Rabu, 19 Mei 2021

EMBOK YATINEM [9] NYAMBUNG SEDULURAN


1. Rembugan Tuwa. 
Rembugan tuwa berkaitan dengan perjodohan. Ini merupakan gawe besar. Tenaga dan pikiran dikerahkan. 

Memperluas jaringan keluarga. Dalam budaya Jawa ada semboyan. Ber bandha ber bandhu. Artinya seduluran itu memegang peran utama. Wejangan diperhatikan oleh Embok Yatinem dengan kesungguhan. 

Ngebun ebun enjing, njajawah sonten. Setelah saya lulus belajar, kawan kawan mulai menganjurkan untuk segera menikah.

 Dengan pertimbangan yang matang saya lantas memberanikan diri. Saya berdiskusi dengan semua kawan kawan dekat. Bagaimana baiknya saya serahkan sepenuhnya. Keputusan dari rembugan itu, saya diajak bersilaturahmi ke calon istri. Saya diantar 8 orang :
Betha Candrasari, Diah, Maria, Eni Martina, Indra, Danuri, Andi dan Hari Jumanto. Sebelumnya Zainul dan Betha melakukan pertemuan informal. Semua lancar.

“Betapa gembira Embok dan Bapak. Embok sangat sibuk sekaligus bersinar sinar bahagia.”

Kata Partini meyakinkan. 
Lamaran pun dilakukan. Disumbang oleh Pak Tris mobil dengan sopir Pak Darodji.  Kawan kawan dari Yogya dengan sukarela mengiringi hari bersejarah itu.

 Tak kurang dari 30 orang yang ikut. Jadilah perhelatan kecil yang menarik. Saya terharu pada Mas Hari Besari, Mas Tio, Arie Jito, Nur Wahyudi, Heri, Yuni, Dyah, Edi dan Bapak Ibnu Rochman  sebagai pimpinan rombongan. Lamaran itu dilakukan pada tanggal 30 Desember 2001. 

Ketika kunjungan balik dari keluarga Salatiga ke Nganjuk, salah satu orang yang menonjol peranannya adalah Megandaru. Megandaru adalah putra Bapak Munakhir. Ibunya bernama  Sukatmi Susantina, dosen ISI Yogyakarta. 

Kesan saya Megandaru ini orangnya memang supel, luwes, enthengan, gemati dan amat egaliter. Sekali tempo dia keluar humor humor segar. Singkat kata, dia adalah teman yang hangat dan menyenangkan. Sekali tempo dia tiduran di kos saya.

 Bahkan hingga sekarang tiap kali datang ke Yogya pasti mampir di pondokan saya. Sudah berkali kali dia berkunjung ke Nganjuk. Saat Pak Tris menjabat sebagai Bupati Nganjuk, Megandaru pernah nginap di Pendapa Kabupaten. Terjadiah hubungan akrab antara dia dengan Pak Soetrisno. Megandaru kini bekerja sebagai dosen Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) Jakarta.

Embok Yatinem mempunyai kesan mendalam. Saat saya diwisuda  di balai Senat, Megandaru yang didampingi Ibu Sukatmi Susantina bertindak sebagai juru potret yang gesit dan menggembirakan. Embok dan Pak Ridjan berbunga bunga melihat ketrampilan Ndaru. 

2. Kembul Bujana Andrawena. 

Jumbuh ingkang ginayuh, sembada ingkang sinedya. Pak Ridjan dan Embok Yatinem ngundhuh mantu pada tanggal 4 Mei 2004. Pesta dilaksanakan selama tiga hari tiga malam. Seolah olah perhelatan itu merupakan puncak kebahagiaan hidup Embok yang sungguh mengesankan. Tamu hilir mudik. Jumlah ribuan. 

“Panitianya berlimpah ruah, karena semua orang boleh menjadi anggota. Pada dasarnya semua orang boleh bergabung tak ada yang ditolak.” 

Kata Embok sambil rengeng rengeng. 
Pak dan Embok percaya sepenuhnya kepada panitia. Susunan panitia yang dipimpin Pak Puguh berjalan sangat rapi. Pembagian tugas, menerapkan prinsip prinsip manajemen modern, layaknya mengelola BUMN.

Semua warga kampung dan kerabat Pak dan Embok berduyun duyun memberi doa restu. Pada malam terakhir yaitu resepsi agung yang dihadiri oleh Pak Bupati beserta jajarannya, Wakil Bupati, Pak Camat, Pak Sekda, Pak Bapeda komplit dengan ibu ibu. Mereka turut sibuk merancang perhelatan nikah saya. 

Sementara jajaran Dekan Fak. Filsafat lengkap dengan wakil wakilnya turut rawuh pula. Prof. Dr. H.R. Soejadi, S.H., S.U, memberi ular-ular pada ponang penganten. Para dosen pun sebagian datang yaitu dari Fakultas Sospol, Filsafat dan Sastra. Pak dan Embok mendapat kehormatan besar. Mereka dengan semangat mendukung perhelatan ini. Sajian mengalir deras. 

Ki Panut juga hadir saat perhelatan itu. Perhatian orang tua saya kepada Bapak Ki Panut Darmoko besar sekali. 

Begitu hormatnya kepada Pak Panut, Pak Ridjan dan Embok Yatinem memperlakukannya sangat istimewa. Sewaktu mantu, Pak dan Embok menghaturkan punjungan khusus kagem Pak Panut. Beliau diundang secara mirunggan. 

“Ajaran ajaran Pak Panut sering menjadi bahan diskusi di antara para warga pedesaan. Memang Pak Panut termasuk sesepuh di Kabupaten Nganjuk. Beliau bisa menjadi pemuka spiritual kejawen yang mitayani.” 

Komentar Pak Muhadi yang berkarib dengan Embok.

“Dhalang lain sulit menandingi bahasa Kawi Ki Panut. Antawacane urut, runtut lan patut.” 

Sambung Mbah Pardi. Putrinya yang bernama Mbak Yasmini, kuliah di IKIP Malang. 

Sekali tempo saya sowan Pak Panut, seolah olah sedang menghadap Begawan Abiyasa di Pertapan Wukir Ratawu. Kedamaian dan kesejukan saya rasakan saat sowan di hadapan Pak Panut Darmoko.

 Kita akan terpesona dengan sulukan Ki Panut di bawah ini, yang menggambarkan pengembaraan seorang satria beserta panakawannya.
Tunjung bang trate
Irim irim atetaping kayu apu
Agringging lelumut krangkongira  ijo
Sri gading diwasa renaning rejasa
Kembang karang sungsang 
Bogeme araras raden.

Pengiring manten putri dari pihak besan Salatiga diantaranya adalah Mas Habib Masturi, Wakil Bupati Boyolali (2000-2005). Beliau termasuk kemenakan ibu mertua, Bu Suntiyatun. 

Juga tampak Pak Darwito yang suka menganalisa perubahan sosial politik di negeri ini. Bu Syiah Darwito semasa kuliah aktif kegiatan ekstra kampus. Sanak kadang pawong mitra dari Salatiga ikut serta ngombyongi dan mangayu bagya.

3. Pertapan Kebo Kanigara. 

Gunung Telamaya yang disebutkan dalam Kitab Pustaka Raja Purwa, karya Pujangga R.Ng. Ranggawarsita itu berdiri berjajar dengan gunung Ungaran, Kendalisada, Merbabu dan Merapi. 

Di antara gunung Merbabu dan gunung Merapi itu dulu dikenal sebagai Pertapan Kebo Kanigoro, putra Adipati Handayaningrat di Pengging, yang diambil menantu oleh Sinuwun Prabu Brawijaya Raja Majapahit. Letak gunung Telamaya di sebelah barat kota Salatiga yang banyak mengandung nilai sejarah. 

Mas Karebet dibesarkan di daerah Salatiga tepatnya di kecamatan Tingkir. Maka Mas Karebet mendapat julukan Joko Tingkir.

 Bersama dengan Ki Ageng Butuh, Ki Ageng Sela, dan Ki Ageng Banyu Biru, Joko Tingkir sukses mendirikan Kraton Pajang. Kraton Pajang merupakan kelanjutan kebesaran Majapahit, Demak dan Pengging. 

Kota Salatiga juga menjadi cikal bakal Pura Mangkunegaran yang didirikan oleh Pangeran Samber Nyowo pada tanggal 17 Maret 1757. Di daerah Salatiga inilah Bapak dan Embok mendapat tambahan keluarga baru.

Salatiga adalah kota di sebelah timur laut Gunung Merbabu. Letaknya antara kota Solo dengan kota Semarang. Wilayah yang bergunung gunung ini sungguh indah pemandangannya.

 Sudah beberapa kali Embok Yatinem berkunjung ke daerah Salatiga di rumah Besan. EmbokYatinem dan Pak Ridjan sungguh bangga pada keluarga Besan Salatiga. Terakhir sowan kepada keluarga besan Salatiga ketika menyambut Pak Suroto dan Ibu Suntiyatun pulang ibadah Haji dari Mekah. Saat itu Pak dan Embok dikawal oleh Wasidi.

Pak Suroto dan keluarga sudah berkali kali datang ke rumah Nganjuk mulai dari sebelum acara lamaran hingga setelah pernikahan. Pak Suroto sekeluarga sudah datang ke rumah saya. 

Mas Ayon, Mas Tipung, Mbak Nuzul, Mas Aris semuanya sudah datang berulang ulang di rumah Nganjuk. Di antara keluarga besan Salatiga itu ada yang berasal dari Pondok Pesantren Putri Gontor. Pondok Pesantren Putri Gontor berada di Mantingan Ngawi. Pondok ini berada di tepi jalan raya Solo – Surabaya. 

Lokasinya memang sangat strategis, mudah dijangkau oleh kendaraan umum. Di pondok putri inilah Bulik Iddah, bibi dari istri mengabdikan hidupnya. Beliau cukup akrab dengan keluarga saya. Saya sekeluarga sering mampir ke perumahan beliau. Tempat tinggal Bulik Iddah memang di kompleks perumahan Pondok Pesantren Putri Gontor Darussalam.

Bulik Iddah yang punya putri Dik Maya dan menantunya Dik Wawan, dua kali rawuh pada pawiwahan keluarga saya. Dua kali saat pesta nikah saya Bulik juga menyempatkan hadir. Juga ketika adik saya, Partini menikah dengan Catur Wibisana, Bulik Iddah juga paring puji pangestu. Tali persaudaraan ini saya teruskan. Embok Yatinem memang bangga punya jaringan keluarga di Pondok Pesantren Gontor. 

“Pondok pesantren akan bisa dijadikan untuk mencerahkan Jawa dan memperbaiki akhlak bangsa.” 

Kata Embok. 
Embok sendiri mengakui terus terang bahwa dirinya tidak tahu banyak mengenai agama. Maka, beliau mau sekali belajar agama kepada yang lebih muda.

4. Lintang Panjer Rina. 

Menantu Embok Yatinem yang bernama Setiani adalah seorang putri yang mau ajur ajer. Dia bisa empan papan dan luwes dalam pergaulan. Ini diakui sendiri oleh Pak Ridjan dan Embok Yatinem. Sejak lamaran hingga ke pernikahan, EmbokYatinem terus menerus memuji menantunya itu. 

“Hubungan antara keduanya sangat akrab, seolah-olah tidak berjarak sedikit pun. Kalau sedang bertemu, keduanya saling mencurahkan perasaan. Embokmu gemar sekali menumpahkan isi hati kepada menantunya. Belum pernah sekalipun Embokmu tak berkenan pada sang menantu. Namanya saja mantu kesayangan wingka katon kencana.” 

Pak Ridjan yang sering berkata begitu. Apabila berkunjung ke Yogya, Embok Yatinem tampak runtang runtung bersama Setiani. Embok sering diantar keliling kota. 

Tak ada kesan dia anak mantu, yang tampak adalah dua insan perempuan yang sedang berteman akrab. Sebuah kenangan manis yang membuat saya tak mungkin berbuat macam-macam pada sang menantu. Takut kualat. Saya sering dimarahi oleh Embok, karena menggoda menantunya. Embok selalu berpihak dan membela Setiani. 

Adityo Jatmiko adalah cucu pertama EmbokYatinem. Ketika Adityo Jatmiko, anak pertama saya, cucu kesayangan yang lahir pada hari Senin Wage, tanggal 20 Sura 1424 atau 24 Maret 2003. Saya memberi tetenger dengan surya sengkala : Susila legawa trus laksita. 

Betapa berbahagianya Embok Yatinem saat itu. Beliau rela menunggui selama  satu minggu penuh. Sebagai nenek yang menimang dan menggendhong cucu. Embok Yatinem mengerahkan segala daya, dana dan perasaannya demi sang cucu terkasih. Sambil nembang lagu-lagu Jawa, Embok menggendhong Adityo. Suaranya merdu menghiasi perumahan Minomartani. Siang malam pagi sore dia selalu ngliling cucunya. Seolah-olah dinasti Embok Yatinem itu berlanjut. Sejarah Embok ada yang melanjutkan, ini sebuah keberuntungan, kebahagiaan yang tiada tara. Terlebih nanti lahir pula Zaki Akmal Raihan, anak Si Partini pada tanggal 2 Oktober 2004. Disusul dengan Izul. 

Tiga bulan kemudian Embok mengadakan pesta besar besaran di Nganjuk. Seekor kambing jantan disembelih untuk perayaan. 

Kenduri atau slametan dengan mengundang seluruh warga RT beserta saudara dekat. Waktu itu suasananya sungguh meriah. Ya beginilah punya cucu. Sekali tempo Embok datang ke Yogya. Mungkin rindu menggendhong Adityo. 

Setiap kali saya tilpun ke rumah Nganjuk, Adityo saja yang ditanyakan kabarnya. Seolah olah di dunia ini Adityo adalah segalanya bagi Embok Yatinem. Saya sendiri sering menggoda Embok bahwa Adityo sedang saya biarkan menangis. Bisa diduga Embok marah. 

Adiknya lahir kemudian, yakni Aryo Bimo Setianto dan Anindito Wisnu Prasetyo. Tiga bersaudara dari kerap nabuh gamelan. Gendhing jamu dan tropong bang. 

5. Mengumpulkan Balung Pisah. 

Kumpule balung pisah berarti menyatunya sanak famili. Embok Yatinem sadar bahwa nasibnya telah sedikit mengalami perubahan. Anak anaknya sudah bisa hidup mandiri, tanpa harus merepotkan orang tua. Tanggungan keluarga sudah tidak ada lagi.

 Boleh dikata Embok mau memasuki pensiun. Hidup tinggal emat-ematan, sambil momong cucu. Sementara itu, usaha bisnis di rumah tetap lancar lancar saja. Hasil bakulan relatif menguntungkan. Lebih dari cukup untuk sekedar hidup layak. 

Memang sejak tahun 1994 keluarga saya mengalami mobilitas ekonomi yang cukup pesat. Allah Swt begitu melimpahkan hidayah dan taufik-Nya kepada saya. Beliau tampak semangat dan bahagia. 

Barangkali kemiskinan yang melanda Embok Yatinem itu akan dilampiaskan dengan cara sedekah. Masa lalu yang penuh dengan derita nestapa, membuat Embok ingin mengobati hati dengan cara berbagi kenikmatan kepada sesama hidup. 

“Balas budi terhadap lingkungan sekitar bisa diwujudkan melalui bagi bagi rejeki. Kehormatan keluarga tidak sejelek masa lalu yang penuh ujian dan cobaan. Alhamdulillah keluarga kita lulus dengan nilai cemerlang. Segalanya saya syukuri.” 

Demikian kata Embok.  
Paklik Pateman adalah adik Embok Yatinem. Kemudian juga bisnis toko kelontong di rumah. Saya lihat bakulannya laris. 

Ini akibat dari penampilan Lik Pateman yang luwes dan suka humor. Setiap ada orang beli, tiba-tiba Lik Pateman melempar guyon guyon yang segar dan menghibur. Hubungan kerja dengan keluarga saya yaitu dalam bentuk giling kopi. Setiap hari Embok nyelep kopi. Kadang-kadang juga nyelep beras. 

Setahu saya dulu Lik Pateman pernah bisnis arang. Dengan naik sepeda dia menyetorkan arang ke kota Nganjuk untuk bahan bakar. Kota Nganjuk dikenal sebagai kota Angin. Setiap menjelang bulan Juni, angin dari arah tenggara berhembus kuat. Orang Nganjuk menyebut angin Kediri. 

Untuk bisa melawan arah angin Kediri ini dibutuhkan perjuangan keras. Tidak mudah naik sepeda melawan hembusan angin yang kencang. Tapi berhubungan sudah terbiasa, kesulitan ini tidak berarti bagi orang Nganjuk. Ini bukan musibah, tetapi siklus rutin.

Hubungan keluarga saya dengan Lik Pateman ini cukup hangat. Apalagi dengan Pak Ridjan, Lik Pateman sering berkelakar. Tidak ada perjumpaan yang lewat dari senda gurau.

 Dua orang kakak beradik yang mesra dan akrab. Kedua-duanya amat mengasihi dan saling menghormati. Markus, Jumari dan Jeng Pri kini sedang mengarungi rumah tangganya masing-masing.

Beragam pengalaman hidup dijalani sesuai kudrat alam. Embok Yatinem mengayunkan langkah menurut garis. Dengan berbekal pergaulan kemasyarakatan. Yakni tuntunan tontonan dan tatanan.

Oleh Purwadi. 
Ketua Lembaga Olah Kajian Nusantara LOKANTARA, hp. 087864404347

Tidak ada komentar:

Posting Komentar