerawitan dan pedhalangan kepada Beliau. Setiap bulan Sura di rumahnya diadakan pagelaran wayang. Banyak orang yang berkonsultasi kepada Pak Tawar ketika punya hajat.

Hajat apa pun menurut Embok itu sangat penting. Maka persiapan harus matang lahir batin. Tak boleh diselenggarakan secara asal asalan, takut kualat. Konsultasi dengan Embah Dukun atau para sesepuh dianggap sangat perlu. 

Demi keselamatan dan kebaikan bersama, Embok tak segan-segan bertanya, sampai pada hal hal yang sangat kecil tak boleh ketinggalan. Embok menghormati sekali proses konsultasi spiritual ini. Pantang sekali untuk melanggar.

 Boleh jadi apa yang dilakukan Embok ini merupakan perilaku konstitusional secara adat. Embok tak pernah menentang tradisi. Demi tradisi kadang-kadang Embok bersedia untuk mengeluarkan dana yang banyak. Tak ada rasa eman pada biaya.

Kalau ada anak tidak diberi upacara tradisional saat kelahirannya, Embok lantas bereaksi. 

“Sapi saja diberi sedekah, apalagi anak manusia. Harus diberi perhatian yang lebih. Ini tak dapat ditawar tawar, sudah harga mati.” 

kata Embok.
Sikap yang patuh pada tradisi leluhur ini membuat Embok tak pernah konflik dengan adat. 

Bahkan beliau merupakan pendukung yang handal. Waktu, tempat dan biaya sedapat-dapatnya diusahakan. Tak main-main, Mbah Dardjo mesti diajak rembugan dan dimintai doa restu.

“Mbah Dardjo, sowan kula ngriki badhe nyuwun puji pangestu. Anggen kula badhe gadhah damel mantu, sedaya uba rampe sakjangkepipun sumangga kersa. Kula namung ndherek kemawon.” 

Begitulah penghormatan Embok pada Mbah Dardjo sesepuh desa dengan sikap yang penuh kesopanan. Jika mendapat musibah Embok biasanya nyekar ke makam. Buat orang Jawa tanpa tahu makam leluhurnya berarti kehilangan kiblat.

 Kuburan dianggap tempat suci yang perlu diuri uri. Di sini tetap terpelihara antara arwah roh nenek moyang dengan ahli warisnya. Orientasi batiniah terjaga secara harmonis.

Saya termasuk keluarga abangan tradisional. Kakek moyang saya kurang begitu akrab dengan pelajaran kaum santri. 

Beruntunglah, karena proses sejarah para generasi cucu cucu ini sudah mulai belajar nilai-nilai keislaman. Meskipun minim, saya cukup mendapat pengetahuan dasar agama. 

Akhirnya saya sekeluarga menjadi muslim yang memenuhi syarat. Bapak dan Embok saya juga mulai menjalankan syariat Islam lebih dari cukup. 

Namun untuk urusan tradisi, beliau berdua masih kokoh dipegang. Termasuk upacara nyadran, beliau selalu terlihat aktif. Selama ini Bapak dan Embok rajin mengikuti upacara nyadran.

Saya sendiri sangat peduli terhadap upacara nyadran. Asal tidak ada keperluan yang sangat penting, saya akan hadir.

 Kalau absen, rasanya menyesal sekali. Ini sarana agar saya bisa berkomunikasi dengan para leluhur saya. Saya masih membayangkan arwah nenek moyang itu menyertai kunjungan saya di makam. Begitulah, upacara nyadran sudah menjadi kebutuhan rohani yang perlu saya penuhi.

 Entahlah, kepercayaan ini semakin mengental saja di hati saya. Seolah olah tidak ada saat yang membahagiakan bagi saya, selain bisa berkomunikasi dengan nenek moyang yang sudah masuk surga, manjing ing tepet suci.

Makam para leluhur memang mempunyai hubungan batin dengan diri saya. Maka setiap pulang ke kampung Nganjuk, saya pasti nyekar ke pasarehan leluhur ini. 

Mungkin karena sebagai orang Jawa, sehingga saya masih percaya bahwa dengan nyekar saya bisa berhubungan batin dengan para leluhur yang sudah swargi.

Cinandhi ing ngawiyat berarti arwah yang dimuliakan. Kehidupan abadi dikatakan sebagai jaman kelanggengan. Urip kang sejati.

Oleh Purwadi,
Ketua Lembaga Olah Kajian Nusantara LOKANTARA, hp. 087864404347

Tidak ada komentar:

Posting Komentar