Rabu, 19 Mei 2021

EMBOK YATINEM [8] PATUH PROTOKOL NGANGSU KAWRUH


1. Tata Cara Bebrayan. 
Urip bebrayan becike mawa tatanan. Begitulah wejangan Prabu Kresna pada Setyaki. Dialog ini jadi perhatian Embok Yatinem. 

Pada tanggal 14 Juli 1990, saya berangkat ke Yogyakarta dengan diantar oleh Embok. Saya tidak boleh bepergian sendiri, dengan alasan harus menghormati tuan rumah yang dituju. Dalam hal ini Embok sangat prosedural terhadap tertib seremonial. Sebisa-bisanya anak harus diserahkan secara langsung kepada ibu kos pemilik pondokan. 

“Sowan kula ing ngarsa panjenengan ngriki badhe pasrah si thole. Kula titip daging sakcuwil, darah saktetes. Kalau anak saya nakal dan rewel, silahkan dijewer saja.” 

Begitulah upacara serah terima yang dibungkus dengan basa basi krama inggil. 

“Matur nuwun, Bu. Meskipun di rumah pondokan sini kebanyakan putri, tapi mereka sama tertib.” 

Demikian jawab Bu Noto, pemilik pondokan di Gang Brojowikalpo 15 Mrican. Di tempat pondokan ini, saya memang berada di lokasi belakang yang semuanya dihuni oleh wanita. Tapi saya paling yunior. Sebelah kamar saya ada Mbak Warni, Mbak Endah dan Mbak Giyatmi mahasiswi IKIP yang berasal dari Bayat Klaten. 

“Hii hii hii!”

Mereka tertawa cekikikan mendengar dialog tingkat tinggi antara Embok dengan Bu Noto. Saya menganggap mereka kakak-kakak yang mesti saya hormati. Seingat saya, Embok telah mencarikan pondokan buat saya selama lima kali yaitu : Mrican, Sagan, Karangmalang, Karanggayam dan Bulaksumur. 

Sebelum pulang ke Nganjuk Embok memberi wejangan, 

“Ojo nganti kesrimpet slendhange wong ayu. Kalau sampai kecanthol cah wadon, cita-citamu bisa gagal dan buyar.” 

Dinasehati begitu saya diam saja.

 “Kowe jangan membuat malu keluarga. Tenan, sing ati-ati. Kowe kudu sregep sinau.” 

Pesan ini semakin tertanam di kalbu setelah saya membaca puisi K.H. Musthofa Bisri dari Rembang :

“Setiap perempuan bisa membuat laki-laki bijak menjadi tolol. Tapi tak satupun perempuan yang bisa membuat laki-laki tolol menjadi bijak.” 

Wahh!!!!

Setahun kemudian Wuragil juga menyusul kuliah di Yogyakarta. Dia diterima  lewat jalur PBUD (Penjaringan Bibit Unggul Daerah). Saya berdua belajar tanpa melalui seleksi tes dan selalu mendapat bea siswa. Dengan begitu saya tidak mengantungkan biaya dari orangtua. Ketika itu Wuragil di antar oleh Pak Ridjan. Di Yogyakarta langsung disambut oleh Mas Supri Hidayat, senior saya yang menjadi anggota DPRD Sleman. Nantinya, Wuragil selama kuliah tinggal di Asrama Putri Ratnaningsih, sekamar dengan Linda dan Mahmudah.

Selama belajar di Yogyakarta sebisa-bisanya saya ngelar jajahan, dengan cara srawung kepada pribadi-pribadi agung yang menerangi jagad raya. Di antara priyagung yang cukup dekat dengan saya adalah keluarga Bapak Syaefullah Mahyudin. Bapak Syaefullah Mahyudin adalah dosen Fakultas ISIPOL. Saya mengenal beliau sebagai ulama kampus yang sering berceramah di mana-mana. Ke mana saja beliau mengisi acara, saya berusaha untuk datang. Begitu seringnya saya berjumpa lantas beliau amat kenal dengan saya. Saya sering berkunjung ke rumah beliau untuk minta nasihat. 

“Bu Yatinem, hidup di dunia ini seperti mampir ngombe. Kudu eling karo sing nitahake. Semua ini ciptaan Allah SWT.” 

Wejangan luhur Bu Syaifullah ini dicamkan oleh Embok. Terbukti Embok segera belajar agama. 

Pak Rijan dan Embok selalu berkunjung ke rumah Ibu Syaefullah di Jl. Srigunting 13 Demangan tiap kali bertandang ke Yogyakarta. Pesan beliau agar saya sering minta doa restu kepada Ibu Syaefullah Mahyudin. Embok tetap berpesan agar silaturahmi ini tetap berlanjut. 

Kolega seperjuangan Pak Syaifullah Mahyuddin adalah Prof. Dr. Husein Haikal. Berkat jasa Pak Husein ini saya sempat melakukan pengembaraan spiritual ke Malaysia sebagai TKI. Hujan batu di negeri orang, begitulah nasib bangsa kita di sana. Berkali-kali Prof. Husein datang ke rumah untuk memberi dorongan semangat kepada saya.  

Tokoh penting yang menjadi perhatian Embok adalah keluarga besar Baswedan. Berkali-kali Embok juga menganjurkan saya untuk sungkem pada keluarga Baswedan. Bangsa Indonesia tentu sangat berterima kasih kepada Partai Arab Indonesia (PAI) yang didirikan oleh Almarhum Bapak AR Baswedan. Partai ini mendorong warga keturunan Arab agar mempunyai sifat nasionalis, agamis dan pluralis. AR Baswedan ikut serta dalam mendirikan negara RI.

Putra Bapak AR Baswedan yaitu Rasyid Baswedan dan Samhari Baswedan turut serta membiayai kuliah saya, sejak sarjana, Magister dan Doktor. Sumbangan material dan spiritual telah saya terima. Bahkan dengan cucu-cucu beliau pun saya juga akrab sekali. 

“Anis Baswedan, Ridwan Baswedan dan Fadlil Baswedan adalah tokoh-tokoh pemuda Indonesia yang aktif dan kreatif. Semuanya punya andil yang besar terhadap perjalanan negeri tercinta ini.” 

Demikian komentar Ariana, aktifis yang gesit itu. Embok Yatinem menyadari labuh labet keluarga Baswedan ini. Beliau selalu berpesan agar saya selalu menjaga darma bakti kepada keluarga ini. Sebisa-bisanya saya tetap bersilaturahmi sebagai sarana untuk tetap mempererat persaudaraan. Saya sekeluarga berkunjung untuk menghaturkan sungkem kepada Bapak dan Ibu Baswedan. Suasana haru dan khitmad pun terjadi. Saya merasa mendapat pengayom dan bimbingan yang tulus. Semangat hidup keluarga saya bangkit kembali.

Selama di Yogyakarta ada seorang dosen yang amat diingat oleh Embok Yatinem yaitu Pak Harjana Hardja Wijana. Beliau adalah dosen di jurusan Sastra Daerah, yang sangat perhatian pada saya. Bahkan semasa kuliah dulu, saya sering sekali tidur di rumah beliau. Meskipun sudah lulus, saya tetap berhubungan baik. Beliau berasal dari Madiun. Di lereng Gunung Wilis saya diajak jalan kaki oleh Pak Har. Sebuah kenangan hidup yang tak mungkin saya lupakan. Beliau amat menghayati kehidupan. Dunia kejawen dengan segala ajarannya sangat beliau amalkan dalam kehidupan sehari-hari.

Kuneng lingnya Rama Daya Pati
Angandika Sri Rama Wijaya
He bakale sira kiye
Gampang kalawan ewuh
Sayekti wus ana kang kardi
Yen waniya ing gampang
Wediya ing ewuh
Sabarang nora tumeka
Gampang ewuh yen antepen dadi siji
Ing purwa nora ana

Tembang Dhandhang Gula petikan dari Serat Rama itu memberi ajaran tekad dan semangat yang kuat. Banyak petuah yang berisi ajaran hidup luhur yang beliau terima dari para pujangga Jawa. Beliau memang mempunyai banyak koleksi karya sastra Jawa Kuno. 

Apalagi beliau adalah seorang linguis Jawa yang amat mumpuni. Pernak-pernik bahasa Jawa sangat dikuasai, sehingga layak dijadikan referensi hidup. Sebuah kehormatan saat beliau mampir di rumah saya. Ini merupakan kebanggaan dari Embok Yatinem. 
 
Embok Yatinem juga supaya terus mengingat peranan Bapak Solichin. Beliau asli Nganjuk, tepatnya di Kecamatan Patianrowo, sebelah barat Kali Brantas. Kali Brantas ini dalam sejarah terjadi karena tetesan air kendi Empu Baradah. Beliau memang diberi tugas untuk membagi kraton Kahuripan menjadi dua yaitu Kraton Daha dan Kraton Jenggala, dengan batasnya adalah Kali Brantas.

Pendorong saya belajar di program Doktor adalah bapak Solichin. Beliau pernah menjabat sebagai Sekretaris Menteri Perdagangan dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara. Aktif dalam berbagai kegiatan sosial, seni dan budaya. Pernah menjadi Ketua Sekretariat Seni Pewayangan Indonesia atau SENAWANGI yang berkantor di TMII.

Banyak orang terkesan kepada Pak Solichin. Beliau adalah figur kebapakan. Tutur katanya halus njawani. Buah pemikirannya benar-benar rasional dan sistematis. 

“Sebagai budayawan Jawa, beliau sungguh hebat. Ensiklopedi wayang yang megah dan mewah adalah buah karya pimpinan Pak Solichin. Secara rutin beliau mengadakan acara yang membicarakan seluk beluk seni pewayangan di TVRI. Acaranya bernama Cempala. Dalam bidang organisasi beliau adalah jagonya.” 

Komentar Laca yang aktif di HMI Badko Jawa Tengah. 
Berulang-ulang beliau menganjurkan prinsip keagamaan, keindonesiaan dan keilmuan. Ketiganya harus dipegang erat oleh para aktivis, biar arah dan tujuannya menjadi jelas. 

“Tak hanya itu, beliau merupakan tokoh pemurah yang senantiasa mendukung secara finansial bagi para seniman dan cendekiawan. Tak sedikit kawan-kawan saya yang dibantu biaya studinya,” 

Sambung Sidi pembesar HMI Diponegoro.
Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila Embok berpesan agar selalu berbakti kepada Pak Solichin. Saya berhutang budi banyak kepada beliau. Sebagai bayarannya, saya mesti bekerja keras siang dan malam. Prestasi gemilang mesti saya ciptakan. Inilah wujud darma bakti saya kepada keluarga Pak Solichin.

Tokoh lainnya yaitu Pak Jimly Asshiddiqie. Sewaktu Embok Yatinem wafat, Pak Jimly Asshiddiqie bertugas sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Sejak tahun 1996 Pak Jimly terlibat dalam pembiayaan sekolah saya di Program Pasca Sarjana. Saya sungguh-sungguh berhutang budi kepada beliau.

“Saat terjadi suksesi dari Presiden Soeharto ke Presiden Habibie, Pak Jimly menjadi tokoh penting di Indonesia. Beliau menjabat sebagai Ketua Tim Hukum Kepresidenan. Tak heran kalau beliau kerap muncul di layar televisi dan koran-koran.” 

Komentar Andi Harsono yang lama ikut Pak Seno di Yayasan Langit Samudra. Hingga kini, hampir setiap hari Pak Jimly aktif dalam penyelesaian konflik perundang undangan. Beliau tiap hari muncul di televisi sebagai pejabat penting yang menentukan perpolitikan Indonesia. 

“Pak Jimly adalah pribadi yang amat serius. Penampilannya kalem, intelek dan akomodatif. Beliau menunjukkan sebagai orang yang benar-benar rendah hati dalam bermasyarakat. Ini yang menjadi inspirasi kepada Pak Jimly. Dalam pandangan saya, Pak Jimly adalah kaum profesional akademis yang aplikatif.” 

Demikian komentar Sugiyono tokoh Pemuda Muhammadiyah Magelang yang juga pernah mendapat beasiswa dari Jepang untuk program S-2 Psikologi.
Betapa besar jasa Pak Jimly kepada saya. 

Tak terhitung bantuan yang sudah saya terima. Boleh jadi saya tak akan mampu membayar hutang budi saya kepada Pak Jimly. Sebagai putra Embok Yatinem, saya mesti mempersembahkan prestasi yang terbaik kepada Pak Jimly. Ini adalah tugas berat dan amanah yang saya pikul. Bersama Pak Jimly saya menerjemahkan UUD 45 Amandemen Konstitusi Gagrak Anyar ke dalam bahasa Jawa.

Pergaulan saya dengan Pak Jimly merupakan awal saya berinteraksi dengan priyagung di Jakarta. 

Keakraban ini sampai saya mendapat kepercayaan menulis biografi beliau dengan judul Pendekar Konstitusi Jimly Asshiddiqie, Satria Bijak Bestari dari Bumi Sriwijaya. Selama ini pula saya telah menulis biografi Presiden Soekarno, Presiden Soeharto, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Ketua MPR Hidayat Nurwahid.

 Akhir-akhir ini saya sering diajak berdiskusi dengan Jendral Hendropriyono, mantan Menteri Transmigrasi, Kepala Badan Inteligen Negara, dan Pangdam Jaya. Dari Pak Hendro inilah saya berkesempatan berkenalan dengan para alumni Akademi Militer Bukit Tidar Angkatan 67.

2. Semangat Majapahit. 

Patih Gadjah Mada adalah senapati agung Kerajaan Majapahit. Dengan sumpah palapa beliau mempersatukan seluruh kepulauan Nusantara di bawah panji-panji kebesaran kraton Majapahit. Penguasa Majapahit di antaranya adalah Raden Wijaya, Jayanegara, Tribuwana Tungga Dewi, Hayam Wuruk, Ratu Suhita, Dewi Kencana Wungu, dan Prabu Brawijaya. 

Semangat nasionalisme Gadjah Mada ini boleh jadi menjadi inspirasi bagi Embok untuk mendidik putra-putranya di Universitas Gadjah Mada. Bapak dan Embok Yatinem mengikuti wisuda sebanyak 5 kali.

 Seiring dengan karier akademi anak-anaknya, usaha Embok sendiri cukup maju di Nganjuk. Bisnisnya maju, sebagai bakul desa, kehadirannya cukup diperhitungkan. Wisuda pertama kali tahun 1995 di Fakultas Sastra. Beliau membawa beras dan sayur-mayur dari Nganjuk. Di Yogya dimasak sendiri oleh Embok untuk pesta dan buka bersama. Saat itu memang bulan Ramadhan. Kawan-kawan diundang untuk mengikuti syukuran sederhana.

Salah seorang yang saya ingat adalah Mbak Lucy Chatharina Isabella, mahasiswi sastra Inggris dari Tuban. Beliau turut membantu menyelenggarakan acara. Keesokan harinya Embok sempat mampir ke rumah mas mbak Isabella di Karangasem, belakang burjo Selokan Mataram. Wisuda kedua tahun 1997 di Fakultas Sastra juga, yaitu Wuragil lulus sarjana. Wisuda kedua ini keadaan ekonomi sudah lebih baik lagi. 

Tahun 1998 saya wisuda S2 dengan gelar Magister Humaniora (M.Hum). Dyah dan Muna, keduanya dari SMA 2 Kediri ikut membuat meriah saja, dengan membawa lauk pauk tahu takwa.Saya makan pagi bersama di Kos Karangmalang E3.

 Suasana benar-benar mengembirakan. Apalagi wisuda S2 setelah Pak Harto lengser keprabon. Tahun 2000 Wuragil lulus Magister Humaniora (M.Hum). Embok dan Pak ditemani oleh Paimin, yang sampai sekarang setia memberi pijatan kepada saya. 

3. Bebarengan Maju. 

Pada tanggal 13 November 2001 saya sedang promosi untuk memperoleh derajat doktor. Tempatnya di Balai Senat Gedung Pusat. Kawan-kawan yang ikut membiayai studi saya, banyak yang hadir.

Ruang promosi penuh undangan. Mereka tampak berbahagia. Raut muka mereka berseri-seri. Handai taulan yang bekerja di luar Yogya pun banyak yang menyempatkan datang. Dari Jakarta, Surabaya, Nganjuk saya lihat semangat sekali menyaksikan acara saya itu. Sungguh mengharukan.

Bapak dan Ibu Dr. Soetrisno R., M.Si, Bupati Nganjuk, beserta rombongan dari Pemerintah Kabupaten ikut mangayu bagya secara istimewa. Malah diliput oleh tabloid Transparan milik Pemkab Nganjuk. Semua atas perintah Pak Tris. Jika tak salah, Pak Tris dan rombongan sempat tinggal di Yogya selama empat hari. Embok Yatinem dan Pak Ridjan dari Nganjuk beliau membawa sanak famili dan tetangga sebanyak 20 orang.

 Mereka diajak secara khusus oleh Embok naik sepur dengan gembira ria. Di Yogya mereka menginap di Perumahan  Bulaksumur D4, tempat istirahat yang aman dan nyaman. Sebagai rekreasi kolektif, promosi saya berjalan dengan lancar dan segar. Semua pihak merasa puas. Seolah-olah acara itu menjadi perhelatan banyak orang. Embok sukses mengantar pendidikan puncak saya.

Dua orang berpakaian Jawa, sepasang suami isteri yang tampak berseri-seri. Itulah Bapak Ridjan dan Embok Yatinem yang sedang menyaksikan promosinya di Balai Senat.

Mereka merasa terhormat dan bahagia. Beliau berdua duduk pada kursi kehormatan terdepan dengan diapit Bupati Nganjuk Drs. Soetrisno beserta Ibu. Di sebelahnya dosen terkasih saya, Drs. Harjana HW, SU. Di sebelahnya lagi ada Prof. Dr. T. Ibrahim Alfian, Prof. Dr. Subroto, Prof. Dr. Timbul Haryono yang setia menunggu ujian promosi saya. Barisan belakangnya adalah para keluarga dan sahabat Nganjuk. Juga kawan-kawan yang selama ini turut meramaikan suasana hati saya. Sungguh pesta akademi yang gegap gempita.

Dewan penguji promosi adalah Prof. Dr. Boma Wikan Tyoso, Prof. Dr. Endang Daruni, Prof. Dr. Damardjati Supajar, Prof. Dr. Marsono, Prof. Dr. Soejadi, Prof. Dr Lasiyo, Prof. Dr. Soepomo Poejosoedarmo dan Prof. Dr. Koento Wibisono.

 Sementara saya sendiri dikawal oleh rekan sejati, Betha Candrasari dan Dyah Ayu Raesusita. Dua sahabat yang kompak hingga kini. Meskipun telah berkeluarga, Betha-Zainul, Dyah-Ebo, kedua pasangan ini tetap hangat dan sungguh-sungguh menjadi penghibur saya. Embok Yatinem senang dan bangga pada mereka semua. Di mata mereka Embok adalah pahlawan sejati yang sukses mengantar anaknya.

Seorang kawan yang sibuk ria saat saya promosi doktor adalah Fatkhurrohman. Dua hari sebelumnya di sudah mengambil gambar saya, terutama nostalgia dengan sepeda onthel. Begitu potret jadi, alangkah gembiranya Embok Yatinem. Sebagai orang desa yang sedikit mengalami mobilitas sosial. Dari setting kehidupan desa yang hanya tahu soal macul dan bakul, tentu saja Embok Yatinem sedikit agak kagum. Karena mendadak harus berpose bak artis yang sedang rekaman.

Ada satu lagi senior Fathurrohman yang bernama M. Wildan. Dia adalah wartawan Tabloid Nyata. Secara mendadak Wildan datang ke desa saya untuk wawancara dan mengambil gambar. Ketegangan pun terjadi. Bapak dan Embok tampak curiga. 

Dikira dia adalah agen rahasia yang hendak merongrong kehidupan pribadi saya. Harap maklum, Bapak saya kena cap merah, akibat peristiwa 65. Untunglah kesalahpahaman bisa diatasi, sehingga terjalin persaudaraan yang akrab. Wildan bersama dengan Nuswantoro pernah mengundang saya untuk berbicara tentang kejawen di depan para pejabat Kabupaten Sidoarjo. Saat itu Nuswantoro adalah redaktur dan wartawan Jawa Pos.

Rampung acara seremonial, Dr. Bambang Surohusodo, dosen Fakultas Kedokteran memberi saya wayang. 

“Tokoh Begawan Bisma ini kagem panjenengan. Bisma adalah lambang konsistensi atas sabda brahmana raja.” 

Wejangan Pak Bambang tersebut cocok sekali untuk bekal hidup. 

Tiga tahun kemudian, tepatnya tanggal 14 Desember 2004 Pak Tris juga ujian promosi. Dengan diiringi oleh handai taulan beserta keluarganya yang dikoordinir oleh Mas Sanky dan Mbak Tina, Pak Tris mendapat gelar doktor dengan predikat cumlaude. Disertasinya berjudul Dimensi Moral Dalam Syair Tembang Pada Pergelaran Wayang Purwa.

4. Kawah Candradimuka Indonesia. 

Organisasi di Yogyakarta beraneka ragam. Ini sebagai kawah candradimuka bagi pemuda pemudi Indonesia untuk menggembleng diri. Ada HMI, PMII, KAMMI, GMNI dengan ideologinya masing-masing. Embok Yatinem beruntung sekali karena setiap kali ke Yogyakarta selalu bertemu dengan kawan-kawan dari jaringan HMI. 

Terus terang Embok tidak mengetahui organisasi itu, tetapi bergaul secara intensif baik dengan HMI MPO maupun HMI cabang Bulaksumur. Saya harus mengucapkan terima kasih dengan jaringan HMI. Organisasi ini turut serta membesarkan saya. Baik lewat bantuan sosial maupun finansial. Saya bisa bersekolah atas sumbangan HMI, yaitu melalui donatur-donatur yang memberi beasiswa.

Pada saat-saat tertentu saya selalu singgah di markas HMI untuk sekedar diskusi. Di sana saya mendapatkan pikiran-pikiran segar, kritis dan apresiatif. HMI memang berhasil memadukan proses intelektual, sosial dan moral.

 Aspek kebangsaan dan keagamaan bisa berjalan secara harmonis. Banyak pula aktivis HMI yang berkunjung di rumah kos-kosan saya. Mereka memang gemar berdiskusi dan mengasah ketajaman pikiran. Ketika Embok berada di kos-kosan ini, beliau lantas sempat bertukar pikiran. Kedua belah pihak tampak sangat menikmati.

Sahabat sejati yang tak mungkin saya lupakan adalah Nasir Syar’an. Dia berasal dari daerah Lumajang. Kuliah di Fakultas Isipol sejak tahun 1992. Sewaktu kuliah dulu, sangat akrab sekali dengan saya. Saya sering mengunjungi dia di Karanggayam. Di sana saya bertukar pikiran mengenai segala persoalan.

Kata Nasir: “HMI MPO mengalami disorientasi, karena habis garapan. Mau jualan syariat Islam, kalah saingan dengan KAMMI. Mau jualan ideologi kiri kalah dengan kawan yang bermarkas di Bulak Sumur B21. Bulak Sumur dan Balkon kurang radikal apa?”

“Ah siapa bilang Balkon dan Bulak Sumur Pos berideologi kiri. Sekarang mereka juga menjadi antek borjuis dan kapitalis media massa.” 

Begitulah komentar Mamat, mahasiswa Teknologi Pertanian dari Madiun yang punya hobi debat ini.

Dalam gerakan mahasiswa, dia aktif di HMI MPO, sebuah organisasi ekstra kampus yang menjadi supplier badan kemahasiswaan. Dia amat menikmati pergaulan di HMI, terutama wacana tentang reformasi peradaban. Nasir sering melontarkan pemikiran yang reflektif, kontemplatif, aktif, segar dan menggairahkan. Analisa-analisanya sungguh di luar dugaan. Sangat mengagumkan.

Kurang lebih tiga tahun lamanya Nasir kos sekamar dengan saya. Rasa persahaban saya semakin dekat lagi. Pagi sore siang malam bertukar pikiran terus, tiada henti. Dalam rentang persahabatan itu, Nasir sempat menginap di rumah Nganjuk. Embok Yatinem amat terkesan dengan Nasir Syar’an. Setiap kali Embok Yatinem datang di Yogyakarta, Nasir senantiasa menyambut dengan hangat. Saat ini Nasir Syar’an hidup bahagia dengan istri tercintanya di Jepara yang menjadi Konsultan bersama Nurwahyudi.

Ternyata Embok Yatinem tidak merasa sebagai orang kampung. Dia juga merasakan gelombang peradaban sebagaimana sering menjadi wacana HMI. 

Tentu saja ini semakin memperkaya pikiran Embok. Salah satu tokoh HMI yang amat akrab dengan Embok adalah Chouzin. Sejak menjadi mahasiswa kawan Chouzin ini sudah aktif dalam berbagai kegiatan kampus. Ini merupakan kelanjutan dari pendidikannya di pesantren Tebu Ireng dulu. Dia pernah nyantri pada KH. Yusuf Hasyim. Chouzin gemar menjadi koordinator berbagai acara. Dia melakukan kegiatan penuh dengan penghayatan dan tanggung jawab. Pernah menjabat sebagai ketua Korkom HMI. Sebelumnya dia adalah calon kuat untuk ketua BEM. Cuma dia kalah bersaing dengan Huda, calon dari KAMMI, yang kini menjadi anggota DPRD Sleman. Rupa-rupanya Chouzin itu sangat menyukai di organisasi HMI.

“Jago KAMMI menang karena pendukungnya mbebek saja. Tidak punya independensi untuk bersikap. Mereka terlalu doktriner.” 

Begitu kata Ike, pendukung berat Chouzin. Kekalahan politik kecil-kecilan ini ternyata juga menyisakan luka yang dalam.  

Penampilan Chouzin sangat simpatik. Dia sopan, halus dan religius. Gemar sekali dia bersilaturrahmi dan membantu kesulitan orang. Dia mampu memadukan antara pikiran teoritis dan aksi praktis. Chouzin mempunyai kemampuan teknik-teknik dalam dunia mesin dan elektronik. 

Di Yogyakarta Embok Yatinem sering berjumpa dengan Chouzin. Dia ikut membantu menyelesaikan setiap terjadi permasalahan. Dia begitu tulus berteman. Selain itu Embok Yatinem juga menjalin persahabatan dengan jaringan KAMMI. KAMMI adalah Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia. Saya terlalu akrab dengan komunitas ini. Kadang-kadang saya diundang untuk diskusi. Lebih akrab lagi, karena masing-masing pribadinya punya hubungan yang khusus dengan saya.

“Rusaknya dunia karena politik sekuler. Coba kalau presiden Indonesia dari tokoh-tokoh Islam. Pasti maju.” 

Widodo aktivis KAMMI ini berusaha meyakinkan Nurul Huda, mahasiswa filsafat dari Demak.

“Belum tentu. Pernah semua pemimpin negara ini dari ormas Islam. Gus Dur jadi presiden dari NU, Amien jadi ketua MPR dari Muhammadiyah, dan Akbar Tanjung menjadi ketua DPR dari HMI.  Semua sama saja.” 

Nurul yang cukup lama menjadi santri Krapyak dan aktif di PMII menyanggah dengan sengit. Sebagai jaringan mahasiswa, KAMMI memang mempunyai program-program yang menarik dan kreatif. Gagasan-gagasannya merakyat, agamis dan sangat egaliter. Pembelaannya terhadap isu-isu nasional yang menyangkut nasib wong cilik selalu menjadi wacana gerakannya. Ketulusannya dalam berjuang tak asing lagi. Mereka lebih mengutamakan prestasi daripada sekedar prestise. Mereka adalah komunitas kompetitif masa depan.

Secara otomatis setiap Embok datang ke Yogyakarta, beliau mendapat sambutan hangat dari kawan-kawan jaringan KAMMI. Namun Embok tak begitu tahu asal-usul para aktivis KAMMI itu. Namun demikian, hubungan antara kedua belah pihak dapat terjalin secara harmonis selaras serasi dan seimbang. Sebuah keadaan yang perlu disyukuri Embok yang kental dengan kejawen dapat diterima oleh santri kota.

Tokoh dari komunitas KAMMI ini diantaranya adalah Boedi Dewantoro. Dia  adalah mantan Wakil Ketua DPRD Propinsi DIY. Sewaktu masih menjabat beliau sangat akrab dan dekat dengan keluarga. Sebelum saya menikah, beliau sering terlibat diskusi di kos saya, Bulaksumur G 12. Hampir tiap pagi beliau menyempatkan diri hadir. Saya bertemu dengan Setiani untuk kedua kalinya juga atas jasa baik Mas Boedi Dewantoro. Bersama dengan Betha dan Dyah setelah hari raya Idul Fitri, saya berkunjung ke Salatiga. Pak Boedi ini bersedia menjadi pengantarnya. 

Saya memang terlibat pergaulan bersama lingkungannya. Di lingkungan teman-teman PKS, saya sudah lama mendapatkan pengajaran, pengalaman dan pendidikan. Banyak para senior aktivis PKS yang dulu mendidik saya.

 Embok Yatinem pun secara tak langsung mendapat keberuntungan atas pergaulan saya ini. Agus Purnomo Ketua DPW PKS Yogyakarta, kini anggota DPR RI juga sempat jagong manten ke Nganjuk sewaktu Embok Yatinem ngundhuh manten. Saya sekeluarga mendapat kunjungan kehormatan dari fungsionaris PKS Yogyakarta. Ada lagi kesan manis yaitu sebagian aktivis PRD juga berkunjung di rumah saya. Jadilah rumah saya ajang pertemuan ideologi kiri – kanan.

Jaringan GMNI juga sebagian dikenal oleh Embok Yatinem. Meskipun Embok itu kejawen yang ideologisnya dekat dengan Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia, tetapi Embok tidak banyak punya jaringan dengan kawan kawan GMNI. Hanya beberapa saya yang beliau kenal. Di antaranya adalah Retno, mahasiswa Sospol. Ketika saya diwisuda promosi  malam sebelumnya saya mengadakan dialog.

 Pembicaranya yaitu Arie Sarjono dan Hj. Liza Rivai dari Palembang. Saya sungguh sangat terharu, Bu Liza jauh-jauh bersedia menyempatkan diri untuk datang mengikuti proses upacara  pendidikan. 

“Sebenarnya kawan-kawan GMNI itu hebat pemikirannya dan terbuka untuk kelompok mana saja. Cuma mereka kehabisan isu yang mendasar. Warisan pikiran yang cuma tulus dan terbuka saja, ternyata tidak cukup. Setiap saat mesti ada gagasan baru. Dengan demikian GMNI tidak ditinggal oleh perubahan.” 

Dendi dari Gombong berusaha melontarkan kritikannya. 
Dalam hal pergaulan, Embok Yatinem mungkin lebih cocok dengan kawan kawan GMNI. Hanya karena jumlah anggota GMNI itu tidak banyak, maka Embok tidak banyak akrab dengan kawan-kawan GMNI. 

“Sebenarnya kalau mau, GMNI itu tetap prospektif. Artinya ideologi dan orientasi GMNI tetap relevan dalam rangka mengelola masa depan negeri ini. Yang jelas GMNI itu punya sifat ajur ajer dan luwes dalam pergaulan.” 
Awali yang berasal dari Gunungkidul berusaha membuat analisis. 

  Sahabat yunior saya yang dekat dengan GMNI adalah Akuat Supriyanto. Dia dulu kuliah di Fakultas Filsafat angkatan 1993. Sejak masuk kuliah, dia sudah terlibat aktif diskusi dengan saya. Bahkan hingga kini saya sekeluarga amat akrab dengan Akuat. Pertama kali saya diekspos oleh Akuat, ketika dia menjadi wartawan kampus yaitu Tabloid Bulaksumur. Di sana saya dimuat bersama Mas Bambang Gundul dan Laila Damayanti. Kebetulan kedua orang ini juga bersahabat dengan saya. Berkali-kali saya dimuat pers karena bantuan dan rekomendasi Akuat. Dia pejuang pers saya. 

Saat mau masuk program doktor, Akuat yang memberi biaya pendaftaran. Sepanjang masa tentu saya kenang. Tak heran ketika saya sedang promosi doktor, Akuat pun menyempatkan hadir. Tampak sekali dia berbangga dan berbahagia. Embok Yatinem tentu saja mengetahui ketulusan Akuat. Sebagai tindak lanjutnya, saya akan menghormati Akuat tak ubahnya saudara sendiri.

“Yok opo. Akuat bersama dengan Budiman Sujatmiko kok masuk PDI Perjuangan? Kasihan PRD ditinggal.” 

Begitulah gugatan Ebo yang berasal dari Lamongan sewaktu kuliah di ISBUJA.

“Mungkin capek menderita. Rindu kemapanan.” 

Sambung Eko Buris dengan meledak ledak. Embok Yatinem juga sempat akrab dengan kawan kawan yang aktif di jaringan PMII. PMII adalah Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia. Kebanyakan anggotanya berasal dari kader-kader muda NU. Mereka berasal dari lapisan santri yang amat paham terhadap seluk beluk agama. Wacana-wacana syariat keagamaan mereka sudah terbiasa sejak masa kanak-kanak. Namanya saja santri.
 
“Kawan PMII ini mempunyai sifat toleran yang sangat tinggi. Mereka terbuka terhadap segala corak pemikiran. 

Buat mereka semua ilmu pengetahuan perlu dipelajari. Tak ada kamus mengharamkan ilmu pengetahuan. Bahkan untuk soal ilmu pengetahuan sosial, mungkin PMII paling maju. Mereka tak sungkan sungkan berguru pada ahli ilmu sosial barat.” 

Seperti itu komentar Udin dari Jombang yang kini sibuk dalam usaha penerbitan. 

Nailil Muna, mahasiswa Fisipol adalah salah satu kader PMII yang militan. Dia amat akrab dengan Embok Yatinem. Kalau ke Yogya Embok sempat sarapan pagi dengan Muna. Sebagian dari kawan-kawan PMII itu memang leluasa bergaul dengan Embok Yatinem. Mereka diskusi tentang apa saja yang dianggap menarik dan cocok dengan situasi mutakhir. Lebih-lebih bapak Ridjan, beliau sangat senang bicara tentang sosial politik. Hampir tiap hari beliau mengamati perubahan sosial politik di negeri ini.

“Cuma, PMII sekarang kok cenderung liberal. Gerakannya ke kiri-kirian.”

Keluh Yuni Sastra Jepang yang aktif di Pemuda Muhammadiyah. 

“Ya namanya proses pencarian. Tapi mereka maju sekali lho. Membuat LKiS segala. Wacananya tidak cuma poligami dan pernikahan saja.” 

Heni Mulyani yang aktif di pers mahasiswa dan nyambi di Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) berusaha membela gagasannya. 

5. Rajutan Kawan. 

Masa kuliah dulu saya aktif di lembaga keislaman Jamaah Shalahuddin. 
Di samping itu pula saya ikut kegiatan kesenian yang berpusat di Gelanggang Mahasiswa.

 Di antara aktivis Gelanggang yang akrab dengan keluarga saya adalah Hari Jumanto yang populer dengan nama kesayangan M. Hariwijaya. Embok Yatinem amat berkenan atas peran Hari Jumanto yang sudah terbukti sejak tahun 1995. Persahabatan keluarga saya dengan Hari Jumanto sampai kini tetap lestari. Masing-masing dengan improvisasi dan otonomi yang dikembangkan. Setiap kali Embok Yatinem ke Yogyakarta, Hari Jumanto selalu menjemput.

 Keperluan Embok dilayani secara mengagumkan oleh Hari Jumanto. Untuk urusan koordinasi, Hari Jumanto sangat trampil dan cekatan. Saya memang cocok berhubungan dan kerjasama  dengan dia. Namun, tak ada niat untuk mengeksploitasi tenaganya. Demi kepentingan saya, tak mungkin saya membiarkan nasibnya merana.

“Kamu harus bertanggung jawab. Bagaimanapun juga dia harus punya masa depan yang layak. Kenyamanan dan kehormatannya perlu dijaga. Harkat martabatnya harus wibawa. Maka setiap ada garapan, musti klamu pikir agar dia menjadi orang mulia.” 

Pesan Embok kepada saya, supaya tetap menyantuni dia. Alhamdulillah hingga detik ini saya berjalan secara harmonis. Ada prestasi yang menakjubkan.

“Dia kini menjadi penulis yang terpandang di Yogyakarta.

Sudah lebih 30 judul buku telah dia tulis. Mungkin dia juga menjadi penulis papan atas di Indonesia. Buku buku karangan Hari Jumanto sudah banyak yang terbit. Di toko-toko buku terkemuka banyak ditemui tulisan Jumanto. Semoga daya kreatifnya terus berkembang,” 

Kata Dadang yang ahli bakul ikan hias dan Bakpia Reihan. 
Hari Jumanto atau M. Hariwijaya ini sekarang populer sekali di kalangan para peserta calon pegawai negeri sipil (CPNS). 

Karena kitab karangannya begitu menjadi referensi utama buat mereka yang mau ujian menjadi aparat negara. Tak sedikit yang mengucapkan terima kasih kepadanya karena merasa tertolong setelah membaca buku karya ciptanya. Kini, ia hidup bersama istrinya, Memik Tri Indiarti, S.Pd., dan anak mungilnya, Putri Pandan Wangi atau Puput yang lahir pada tanggal 21 April 2005 bertepatan dengan Hari Kartini.

Penjenjangan karier berusaha saya bangun, sebagai barometer kemajuan kerja. Hari Jumanto saya suruh mencari staf. Dipilihlah Bisri Mustofa, alumni Fisipol yang berasal dari Bojonegoro. Selama bergabung dengan saya, Bisri yang lulus dengan predikat cum laude ini mengalami peningkatan. Beberapa bukunya sudah terbit. Di antaranya berjudul Sejarah Nabi Muhammad saw. Saya bangga karena bisa menata masa depan secara terencana.

Tokoh jamaah Salahuddin yang akrab dengan simbok adalah Ganjar Nugroho. Sahabat saya yang amat cerdas, ikhlas dan keras adalah Ganjar Nugroho. Bersama dengan istrinya Dina Faoziah, mereka berdua adalah teman dekat saya. Saya mempunyai hubungan emosi yang dalam sehingga tidak mungkin keduanya saya lupakan.

 Masing masing punya andil pada saya. Ganjar Nugroho awal kuliahnya sempat aktif di Jamaah Shalahuddin. Kawan-kawannya menilai Ganjar sebagai penolong sekaligus tukang kritik yang maut. Tahun 1996 Ganjar pernah mendapatkan gelar bergengsi, Pangeran Buku Nasional. 

“Dia memang rajin membaca dan mau hidup lara lapa serta tirakat. Di samping itu juga idealis, hadiah untuk berkunjung ke Jerman pun ditolak mentah-mentah, karena tidak sesuai dengan hati nurani.” 

Kata Idham Khalid yang menjadi aktivisi NU tulen.
Embok Yatinem dan Pak Ridjan mengenal Ganjar dari dekat. Ganjar pernah datang serta menginap di rumah saya. Saat itu saya sedang jatuh mental. Gagal dari perantauan, saya sempat jadi TKI.

 Kesengsaraan saya cukup mendapat obat dan simpati dari Ganjar. Ganjarlah yang membangunkan semangat saya untuk tetap melanjutkan studi. Tak tanggung tanggung, Ganjar ikut serta menyumbang bahu suku lan penemu.

6. Gotong Royong Nyambut Gawe. 

Berhubung telah berkali kali menginap di rumah Nganjuk, maka Embok Yatinem hafal betul dengan Danuri. Belum lagi pertemuan di Yogyakarta, hubungan Embok Yatinem semakin dekat dan akrab. Keduanya lantas ada hubungan batin yang terjalin secara kekeluargaan. 

Setiap kali ada perhelatan di keluarga saya, Danuri pasti ikut sibuk dan repot. Dia ringan tangan untuk menyumbangkan tenaga dan waktunya. Mungkin sama sama latar belakangnya, sehingga komunikasi antara keduanya menjadi mudah. Hingga sekarang pun dengan keluarga Danuri, saya masih sangat bersahabat.

Danuri di kalangan penerbit Yogyakarta cukup dikenal. Dia selalu hadir dalam forum forum perbukuan. Setiap ada pameran, sebisa bisanya Danuri berpartisipasi. Malahan tak jarang Danuri bertindak selaku koordinator. Tentu saja ini membutuhkan sebuah pengorbanan baik waktu, dana dan tenaga. Hampir semua kegiatan yang dia atur banyak berhasilnya.

 Sekarang Danuri menekuni dunia penerbitan buku bersama dengan istrinya, Rahma. Danuri giat mencetak buku kawan-kawannya. Ini merupakan ajang promosi buat penulis pemula. Tanpa banyak pertimbangan Danuri segera menggarap buku ciptaan penulis baru itu. Bisa ditebak, mereka pasti bergembira ria.

 Kehormatan yang tiada tara, tatkala bukunya itu diterbitkan. Semangat pun menjadi menyala-nyala. Kawan seperjuangan Danuri yang akrab dengan keluarga saya adalah Mas Zainal Arifin dan Mbak Neni. Keduanya dikaruniai putra, Muhammad Lintang Samudra. Hingga kini saya berkerja sama dalam bidang cetak mencetak dengan kedua keluarga ini.

“Lik Danuri, kenapa banyak penerbit buku gulung tikar?” 
“Mungkin mismanagement. Salah urus. Kalau menurut Bang Ipin apa sebabnya?”

“Para pengelola penerbit buku itu banyak yang tergoda oleh gaya hidup mewah, besar pasak daripada tiang. Cagak kabotan empyak. Mereka gumedhe semua. Sok jadi OKB. Padahal gombal.”

Kawan lain yang hingga saat ini mendukung pekerjaan saya adalah Salman, Sri Mulyani dan Giyati. Mereka adalah pengusaha jasa pengetikan yang tergabung dalam

 “Intel Komputer.”

 Letaknya di utara Fakultas Kehutanan, di tepi Selokan Mataram. Kanan kirinya deretan bakul gudheg Bu Amad, Yu Djum, Yu Narni. Hingga kini saya tetap melakukan kerja sama. Ketiga orang itu sangat akrab dengan Embok Yatinem. Salman berasal dari Negara Irak. Ketika Saddam Husein, Presiden Irak itu jatuh, Salman tampak sedih sekali.

Sri Mulyani adalah warga Yogya asli yang memberi bantuan ketik mengetik. Hampir semua buku saya atas ketikan Sri Mulyani. Kadang kadang dia juga dolan ke rumah Mino. Hubungan saya seperti keluarga saja. Beberapa kali Sri Mulyani berhubungan dengan Embok Yatinem.

Giyati adalah pekerja Intel Komputer yang berasal dari Caruban Madiun, kota kecil yang terletak di 25 km sebelah barat Nganjuk. Secara geografis dan kultural, saya dan Giyati memang sangat dekat. Dia bersama keponakannya senantiasa bekerja sama. 

“Orang Caruban memang renyah, serenyah brem suling gading.” 

Kata Hari Jumanto dari gang Trembuku 7 Mrican.

7. Praja Ngayogyakarta Surakarta. 

Beruntung sekali semasa Embok Yatinem hidup sempat bersahabat dengan pribadi nan Agung. Di antaranya adalah Arie Sarjono. Dia termasuk aktivis yang legendaris. Meskipun saya berbeda idiologi, tetapi saya merasa ada kecocokan. Sejak menjadi mahasiswa, saya sering tidur satu kamar. Dalam dialog dengan Sarjono itu, saya kerap mendapat cap. Saya mendapat cap feodalis, dan Sarjono mendapat cap radikal. 

“Kita harus melawan kapitalisme global. Mereka main mata dengan militer dan mengusung idiologi neoliberalisme.” 

Kata Sarjono saat menjadi pembicara seminar di gedung UC.

Sementara itu, Hasan yang duduk di deretan paling belakang berbisik dengan Sagiyo yang aktif di jamaah mushola Fisipol.

“Ah, Sarjono tidak realistis. Siapa yang diwakili Sarjono itu. Saat ini militer malah dicintai rakyat. Buktinya Susilo Bambang Yudhoyono yang berasal dari militer dipilih oleh rakyat secara mutlak menjadi presiden.”

Sagiyo pun menyetujui. 

“Betul katamu, Bung.”

Nor Wahyudi menyambung sambil cengengesan, “

Jito menentang kapitalisme. 

“Bohong !!!. Lihat saja dia sekarang naik mobil keren made in Jepang. Padahal Jepang termasuk agen kapitalis jahat juga.
 Apa itu?”

“Ha ha ha....” 

Mereka ketawa kompak.

Bapak dan Embok memang amat berkesan dengan pribadi Arie Sarjono.
 Mungkin saya secara kultural masih sama dengan kebudayaan Arie Sarjono. Saya Nganjuk, Arie Sarjono berasal dari Madiun. Seni budayanya hampir sama. Dalam perjuangan untuk kebenaran dan keadilan, Arie Sarjono memang tak kenal lelah. Setiap kali ada penggusuran, Arie Sarjono mesti tampil ke depan untuk melakukan pembelaan. 

Pada jaman Orde Baru berkuasa, Arie Sarjono memang pejuang yang amat gigih. Sejarah mencatat dia sebagai tokoh yang konsisten dan berani. Dia adalah dosen yang sangat vokal. Satu hal yang amat membahagiakan saya yaitu saya dapat bersenda gurau dan guyon dengan Arie Sarjono setiap kali bertemu. Saya bisa menggoda dia dengan lelucon lelucon yang bermutu. Saya berdua benar-benar bisa menikmati. 

Embok juga mempunyai kesan khusus pada Mahmudah. Mahmudah adalah istrinya Pak Eed, yang saat ini bekerja sebagai dosen di Fakultas Sastra Arab. Saya sekeluarga hingga kini benar-benar dekat lahir batin.

 Setahu saya, Mahmudah yang berasal dari Malang, dulu lama sekali hidup satu pondokan dengan Partini . Setiap kali pulang kampung ke kota Malang, Mahmudah kerap mampir ke rumah Nganjuk. Setelah berkeluarga dengan Pak Eed yang berasal dari Ngawi, pasangan suami isteri ini rajin berkunjung ke rumah saya. Embok Yatinem begitu dekat dan sayang dengan Mahmudah. 

Hari lebaran Mahmudah ke Nganjuk untuk menyambut acara lamaran Partini. Saya pulang secara bersama-sama ke Yogya. Seminggu kemudian saya juga satu mobil dengan keluarga Mahmudah dalam rangka kunjungan balasan ke calon besan. Begitulah suka duka saya menjadi tali persaudaraan bersama Mahmudah yang pintar, cekatan dan ramah.

Pribadi nan agung lain yang perlu disebut adalah Keluarga Bambang Purwoko. Bambang Purwoko adalah dosen Fisipol. Bagi kelurga saya, beliau amat besar jasanya.

 Hubungan saya dengan beliau terus saja terbina dengan baik. Saya sekeluarga tentu juga mengucapkan terima kasih yang sedalam dalamnya. Sejak tahun 99 Partini bekerja sebagai guru Taman Kanak kanak Bhakti Mulia. Sambil menyelesaikan pendidikan Program Sarjana, Partini juga bekerja sebagai guru.

Lepas dari itu semua, Embok sejak kecil sudah akrab dengan Kraton Surakarta dan Kraton Yogyakarta, terbukti dengan hafalnya. 

lagu Witing Klapa.

Witing klapa jawata ing ngarsapada, 
Salugune wong wanita, 
Dhasar nyata kula sampun njajah praja, 
Ing Ngayogya Surakarta. 


8.  Cokro Manggilingan. 

Nasib perlu diubah dengan perjuangan. Salah satu adik Embok adalah Bulik Renti. Berkat bimbingan dan bantuan Mbah Tinah, Bulik Renti sempat mengenyam pendidikan. Beliau adalah bidan yang bertugas di rumah sakit Syaiful Anwar, Malang. Bulik Renti meninggal dunia pada tahun 1993, dengan 2 anaknya yang masih kecil kecil, Ari dan Tio.

 Maka nasibnya tampak sangat mengharukan. Setelah melahirkan putra kedua, Bulik Renti berangsur-angsur turun kesehatannya. Berita terakhir beliau menderita penyakit kanker ganas. Saya lihat rambutnya habis, tinggal tumbuh jarang dan pendek.

Saya tidak tahu mengapa Embok Yatinem mendapat tugas mengawal kesehatan Bulik Renti, walaupun saudara lain cukup banyak. Inilah bukti nyata bahwa Embok Yatinem mempunyai perhatian yang tinggi buat saudara-saudaranya yang sedang ditimpa musibah.

 Berbulan bulan Embok Yatinem merawat Bulik Renti di Malang. Beliau mau meninggalkan kepentingan keluarganya. Kelebihan Embok Yatinem lainnya yaitu tak segan-segan memberesi semua pekerjaan. Buat orang lain pekerjaan yang kotor mungkin dihindari. Embok Yatinem tidak begitu, beliau mempunyai jiwa profesional semacam dokter, sehingga tak harus banyak pertimbangan perasaan dalam melakukan keputusan.

Demikian itu perhatian Embok Yatinem pada orang lemah, tanpa pamrih. Oleh karena itu, beliau sudah selayaknya mendapat penghargaan balik di mata para keluarga. Suami Bulik Renti yang bernama Pak Soetikno belum juga beristri. Secara berkala beliau nyekar ke makam mendiang istrinya.

“Di antara sedulur-sedulurnya, Mbokde Yatinem itu kewahyon. Ada yoninya.” 

Demikian komentar Pak Sutikno tentang Embok. Dari Tulungagung  beliau sering berkunjung ke Nganjuk. 

Bagaimana juga Lik Renti masih beruntung karena mengenyam pendidikan yang lumayan. 

Kedua adiknya, Lik Gamirah dan Lik Nyoni tidak sempat sekolah. Sehingga belum bisa membaca dan menulis. Hanya saja, kedua orang ini menyadari ketertinggalannya. Putri Lik Gamirah yang bernama Nunuk kuliah di perguruan tinggi. 

Nunuk yang menikah dengan Wawan itu kini menjadi wiraswastawan yang mandiri. Sedang Lik Nyoni yang menikah dengan Lik Si melahirkan Maisaroh yang giat belajar. Sekali tempo saya berkirim surat kepada Maisaroh lewat pos guna meningkatkan semangat belajarnya. 

“Filsafat Cokro Manggilingan mengajarkan bahwa hidup manusia itu berputar seperti roda.  Kadang kadang di atas, kadang kadang juga di bawah. Maka jangan sampai memiliki sifat aja dumeh dan aji mumpung.” 

Kata Nunuk yang sudah pintar membuat analisa perkembangan keluarga. Pikirannya tajam sekali. Barangkali dia kerap membaca buku sosiologi.

“Sebenarnya trah Mbah Sariman Paniyem sudah mengalami sedikit mobilitas sosial ekonomi. Ibarat pohon semakin tinggi semakin kuat pula angin menerjang. Ujian yang berupa kenikmatan sebenarnya jauh lebih sulit daripada penderitaan. Contohnya OKB (Orang Kaya Baru), banyak yang jatuh karena polah tingkahnya yang sembrono.” 

Markus, putra Lik Patman itu menjelaskan.
Oleh karena itu Embok mengingatkan kepada saya,

 “Dedalane guna lawan sekti, kudu andhap asor, wani ngalah luhur wekasane. Bahwa sikap rendah hati sama saja dengan menghargai diri sendiri.”

Setiap orang yang pernah berjasa kepada Embok Yatinem sekeluarga, beliau selalu berpesan supaya mau mengingat ingat jasanya. 

Contohnya Mbah Parjinah. Beliau berjasa mempertemukan Bapak dan Embok menjadi suami istri. Saya disuruh menyantuni beliau. Kebetulan kehidupannya di bawah kesejahteraan umum, tampak rumahnya yang kecil dan reyot. 

Belum lagi punya hutang pada Bank Plecit atau Bank Thithil yang menagih tiap hari. Di samping bunganya yang tinggi, godaan untuk berhutang lagi itu besar. Melihat keadaan hidupnya, sejak saya kecil sudah menaruh kasihan.

Penyambung rasa hormat saya lagi adalah Mbah Parjinah itu orangnya sabar. 

Lagi pula punya suami, Mbah Hardjo Wiromo. Beliau itu yang mengajari seni Jawa, terutama seni karawitan. Saya bisa menabuh gamelan atas bimbingan Mbah Hardjo Wiromo. Seminggu sekali para pemuda kampung belajar gamelan di rumah Mbah Carik. 

“Cucunya Mbah Carik yang bernama Eko Suseno berbakat menjadi dhalang yang gandem marem suaranya.” 

Kata Mbah Hardjo Wiromo. 
Sejak kecil hingga tua,  Mbah Hardjo Wiromo selalu bergelut dalam bidang seni Jawa. Juga beliau pernah menjadi dhalang kondang. Dulu beliau laris ditanggap. Sejak tidak mendhalang, beliau ikut rombongan Niyaga Tayub. 

“Saya dulu juga pernah menjadi pengamen di pasar.” 

Kata Mbah Hardjo Wiromo. Pengalaman seni Mbah Hardjo Wiromo sangat banyak. Sudah selayaknya saya menghormati keluarga ini. Beliau menjadi orang terpandang di desanya karena menjadi seniman populer. Sayangnya popularitas tidak mesti kebanjiran fasilitas. Ini lumrah saja. 

Ngangsu kawruh perlu tata cara. Begitulah keyakinan Embok Yatinem yang diajarkan pada anak anaknya. Terutama hormat pada guru, tertib pada waktu.

Oleh  Purwadi
Ketua Lembaga Olah Kajian Nusantara LOKANTARA, hp. 087864404347

Tidak ada komentar:

Posting Komentar