Rabu, 19 Mei 2021

EMBOK YATINEM [6] MELANGKAH DENGAN BERAGAM GAGASAN


1. Lelakoning Ngaurip. 
Ajaran Begawan Abiyasa kepada Abimanyu dalam adegan pertapan diperhatikan oleh Embok Yatinem. Tumuju marang kamulyan ora alus dalane. Ibarat wong lelayaran ing samudra laya. Ombak lesus dadi pepalenge. 

Nanging sing temen bakal tinemu. Sing tekun antuk teken, wekasan katekan. Waton gembleng tekade, nyawiji pambudi dayane. 

Ada lakon Babad Wanamarta yang berisi kisah perjuangan. Cerita benar benar menjadi panduan hidup bagi Embok Yatinem dan Pak Ridjan. 

Selama tinggal di rumah Damar Kanginan, kehidupan Bapak dan Embok memang selalu susah. Segala jurus diterapkan, tetapi belum juga mengalami kemajuan.

Untuk makan berdua saja tetap sulit. Tidak ada lagi yang bisa diharapkan. Maka, timbullah strategi baru untuk merantau ke Surabaya. Jadilah Bapak dan Embok pendukung barisan  urbanisasi.  

Bapak dan Embok mengadu nasip dengan menjadi buruh pabrik. Bapak kerja di Pabrik Plastik dengan sistem borongan. Dari dunia agraris berubah ke dunia industri, tentulah Bapak tidak bisa bersaing. Kerja dalam lingkungan industri membutuhkan ketrampilan khusus. Singkat kata, Bapak gagal sebagai kaum urban. 

Untung sekali ada Lik Damin yang menjadi kepala suku PBB (Persatuan Buruh Bersatu) di kawasan industri Porong. Paklik tercinta ini mau membantu untuk menyediakan logistik buat bapak sehari hari.

Sedangkan Embok mau kerja di Pabrik Urang. Saat mendaftar Embok memakai baju jarik (nyamping). Petugasnya seorang wanita yang judes.
 
“Sampeyan  harus memakai klambi rok. Kalau tidak mau sampeyan saya tolak. Yo’opo, gelem ta.”  

Perintah juru administrasi dengan logat Surabayan. Seketika Embok menjadi panik. 

“Aduh sepurane, Mbak. Saya tidak punya baju rok.” 
Embok mencoba berdiplomasi.

“Sudahlah. Tak usah bingung. Kita kompromi saja, sampeyan berani membayar uang administrasi berapa? Nanti urusan jadi gampang.” 

Kayaknya Embok tidak setuju dengan cara kerja main sogok. 

“Yo wis, Mbak. Saya pulang saja. Lain kali ke sini lagi. Matur nuwun ya!” 

Cita cita untuk menjadi buruh di Pabrik Urang pun kandas. 

Untuk sekian kalinya, Bapak dan Embok tidak mampu menaklukkan kota metropolis. Sedapnya rujak cingur, ternyata kalah dengan kerasnya kota Surabaya. Dengan kesepakatan bersama, Bapak Embok kembali ke desa. Kebetulan ada rumah strategis yang kosong tak berpenghuni.

 Pertengahan tahun 1993, rumah itu saya sewa dengan ongkos Rp 50.000 per tahun. Bapak Embok membuka usaha pracangan. Dagang kecil kecilan ini mengalami perkembangan.

Beruntung sekali para tetangga berduyun duyun memberi bantuan. Hampir semua tetangga turut serta mengangkut dagangan Embok. Nasibnya seperti Pendhawa kalah dhadhu, terpaksa harus mengungsi ke negeri Wiratha. 

Salah satu orang yang luhur budinya adalah Mbah Yono sekeluarga. Beliau dengan semangat dan rela meminjamkan tanahnya untuk ditempati Bapak dan Embok. 

 “Keluarga besar Mbah Yono bisa dikatakan sedang melakukan tapa ngrame, yaitu memberi pertolongan kepada siapa saja yang membutuhkan. Pikiran, ucapan dan tindakannya benar benar telah memayu hayuning bawana demi keselamatan jagad raya.” 

Kata Pak Subambang tukang cukur. Keluarga saya pun telah mendapat pertolongan dari Mbah Yono. 

Beliau saya ibaratkan sebagai Sang Hyang Darma yang sedang ngejawantah di marcapada, untuk menaburkan keramahan dan kemurahan. Semua orang desa saya mendapatkan manfaat dari Mbah Yono. Kedermawanannya sudah dibuktikan oleh semua orang. Pengendalian dirinya cukup prima yang patut dicontoh yaitu: kalem, rendah hati dan menyejukkan.

Putranya Mbah Yono bernama Mursidi, kini dia telah menjadi Kamituwo  Mojorembun.  Saya ingat kebaikan dia selama ini. Mursidi adalah kawan saya sejak kecil.

 Sewaktu SD, saya sering pinjam buku pada dia. Setelah masuk SMP, tiap hari saya boncengan satu sepeda. 

Pada saat belajar di SMP tahun 1985 itu keluarga Mbah Yono ditinggal wafat oleh Bu Yono. Padahal masih punya anak berusia 3 tahun. Kakaknya Mursidi yaitu Ganimin dan Muroto. Mas Ganimin suka berbicara sosial politik, sedang Mas Muroto senang berdiskusi tentang iman dan agama. Semua putra-putri Embah Yono akhirnya diasuh oleh Bu Sam, putra sulung Embah Yono. Memang bikin hati trenyuh. 

Dari tanah sepetak pinjaman Embah Yono itu, Embok dan Bapak mendirikan gubug untuk usaha bakulan. Namanya Gubug Kurung Kencono. Disebut gubug memang begitulah keadaannya. Lantainya tetap tanah liat, dengan peralatan serba bekas. 

Cagak, reng, usuk, dan gedheg terbuat dari kayu yang sudah gapuk dan keropos. Di atasnya banyak dahan kayu trembesi, sehingga daun daunnya sama memenuhi genting. Dapur, kamar, dan ruang kamar jadi satu. Semua memang darurat. Yang penting sendi-sendi kehidupan tetap berjalan.

Supaya lancar dalam kulakan, Pak Ridjan membeli becak untuk alat transportasi. Becak ini bernama Kyai Panjang Jiwo. Sampai saat ini pun becak Kyai Panjang Jiwo itu tetap digunakan untuk mengangkut barang dagangan. 

Becak itu dapat mengangkut barang-barang berat yang relatif banyak jumlahnya. Bensin, solar, dan minyak tanah yang diwadahi jerigen pun mudah diangkut dengan becak itu. Dulu saya sering menggunakan becak itu untuk mengantar Embok Yatinem yang mau jagong. 

Entahlah saya kok begitu percaya diri menggunakan kendaraan wong cilik itu untuk menghadiri pesta. Mungkin dalam pikiran saya yang penting sampai tujuan saja. Tak ada pikiran untuk gengsi dan prestise.

Pada akhir tahun 1996, ada peristiwa tragis. Kira-kira pukul 20.00 malam Pak Ridjan yang sedang menarik becak ditabrak sepeda motor tanpa lampu. 

“Brak...!!!” 

Suara jerigen yang berisi solar dan bensin jatuh berserakan. Pak Ridjan pun jatuh terpelanting. Kasihan sekali, orang setua itu menjadi korban kecerobohan.

 Untung saja masih selamat. Saya mesti bersyukur bertempat tinggal yang baru itu. Dari segi spiritual, kultural dan sosial kawasan baru sekitar Gubug Kurung Kencono itu jauh sekali perbedaannya dengan Griya Damar Kanginan, tempat tinggal saya yang lama. 

“Inamal usri usro, sesungguhnya setiap kesempitan itu beserta kesempatan. Di balik kesulitan tentu ada kemudahan.” 

Begitulah ajaran kitab suci Al-Qur’an. Rata-rata kehidupan keagamaan di sekitar Gubuk Kurung Kencono, tempat Embok yang baru itu cukup maju. Pengajian, yasinan dan sholawatan menjadi kegiatan rutin yang diselenggarakan secara bergilir.

 Praktek keagamaan yang berjalan seiring dengan tradisi pedesaan ini menciptakan suasana guyub rukun. Arti penting informasi di era globalisasi juga menjadi perhatian tetangga saya.

 Keluarga Pak Djuwahir yang tinggalnya tepat di depan gubug saya setiap hari langganan koran Jawa Pos. Kadang-kadang tampak tabloid Nyata dan majalah anak anak. Pak Djuwahir adalah seorang guru dan juga ahli pertanian.

 Di rumah Pak Djuwahir inilah saya selalu meminjam sebagai markas setiap keluarga saya punya gawe. Saya sering kirim surat dari Yogyakarta buat cucunya, Ela-Rosa, putra Mas Widodo. Ini sebagai balasan budi, karena saya sering kali numpang baca koran secara gratis.

Semasa tinggal di Gubug Kurung Kencono ini, saya pernah mendapat kunjungan kehormatan dari Bang Amir Syarifuddin bersama istrinya, Mbak Ida Pristi. Dia adalah kawan saya di Pascasarjana yang menjadi dosen di Universitas Sriwijaya. Begitu akrabnya, sehingga ayah Mas Amir, Bapak Letkol. Achmad Kori yang menjadi ketua DPRD Kodya Palembang sempat mampir di kost saya, Karangmalang E-3.

 Setiap Bapak dan Embok ke Yogya, Mas Amir dan istri selalu menyambut dengan gegap gempita. Menjelang pilpres tahun 2004, Mas Amir sebagai Ketua Panwaslu Sumatra Selatan berkunjung ke Yogya.

2. Griyo Donoroso. 

Dengan diawali slametan sego golong dan jenang sengkolo, pada tahun 1999 saya pindahan rumah ke sebelah timur. 

 Bapak dan Embok mendirikan rumah baru yang lengkap dengan perabot dasar. Namanya Dalem Donoroso. Kamar tidur, ruang tamu, kamar mandi, dapur, gudang dan kamar mandi tersedia secara memadai. 

Pesawat telepon dengan nomor (0358) 611939 juga selalu “kring.....” yang memudahkan saya berkomunikasi jarak jauh.

Bisnis pun berpindah tempat, usaha berjalan normal kembali. Bahkan usahanya lebih maju dan berkembang. Barang dagangan keluarga saya pelan pelan tambah laris. Para pelanggan rupanya puas dan senang dengan usaha Embok. Puncak dari usaha ini adalah bisa membeli tanah. Tanah inilah yang dijadikan tempat rumah saya sekarang. 

Di belakang rumah Donoroso ada kebun yang ditanami buah buahan dan sayur-sayuran. Mangga, pepaya, dan kelapa secara periodik berbuah berlimpah ruah. Bayam, krangkong, lombok dan lamtoro selalu siap dipetik. Di tengahnya terdapat kolam tempat memelihara ikan mujahir. Kolam itu saya beri Nama Sendang Probo Rukmi. Setahun sekali panen ikan mujahir yang bisa menambah keuangan keluarga.

 Air bening mengalir ke kolam berasal dari Sumur Bur Madu Retno yang letaknya persis di sebelah barat rumah saya. Sumur Bur Madu Retno ini tinggalan Belanda sebagai pemandian umum, yang ramai siang dan malam. Sendau gurau dan gelak tawa orang orang yang sedang antri mandi memberi riangnya suasana. 

Di ujung selatan pekarangan saya adalah kali Tirto Nirmolo yang pinggirnya tumbuh pring ori, bambu Jawa yang bisa mencegah tanah longsor dan menyebabkan hawa sejuk. Tak jauh dari kali ini adalah hamparan sawah yang subur.

 Petaninya cukup mahir mengenai teknologi pengairan. Air bawah tanah permunculan di mana-mana yang dilengkapi dengan mesin diesel, sehingga pengairannya tak tergantung pada turunnya hujan. Padi, kedelai, brambang dan jagung merupakan tanaman yang tumbuh sesuai dengan siklus musim yaitu mangsa rendeng, mangsa mareng, mangsa ketiga, dan mangsa labuh. 

Perubahan keempat iklim itu ditandai oleh ngganternya suara garengpung. Pengetahuan tentang pranata mungsa ini menjadi syarat berhasilnya usaha pertanian.

“Rumah dan tanah itu adalah wahyu. Ada uang, tetapi tidak ada yang menjual tanah. Ada yang menjual tanah, tetapi tidak ada uangnya.” 

Kata Mbah Trunokariyo, Dukun dari desa Banaran. 

Untuk mendapatkan rumah dan tanah yang sesuai dengan idaman ada faktor keberuntungan dan takdirnya. Tak dapat saya bayangkan, Bapak dan Embok mendapat tempat tinggal yang bersebelahan dengan Pendhopo Sasono Sewoko yang tempatnya amat strategis.

 Boleh dibilang rumah saya berada di pusat ibukota desa. Sebelah timur persis rumah saya adalah gedung puskesmas. Bu bidan dan Pak  Mantri Kesehatan yang selalu sibuk melayani masyarakat akrab dengan keluarga saya. Sementara sebelah baratnya lagi kira kira 100 meter adalah gedung Sekolah TK, SD, dan SMP. 

Kemapanan keluarga saya di Dalem Donoroso ini mengingatkan janturan ki dhalang wayang purwa. 

“Anenggih negari Ngamarta, ya Negari Indraprastha, ya Negari Batanakawarsa. Negara ingkang panjang punjung pasir wukir, gemah ripah loh jinawi, tata tentrem karta raharja.”

3. Nggoreng Kopi Dini Hari. 

Dini hari pukul 02.00 Embok Yatinem sudah bangun. Cethik geni, menyalakan api di dapur untuk digunakan menggoreng kopi. Sementara anggota keluarga yang lain masih tidur. 

“Srok-srok-srok.” 

Itulah bunyi kopi yang digoreng di nanangan, wajan tempat menggoreng. Sothil dipegang tangan, berulang ulang untuk mengaduk kopi. Kayu bakar yang gemrubuk, menyala memanasi kopi. Tampak tempat kopi yang sudah masak berada di depan pawon. 

Begitulah alat menggoreng kopi: tampah, wajan, sothil, kayu rencek dan pawon. Alat-alat itu sungguh telah berjasa. Alat itu merupakan lambang kekaryaan, kemandirian, kepercayaan dan kewirausahaan.

Pukul 05.00 setelah Subuh, aktivitas nggoreng kopi sudah usai. Pak Ridjan lantas membantu nyelep kopi, untuk dijadikan bubuk.

 Mungkin kopi bikinan Embok Yatinem itu telah membuat makmur para pengusaha selepan. Tiap pagi kurang lebih 5 kg, kopi made in Embok siap diselep. Bagi kebanyakan warga desa, kopi made in Embok memang ngangeni. Bikin tuman saja. Tak heran kalau banyak orang yang ketagihan.

 Pelanggan pun berlimpah ruah. Otomatis keuangan pun jadi lancar. Inilah yang membuat Embok Yatinem gembira, semangat dan giat bisnis kopi. Embok sering menyatakan suka ria bakul kopi ini.

Sebagai seorang pelaku ekonomi desa, Embok Yatinem bergaul akrab dengan semua strata sosial, lintas ideologi dan bermacam-macam kepentingan. Di depan, samping dan belakang tak sepi dengan aneka kegiatan yang menggairahkan. Pendapa desa berlangsung sejak pukul 08.00 – 14.00. Kemudian digunakan tempat ibu-ibu mengasuh anak anaknya.

 Waktu malam tiba para pemuda berkumpul di Balai Desa Sasono Sewoko untuk sekedar melepas lelah. Sebagian berkelakar dan tukar informasi. Kadang kadang sampai berlangsung larut malam. Malahan ngebyar segala. 

Pada hari hari tertentu digunakan untuk slametan umum. Sebelah persis dalem Donoroso adalah puskesmas, hilir mudik orang berobat. Tua muda berkunjung untuk memeriksakan kesehatan. Praktek puskesmas ini ramai terus. Tak jauh dari rumah terdapat gedung SD – SMP.

 Pagi hingga sore anak-anak sekolah lalu lalang melintasi depan rumah. Tidak heran jika bakulan Embok menjadi laris manis. Kebutuhan pertanian dan alat-alat tulis kantor yang disediakan Embok banyak yang terbeli. 

4. Buka Toko 24 Jam. 

Relasi bisnis Embok Yatinem itu banyak jumlahnya. Mulai dari Toko Sumber Agung, Toko Edy, Toko Slamet dan lain lain, semuanya pernah menjalin hubungan dagang dengan Embok.

 Hubungannya patron klien. Toko toko besar itu menjadi bosnya, sedang Embok selaku pengecernya. Di antara para juragan juragan itu, Bapak dan Ibu Pawiwadi dari Banaran Bagor jelas merupakan dewa penolong bagi keluarga saya. Toko Pawiwadi benar benar membina Bapak dan Embok. Pak Ridjan dan Embok Yatinem dipercaya penuh oleh Toko milik Pak Pawiwadi. Ada buku khusus yang digunakan untuk menjalankan administrasi bisnis. Kedua belah pihak tertib pembukuan.

Jujur saja bahwa dagangan Pak dan Embok diambil atas kemurahan Bapak Pawiwadi. Embok sendiri sangat trampil dan cekatan dalam menjual dagangan. Pak dan Embok dapat dikatakan toko cabang Pak Pawiwadi. Keduanya terjadi hubungan yang saling melindungi, menguntungkan dan menyenangkan. Sebuah simbiosis mutualisme. Hingga detik ini hubungan dagang itu masih sangat harmonis dan dinamis. Kepercayaan dari Pak Pawiwadi dijalankan Embok dan Bapak dengan penuh hati hati. 

Embok Yatinem memang pekerja yang sangat keras. Beliau sejak dulu buka toko 24 jam. Orang boleh membeli kapan saja. Tak segan segan orang mau mengetuk pintu rumah saya. Beli rokok, bensin dan solar biasa dilakukan tengah malam. Di toko lain, mustahil ada kejadian jual beli yang bebas ini.

 Rata rata toko-toko itu akan buka dan tutup sesuai dengan jadwal waktu yang pasti. Embok memperlakukan semua pembeli dan pelanggan dengan sangat istimewa. Meskipun Embok suka bicara ceplas-ceplos, tapi pelanggan bisa menikmati. Tak ada rasa canggung dan tersinggung. Semua menyadari dan memahami karakter Embok Yatinem.

Malah lebih mengagumkan lagi, banyak orang di toko saya hanya sekedar kongko kongko. Mereka melepas lelah dengan kelakar, ngobrol dan mendengarkan radio. Radio itulah satu satunya hiburan. Kalau malam hari mereka mendengarkan siaran wayang purwa. Siaran wayang purwa dengan dhalang favorit Ki Narto Sabdo dan Ki Anom Suroto. 

Mereka akan menikmati siaran wayang purwa dengan penuh emat ematan. Suasana yang bisa menyejukkan. Embok biasanya berbaring di mana saja. Dengan alas karung pun Embok bisa tidur nyenyak.

5. Juru Bicara Keluarga. 

Manajemen keluarga Pak Ridjan memang unik. Untuk urusan yang amat penting, pasti mandat diserahkan kepada ahlinya. Pak puguh sekeluarga dipercaya Pak Ridjan dan Embok Yatinem sebagai top eksekutif semua acara perhelatan keluarga saya. 

Salah satu kegiatan yang sering dipercayakan kepada Pak Puguh adalah perayaan perayaan keluarga. Pak Puguh mampu menjalankan secara gemilang. Logistik dan urutan acara berhasil diselesaikan dengan memuaskan. Tak ada sedikit pun yang mengecewakan.

Prestasi cemerlang keluarga Pak Puguh ini dengan sendirinya terukir amat indah di hati keluarga saya. Saya akan selalu mengenang. 

 “Kamu harus menunjukkan rasa terima kasih kepada Pak Puguh dan Bu Mujinem sekeluarga.” 

Embok Yatinem pun berkali kali berpesan demikian.
Mungkin Embok merasa harkat dan martabatnya telah diangkat. Dari kasta sudra berubah menjadi kelas sosial yang layak diperhitungkan. Embok merasa diperlakukan secara wajar, terhormat dan manusiawi. Boleh jadi Pak Puguh menjadi idola di mata Pak Ridjan. Apa saja yang dikatakan Pak Puguh, Pak Ridjan sangat memperhatikan. 

Pak Ridjan sendiri senantiasa minta petunjuk dari Pak Puguh. Segala pertimbangan penting Pak Ridjan biasanya sudah mendapat arahan dari Pak Puguh. Pak Puguh setahu saya adalah orang yang gemar membaca. Semua informasi kontemporer diikuti. Barangkali inilah yang menambah sifat bijak dan bajik Pak Puguh. Mungkin ini sifat khas seorang guru.

 Istri Pak Puguh yang bernama Ibu Mujinem bekerja sebagai bidan yang siap melayani orang desa siang malam. Kedua puteranya, Canggih dan Anggit semoga mewarisi keluhuran budi orang tuanya.

Selain itu ada pula penasihat keluarga saya yaitu Bapak M. Yusuf. Beliau selalu menuntun keluarga saya dalam menjalankan agama. Pak Ridjan dan Embok Yatinem sering belajar pada beliau. Tidak mengejutkan bila beliau senantiasa dimintai tolong untuk mengisi acara keagamaan, seperti Yasinan dan Tahlilan. Cara mengajar Pak Yusuf bisa diterima oleh orang awam semacam Pak Ridjan dan Embok Yatinem. Pak Yusuf bisa menyesuaikan dengan kelompok kejawen abangan. Pak dan Embok adalah penganut kuat abangan kejawen.

Sejak kecil saya sudah belajar agama kepada Pak Yusuf. Mungkin sejak kelas 2 SD. Sampai saya kuliah pun, saya tetap ngangsu kawruh. Dan hingga sekarang pun Pak Yusuf tetap memberikan ilmunya kepada saya sekeluarga. Saya merasa beruntung mempunyai guru agama Pak M. Yusuf. Ajarannya mudah dicerna dan rasional. 

Beliau sering bilang

 “Dalam menjalankan syariat agama sebaiknya kita memakai ungkapan: Arab digarab, Jawa digawa.” 

Dalam berbagai acara keluarga, Pak Yusuf sering diminta sebagai juru bicara. Keluarga saya sungguh sungguh percaya kepada Pak Yusuf. Pernikahan saya pun, Pak Yusuf adalah juru bicaranya. 

Demikian pula saat Wuragil menikah, Pak Yusuf ikut repot sejak lamaran hingga perayaan. Tiap hari beliau bersedia membantu kelancaran urusan keluarga saya. Kapan dan di mana saja, Pak Yusuf selalu terbuka untuk direpotkan. 

Selanjutnya perlu saya sampaikan tentang jasa pasangan Mad Susrini. Ada tetangga terdekat yang amat disayang oleh Bapak dan Embok Yatinem. namanya Mad dan Susrini. 

Saya bangga dan bahagia bahwa di antara saya amat kompak dalam memutuskan persoalan yang amat penting itu. Buat saya pasangan Mad dan Susrini adalah anugerah dari Tuhan. Saya sudah menganggap sebagai saudara sinarawedi. Keluarga Mbak Tun, dan Mas Karna, kakaknya Mad juga gemati pada Embok dan Bapak. 

Juga Mas Syukur, Pak Yusuf dan keluarga Mbah Dariman Dinem tentu saya harapkan bantuannya. Hingga kini mereka menaruh perhatian yang amat besar kepada kehidupan keluarga saya. 

Keluarga saya juga mendapat dukungan dari Mbah Dinem Dariman. Pakdhe Rakimin, Pakdhe Rakimun, Pakdhe Darsum, Pakdhe Dami dan Mbokdhe Nyoni lengkap dengan garwa putra, mereka adalah keturunan dinasti Mbah Dinem Dariman. Dinasti yang turut mengawal karier keluarga saya.

Putra Pakdhe Rakimin yaitu Mas Diono dan Mbak Kat. Keduanya amat dekat dengan saya. Mas Diono berfatwa dengan segala kebijaksanaannya, bahkan dulu saya pernah ngaji agama kepada Mas Diono. Beliau termasuk tokoh desa yang populer, sedang Mbak Kat terkenal sebagai ibu yang cekatan. 

Pasangan Mas Sukur dan Mbak Jumini adalah putra Pakdhe Rakimun. Beliau termasuk orang kepercayaan Embok Yatinem untuk soal bangunan. Pakdhe Dami tetap setia mengawasi keluarga saya. Beliau amat cekatan dan enthengan.

Pakdhe Dami sekeluarga terlibat aktif dalam keluarga saya. Beliau tak banyak bicara, tapi gampang komunikasi lewat bahasa tubuh. Saya sering minta sayur pada Mbokdhe Dami.

 Sedang Mbokdhe Nyoni dan Pakdhe Sukiyono sangat akrab dengan saya. Saya sering tidur dan menginap di rumahnya. Bahkan beliau pernah menengok saya ke Yogyakarta. Kalau pulang ke Nganjuk, beliau langsung mengantar dan menjemput saya di stasiun. 

“Mereka boleh dibilang dudu sanak dudu kadang, yenm mati melu kelangan.”

 Embok Yatinem mengingatkan.

6. Upacara Nyadran Desa. 

Ada tokoh dalam pergaulan ini yang akan selalu saya ingat yaitu Kamituwo Warso. Setiap ada perayaan desa yang bernama nyadranan, saya mesti ikut serta memeriahkan. Pusat kegiatan perayaan nyadranan berada di pendapa Pak Kamituwo. 

Kata Pak Kamituwo Warso, 

“Di rumah ini akan diselenggarakan pentas pergelaran wayang purwa sehari semalam. Lakonnya bebas, asal tidak Baratayuda. Lakon ini akan bikin sedih. Maka menurut para sesepuh desa, lakon Baratayuda  harus dihindari.”

Sudah bisa dipastikan bahwa hari perayaan pasti jatuh pada hari Jumat Pahing. Orang sedesa akan masak besar besaran. Tetangga desa dipunjung nasi lengkap dengan lauk pauknya. 

Jajan tradisional yang beraneka ragam tersaji di mana-mana. Saya sendiri akan berusaha membantu kesibukan di rumah Pak Kamituwo Warso. Saya ikut rewang atau pladen yang melayani para niyaga saat menabuh gamelan. 

Adiknya Pak Warso yaitu  Bu Dinah yang pulang ke  mungkin sama dengan lakon hidupnya Embok Yatinem. Bu Dinah sangat gigih berjuang demi keluarga dan pendidikan anak-anaknya. Beliau rela merantau ke kota Surabaya untuk bekerja. Hasilnya sungguh menakjubkan.

 Terakhir kali saya ketemu beliau saat pernikahan Edi dan Nina di gedung Mapolda Jatim Surabaya. Saya bisa memahami jika Pak Rais, suami Bu Dinah merasa sangat kehilangan. Salah satu putranya yang bernama Priyatmoko selama tiga tahun berturut turut satu kelas dengan saya ketika belajar di SMP.

Saya juga berhutang budi kepada Bapak Haji Agus Supriyanto, adik Pak Kamituwo Warso. Beliau  terkenal di desa saya. Sejak dulu kala memang dermawan, pemurah dan suka bergembira ria bersama orang lain. Menurut saya beliau adalah tipe pribadi yang benar-benar mandiri. Singkat kata beliau itu cepat kaki ringan tangan. Mudah sekali dimintai pertolongan oleh kerabat dan para tetangganya.

Hubungan saya dengan keluarga Pak Agus ini boleh dibilang sangat baik. Sewaktu saya menikah, Pak Agus dan Bu Agus menyempatkan diri untuk mengantar saya sampai ke Salatiga. Bahkan beliau bertindak sebagai saksi pernikahan. Juga ketika ngundhuh mantu di Nganjuk, beliau sekeluarga juga ikut menjadi seksi sibuk yang benar benar mengesankan.

Kini Pak Agus semakin aktif dalam bidang sosial keagamaan. Di samping rumahnya diadakan tempat pendidikan Islam. Beliau dengan sukarela bersedia membayar biaya operasional. 

Segala peralatan sampai tenaga pengajarannya, beliau mau mengeluarkan ongkos. Sungguh amal keluarga Haji Agus ini sudah tak terhitung jumlahnya. Semoga menjadi amal sholeh yang patut ditiru oleh warga sekelilingnya.

Keluarga mulia ini ditambah keluhuran kakak kesayangannya, Pak Mantan Lurah. Saya orang sedesa menaruh hormat kepada Pak Mantan setinggi tingginya. 

“Kesabaran dan kedermawanan Pak Mantan laksana Prabu Puntadewa raja agung Ngamarta.” 

Pakdhe Dasar berusaha nyandra Pak Mantan Lurah.

Lara lapa tapa brata dijalani dengan sepenuh hati. Embok Yatinem berusaha nglakoni urip berdasarkan paugeran. Lumantar piwulang yang diterima secara turun temurun.

Oleh Purwadi, 
Ketua Lembaga Olah Kajian Nusantara LOKANTARA, hp. 087864404347

Tidak ada komentar:

Posting Komentar