Karang padesan Nganjuk terhampar sawah yang luas. Terdiri dari empat musim. Yakni ketiga, labuh, rendheng, dan mareng. Pemahaman pranata mangsa itu berhubungan dengan Kegiatan pertanian.
Grogol merupakan pedukuhan atau dusun bagian desa Mojorembun Rejoso Nganjuk Jawa Timur. Dukuh Grogol ini tempat kelahiran Embok Yatinem.
Pohon bambu mengelilingi kawasan desa. Sawah dan rumah selalu terpisah. Sawah tergantung dari air tadah hujan. Sawah hanya ditanami dua kali setahun. Padi dan kedelai. Sisanya dibiarkan nganggur.
Bisa ditebak kemakmuran dukuh atau dusun Grogol sekitar tahun 1950 agak kurang. Wulu pametu, penghasilan penduduk terbatas sekali. Lapangan kerja belum terbuka luas.
Peralihan dari sistem kerajaan ke sistem Republik memerlukan pengalaman yang memadai. Dari tahun 1945 - 1970 suasana negara memang lesu. Rata rata rakyat hidup penuh derita. Larang pangan. Tentu berbeda dengan keadaan sebelum tahun 1945 yang tampak lebih tertata dan sejahtera.
Giri lusi janma tan kena ingina. Setiap insan yang hadir di jagad raya ini pasti beserta dengan harkat dan martabatnya. Embok Yatinem lahir pada tanggal 30 Juni 1951.
Embok yatinem adalah anak Mbah Sariman dan Mbah Paniyem. Pada tahun 1964, Mbah Sariman wafat. Dalam usia 13 tahun, Embok sudah menjadi anak yatim. Sebagai anak sulung, Embok Yatinem harus membantu saudaranya yang masih kecil kecil. Yakni Pateman, Diyem, Renti, Nyoni, Gamirah dan Damin.
Untuk membantu kehidupan keluarga, Embok Yatinem harus bekerja keras. Beliau bakulan arang. Tiap hari harus menempuh perjalanan yang sangat jauh, kira kira 30 km. Pulang pergi dengan jalan kaki. Rutenya Grogol, Kampir, Turi, Lungur, Alas Jalin, Kali Kedhungaron, Bandhongan.
Desa Bandhongan Klangon Saradan ini termasuk wilayah Kabupaten Madiun bagian Timur Laut. Secara geografis termasuk perbatasan antara Kabupaten Madiun, Kabupaten Bojonegoro dan Kabupaten Nganjuk. Hutan belantara yang sangat sepi dilewati. Di sana sini cuma bunyi ayam alas berkokok.
Bagi mereka yang akrab dengan jagat kerawitan, mungkin rutinitas Embok itu bisa cinandra dengan tembang.
kinanthi
Midering rat angelangut,
Lelana njajah negari,
Mubeng tepining samudra,
Sumengka angganing wukir,
Anelasak wana wasa,
Tumuruning jurang terbis.
"Cekerekek … …!!!
Suara ayam Alas memecahkan keheningan hutan. Sekali tempo suara burung kokobeluk. Bagi yang tidak terbiasa tentu saja berdiri bulu kuduknya.
Sesuai dengan janturan ki dhalang wayang purwa: wana gung liwang liwung, kang gawat kaliwat liwat, angker kepati pati, jalma mara jalma mati, sato mara keplayu.
Tapi keadaan yang seram ini ditaklukkan oleh tekad kuat Embok Yatinem.
Jalan yang dilalui Embok cukup terjal. Batu batu yang tajam, duri duri, dan jurang cerung sungguh sungguh memerlukan keberanian. Bisa dibayangkan, Embok Yatinem berangkat pukul 02.00 dini hari. Hari masih sangat gelap.
Cuma obor bambu itu saja sebagai alat penerangnya. Pulang kembali ke rumah sekitar pukul 16.00. Itu pun sering hujan. Tanpa payung pun, Embok tetap gigih tanpa kenal lelah. Demi keluarga, beliau rela basah kuyup sambil menggendhong arang dengan beban kira kira 50 kg.
Meskipun baru berusia belasan tahun, Embok betul betul mempunyai tanggung jawab terhadap orang tua dan saudara saudaranya.
Labuh labet ini dipersembahkan kepada Mbah Yem yang masih mempunyai beban dan tanggungan yang berat. Betapa sulitnya nasib Mbah Yem. Kira kira usia 35 tahun sudah menjadi janda. Dia ditinggal oleh suaminya, Mbah Sariman dengan 7 anak. Bungsunya bernama Lik Damin yang ditinggal ayahnya belum sampai berusia 1 tahun.
Betapa nelangsanya Lik Damin. Sejak kecil kerap ngenger kepada orang lain. Herannya, tak ada tempat ngenger yang bisa mengantarkan taraf hidup yang lebih baik.
“Nasib harus dirubah dengan kaki tangan sendiri.”
Begitulah kesimpulan Lik Min. Setelah tamat SMA dari Yogyakarta, dia bekerja di pabrik plastik di Porong Sidoarjo. Kemudian pindah ke Bali dan kini mendirikan usaha di kota Makasar. Tampaknya dia mempunyai bakat wiraswasta. Mungkin ini merupakan gemblengan kehidupan masa lalu yang penuh dengan ujian dan cobaan.
Mbah Paniyem dulu pernah bekerja sebagai pembantu rumah tangga di desa Klagen. Kira kira 5 km sebelah timur laut dari desa saya.
Saya dan Lik Damin menyusul ke rumah sang Juragan. Namanya Juragan Muk. Dia adalah saudagar kaya raya. Lik Min dikasih sangu oleh juragan Muk Rp. 50 dan saya Rp. 25. Itu sudah banyak untuk ukuran tahun akhir 1970-an.
Kemudian Mbah Paniyem dan saya pulang jalan kaki, dengan menelusuri sawah sawah dan kelak kelok sungai. Di tengah perjalanan Mbah Yem saya lihat tampak memandang menerawang untuk melepas haus dan panas. Kadangkala beliau gendhingan, dengan mendendangkan lagu lagu Jawa.
Judulnya Suwe Ora Jamu, yang mengingatkan almarhum suaminya sebagai penjual jamu di wilayah pegunungan.
Suwe ora jamu
Jamu godhong keningkir,
Suwe ora temu
Temu pisan dadi pikir.
Dengan berbekal tabungan seadanya, Mbah Paniyem mulai berdikari, usaha kecil kecilan. Beliau bakul sego pecel dengan bungkus godhong jati.
Sore hari nggoreng rempeyek dan nguleg sambel. Jam 2.00 dinihari Mbah Paniyem telah bangun untuk menanak nasi.
Kira kira jam 5.00 semua jualan sudah siap untuk dihidangkan pada para pembeli. Kelebihan Mbah Paniyem adalah pemurah dan terbuka bagi orang lain, maka tamunya selalu berdatangan.
“Orang harus mau tuna santak bathi sanak, rugi harta banyak saudara.“
Demikian wejangan Mbah Paniyem kepada anak cucunya. Untung ada Mbah Buyut Minten yang turut meringankan beban hidup Mbah Paniyem.
Mbah Buyut Minten orangnya ubet dan ulet. Beliau bakulan irus, enthong, rinjing, kukusan dan ilir di daerah pegunungan. Di sana barang barang ini ditukar dengan ketela, gaplek, gedhang, dan jagung. Sistem barter rupa rupanya masih berlangsung. Mbah Minten dan Mbah Paniyem, dua janda tua yang hidupnya penuh dengan derita nestapa, ketula tula katali.
Tinggalan Mbah Minten yang saya hafal adalah japa mantra kalau sedang jalan di tengah hutan:
“Salikam salikem, kehing sengkala padha mingkem.”
Anak cucunya bila melewati hutan, selalu melafalkan japa mantra itu, biar kalis ing sambikala, setan ora doyan dhemit ora ndulit.
“Uripe wong cilik, dimare cublik, lungguhe dhingklik, pangane sethithik.”
kata Mbah Minten sambil inter inter menir.
2. Mrojol Selaning Garu.
Sampai tahun 1990-an desa saya termasuk kawasan tertinggal. Kanan kiri adalah rumpun perumahan yang sangat padat. Keadaan ini boleh dibilang desa gersang. Rumah tinggal saya diberi nama Damar Kanginan, yang berarti api yang sedang tertiup angin.
Ibarat Damar Kanginan yang selalu mobat mabit ke sana ke mari, sama seperti nasib keluarga saya yang selalu pontang panting. Semua serba tidak menentu.
Pekerjaan serabutan, penghasilan dhak nyeng yang tidak bisa direncanakan.
Rumah Damar Kanginan ini terbuat dari dinding gedheg. Lebih bagus dari gedheg adalah kepang. Tiang tiang rumah sebagian terbuat dari glugu. Reng dan rusuknya terbuat dari bambu. Gentengnya dari kualitas yang paling rendah. Tak heran bila hujan sering trocoh.
Lantai rumah dibiarkan dari tanah, jogan. Tak ada batu bata, tegel apalagi marmer. Namanya saja gedheg, pada bagian tertentu tampak bolong bolong. Angin dengan amat mudah menembus.
Sementara itu tampak pula sawang sawang sebagai rumah kolomonggo. Benar benar pemandangan yang sudah biasa, tetapi aneh buat orang kota yang selalu menimbang dengan perspektif higienis. Mungkin karena sudah terbiasa, maka segala derita nestapa itu tak terasa sama sekali. Tanpa keluh kesah dan sambat sebut.
Mungkin pikiran ini sama dengan Orang Jerman yang mengatakan:
“Zu dir oh Herr, blicht Alles auf. Kepada-Mu ya Tuhan, segalanya saya pasrah.”
Di musim kemarau pepohonan tampak mulai berguguran daun daunnya.
Tanah tanah di sekitar berbongkah bongkah, nela lebar lebar. Kalau tidak hati hati, jalan seseorang bisa terperosok kakinya. Di sela sela tela ini biasanya digunakan untuk tempat tinggal ular.
Hanya saja, keadaan alam yang gersang itu tidak mendatangkan problem sama sekali. Mereka berbahagia juga. Mungkin cita cita mereka hanya sederhana. Nggarap sawah tadhah udan, mencari rencek atau kayu bakar di alas dan angon ternak di ara ara itu sudah cukup.
Saya merasakan lingkungan desa saya sangat keras. Boleh jadi kekerasan Embok Yatinem dalam mengelola rumah tangga itu dipengaruhi oleh alam yang memang kurang ramah.
Usaha bagaimana pun juga, hasilnya tetap minimal. Karena tetangga saya pun keadaan ekonominya rata rata agak kekurangan, bahkan sebagian di bawah keluarga saya. Keadaan ekonomi yang sulit ternyata berpengaruh pada peringai sebuah keluarga. Kesulitan ekonomi mudah mendatangkan cekcok antar anggota keluarga. Masalah sepele bisa menjadi rame.
Belum lagi sindiran dan umpatan yang dilontarkan pihak yang tidak senang, diperlukan perasaan khusus. Kata sabar itu kuncinya.
Keadaan alam yang keras, pendidikan yang rendah dan kemiskinan yang akut itu tentu menghalangi seseorang untuk mengubah nasib. Mobilitas sosial sulit bergerak. Kalau ada orang yang bisa naik kelas sosial ekonominya, tentu ibarat mrojol selaning garu. Benar benar orang yang teliti dan hati hati dalam menjalani kehidupan, nglakoni urip.
Di tengah kemiskinan yang tak dirasakan itu ternyata besar masih ada embun penyejuk yang berupa seni tradisional. Salah satu tokoh seniman sebagai embun penyejuk yang sering diingat oleh Embok Yatinem adalah dhalang Ki Hardjo Besar. Ki Hardjo Besar juga dhalang favorit Embok Yatinem.
“Setahu saya Ki Hardjo Besar sering ditanggap di dhusun Grogol lebih dari 6 tahun berturut turut.
Artinya orang sekampung sudah cocok dengan penampilan beliau. Dia terkenal sebagai dhalang yang mahir dalam hal perang bantah serta lakon lakon kuno.”
Kenang Embok.
Suluk yang sering dilantunkan oleh Ki Hardjo Besar di bawah ini berisi tentang ajaran satunya kata dan perbuatan.
Dene utamaning nata,
Berbudi bawa leksana,
Lire ber budi mangkana,
Lila legawa ing driya,
Hanggung denya paring dana,
Hanggeganjar saben dina,
Lire kang bawa laksana,
Hanetepi pangandika.
Namanya saja dhalang idola, pasti banyak kenangan di mata publik. Maka ketika tersiar bahwa Ki Hardjo Besar surud ing kasedan jati, orang sekampung merasa setengah tidak percaya. Sebagai penggemar wayang, masa kecil saya memang sering dihabiskan untuk mendengarkan lakon lakon wayang lewat radio.
Apalagi bila ada pentas langsung, tentu saja saya tidak mau ketinggalan. Semalam suntuk saya menonton.
Pada tahun 1990 Embok Yatinem menikah dengan Pak Rijan. Dari pernikahan ini lahir Purwadi dan Partini. Cuma punya dua anak.
Harus diakui bahwa Embok Yatinem sangat keras dalam mengasuh anak anaknya. Kalau saya sakit sekalipun, beliau tetap tidak mau memanjakan saya. Bila perlu dibentak bentak. Ada hikmah yang dipetik. Saya harus menjadi orang yang mandiri. Tak boleh cengeng, duka nestapa mesti dijalani dengan perjuangan.
Ajaran hidup yang dijadikan refleksi oleh Embok Yatinem
“Urip kudu sregep nyambut gawe, supaya ora ngrepotake wong liya. Tangan di atas lebih utama daripada tangan di bawah.”
Setelah konsolidasi dengan wong tua, Mbah Dukun, pada tahun 1994, Bapak dan Embok pindah rumah ngidul ngetan. Katanya supaya rejekinya mbanyu mili. Bapak dan Embok mendirikan gubug di pekarangan Mbah Yono. Seorang yang berbudi luhur.
Tempat ini dinamakan Gubug Kurung Kencono. Saya tinggal di Gubug Kurung Kencono selama 6 tahun, dan baru tahun 1999 secara permanen Bapak dan Embok membangun Dalem Donoroso yang saya tempati hingga saat ini. Sekedar tempat untuk ngiyub.
3. Ereng-erenging Gunung Pandhan.
Dari kota Nganjuk gunung Pandhan terletak di sebelah barat utara. Disambung dengan berjajarnya pegunungan Renteng.
Dalam pentas sejarah, Empu Sindok yang masih keturunan Dinasti Pajang Mataram, pernah mendirikan Pesanggrahan Anjuk Jaya Stambu.
Kata Anjuk adalah cikal bakal nama Nganjuk yang berarti mangan ngunjuk. Para prajurit Empu Sindok sama membuat sendang Kali Bening di kaki Gunung Pandhan yang menjadi tuk sumber kali Widas. Kali Widas membelah Kabupaten Nganjuk menjadi brang lor dan brang kidul, mirip sigaran semongko.
Secara kronologis Kabupaten Nganjuk pernah diperintah oleh kerajaan Medang, Kahuripan, Doho, Jenggolo, Singosari, Majapahit, Demak dan Mataram. Karena letaknya jauh dari ibukota, maka dinamika pembangunan teritorial kurang dominan. Cuma dapat rembesan saja. Itu pun sudah beruntung dan luwung. Dalam perancangan dan pengambilan keputusan jelas tidak dilibatkan sehingga hasilnya tidak ikut panen hasilnya.
Kabupaten Nganjuk secara geografis bisa dikelompokkan menjadi tiga bagian: perkotaan, pedesaan dan pegunungan. Wilayah perkotaan ditandai dengan adanya kantor bupati, alun alun, masjid agung, pasa dan deretan toko yang menjadi pusat bisnis. Kanan kiri kawasan ini merupakan pemukiman penduduk yang tertata rapi.
Dari gaya bangunan rumahnya, bisa ditebak penghuninya adalah kelas menengah yang mempunyai penghasilan lumayan tinggi. Alat dan kendaraan yang dimiliki sudah menunjukkan sosial ekonomi mapan. Orang desa menyebut mereka kelompok priyayi dan ndoro.
Alun alun termasuk sarana umum yang menjadi kebanggaan bersama. Pagi, sore, siang dan malam selalu ramai untuk enggar enggaring penggalih, sambil njajan aneka panganan dan minuman, cenil, samplok, nagasari, gethuk, ketan, gandhos, mendut dan utri.
Para bakul amat cekatan dan ramah melayani pembeli. Ketika malam mulai larut, bakul sego pecel telaten jagongan bersama pelanggannya. Krupuk, rempeyek, tempe dan tahu berbaur dengan kuluban kembang turi, capar dan godhong tela. Begitulah rutinitas kota Nganjuk sehari hari.
Berbeda dengan wilayah perkotaan, suasana pedesaan memang agak tenang dan sepi. Sawah dan tanduran merupakan hiasan utama. Kadang kadang tampak ternak sapi dan kambing.
Di tengah tengah pemukiman dan biasa dijumpai ayam yang berkeliaran. Dari segi sosial ekonomi, kehidupan orang desa Nganjuk boleh dikatakan masih perlu perhatian. Lapangan kerja yang monoton membuat para muda mudinya pergi merantau untuk mengadu nasib.
Rupa rupanya mereka kurang tertarik untuk berkarir di desanya. Kemungkinan besar ketrampilan mereka tidak bisa diterapkan di kampung halamannya. Mereka perlu wadah baru, supaya keinginannya bisa di kampung.
Kayaknya hanya kota besar yang cocok buat kehidupan mereka. Mulai mereka adu nasib di kota Surabaya.
Adapun wilayah pegunungan merupakan bagian terkecil dari kabupaten Nganjuk. Ada lelagon yang melukiskan keindahan tlatah pegunungan ini yang dikarang oleh Ki Panut Darmoko.
Wadhuk Kali Bening
Kali Bening saperenge Gunung Pandhan,
Iku dadi proyek kacukupan sandhang pangan,
Ngocori sabin sabin sakeloring kutha,
Mesthi agawe pengin wong sing padha teka,
sumur kompor ing ngendi endi ana,
Tandur-tandur subur, mesthi gawe makmur,
Ja lali ja keri kutha Nganjuk ngenteni.
Gunung Pandhan terletak di sebelah barat utara kota Nganjuk. Buat masyarakat sekitarnya, Gunung Pandhan dianggap sakral. Mereka percaya bahwa Gunung Pandhan adalah punjering jagat, pusat dari alam raya.
Ada onggokan tanah di samping desa saya. Namanya adalah Watu Dandang. Konon kabarnya onggokan tanah ini merupakan cikal bakal Gunung Pandhan. Saya kira semua orang sedesa saya percaya.
“Watu Dandang ini dibuat oleh tokoh legendaris Kyai Lurah Semar. Sebelum ayam jantan berkokok, jago kluruk dengan sekejab saja sudah bisa mencipta Gunung Pandhan. Bahkan hingga kini Padhukuhan Klampis Ireng atau Karang Kedhempel berada di ereng erenging Gunung Pandhan.”
Berkali kali Mbah Setroredjo cerita demikian. Beliau termasuk sesepuh desa saya yang gemar ceritera sejarah kuno.
Masyarakat Kabupaten Blora, Bojonegoro, Ngawi, Madiun dan Nganjuk sebagian tahu bahwa Gunung Pandhan adalah monumen indah yang menjadi pembatas lima kabupaten itu. Bagi tukang ngemblek, mblandhong, pencari rencek dan pengobong arang, Gunung Pandhan adalah sebuah sumber daya ekonomi. Di sanalah roda bisnis tradisional bergerak.
Bakul areng, dengan segala taktik perdagangan wong cilik berputar. Dari penegor pohon sono, yaitu bahan mentah arang, kemudian dibakar di tengah hutan. Tentu saja harus menghindari ancaman mandhor alas yang agak sombong. Namanya Mandhor Gendir. Mandhor Gendir kerap menghajar tukang arang. Salah satunya adalah Pakdhe Trimo.
Kalau tidak begitu mandhor kejam ini suka merampas arit dan pecok, alat utama orang mencari rencek, kayu bakar.
“Arit dan pecokmu saya minta. Kalau tidak diberikan, batu ini akan ngepruk kepalamu.”
Bentak Mandor Gendir sambil mlintir brengos.
“Inggih Pak Gendir.”
“Huss!!! Berani beraninya kamu cuma menyebut namaku. Panggil aku secara lengkap. Panggil aku Bapak Mandhor Gendir!”
“Sendika dhawuh Bapak Mandhor Gendir.”
Pakdhe Trimo menjawab sambil munduk munduk.
“Kalau boleh, saya menyerahkan pecok saja, karena arit ini saya pinjam dari Pak Bayan. Saya kuwatir beliau akan paring duka.”
“Diamput!!! Dhapurmu seperti munyuk watu dhakon. Kok masih membantah. Ayo cepat ke sini. Guooblok!!”
Seketika tangan Pakdhe Trimo tratapan wel welan dan jantungnya dheg dhegan. Arit dan pecok pun diserahkan. Habis sudah masa depan tukang golek rencek. Nasibnya memang lagi apes. Untuk beli lagi rasanya sulit sekali. Ongkosnya terlalu mahal. Namanya Trimo harus mau nrimo.
Perlu diketahui bahwa orang yang bekerja sebagai mandhor itu berasal dari bekas gentho dan begal yang jago tawur. Sama sekali tidak terdidik. Ini adalah manajemen kehutanan peninggalan penjajah devide et impera, politik memecah belah.
Orang sekitar hutan yang hidupnya miskin itu diadu domba dengan berandal yang direkrut sebagai pegawai honorer. Supaya aman, pencari kayu bakar dan tukang arang itu mesti mau pasok sogokan. Kira kira separuh dari total hasil kerjanya buat upeti sang mandhor.
Begitulah penjelasan Adi Usman, alumni Fakultas Kehutanan yang kini aktif di Konsorsium Hutan Rakyat.
Membuat arang perlu tenaga ekstra dan waktu panjang. Arang yang baru saja diobong itu didinginkan sejenak, lantas dibeli Embok. Satu gendhongan ditukar dengan dua buntel sego pecel. Pengobong arang sudah senang, karena pagi pagi nasi langsung bisa dinikmati. Di bawah kaki Gunung Pandhan sudah siap dibawa oleh pedagang, sebagai penghubung dengan konsumen.
Kali Kedhungaron adalah rute Embok Yatinem dalam perjalanannya mengangkut arang. Saya sendiri tidak tahu keadaannya, karena memang belum pernah melihat sendiri. Beliau melewati kali ini bersama dengan sahabat karib, Mbokdhe Nyami. Beliau akhirnya hidup makmur bersama dengan Pakdhe Tamiran, juragan cikar.
Lukisan tentang Kali Kedhungaron saya peroleh dari Pakdhe Lamidjan, tetangga saya yang menjadi mertua Mas Wasidi. Dia adalah tokoh PDI Perjuangan yang menjabat Ketua BPD (Badan Perwalian Desa).
“Menelusuri kali Kedhungaron pada hari yang gelap, alangkah sunyinya. Malah kita bisa membayangkan ngeri sekali. Dua Srikandi, Embokmu dan Mbokde Nyami berani nlasak gegrumbulan, nrajang gegodhongan, miyak bebondhotan.”
Ceritera Pakdhe Lamidjan itu memang diselingi dengan janturan metafora wayang purwa. Wana gung liwang luwung.
Mengagumkan sekali. Kira kira apa yang dia pikir? Saya kira desakan ekonomi yang amat sulit, juga tanggung jawab terhadap keluarga yang mendorong untuk berbuat dengan tekad seperti itu.
Pada tahun 60-an keadaan hutan di Jawa masih sangat lebat. Pepohonan ketel ketel dan hewan galak juga masih berkeliaran. Masuk hutan saat itu tentu mengandung resiko yang sangat besar. Banyak kewan galak dan ular berbisa.
Demi tanggung jawab dan kemandirian, Embok rela nasak wana wasa, tumuruning jurang terbis, mendaki gunung menuruni jurang terjal tanpa payung dan alas kaki. Mungkin kakinya sudah ngapal, sehingga tajamnya kerikil dan runcingnya duri sudah tidak mempan lagi. Kaki yang ngapal sudah tebal dan kebal.
4. Modal Bahu Suku.
Bahu suku udhu panemu merupakan gawan seseorang. Anugerah turah turah. Setelah meninggalkan bangku SD kelas 5 tahun 1963, Embok lantas magang kerja kepada keluarga Embah Sakirah yang bekerja sebagai bakul tempe.
Tinggalnya di Tambaksari Surabaya. Selama 9 bulan Embok berusaha menguasai ibukota Jawa Timur itu, dengan sering melantunkan lagu.
Rek Ayo Rek.
Rek ayo rek mlaku mlaku neng Tunjungan,
Rek ayo rek mlaku mlaku bebarengan,
Cak ayo cak sapa gelem melu aku,
Cak ayo cak golek kenalan cah ayu,
Ngalor ngidul liwat toko ngumbah mata,
Awak lungkrah pikir susah dadi lega,
Sapa ngerti nasib awak lagi mujur,
Kenal anake sing dodol rujak cingur,
Mangan tahu ja dicampur karo timun,
Malem minggu ja digawe kanggo nglamun.
Mungkin lagu itu menggelitik. Kenapa kenal dengan anak penjual rujak cingur saja, nasib dikatakan sudah mujur. Apakah pencipta lagu ini tidak mengenal teori kelas? Lagu kebanggaan arek arek Surabaya di atas, boleh jadi dihapalkan Embok selama di rantau.
Pada kenyataannya secara geografis Surabaya bisa ditaklukkan. Tetapi secara sosial ekonomi Surabaya tetaplah kota besar yang pusatnya sulit dijangkau oleh tangan wong cilik.
Wong cilik modalnya cuma bahu suku, sementara tuan tuan kota besar mempunyai jaringan sosial, intelektual dan finansial. Dalam persaingan ini ibarat timun mungsuh duren.
Kelahiran, jodoh dan kematian adalah rahasia Tuhan. Embok Yatinem menikah dengan Pak Ridjan. Dari pernikahan ini beliau berdua mendapat anugerah dua orang anak, saya yang diberi nama Purwadi dan adik saya perempuan yang diberi nama Partini.
Saya lahir tanggal 16 September 1971 dan Partini lahir pada 14 Januari 1974. Setelah itu Embok Yatinem ikut Keluarga Berencana. Dua anak cukup, laki laki perempuan sama saja.
Program Keluarga Berencana (KB) yang dicanangkan oleh pemerintah sudah diikuti secara tertib dan disiplin oleh Embok dan Pak Ridjan. Keduanya menyadari manfaat KB. Setiap hari Embok mau minum pil KB secara rutin.
“Harap diketahui bahwa saat itu program KB masih ada pro dan kontra. Pihak piihak tertentu gencar dan sengit menolak program KB.”
KB program utama pemerintah orde baru. Seperti itu pesan Mbak Nuzul kepada Mas Ayon, yang menjadi pejabat teras BKKBN Salatiga.
Kenyataannya memang beban Embok sekeluarga menjadi lebih ringan. Embok selalu bilang, keluarga besar itu tentu perlu biaya yang besar pula. Saya kira itu pendapat yang wajar. Pendapat itu sudah merupakan ide yang cukup maju. Yang jelas, Embok bisa memenuhi kebutuhan dasar keluarganya.
Tak pernah kekurangan yang berujung pada penderitaan. Harga diri keluarga saya tetap terjaga. Belum pernah dikepung oleh tagihan utang. Embok memang orang yang mudah untuk menerima perubahan. Apalagi jika berasal dari pemerintah, Embok cepat cepat mendukung program yang ditawarkan.
Pak Ridjan juga berasal dari kampung yang sama dengan Embok Yatinem. Ayah Pak Ridjan bernama Mbah Wariyo. Sedangkan ibunya bernama Mbah Damis yang ikut Embok Yatinem.
Nyatanya Embok Yatinem amat berbakti pada mertuanya ini. Terbukti Mbah Damis kerasan tinggal di keluarga Embok. Mantu lan mara tuwa samad sinamadan.
Kehidupan Pak Ridjan pun tidak berbeda dengan Embok Yatinem. Sama sama dari keluarga mlarat. Jas bukak iket blangkon, sama jugak sami mawon. Sebagai sulung yang harus membantu adiknya Pak Ridjan sejak kecil harus ngenger pada orang lain.
Pertama kali saat kelas 2 SD tahun 1949 Pak Ridjan mengabdi pada keluarga Mbah Tuminah. Sehabis sekolah harus mau angon dan ngarit. Ikut Mbah Tuminah ini lebih banyak unsur belas kasihan saja, sehingga upahnya pun cuma makan dan numpang tidur. Kemudian Pak Ridjan meningkatkan karier.
Dengan menjadi pangon pada keluarga Mbokdhe Taminem, Pak Ridjan bekerja lebih tekun sehingga mendapatkan upah seekor pedhet. Pedhet inilah yang dipakai sebagai modal untuk membangun rumah tangga.
Ada petani terpandang lagi yang mesti disebut di sini yaitu Mbah Gunoredjo. Populer disebut Mbah Min Enggang. Terakhir kalinya Pak Ridjan menjadi pembantu keluarga Pak Woso, seorang blantik yang tersohor di pasar Wage. Secara umum mereka bangga kepada prestasi kerja Pak Ridjan.
Entahlah mengapa karier orang tua saya selalu diawali dengan ngenger. Padahal ngenger sepadan menjadi buruh, kuli, pekerja dan suruhan orang yang tidak punya kemerdekaan.
Tahu pahit getirnya menjadi buruh. Arti buruh yaitu awake lebur ora weruh. Bapak dan Embok tidak pernah menyuruh anak anaknya nggandhul kepada orang.
“Kamu semua mesti sekolah tinggi, supaya bisa tampil sebagai generasi baru yang cukup, cakap, cakep dan cekap. Kalau tidak mau belajar, nanti kamu getun keduwung selawase.”
Berulang ulang Embok berkata begitu kepada keluarganya.
“Le, di mana saja kamu sekolah, saya sanggup membiayai. Kowe sekolah sing Tenanan ya.”
Pernyataan Embok ini sesuai dengan kenyataan. Hidup terus berjalan, nuting jaman kelakone. Lulus raharja, nir ing sambikala.
Oleh Purwadi.
Ketua Lembaga Olah Kajian Nusantara LOKANTARA, hp. 087864404347
Tidak ada komentar:
Posting Komentar