Rabu, 19 Mei 2021

EMBOK YATINEM [7] BERUSAHA LABUH LABET DENGAN PASUWITAN


1. Labuh Labet Marang Praja. 
Lagu Gugur Gunung kerap didengar oleh Embok Yatinem. Nasihat tembang ini menganjurkan agar berbakti pada nusa bangsa. 

Ayo kanca ayo kanca, 
Ngayahi pakaryan praja, 
Kono kene konk kene, 
Gotong royong nyambut gawe, 
Sayuk sayuk rukun, 
Bebarengan ro kancane, 
Lila lan legawa kanggo mulyane negara. 

Bagi masyarakat Jawa, pendapa kabupaten masih dianggap sakral. Mendapat undangan dari Kanjeng Ndoro Bupati merupakan kebanggaan karena tak semua orang bisa memperolehnya. Peparing dari bupati dianggap sebagai beja kemayangan, seperti ketiban wahyu keprabon. 

Lelagon Nganjuk Berseiman

Berseiman berseiman
Motto pamarintah Kabupaten Nganjuk
Apa ta tegese 
Apa ta maknane
Mengku kekarepan
Bersih sehat indah nyaman

Ber bersih lingkungane
Se sehat keluargane
Indah sesawangane
Tinata sarwa asri

Aman sajroning kutha
Sumrambah desa ngadesa
Yo kanca budi daya
Murih  suksese

Berseiman berseiman
Nganjuk berseiman

Perjalanan sejarah keberadaan Kabupaten Berbek sebagai cikal-bakal Kabupaten Nganjuk sekarang ini. Dikatakan cikal-bakal oleh karena ternyata kemudian bahwa alur sejarah keberadaan Kabupaten Nganjuk adalah berangkat dari keberadaan Kabupaten Berbek di bawah kepemimpinan Kanjeng Raden Toemenggoeng Sosrokoesoemo I. Pada masa pemerintahan beliau telah dapat diselesaikan sebuah bangunan Masjid kuno yang bercorak Hinduistis disebut Masjid Yoni Al Mubarok. 

Setelah Kanjeng Raden Toemenggoeng Sosrokoesoemo I meninggal dunia pada tahun 1760 (Leno Sarosa Pandito Iku), sebagai penggantinya adalah Raden Toemenggoeng Sosrodirdjo, mendekati tahun 1811. Kabupaten Berbek pecah menjadi dua yaitu Kabupaten Berbek dan Kabupaten Godean. Sebagai Bupati Godean adalah Raden Mas Toemenggoeng Sosronegoro II.

Dalam perkembangan selanjutnya, sebagai tindak lanjut adanya Perjanjian Sepreh 1830 yaitu adanya rencana penataan kembali daerah-daerah dengan Surat Keputusan tanggal 31 Agustus 1830 ditetapkan bahwa Kabupaten Godean dinyatakan dicabut dan selanjutnya digabungkan dengan Kabupaten Berbek. Dengan akte komisaris daerah-daerah kraton yang telah diambil alih yang ditandatangani pada tanggal 16 Juni 1831 di Semarang. 

Kanjeng Raden Toemenggoeng Sosrokoesoemo II. Dari akte tersebut dapatlah diketahui bahwa Godean telah berubah statusnya menjadi Distrik Godean yang bersama-sama dengan Distrik Siwalan dan Distrik Berbek menjadi bagian wilayah Kabupaten Berbek.

Kanjeng Raden Toemenggoeng Sosrokoesoemo II (1830-1852) meninggal dunia pada tanggal 27 Agustus 1852 karena menderita sakit paru-paru. Yang ditunjuk sebagai penggantinya adalah Raden Ngabehi Pringgodikdo. 

Patih luar dari Kabupaten Ngrowo, yang bukan termasuk garis keturunan/keluarga dari Kanjeng Raden Toemenggoeng Sosrokoesoemo II. Pilihan jatuh pada Pringgodikdo ini dikarenakan putra-putra maupun keluarga terdekat dari almarhum KRT. Sosrokoesoemo II dianggap kurang mampu untuk menduduki jabatan bupati tersebut. Sedang Pringgodikdo dinilai lebih cakap dan berbudi pekerti yang baik, selain itu mempunyai pengalaman yang cukup dibandingkan dengan calon-calon lain yang diusulkan, sehingga dianggap mampu dan pantas untuk menggantikan KRT. Sosrokoesoemo II.

Pengangkatan Pringgodikdo sebagai bupati ditetapkan dengan surat keputusan tanggal 25 November 1852. Selanjutnya, apabila disimak dari isi Surat Residen Kediri yang pertama, tanggal 20 September 1852 tentang Pertimbangan pertimbangan terhadap Pringgodikdo untuk diangkat menjadi Bupati Berbek menggantikan KRT. Sosrokoesoemo II. 

Dapat diketahui bahwa kabupaten Berbek sudah sangat luas wilayahnya yaitu meliputi 8 Distrik. Apabila kita perhatikan kembali Akte Komisaris Daerah-Daerah Kraton yang telah diambil alih, tanggal 16 Juni 1831, dapat kita ketahui bahwa distrik yang terdapat di Kabupaten Berbek 3 distrik. Kabupaten Nganjuk ada 2 distrik dan kabupaten Kertosono ada 3 distrik. 

Apabila distrik-distrik yang terdapat di ketiga Kabupaten tersebut disatukan jumlahnya ada: 8 distrik sama dengan banyaknya distrik yang terdapat di Kabupaten Berbek sebagaimana dimaksud kutipan tersebut di atas. Hal ini berarti bahwa sebelum Raden Toemenggoeng Sosrokoesoemo II wafat, telah terjadi suatu proses penghapusan Kabupaten Nganjuk dan Kabupaten Kertosono dan selanjutnya wilayahnya digabungkan pada kabupaten tetangga terdekat yaitu kabupaten Berbek.

Raden Ngabehi Pringgodikdo menjabat sebagai Bupati Berbek  14 tahun, yaitu sampai dengan tahun 1866.
 Setelah beliau mangkat digantikan oleh Raden Ngabehi Soemowilojo, Patih pada Kabupaten Blitar dengan Surat Keputusan tanggal 3 September 1866 No. 10.  Selanjutnya dengan Surat Keputusan tanggal 21 Oktober 1866 No. 102 beliau diberi gelar Toemenggoeng dan diijinkan menamakan diri dan menulis: Raden Toemenggoeng Soemowilojo.

Raden Toemenggoeng Soemowilojo meninggal dunia pada tanggal 22 Februari 1878. Untuk menduduki jabatan Bupati Berbek yang kosong tersebut telah diangkat: Raden Mas Sosrokoesoemo III, Wedono dari Toeloeng Agoeng. Beliau diangkat dengan Surat Keputusan tanggal 10 April 1878, No. 9 menjadi bupati Berbek dan bersamaan dengan itu diberikan titel jabatan: Toemenggoeng dan diijinkan menamakan diri dan menulisnya: Raden Toemenggoeng Sosrokoesoemo.

 Pada masa pemerintahan Raden Toemenggoeng Sosrokoesoemo III inilah terjadi suatu peristiwa yang amat penting bagi perjalanan sejarah pemerintahan di Nganjuk hingga sekarang ini. Peristiwa tersebut adalah adanya kepindahan tempat: Pusat pemerintahan dari kota Berbek menuju ke kota Nganjuk.


Pada tanggal 28 September 1890, RM Adipati Sosrokoesoemo III karena menderita sakit yang terus menerus, dengan perasaan terpaksa meletakkan jabatan yang ia duduki, memberanikan diri mengajukan permhonan kepada Gubernur Jenderal dari Nederlandsch Indie untuk diberhentikan dengan hormat dari Jabatan Negara dengan diberikan hak pensiun, dan selanjutnya memohon agar dapat kiranya putranya laki-laki tertua: Raden Mas Sosrohadikoesoemo menggantikan menduduki jabatan sebagai Bupati Berbek.

Berdasarkan Besluit tanggal 2 Maret 1901 No. 10 Pemerintah memberhentikan R.M. Adipati Sosrokoesoemo dan selanjutnya mengangkat Raden Mas Sosrohadikoesoemo sebagai Bupati Berbek dan memberinya gelar: Toemenggoeng dan mengijinkan menamakan dan menulisnya: Raden Mas Toemenggoeng Sosrohadikoesoemo. Satu hal yang sangat penting untuk diperhatikan pada masa jabatan R.M.T. Sosrohadikoesoemo ini adalah mulai digunakannya sebutan: Kabupaten Nganjuk.  

Di pendapa kabupaten itu, Bapak dan Ibu As Hariyono sering meminta untuk melatih tari-tarian tradisional. Pengendangnya adalah Bapak Drs. Sunaryo. Mereka semua adalah guru saya dalam bidang kesenian. 

Berkali-kali Pak Bupati Sutrisno (1993-2003) mengundang Bapak dan Embok untuk datang ke Kabupaten. Undangan pertama kali dari kabupaten diperoleh Pak dan Embok saat ada acara bedah buku karangan saya, yang berjudul Pendidikan Budi Pekerti dalam Pandangan Kasepuhan Masyarakat Nganjuk.

 Acara itu dihadiri oleh seluruh Kepala Sekolah SMP dan SMA sekabupaten, kepala dinas, camat dan OSIS. Pendapa kabupaten penuh sesak. Para pembicaranya yaitu Prof. Dr. R. Soejadi, SH dan Prof. Dr. Damardjati Supadjar. Moderator Pak Slamet Sutrisno, dosen Filsafat yang sudah berulang kali berkunjung ke rumah saya. Para hadirin tampak antusias mengikuti bedah buku ini. Tak tanggung-tanggung, iringannya juga klenengan yang merdu.

Pak dan Embok yang didampingi oleh Bapak dan Ibu Puguh mendapat undangan kehormatan. Beliau berkesempatan masuk di ruang pringgitan segala. Saya lihat beliau tampak agak gumun, matanya berbinar-binar melihat-lihat estetika kabupaten. Undangan yang lain, yaitu resepsi pernikahan putra Pak Bupati yaitu Mas Adjid dengan Mbak Tessa. 

“Wong cilik diundang jagong Pak Bupati, tentu saja senang, karena nempil kamukten.” 
Kata Bapak Ridjan dengan wajah sumringah.

Atas anjuran Pak Tris saya kos di Bulaksumur G-12 yang merupakan rumah Dinas Prof. Drs. Sardjoko mantan Dekan Fakultas Farmasi. Tempatnya sejuk, karena banyak pepohonan, halamannya cukup luas. Tiap pagi ada bakul jajan, bubur dan sate Madura. Prof. Sardjoko adalah cendekiawan Jawa yang suka diskusi mengenai kasepuhan. 

“Mas, dieling-eling yo. Pria itu satu isteri sudah cukup. Dua isteri akan kurang. Tiga isteri malah semakin kurang.” 

Demikian wejangan Bapak kos saya yang sangat mulia ini. Bu Sardjoko orangnya luwes, supel dan halus sekali. Di sanalah saya pernah kost selama 2 tahun. Kenangan yang utama yaitu kamar depan terdapat kunci duplikat sebanyak 30 buah. Semua saya bagi-bagikan buat kawan yang mau main, dolan dan nginap. Jadilah kos yang berubah menjadi markas bersama. Para mahasiswa Fak. Kedokteran Gigi menjadikan kos Bulaksumur G-12 itu untuk pusat kegiatannya.

 “Ini adalah anugerah mewah. Untuk ukuran mahasiswa, kos di wilayah Bulaksumur adalah kehebatan tersendiri. Dekat kampus, dekat transportasi, dekat rumah sakit dan merupakan jantung kota Yogyakarta.” 

Kata Yanuardi yang aktif di Lapera bersama Mbak Didin. Rumah ini adalah sebuah kanugrahan dari Gusti Allah yang jarang dimiliki orang lain. Embok Yatinem kadang kala bertiduran di ruangan G 12, sambil ngunandika. Sebagai kawula di tlatah Nganjuk, keluarga saya mendapat perhatian khusus dari Pak Tris. Tak jarang Pak Tris dan Bu Tris mengunjungi saya di Yogya. Mampir di kos saya sudah tak terhitung lagi. Di sana saya berdiskusi tentang banyak hal, dengan suguhan marning dan brondong.

Saya lulus kuliah tahun 2001, perhatian Pak Tris tercurah habis habisan buat acara penyambutan. Namun beliau tetap saja konsisten. Saya menikah sampai punya anak, Pak Tris berperan sangat aktif dalam melimpahkan perhatiannya. Anak saya, Adityo Jatmiko adalah nama pemberian Pak Tris. 

“Adityo berarti matahari, jatmiko berarti kesusilaan. Mudah mudahan kesusilaannya akan bisa menerangi jagat raya, sebagaimana matahari yang terang terus dan terus terang.” 

Begitulah penjelasan Ibu Dra. Hj. Doni Soetrisno, M.Si. Beliau memang ahli linguistik Jawa. Disusul dengan kelahiran Aryo Bimo Setianto dan Anindito Wisnu Prasetyo. 


2. Tangga Teparo. 

Wisma Isbuja Minomartani jadi markas 
Institut Budaya Jawa. Inj adalah lembaga pendidikan spesialis Kejawen. 

Dengan diawali pemberitaan Mas Toto Sugiharto di koran Bernas, akhirnya Isbuja diekspos oleh media massa terkemuka di Indonesia, seperti Kompas, Tempo, Gatra, Jawa Pos, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Djaka Lodhang, dan Kabare Jogja. Tanpa gedung dan fasilitas, ternyata Isbuja bergaung namanya. Saya sendiri selaku rektor yang merangkap menjadi dekan, dosen, TU, dan tukang sapunya.  Atas bantuan Pak Joko Raharjo, juragan buku Isbuja kini punya tempat kuliah yang layak.

Setelah saya nikah kemudian menempati rumah Jl. Kakap Raya 36 Minomartani Yogyakarta. Rumah ini dibeli Pak Tris dari Prof. Dr. Suhartono, guru besar Sejarah. Rumah ini juga sebagai kantor pusat Isbuja, maka saya beri nama Wisma Isbuja Minomartani. 

“Rumah ini silahkan ditunggu. Kalau ada rejeki, kamu bisa mencicil. Tenggang waktunya tak terbatas. Sekuatmu saja.” 

Demikian pangandika dari Pak Tris. 

“Nggih, matur nuwun. Tapi apa saya mampu?”

“Aja kuwatir. Rumah ini bernomor 36. Total bilangannya 9. Angka 9 iku pawukon dewa. Yang menempati akan kuat derajat dan sandhang pangannya mbanyu mili.” 

Kata Pak Tris meyakinkan. 
“Benar. Kita harus ingat perjuangan Wali Songo.”

 sambung Bu Doni.
Mas Hardito dan Mbak Heni putra Pak Tris yang bekerja di Pupuk Bontang Kalimantan Timur pernah mengunjungi Wisma Isbuja.

Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Saya berusaha manjing ajur-ajer  dengan tangga teparo. Secara prosedural, saya sowan kepada Pak RT. Kemudian dilanjutkan mengunjungi tetangga dekat. 

Sederet dengan wisma Isbuja adalah  Keluarga Eyang Kakung Subadio, mantan pembesar BRI yang berpandangan luas.

“Prestasi harus di atas prestise. Kehormatan harus diutamakan daripada kenikmatan. Jeneng luwih penting ketimbang jenang.” 

Seperti itulah wejangan Eyang Subadio yang sungguh sungguh sangat dalam nilai filosofisnya.
 
Kegiatan sosial saya boleh dikatakan cukup lumayan . Saya dipilih menjadi Ketua RT 27 Minomartani dengan suara bulat. Di organisasi kemasyarakatan yang paling bawah ini saya amat terkesan oleh Pak Kuswadi, Pak Nano dan Pak Agus yang membantu pekerjaan riil sehari hari. Meskipun usianya jauh lebih sepuh, tetapi dapat bekerja sama dengan amat sangat baik.

Sedikit demi sedikit lama lama menjadi bukit. Hasil kerja saya sebagian ditabung untuk nyicil rumah Minomartani.

 Selama menempati rumah ini saya berprinsip ber bandu, artinya sugih sedulur. Partini tinggal di rumah saya sampai dia menikah. Temannya yang bernama Nurul Fitriah, mahasiswi UNY yang berasal dari Gresik tinggal bersama saya sampai ia lulus kuliah. Disusul dengan Tari yang membantu pekerjaan sehari hari. Tampaknya mereka semua betah.  

Rumah Mino layaknya hotel jujugan. Teman teman dari luar kota sering nginep. Mereka krasan dan nyaman, tiap hari hilir mudik berdatangan, tak ada rasa sungkan dan pekewuh. Keterbukaan dan ketulusan dalam berteman saya kembangkan, sehingga tercipta suasana yang teduh. Memayu hayuning bawana, kontribusi terhadap peradaban dunia.

Betapa kagumnya Embok dan Bapak saya. Begitu saya jadi manten, tiba-tiba sudah tersedia rumah. Sungguh bahagia, gembira, haru hati Embok saya. Gumun ngungun terasa seperti  mimpi. Tak menduga, dia sebagai buruh srabut dan bakul gendhong mampu mengantarkan anaknya dapat mengarungi bahtera rumah tangga. 

“Ditolong orang harus mau tahu diri. Rumah pinjaman ini mesti dirawat, dijaga dan dipelihara baik baik, jangan sampai rusak.” 

Demikian Embok Yatinem berkali kali menasehati saya. Kunjungan Bapak dan Embok dulu disertai Mbah Yono dan Kamituwo Mursidi. 

Bagi saya rumah Minomartani itu sejarah hidup yang penuh dengan kenangan indah. Di rumah inilah saya menerima tamu, relasi dan handai taulan. 

Pak Jatmiko Budi Utomo yang pernah menjabat sebagai Wakil Bupati Nganjuk semasa kepemimpinan Pak Tris pernah tiga kali berkunjung ke rumah Mino ini. Terakhir kali beliau datang bersama dengan Pak Muhardjito, Ketua DPC PDI Perjuangan Nganjuk. Ikut pula Pak Piyono, Wakil DPRD Nganjuk. Ketiganya hadir di rumah Mino untuk berbicara mengenai ngelmu Kejawen.

3. Seni Adi Luhung

Kabudayan

Kabudayan kesenian pancen nyata, 
Iku pantes dadi pikukuh kapribadening bangsa, 
Kerawitan pedhalangan beksa olahraga, 
Candhi Ngetos wis nyata peninggalan kuna, 
Pembangunan kuncara liyan praja, 
Rerengganing kutha wus sarwa tumata, 
Ja lali ja keri kutha Nganjuk nggon seni.

Seni adi luhung mengandung tontotan dan tuntunan yang mempunyai harapan, supaya kita tetap eling marang purwa duksina, ingat asal-usulnya. Biasanya sambil berkelakar, Embok sedikit menggugat peran saya. “Apa sumbanganmu bagi kehidupan?”

Mungkin gugatan itu diambilkan dari lelagon Banyuwangi yang mengandung nilai perjuangan dan nasionalisme.

Banyuwangi. 

Padhang bulan ing pesisir Banyuwangi, 
Kinclong kinclong segarane kaya kaca, 
Lanang wadon bebarengan suka suka. 

Eling eling yo padha elinga, 
Perjuangan patang puluh lima, 
Perjuangan rakyat Indonesia. 

Setelah kelahiran Adityo Jatmiko pun, Embok selalu menggendhong sambil rengeng rengeng, mendendangkan lagu kesayangan tersebut. Tak ayal lagi lagu itu merupakan ruh sekaligus penghayatan yang amat dalam terhadap nilai nilai kultural historis yang masih berlaku. 

Lagu lagu lain pun masih banyak dikuasai oleh Embok Yatinem. Sejak kecil saya memang sering diurak-urake, diayun ayun dan ditimang-timang, agar cepat tidur. Embok menyanyi lagu-lagu Jawa. Jiwa seni Embok itu memang sebatas untuk menghibur diri. Tak ada niat menjadi seniwati. 

Memang Embok lebih menekuni bidang pertanian dan niaga. Rupanya jiwa bakul, tetap dominan pada diri Embok. Seniman yang berjasa mewarnai kehidupan masyarakat Nganjuk di antaranya adalah Ki Kardjo, dhalang yang juga dikenal oleh Embok. Asalnya dari Begadung Nganjuk. 

“Beliau cukup terkenal di wilayah Karesidenan Kediri. Jika mendhalang Ki Kardjo selalu menggunakan pakem yang baku. Rasanya memang nges dan mat matan. Hingga kini yang saya kagumi kepada Ki Kardjo, beliau sangat berkenan menularkan ilmunya kepada orang lain.

 Ki  Kardjo suka membuat kader seniman yang handal. Tentu saja beliau mesti meluangkan waktu dan pikiran demi sang murid. Cara mengajarnya dengan menggunakan metode nyantik, yaitu siswa diajak ikut ke mana saja beliau pergi mendhalang.” 

Kata Mas Suparlan yang sempat jualan palen di tontonan.
Salah seorang cantrik Pak Kardjo yang sukses menjadi waranggana wayang purwa adalah Bu Sukarti. Putra Pak Kardjo yang saat ini menjadi sahabat saya yaitu Ibu Triyanti. Beliau bekerja sebagai guru pada Pemerintah Kabupaten Nganjuk.

 Selain itu, Bu Triyanti ini menjadi seniman waranggana yang serba bisa. Berkali kali beliau datang ke Yogya, mampir ke tempat saya. Terjalinlah sebuah hubungan kekeluargaan yang sangat akrab.

Raras kang alenggah 
Haneng dhampar rukma 
Sumorot prabanya
Lir Sang Hyang Kuwera, 
Gumelar hengebeki
Sanggya kang samya sumewa, 
Tinon lir samudra pasang, 
Tan ana kang nyebawa, 
Nganti wijiling pangandika Sang Bupati.

Dengan diiringi gendhing Diradameta, sulukan di atas dilantunkan Ki Kardjo saat jejer kedhatonan. Asri sekali. Selain Ki Kardjo, seniman yang dikenalkan oleh Embok Yatinem kepada saya adalah Ki Hardjunadi atau yang sering disebut Dhalang Djun. 

“Bagi masyarakat Nganjuk, Ki Hardjunadi sungguh sangat populer. Beliau adalah seorang dhalang dengan spesialis Lakon Ramayana.” 
Kata Pak Untung guru SMA I yang menjadi pelatih paguyuban seni jaranan Turonggo Budoyo. 

Begitu gamelan talu, beliau segera naik panggung, maka penonton pun jadi tersihir oleh penampilannya. Penonton menjadi semangat. Penggemar wayang purwa mengenal Ki Hardjunadi sebagai dhalang sabet. 

“Beliau memang terampil menggerakkan wayang. Di tangan beliau wayang menjadi hidup seolah olah mempunyai tenaga, jiwa dan nyawa. Apalagi kalau menggerakkan barisan kera, Pak Hardjunadi sungguh-sungguh mengagumkan. Tak heran kalau banyak penonton yang bengong dan domblong.” 

Kata Mas Japar teman Mas Suparlan bakul palenan. 

Sulukan Dhalang Djun di bawah ini membuat suasana serius dan berwibawa, biasanya pada adegan yang sedang membicarakan masalah kenegaraan yang penting. 
Hanjrah ingkang puspita rum
Kasiliring samirana mrik
Sekar gadhung kongas gandanya
Maweh raras renaning driya.

Rumahnya di tepi jalan Ahmad Yani di tengah kota sebelahnya adalah Pasar Wage. 

Jadi rumah Dhalang Djun itu menempati posisi elit di masyarakat Nganjuk. Ongkos panggung Dhalang Djun di antara dhalang lain memang paling mahal. Tapi kebanyakan yang menanggap memang puas. 

“Para pengrawit dan waranggana Pak Djun pun merasa diperhatikan kesejahteraannya. Bahkan jika dihitung bisa 3 x lipat biaya yang diterima dari dhalang lain. Dhalang Djun terkenal dalam hal disiplin. Sebelum pentas semua pendukung karawitan harus latihan dulu.” 

Kata Harno yang sempat nyantrik pada dhalang Djun.
Tokoh seniman lain yang perlu dicatat di sini adalah Ki Suwadji Begadhung.

 Di Kabupaten Nganjuk memang ada 2 dhalang Suwadji yang terkenal. Yaitu Suwadji Kedhungdandang dan Suwadji Begadung. Suwadji Begadung terkenal sebagai pribadi yang hangat dan merakyat. Maka tidak mengherankan kalau orang sedesa memilih Ki Suwadji sebagai Lurah Desa Begadung.

Saya sering bertanya kepada orang-orang yang mengenal dan menjadi pelanggannya. Bagaimana bentuk pakeliran Ki Suwadji Begadung itu? 

“Sangat bagus, penonton begitu menikmati penampilan Ki Dhalang Suwadji Begadung. Dalam deretan dhalang Nganjuk Ki Suwadji Begadung termasuk tokoh dhalang senior. 

Sehingga sering dimintai nasihat oleh para dhalang yang lebih yunior. Dia juga dianggap sebagai orang tua yang waskitha. Banyak orang yang menganggap Ki Suwadji Begadung punya keahlian dalam hal olah kebatinan.” 

Kata Pak Paimin. 
Memang Ki Suwadji konon kabarnya sering melakukan tarak brata dan tirakat. Oleh karena itu, orang lantas percaya dan yakin kalau Ki Suwadji bisa melakukan kegiatan supranatural. Orang sakit, punya hajat, dan sulit dalam hidupnya, Ki Suwadji dianggap bisa mengatasi semuanya.

 Semua itu saya dengar dari cerita Embok Yatinem. Rupa-rupanya Embok Yatinem juga menjadi pengamat seni budaya yang pantas dikagumi. Menjelang tampil saat talu, kemudian dilanjutkan dengan Srempeg Banyumasan. 

Manguwuh Peksi Manyura, 
Wancine andungkap gagat rahina, 
Saniskara wosing pagelaran, 
Kang becik ketitik
Kang ala ketara, 
Awit iku mapan nyata, 
Becike kang lugu
Aja sembrana
Tindak tanduk, kang prayoga. 

Jagad Pakeliran Nganjuk semakin moncer setelah muncul dhalang dhalang muda berbakat. Sebut saja Ki Anom Hartono, Ki Mudho Suroto, Ki Joko Suweni, Ki Joko Bledheg, Ki Samijan Kondho Prasojo, Ki Suprapto, Ki Suyitno, Ki Harno, Ki Suyono, Ki Suparman, Ki Dayat Sono Ageng dan Ki Hantoro.

Dalam bidang kerawitan, terkenal paguyuban Langen Tayub pimpinan Pak Minto, Pak Dami, Pak Karen, dan Pak Janawi. 

Sedang Waranggananya yaitu Nyi Sumiati, Nyi Sumiatun, Nyi Painem, dan Nyi Taminah. Mereka betul-betul mengabdikan hidupnya buat keagungan seni adi luhung.

“Andhong sak dhokare, gotong royong nyambut gawe.” 

Suara Nyai Sumiati nyaring ing madya ratri saat nyenggaki lelagon Jineman Uler Kambang yang sedang ditanggab oleh Pak Gasi dan Bu Mukiyem, orang tua Mas Bambang, juragan Brambang.  

4. Pendengar Setia Siaran Wayang. 

Warga Nganjuk pada khususnya dan kelompok Kejawen pada umumnya sangat gemar mendengarkan wayang purwa Ki Narto Sabdo. Secara fisik Embok Yatinem belum pernah menonton pagelaran wayang purwa yang dimainkan oleh Ki Narto Sabdo. Namun lewat siaran di radio Taurus Kediri, hampir tiap malam suara Pak Narto Sabdo bisa didengarkan. Wejangan Ki Narto Sabdo: 

“Kridhaning ati ora bisa mbedhah kuthaning pesthi. Budi dayane manungsa orang bisa ngungkuli garising kawasa.”

“Ki Narto Sabdo menjadi dhalang pujaan. Dia memang dhalang idola. Ketika siaran di radio hampir orang sekampung tidak akan tidur. Mereka menikmati secara bersama sama.

 Maklum saja saat itu jarang-jarang orang yang mempunyai pesawat radio. Maka pesawat radio menjadi barang mahal dan mewah. Hanya orang kaya saja yang mampu membeli pesawat radio. Ini merupakan peristiwa sosial yang menarik.” 

Demikian komentar Prof. Dr. Sutarno, ahli karawitan STSI yang mendapat gelar doktor dari Perancis.
Sebagaimana lukisan suluk di bawah ini yang membuat suasana menjadi semangat dan optimis dalam menghadapi masa depan.

Surya arsa madhangi jagat, 
duk mungup mungup aneng, 
sapucaking wukir 
marbabak bang sumirat, 
kena soroting surya mega lan gunung gunung

Orang sekampung kelihatan guyub rukun dalam menikmati hiburan wayang di radio.

 Radio yang tak mau menyiarkan siaran wayang dianggap tidak populer. Pendengar akan segera meninggalkan stasiun itu. Oleh karena itu sajian siaran wayang purwa saat itu seolah-olah wajib. Dan bisa ditebak dhalangnya adalah Ki Narto Sabdo. Sedang Ki Anom Suroto munculnya kemudian. 

“Setelah Ki Narto Sabdo wafat tahun 1985, praktis Ki Anom Suroto yang menjadi ikon siaran di radio. Peran Ki Anom Suroto juga tetap menarik meskipun telah muncul dhalang sabet Ki Manteb Sudharsono yang sering tampil di televisi.” 

Kata Drs. Sumanto, M.Hum, pengamat wayang dari STSI Solo.

Di samping Ki Narto Sabdo ada dhalang yang lebih muda lagi yang menyusul popularitasnya yaitu Ki Anom Suroto. Menjelang pukul 21 malam suasana tiba-tiba menjadi agung, indah dan berwibawa. Suara gamelan berkumandang penuh dengan daya kekaguman.

 Orang orang sudah mulai menikmati pergelaran wayang purwa semalam suntuk. Kegiatan  rutin itu hampir berjalan setiap hari pada tahun 80-an. Bukan pergelaran hidup, tetapi siaran rekaman kaset di radio, dhalangnya adalah Ki Anom Suroto. Pak Ridjan dan Embok Yatinem dari kejauhan turut juga menikmati siaran wayang radio itu. 

Rupa rupanya Ki Anom Suroto menjadi salah satu dhalang idola di desa saya. Hampir tiap orang mengagumi penampilan Ki Anom Suroto, meskipun hanya lewat radio. Kebanyakan dari mereka belum pernah menatap wajah dhalang kesayangan ini. 

“Suara Ki Anom Suroto yang gandem marem berkumandang ngebaki awang awang.” 

Berkali kali seperti itu tanggapan Mas Kyai Wijayanto, dai kondhang yang gemar wayang yang belakangan kerap ditanggap RCTI.

 Seolah olah keindahan itu tumplek blek di hadapan dhalang kondhang ini. Banyak orang ketagihan dengan suaranya saat mengiringi pasca perang sabrang. 

Myat langening kalangyan, 
Aglar pandam muncar, 
Tinon lir kekonang
Surem sorote tan padhang, 
Kasor lan pajaring
Purnameng gegana.

Antawacana Ki Anom memang hidup. Sabetannya cukup memukau, iringan karawitannya pas sekali. Boleh jadi saat itu penampilan Ki Anom Suroto termasuk puncak puncak estetika Jawa. Maka tidak mengherankan bila Ki Anom Suroto tampil, orang akan berduyun duyun menonton. 

“Kaya apa wajah Anom Suroto? Di radio kok apik banget.” 

Begitulah komentar Mbokdhe Sarinah, tetangga saya yang menonton Ki Anom Suroto di dukuh Duwel. Saya hanya bisa menonton dari kejauhan. Maklum penontonnya berlimpah ruah.

Jika Ki Narto Sabdo dan Ki Anom Suroto sangat mahir dalam menampilkan rekaman wayang purwa maka ada dhalang lain yang mahir dalam sabetan, yakni Ki Manteb Sudharsono. Nama Ki Manteb Sudharsono mulai dikenal di daerah saya, karena sering ditanggap di desa Sidokare. Sebuah desa yang secara ekonomi lebih maju.

 Orang orang di desa saya sama berbondong bondong jalan kaki ke Sidokare. Saya lihat mereka berbahagia dan gembira. Suasana semakin gayeng menjelang perang kembang, yaitu peperangan antara satria melawan buta cakil. Adegan wayang purwa pun sudah masuk pathet sanga.

Suluk alasan. 

Bumi gonjang ganjing langit kelap kelap,
 katon lir kincanging alis, 
Ri sang maweh gandrung, 
Sabarang kadulu wukir moyag mayig
Saking tyas baliwur,

Lumaris agandrung
Dhuh ari Sumitra, 
Tanaya paran reh
Kabeh sining wana, 
Nangsayeng maringsun, 

Tan wrin kasatryan, tan humiyat ing rat, 
Kumbul hatmaning wang, 
Pijer gandrung gandrung.


Saya bersama Pak Ridjan dan para tetangga sering nonton wayang ke Sidokare. Penontonnya membludak. Karunia dari Tuhan yang patut saya syukuri, karena saya mempunyai nilai seni yang dapat mengusir segala duka. 

Bagi saya peristiwa budaya itu adalah nostalgia yang tidak akan pernah saya lupakan. Kenangan masa kecil yang selalu mendatangkan kerinduan. Embok Yatinem pun terlalu akrab dengan nama Ki Manteb Sudharsono. 

5. Jaringan Kekeluargaan. 

Sahabat keluarga saya yang tidak mungkin dilupakan adalah Kazunori Toyoda. Dia bersahabat dengan saya, ketika saya menempuh kuliah di Jurusan Sastra Jawa. Bahkan Toyoda sempat tidur bermalam di rumah Nganjuk.

 Betapa bahagianya Embok Yatinem dan Pak Ridjan menerima kunjungan Toyoda. Dari Nganjuk Toyoda mengajak saya ke Blitar untuk ziarah ke makam Presiden Soekarno, sang proklamator.
Toyoda berkata,

 “Soekarno punya isteri orang Jepang. Namanya Ratna Sari Dewi. Dia termasuk tokoh yang sangat dihormati. Dari pernikahannya ini lahir Kartika Soekarno.”

Saat itu keluarga saya di puncak kesulitan. Saya tak punya apa-apa lagi. Yang saya punya cuma tekad dan semangat. Justru inilah yang membuat Kazunori bersimpati dan berempati kepada saya. Dengan tulus dia menyokong kuliah saya dan Partini.

 Biaya kuliah saya sepenuhnya ditanggung oleh Kazunori Toyoda, sehingga saya berdua dapat belajar secara leluasa, bebas dan tenang. Berkat bantuan Toyoda itu pulalah kehidupan saya di Yogyakarta boleh dibilang berkecukupan. 

 Setamat kuliah, saya pun bekerjasama dengan Toyoda hingga sekarang. Saya terlibat aktif dalam memajukan kebudayaan Jawa. Saya mendirikan Institut Budaya Jawa (ISBUJA), sedang Kazunori Toyoda menjadi ketua Internasional Institut of Java and Japan. Dua lembaga ini bersemangat untuk menggali nilai nilai luhur kebudayaan Jawa.

Dalam sejarah nasional di ceritakan tentang kekejaman Jepang menjajah Indonesia. Malah menurut ceritera lisan nenek saya banyak serdadu Jepang mencuri padi, sapi dan kerbau. Biar tidak ketahuan, setiap menjelang malam ada bunyi sirine.

 Semua penduduk wajib mematikan lampu, nyumpet kuping dengan kapas dan nggigit sepet. Dengan begitu penduduk tidak akan tahu bahwa harta bendanya sedang dicuri. Sungguh malang nasib bangsa saya. Begitulah sambat sebut saya kepada Kazunori Toyoda.

“Maaf saya tidak tahu. Ternyata Jepang pernah berbuat menyengsarakan rakyat Indonesia, terutama yang hidup di pedesaan.” 

Rupanya Toyoda menyesalkan kelakuan kakek moyangnya. 

“Tidak apa-apa.  Kedatangan Jepang sudah diramal oleh Prabu Jayabaya, Raja Agung di Kraton Kediri. Menurut Jangka Jayabaya bahwa Jepang berkuasa di Nusantara cuma seumur jagung.” 

Saya berusaha menenangkan hatinya.

Pada tahun 1991, Kazunori Toyota mendapat undangan Kongres Bahasa Jawa di Hotel Patra Jasa Semarang. Saya mengantar ke tempat tujuan. Tanpa ada pemberitahuan dari panitia sebelumnya, ternyata pelaksanaan kongres ditunda. Berhubung sudah pergi jauh-jauh, lantas saya mengajaknya keliling kota Semarang sampai waktu menjelang malam. Kemudian saya menuju terminal.

 Calo calo bergentayangan. Hiruk pikuk mencari mangsa. Saya naik bis jurusan Yogya. Karcis saya bayar. Setelah bis berjalan kondekturnya minta upah lagi.

“Yang narik karcis tadi adalah calo palsu.” 

Kata kondektur tanpa ada perasaan bersalah sama sekali. Untuk menghindari keributan, saya terpaksa membayarnya lagi. Bis kemudian berhenti di Magelang. Tidak mau melanjutkan ke Yogyakarta.

 Dengan susah payah, saya harus mencari kendaraan pengganti. Ketemulah kol yang penuh  berdesak desakan. Saya harus membayarnya lagi dengan ongkos yang lebih mahal. 

“Pikiran orang Indonesia itu memang baik baik.” 

Sindir Toyoda. Saya hanya diam tak berkutik. Malu sekali! Dari intelektual sampai berandal sama sama bermoral nakal. Right or wrong is my country. Nasionalisme saya juga muncul. Dengan agak ngeyel saya bilang: 

“Mental orang Indonesia tak jauh berbeda dengan serdadu Jepang, Wakaru, kamu tahu?”

“Ha.....ha.......ha, ya saya tahu Waktasiwa nemui desu. Saya agak ngantuk sekali. Kita istirahat saja.”

Sepanjang perjalanan saya berdua tidak bicara. Mungkin badan sangat lelah. Pukul 23.30 colt berhenti di Borobudur Plaza.

 Hawa sangat dingin mengiringi becak yang saya tumpangi untuk menuju ke Pogung Baru. Hingar-bingar jalan Kaliurang mulai sepi. Cuma warung angkringan di tepi Selokan Mataram itu tampak kerlap kerlip lampu teploknya.

Nguri uri warisan leluhur tanggung jawab bersama. Embok Yatinem begitu percaya pada adat istiadat kuno. Agar hidupnya basuki lestari.

Oleh Purwadi
Ketua Lembaga Olah Kajian Nusantara LOKANTARA, hp. 087864404347

Tidak ada komentar:

Posting Komentar