Rabu, 19 Mei 2021

EMBOK YATINEM [5] MENGHAYATI ILMU LAKU


1. Kesadaran Ilmu Laku. 
Untung sekali orang Jawa punya tembang. Bagi Embok Yatinem tembang menjadi alat untuk mengasah kepekaan hati. 

Lantunan tetembangan terdengar dalam pentas wayang purwa dan langen tayub. Lewat siaran radio malah pesannya mudah dipahami. 

Dalam bentuk palaran pucung, konsep ilmu laku dihayati oleh Embok Yatinem. Pengajaran batin orang Jawa selalu berhubungan dengan tembang macapat. 

Pucung 

Ngelmu iku kelakone kanthi laku,
Lekase lawan kas, 
Tegese kas nyantosani,
Setya budya pangekese durhangkara.

Tembang Pucung petikan Serat Wedhatama karya Sri Mangkunegara IV itu berisi jangka jangkah jangkaning jaman. Rupa rupanya tembang pucung menjadi dorongan keluarga Embok Yatinem dalam thalabul ilmi. 

Kesadaran akan arti penting pendidikan Embok Yatinem sangat tinggi. Beliau tahu bahwa ilmu pengetahuan dapat mengubah nasib orang. Berdasarkan pengalaman keluarga yang kurang mendapat pendidikan, lebih banyak mengalami kesulitan. Maka ilmu bisa menjadi penerang. 

Pesan Ini sama dengan pesan Al Qur’an Surat Mujadalah: 11, yarfa’ilahul ladzi na’amanu minkum waladinan utul ilma darajah bahwa orang yang beriman dan berilmu itu akan dinaikkan derajatnya oleh Tuhan.

Terhadap anak anaknya, Embok Yatinem amat perhatian. Dia mengharuskan anak anaknya agar mau bersekolah. Kapan dan di mana saja, Embok Yatinem bersedia mendukung. Tak ada niat sedikit pun untuk kendor semangat. 

Bila perlu sekolah setinggi tingginya. Sejak SD sampai Perguruan Tinggi, Embok mau secara total memberi biaya. Untuk urusan sekolah, Embok Yatinem tidak pernah mengeluh soal dana. Berapa pun besarnya, Embok pasti setuju. Beliau sadar makna jer basuki mawa beya. Cita cita perlu pengorbanan.

Anak sulungnya adalah saya sendiri, bernama Purwadi , disekolahkan sampai jenjang yang paling tinggi. Boleh jadi Purwadi adalah purwaning dumadi, maknanya asal muasal kehidupan. Sedang  adik saya bernama Partini disekolahkan dengan jenjang yang sama. Semua dengan dana keluarga. 

Embok Yatinem selalu siap dengan uang kuliahnya. Partini diharapkan agar menjadi wanita yang mempunyai kejelitaan lahir batin, ayu, hayu, rahayu, yang bermanfaat bagi seluruh alam semesta. 

Sewaktu masih sekolah SMP, saya dibelikan buku yang beraneka ragam. Bahkan saya mempunyai koleksi yang paling lengkap. Seragam, sepatu, sepeda dan perlengkapan sekolah lain pasti dipenuhi oleh Embok Yatinem.

 Sedemikian tinggi penghargaan Embok Yatinem terhadap dunia pendidikan sehingga tetap saja menyisihkan dana demi ilmu pengetahuan. Mungkin Ladrang Wahyu ini menjadi inspirasi bagi keluarga saya untuk terus selalu belajar.

Pra taruna angudia, 
Saniskara sanguning sagung dumadi, 
Marsudi ing kawruh
Kang akeh gunane, 
Bisane sembada tlatenana.

2. Disiplin pada Anak. 

Tentang mendidik anak, secara simbolis Embok kerap kali mendendangkan lagu lagu yang bernuansa budi pekerti luhur.

 Misalnya tembang Kecik kecik yang sampai sekarang sangat mempengaruhi tingkah laku saya.

Kecik-kecik, kecike manila, 
Prayogane tumrap para mudha, 
Besok dadi wong kang dipercaya, 
sing becik dienggo, dibuang barang sing ala, 
Oing, uwit gadhung uwit tela, 
Oing, yen wis kadhung aja gela. 

Kenangan waktu mengantar sekolah di Yogyakarta. Dengan naik bus kelas ekonomi, saya dan Embok memperhatikan kondektur yang suka main bentak ditambah lagi dengan sopir bus yang begitu ugal ugalan. 

Waktu itu saya hanya merenung, seandainya SDM sopir dan kondekturnya ditingkatkan, tentulah amat indahnya. 

“Perilaku yang ramah dan melindungi masih jauh dari kebiasaan pengelola bis ekonomi.” 

Keluh penumpang seperti itu sering saya dengar. Saya dan Embok tiba dengan selamat di Yogya. Di sana Embok mencari pondokan buat saya.

 Ke sana ke mari Embok selalu mengantar dan mengawasi perkembangan pendidikan saya. Tak jemu jemu, Embok terus mendukung kuliah saya. Bila ada waktu, Embok tak lupa menjenguk saya ke Yogya. Kadang tinggal di Yogyakarta beberapa hari bersama saya mencuci dan memasak untuk saya dilayani Embok.

 Bahkan saya diajak berputar putar piknik ke Yogya dengan mengayuh sepeda onthel. Saya melihat Kraton, Malioboro dan Gembira Loka. Singkat kata, di mata Embok saya seperti balita, yang mesti dirawat, diawasi dan dibimbing terus. Saya benar benar menjadi anak mama.

 Terus terang saya pun menjadi anak manja bila berhadapan dengan Embok. Bahkan sewaktu menjadi pengantin baru pun, rasanya saya ingin terus dikawani oleh Embok. 

“Kowe kudu tansah ngajeni karo bojomu. Yen lunga, mesthi pamitan. Sing rukun yo.” 

Begitulah pesan Embok Yatinem setelah saya menikah. 
Dengan menantunya Embok bilang

 “Kowe aja gelem diwayuh. Yen bojomu rabi meneh, tinggalen!.” 

Ini dikatakan dengan mimik serius. Saya sendiri cuma tertawa ngakak. Ternyata Embok adalah pendukung gerakan feminisme dan kesetaraan gender. Saya jadi teringat, Embok sering mengutip cuplikan tembang Walang Kekek yang dilantunkan oleh Ibu Waljinah. Beliau memang penyanyi yang kondang kaonang onang. 

Walang kekek mencok neng tembok, 
Mabur maneh mencok neng pari, 
Aja ngenyek mas karo wong wedok, 
Yen ditinggal lunga setengah mati. 

3. Memeriksa Laporan Belajar. 

Saya yang sedang belajar dipantau terus oleh Embok Yatinem. Nilai raport akan diperiksa satu per satu dengan teliti. Beliau begitu peduli terhadap pasang surut perkembangan studi putra putrinya. Raport saya pernah jeblok. Embok kaget, saya lihat beliau amat marah. 

Pak Ridjan segera diajak rembugan. Saya sekeluarga menata kembali agar prestasi bisa terkatrol lagi. Embok merasa malu bila anak-anaknya tidak mendapat prestasi belajar. Konsolidasi seperti ini kerap kali dilakukan. Saya amat sangat serius. Tak mau main main dalam belajar mengajar.

Kejelian Embok Yatinem terhadap belajar saya sejak SD sampai SMA, cukup dipantau dari rumah. Lewat guru dan teman teman yang berkunjung ke rumah saya. Embok mengikuti kemajuan studi saya. Dengan perhatian guru dan teman teman, Embok merasa saya bisa diandalkan.

 Teman teman yang belajar bersama saya sudah menunjukkan bahwa saya dapat dipercaya. Sampai saya kuliah pun, saya tetap menjadi perhatian Embok. Secara rutin saya kirim KHS (Kartu Hasil Studi) ke Nganjuk lewat pos. Tidak cuma KHS, brosur brosur dan catatan yang berhubungan dengan perkuliahan mesti saya kirim. 

Kadang kadang seminggu sekali saya kirim lewat telegram dan surat. Inilah kutipan arsip korespondensi saya dahulu :

Katur dhumateng,
Bapak Ridjan & Embok Yatinem
ingkang satuhu kinabekten
ing Dalem Nganjuk

Lumantar nawala punika keparenga kawula caos sungkem pangabekti. Kawidadan, kawibawan, kabagyan, kamulyan lan karaharjan mugi tansah lumintu ing sadhengah papan, mliginipun rumembes dhumateng sedaya kuluwarga. 

Ndadosaken kawuningan bilih kawula mbenjang tanggal 12 – 24 Desember 1992 badhe nempuh ujian semester. 

Supados gancar lancar anggenipun ngayahi jejibahan, kawula nyuwun tambahing pangestu. Menawi sampun paripurna, ing pangajab tanggal 2 – 8 Januari 1993 kula badhe sowan dhateng Nganjuk. 

Pungkasaning atur, mugi sami rahayu ingkang pinanggih, nir ing sambikala. Nuwun. 
Ngayogyakarta Hadiningrat,
1 Desember 1992
Purwadi 
Sagan, GK V/955 Yogyakarta

Dengan demikian seluk beluk pendidikan mulai dari SD – SMA dan sarjana  Embok Yatinem amat sangat tahu. Sistem dan besar kecilnya biaya pendidikan sudah diketahui Embok secara rinci dan jelas. 

Berkaitan dengan karier sekolah saya ada salah satu pendukung saya adalah keluarga Mbah Putri Tinah Malang. Keluarga Kota Malang ini adalah trah Mbah Putri Tinah dan Mbah Kakung Karmaji. 

Embok Yatinem amat dekat dengan keluarga ini. Banyak ilmu yang saya terima dari swargi Mbah Tinah sekeluarga, terutama ilmu yang berkaitan dengan semangat hidup. Sejak dulu kala Mbah Tinah minta supaya pendidikan dan sekolah itu diutamakan. 

“Jangan sampai tak bersekolah. Nanti bisa getun keduwung, menyesal sepanjang hayat.” 

Kata Embok yang menirukan nasehat Mbah Tinah. 

Untuk memberi contoh ini,  bulik Renti, adiknya Embok juga ikut Mbah Putri Tinah hingga selesai sekolah. Mbah Tinah cukup banyak menyumbang pada saya, tanpa harus berujud material yang banyak. Tinggalan beliau yang masih ada hingga kini adalah timbangan untuk bakulan. 

Secara simbolik timbangan itu untuk berusaha mencari nafkah lewat berdagang. Kata Nabi, rejeki itu 90% ada pada niaga. Kecuali itu, timbangan juga berarti ketelitian. Segala sesuatu yang belum diputuskan perlu dipertimbangkan secara matang.

“Timbangan mengandung arti adil, karena menjamin tak adanya berat sebelah. Piranti yang dapat memuaskan banyak pihak adalah timbangan.” 

Demikian amanat Mbah Tinah. 
Putra putri Mbah Tinah yaitu: Paklik Wito, Bulik Yuli, Bulik Tatik, Paklik Sugeng, Paklik Jito dan Paklik Tegung.

 Semuanya memberi apresiasi yang dalam atas kiprah keluarga saya. Saya harus mengucapkan banyak terima kasih, ngaturaken gunging panuwun ingkang tanpa upami. Di antara putra putri Mbak Tinah, hampir semua sering berinteraksi dengan Embok. 

“Aku seneng karo putra putrine Bulik Tinah. Saben saka Malang menyang Nganjuk, mesthi nyambangi aku.” 

Komentar Embok pada saudara misanannya itu.
Hubungan ini semakin dekat setelah Paklik Tegung menikah dengan gadis desa saya, putrinya Pak Parni. Boleh jadi Embok menjadi welas asih kepada Paklik Tegung yang sudah menjadi yatim piatu sejak kecil.

4. Membina Kelompok Belajar. 

Tahun 1983 Embok turut mendukung berdirinya kelompok belajar. Rumah Pak Todjo sangat besar dan luas. Beliau adalah guru saya.

 Tiap sore rumahnya digunakan untuk belajar kelompok secara intelektual. Kelompok belajar ini cukup maju. Masing masing anggota menjadi siswa berprestasi. 

“Kalau ingin pengetahuan luas, kalian mesti banyak membaca.” 

Pesan Pak Todjo pada murid muridnya. Dua putra putri Pak Todjo, Agung dan Arum juga menjadi pelopornya. Agung nantinya kuliah di ITB dan Arum kuliah di IKIP Malang. Bu Sam Todjo dengan begitu mudah dan ramahnya sehingga tiap malam menjamu kelompok belajar saya. Teh dan krupuk gapit kerap saya cicipi. 

Embok mendukung belajar di rumah Pak Todjo. Setelah jam 21.00, beliau menjemput saya pulang. Di tengah gelapnya malam, saya minta gendhong. Padahal saya sudah kelas 5 SD. Saya waktu itu tampak berbahagia. Embok pun suka sekali melihat kemajuan studi anak anaknya. Embok Yatinem tak segan segan menjemput saya, meskipun malam sangat gelap. 

Saat itu di kampung saya belum ada listrik. Penerangan desa menggunakan lampu petromax. Warga punya lampu petromax itu sudah terpandang di kampung. Tak semua orang punya penerangan lampu petromax. Di sana sini orang cuma menggunakan lampu cublik, teplok dan ting. Kalau angin kencang, mudah padam seketika. Di jalan-jalan orang suka menyalakan lampu ting. 

Lampu ting dipasang di depan rumah dengan diberi gantungan. Dari kejauhan tampak kelap kelip mirip dengan kunang kunang. Tidak terang memang. Tapi sudah cukup menggembirakan orang sekampung.

Penerangan listrik mulai ada di desa saya, cuma keluarga saya belum mampu pasang. Saya ikut ndompleng penerangan di jalan yang sudah berlistrik. Itu saya lakukan sampai tahun 1995.

 Pendukung lain yang sangat berjasa pada perjalanan pendidikan keluarga saya adalah dari keluarga Pak Hendro Soedjito. Tempat tinggal Pak Hendro berada di depan persis rumah Mbah Paniyem. Dua keluarga ini sudah punya tradisi kerja sama yang sangat baik. 

Keduanya saling menghargai.
Pak Hendro adalah Kepala Sekolah SD di Banaran Kulon. Sifat kebapakan amat mendidik keluarga saya. Bapak dan Embok ternyata murid Pak Hendro Sudjito. Saya sendiri mendapat dukungan penuh dari Pak Hendro dalam hal belajar. Waktu saya masuk SLTP, Pak Hendro memberi pinjaman buku yang amat lengkap. 

Ini buku lungsuran dari Mas Heru. Setiap lebaran saya sekeluarga pasti sowan pada keluarga Pak Hendro. Sungkem pangabekti saya haturkan kagem Bapak Hendro sekeluarga atas perhatian dan pengayomannya. Bapak dan Embok sejak dulu sering bekerja di rumah Pak Hendro. Bapak bekerja di sawah Pak Hendro, sedang Embok membantu di dapur Bu  Martini.

Bapak dan Embok selalu berkonsultasi kepada Pak Hendro bila sedang ada gawe. Beliau mesti dimintai doa restunya. Tak mungkin dilewatkan. Sejarah telah membuktikan bahwa saya sangat menghormati keluarga Pak Hendro. Saya taat dengan sabda dan dawuh Pak Hendro Soedjito.

Saya sering membayangkan Pak Hendro yang pernah berperan sebagai Prabu Baladewa dalam Paguyuban Wayang Wong Mardi Budaya. 

“Sungguh gagah betul Pak Hendro dhapuk Raja Mandura.” 

Kata Embok Padin yang jadi penggemarnya. 

5. Oboring Jagat Raya. 

Obor berguna sebagai penerang dunia. Pitutur yang baik menjadi penerang hati. Dalam hidupnya Embok Yatinem merasa mendapat dukungan dari handai taulan. 

Ibu guru yang sangat penting kehadirannya di keluarga saya adalah Bu Karnaningsih. Asal Jati Tengah. 

 Hubungan Embok dengan Ibu Karnaningsih sudah terjadi sejak tahun 1984. Beliau adalah guru SMP Negeri I Rejoso. Berkali kali Ibu Karnaningsih rawuh di rumah Embok. Bagi Embok kunjungan Ibu Karnaningsih itu dirasakan sebagai barokah, penghargaan, perhatian dan dukungan yang luar biasa nilainya.

 Derajat Embok merasa diakui dan dihargai. Ini merupakan tindakan keluhuran budi. Embok tak mungkin melupakan. Bahkan ketika saya hendak masuk SPG (Sekolah Pendidikan Guru) yang sudah bubar tahun 1989 itu, Embok juga diberi siraman nasihat oleh Bu Karna.

“Bu Yatinem, sebelumnya saya nyuwun pangaksami. Saya usulkan ingkang putro sebaiknya masuk SMA saja.” 

Kata Bu Karna seperti itu memang ibarat wengi peteng dhedhet kang pinapak obor sewu. 

“Nuwun sewu. Nanti apakah saya mampu mengantarkan anak saya sampai kuliah ke perguruan tinggi.” Embok tampak ragu.

“Sebagai orang Jawa kita percaya ana dina ana upa. Asal ada kemauan pasti ada jalan. Niat mulya pasti diberkahi Gusti Allah.” 

“Kalau begitu saya dan bapakne thole nderek dhawuh panjenengan saja.” 

Hati Embok menjadi mantap. Selain Bu Karnaningsih, Embok juga sering membicarakan keramahan Bapak Suparmin. Beliau mengajar matematika. 

Begitu bangganya kepada nilai matematika saya, Pak Parmin sempat rawuh di rumah. Sehari kemudian Embok membuat wajik khusus kagem pak guru matematika ini. Hingga sekarang saya terus menyambung hubungan guru – murid yang penuh dengan keselarasan.

Prestasi saya di SMA pun boleh dikatakan lancar. Saya mendapat  jurusan A4 yang menekuni sastra dan budaya. Akhirnya saya bisa masuk Perguruan Tinggi tanpa tes, dan kuliah pun lancar. Saran Bu Karnaningsih menjadi kenyataan.

 Perlu saya catat dengan tinta emas dalam perjuangan keluarga saya adalah keluarga Bapak Heri Suparto. Ibu Heri Suparto pernah datang ke Grogol. Beliau kenal Embok atas ajakan Mbak Prihatmini Yurista Sari. Saya menyebut Mbak Tita, kawan sewaktu SMA 2 Nganjuk dulu.

Kedatangan Bu Heri untuk memberi dukungan pada saya dan Partini agar tetap bersemangat kuliah. Saya dan Partini kuliah tanpa tes. Lancar lancar saja. Semua berkat ketekunan dan tekad semangat yang kuat. Keadaan ini yang membuat Bu Heri Suparto sekeluarga ikut mendukung program pendidikan saya dan adik. 

Tentu saja bagi Embok, kunjungan mendadak dari Bu Heri ini sangat berarti. Embok merasa dihormati. Perjuangan Embok semakin mantab. Embok merasa yakin bahwa apa yang dilakukan itu benar dan harus diwujudkan. 

“Yen bali Nganjuk kamu harus mampir untuk nyuwun pangestu kepada Bu Heri sekeluarga.” 

Pesan Embok itu selalu saya ingat.
Keluarga saya tentu tidak akan pernah melupakan atas keluhuran budi keluarga Bapak Dahono Suroyo, atau keluarga Hilda Yaya. Kehadiran Hilda di keluarga saya memang cukup berarti. Sambutan Embok pada Hilda sungguh sungguh istimewa. Kalau Hilda datang, Embok langsung menyiapkan tiga minuman sekaligus. Air putih, teh dan kopi.

Hilda adalah teman saya ketika di SMA 2 Nganjuk. Kenangan dengan dia memang cukup manis dan indah. Saya dan dia berkawan secara tulus. 

Tiap hari belajar bersama, sehingga saya juga terus mendapat prestasi yang menggembirakan. Saya bisa berdiskusi tentang banyak hal, terutama soal soal kehidupan. Meskipun secara sosial berjarak, tetapi Hilda mampu meyakinkan Embok Yatinem.

 Tindak tanduk Hilda selalu membuat Embok bombong ing penggalih. Tak ada kata dan perbuatan yang menyinggung kedua belah pihak. Masing masing tahu posisi.

 “Cita cita besar akan membuat orang besar.” 

Kata Hilda saat berdiskusi informal di depan Stadion sambil wedangan.

“Tapi butuh biaya.” 

Sanggah Gito dengan nada pesimis. 

“Biaya bukan segala galanya. Tekad dan semangat jauh lebih penting. Banyak contohnya dalam panggung sejarah.” 

Tegas Hilda dengan penuh keyakinan.
Keakraban saya juga sampai pada orang tua dan keluarga. Saya sudah biasa saling berkunjung.

 Terlebih lebih ketika Embok dikunjungi bapak dan ibu Dahono Soeroyo, berhari hari, bahkan bertahun-tahun selalu diingat. Memang benar, Embok akan berusaha sekuat tenaga membalas baik budi orang. Hilda kini menikah dengan Yaya, teman sekelas saya di SMA dulu. Pasangan ini dikaruniai  putera yang rupawan. 

Dukungan juga saya peroleh dari Kantor Perpustakaan Umum Kabupaten Nganjuk. Seminggu rata-rata saya pinjam lima buku. 

 “Apakah semua buku itu kamu baca? Embok sing lumrah begitu lho,...!!!”  

Mbak Atik, petugas perpustakaan umum yang bermarkas di gedung Juang 45 itu sempat ragu.
Rasa bimbang ini sirna ketika saya mendapat juara mengarang dan ranking kelas. Pak Rahman dan Bu Rahman memberi hadiah kepada saya beberapa bungkus baju baru.

Setiap kali pulang kampung, selalu saya sempatkan ke perpustakaan Nganjuk yang kini sudah pindah kantor di Jalan Diponegoro 47.

 Semua petugasnya amat ramah dalam penyambutan. Sebagai pengunjung saya mendapat hidangan khusus. Suguhane mbanyu mili. Bu Rahman dan Pak Rahman ternyata bertetangga dengan kepala sekolah SMAN 2 Nganjuk, Bapak Sujoto dan Ibu Sri Pudjiwati. 

Bila ada undangan dari keluarga saya beliau beliau itu senantiasa kersa rawuh. Saya bisa mengarang lebih dari 250 judul buku berkat bimbingan guru guru yang mulia di atas. Ini juga sebagai tanda balas budi. Seni Jawa Timuran . 

Kutha Ponorogo Mas misuwur reyoge, 
Cak cak Surabaya ja lali mbarek ludruke, 
Ampun kesusu kondur mirsanana sandur, 
Wayang topeng dhalang saking Madura sampun kondhang, 
Njajah desa milang kori, 
nggoleki condhonging ati, 
Seni gambus misri, Jombang gandrung Banyuwangi, 
Pandaan sendratarine, 
yen Nganjuk kondhang tandhake.

6. Kunta Bima Candi Borobudur. 

Candi Borobudur mengandung banyak pelajaran. Terhadap regenerasi pendidikan Embok Yatinem menaruh perhatian yang amat besar. 

Adik adik kelas saya juga mendapat perhatian khusus juga. Contohnya adalah Samidi. Sebenarnya  Samidi itu jauh usianya di bawah saya. Saya kuliah di Yogyakarta semester 5, Samidi baru masuk SMP. Dia kerap kali berkunjung dan bertukar pikiran dengan orang tua saya. 

Rupa rupanya Samidi betah berhubungan dengan Pak dan Embok.  Kadang kadang Samidi menginap di rumah segala. Ketika Embok dan rombongan bertamasya ke Candi Borobudur, Samidi diajak. Di sana Embok sempat menyentuh salah satu stupa Kunta Bima yang dianggap keramat. 

“Semua pengunjung Borobudur memang berebut untuk menyentuh arca dalam stupa Kunta Bima keramat tersebut. Menurut kepercayaan barang siapa mau menyentuh arca Kunta Bima itu, cita citanya akan terkabul.” 

Kata petugas pemandu wisata yang menjelaskan pada pengunjung.
Dengan adik kelas lain yaitu Edi Dwi Effendi yang pernah satu bus dari Nganjuk menuju Yogya. Ada kabar bahwa saya sedang jatuh dari sepeda. Embok tampak cemas, dikira saya kecelakaan yang serius.

 Alhamdulillah, saya cuma sedikit luka. Saya memang jatuh dari sepeda di timur Fakultas Teknologi Pertanian. Dengan Edi Dwi Effendi, ada hubungan khusus.

 Anak lain yang pernah mendapat perhatian dari Embok Yatinem adalah Suwandi putra Pak Midjan. Pak Midjan adalah sahabat karib saya sejak kecil. Kadang kadang saya melakukan diskusi dengan Pak Midjan di tengah sawah yang dilakukan pada malam hari.

Ketika saya kuliah ke Yogyakarta, Suwandi belum lulus Sekolah Dasar. Saya sempat mengantar Suwandi ke kampus IPB Bogor. Bersama dengan Edi Dwi Efeendi, saya menitipkan Suwandi kepada Takmir Masjid Kampus IPB. Tujuannya  biar Suwandi tidak usah membayar pondokan sementara.

“Bangsaku, bangsaku. Di tingkat Asia Tenggara saja diremehkan oleh negara kroco. Bagiku Singapura dan Brunai sederajat dengan Kabupaten. Malaysia sederajat dengan propinsi. Tapi mengapa Indonesia kalah pamor, Mas Edi?” 

Wandi mengeluhkan keadaan negaranya.

“Karena imannya tipis dan ilmunya kurang,  sehingga amalnya kosong.” 

Jawab Edi yang kini sangat intensif mempelajari gerakan Islam Modernis.
Perkawanan saya dengan Edi boleh dibilang amat sangat dekat. 

Sejak saya kuliah dan kos bersama, hubungan saya memang mesra dan erat. Setiap hari saya terlibat diskusi tentang berbagai macam soal sambil pijet pijetan. Demikian pula sewaktu Edi Dwi Effendi nikah dengan Nina di Sidoarjo, saya dan Bapak Ridjan diundang secara khusus

Embok Yatinem juga peduli dengan keluarga Pak Gimo, ayah Katiman. Keluarga Pak Gimo selalu menyempatkan diri untuk menghadiri acara acara penting di keluarga saya. Sewaktu ada resepsi pernikahan saya, Pak Gimo sekeluarga termasuk seksi sibuk yang banyak memberi kelancaran.

 Kakak Katiman yang bernama Lasidi adalah figur yang andhap asor. Saya pernah naik onthel untuk menonton wayang purwa di Yogyakarta, dhalangnya Ki Djoko Edan dan Pak Manteb Sudharsono

“Inyong seneng banget maring Katiman. Dia punya ketekunan, kepandaian, ketulusan dan ketrampilan. Kepriwe bae sebagai pribadi Katiman cukup hangat dan menguntungkan semua pihak.” 

Kata Yuwono dengan logat Banyumasan. 
Sementara dengan istrinya, Eni Martina adalah kawan saya sejak mahasiswa.
 Jauh sebelum kenal dengan Katiman, Eni sudah sering berkomunikasi dengan saya.

 Ketika Eni melahirkan puterinya, saya sekeluarga menengok di Karanganyar Solo. Di sana saya berdiskusi tentang ketabahan Bu Rina, Bupati Karanganyar yang gigih merintis karier politik. 

Adik kelas saya yang lain yaitu Bramantyo. Dia termasuk orang yang cerah, grapyak, cekatan dan cerdas. Kepada teman temannya dia amat penurut dan ringan tangan. Di mata Embok Yatinem, Bramantyo mendapat tempat yang khusus. Embok Yatinem sangat suka dengan penampilan dia. Berkali kali Embok Yatinem memuji Bramantyo. Kelebihan Bramantyo menurut pengamatan saya adalah sikap tabah.
Saya sempat lama berdomisili dalam satu kos dengan mereka di Karangmalang E 3.

Suasana khas kompleks kost Karangmalang, kesibukannya hampir terjadi selama 24 jam. Siang malam tampak aktivitas mahasiswa belajar.
 Pukul 07.00 sampai 18.00 hilir mudik mahasiswa dari IKIP dan UGM. Setelah Maghrib, tampak antrean para mahasiswi  ingin membeli gorengan. Mungkin gorengan tahu tempe dan pohung ini menjadi teman setelah santab malam. Lain halnya dengan mahasiswa yang suka begadang sampai larut malam.

 Mereka nampak nongkrong di warung angkringan. Kadang kadang menikmati bubur kacang hijau, khas masakan kuningan Jawa Barat. Di tengah malam itu sebagian mahasiswa masih sibuk juga ngetik di rental komputer. 

Ah Karangmalang!

 Sungguh banyak kenangan. Sebelah baratnya terdapat lembah alami. 

Ada danau yang banyak ikannya. Airnya selalu mengalir bening gemericik yang berasal dari selokan Mataram.

Gagasan Embok Yatinem dipengaruhi oleh seni. Hampir semua orang tradisional mendapat pembinaan mental dari lelagon Jawa. Begitu penting seni edi peni, budaya adi luhung.

Oleh Purwadi,
Ketua Lembaga Olah Kajian Nusantara LOKANTARA, hp. 087864404347

Tidak ada komentar:

Posting Komentar