Rabu, 19 Mei 2021

EMBOK YATINEM [10] TUTUG MOMONG ANAK PUTU


1. Wulang Wuruk. 
Kridhaning ati tan kuwawa mbedhah kuthaning pasthi. Budi dayabe manungsa, ora bisa ngungkuli garising kawasa. 

Tiap kali pulang ke Nganjuk, Embok selalu bertanya siapa jodoh putri tunggalnya. 

“Piye, siapa bakal jodhone adikmu?”

Tentu saja ini pertanyaan yang amat menyulitkan buat saya. Sulit karena jodoh tak dapat dibeli di pasar. Tiap kali tak ada jawaban, Embok tampak kurang berkenan. Sehingga pertanyaan Embok tentang jodoh, merupakan pertanyaan yang bikin saya cemas.
Maha Besar Allah dengan segala firman-Nya. 

Doa saya sekeluarga terkabul. Proses pertemuan antara Partini dengan calonnya sungguh sebuah tanda kekuasaan Allah. Dalam tempo yang singkat dan cepat, atas jasa perantara Bu Sayuri, keduanya sepakat untuk membangun rumah tangga. 

Jalan yang ditempuh sesuai dengan prosedural agama dan budaya. Bagaimana pun saya berasal dari keluarga kejawen yang begitu terikat oleh adat yang sudah melekat. Sebagai orang muda saya amat peduli terhadap aspirasi Bapak dan Embok. Untuk mengikuti tata adat yang masih berlaku. 

Alangkah gembiranya saat Embok mendapat kabar bahwa anak putrinya akan dilamar. Segala daya dan dana dikerahkan.

 Perasaan suka cita menjelang pernikahan ditandai dengan Embok yang mempersiapkan pesta besar besaran. Jajan, kue, hidangan sudah disediakan. Seekor kerbau besar dan gemuk pun dibeli. Orang sekampung mau dipunjung. Begitulah perasaan berbahagia yang diekspresikan oleh Embok. 


Sahabat Partini  yang kebetulan teman sekolahnya bernama Darwanto. Di desa kami, dia amat populer sebagai MC yang humoris dan legendaris. Pidato pidatonya mengandung lelucon yang segar. Darwanto itulah yang bertugas menjadi MC lamaran.

 Sambutan pihak calon besan diwakili Pak Budiono sebagai talang atur keluarga Pak Supardjo. Keluarga kami diwakili oleh Pak Muhammad Yusuf. Doa penutup dilakukan oleh Yunus Hanis Syam, adiknya Among Kurnia Ebo yang kini aktif menulis buku dengan tema keagamaan.

Acara selanjutnya tinggal menunggu jadwal. Persiapan dilakukan dengan serius. Begitulah tekad Embok Yatinem menghadapi nduwe gawe. 

Allah Swt punya kebijaksanaan yang harus diterima oleh hamba Nya. Pagi itu, tanggal 1 Januari 2004, Kamis Pahing, 9 Sela 1424 H. Sesudah shalat subuh, seperti biasanya saya mengikuti siaran berita di TV, sambil kelekaran ngothak ngathik isi kitab Jawa Kuna. Tiba-tiba Si Wuragil bilang bahwa ada telepon dari Pak Puguh, supaya saya sekeluarga pulang secepatnya.

”Ada apa, kok mendadak banget?”  
   
”Aku ora ngerti. Coba telepon sendiri ke Nganjuk.”

Saya segera kontak balik dengan Pak Puguh. 

Berkali kali saya tanya, jawaban Pak Puguh tetap samar samar, seolah olah ada yang disembunyikan. Setelah saya mendesak, baru Pak Puguh mau terus terang. 

”Mas sekeluarga harap pulang ke Nganjuk pagi ini juga, karena Embok Yatinem seda. Sing sabar ya.”

”Innalillahi wainna ilaihi raji’un. Inggih Pak, kula enggal wangsul. Matur nuwun.”

Saya langsung merangkul Partini. 

“Embok seda.”

Mendengar berita duka itu, seketika Si Partini berdzikir. Air matanya mbrebes mili. Saya sesenggukan sebentar, untuk sekedar menumpahkan perasaan.   Saya tak bisa berpikir apa apa, selain teringat wajah Embok. Kadang kadang terpikir benarkah Embok wafat? Kemudian saya pun sadar. 

Saya sekeluarga langsung diajak pulang oleh Bapak Soetrisno dan Ibu Doni. Kebetulan beliau sedang rekreasi malam tahun baru di Yogya. Sopirnya adalah Budi. Demi keamanan batin saya didampingi oleh Hari Jumanto. Dalam mobil terus saja saya menerawang dan teringat ingat wajah Embok.

 Di tengah perjalanan Pak Tris usul supaya diselenggarakan ijab kabul Partini Catur di depan jenazah. Saya serahkan sepenuhnya kepada Pak Tris. Praktis semua yang mengurus adalah Pak Tris. Pak Tris mengontak Catur Wibisana dan keluarga Bapak Hadi Supardjo. 

Semua sepakat dan mendukung. Pak Puguh sebagai pelaksana di Nganjuk mengatur semua rencana. Soal-soal administrasi dan petugas KUA pun siap. Semua berjalan sesuai dengan instruksi Pak Soetrisno. Dengan wibawa beliau rupa-rupanya semua orang mbangun turut begitu saja.

Upacara pernikahan di depan jenazah pun segera diselenggarakan. Sebagai saksi Pak Tris dan Pak Budiono.

 Bagaimana perasaan para pelayat saat itu, tentu saja antara gembira dan duka bercampur jadi satu. Tangis dan tawa tiada terungkap. Sebagian pikiran masih tersedot perhatiannya pada jenazah Embok Yatinem di sebelah. Saya sendiri cuma termenung dan tak bisa mengungkapkan perasaan hati.

Dengan dipimpin oleh Pak Modin, upacara pemakaman Embok segera dilaksanakan. Saya terlebih dahulu melakukan dlusupan. Sesampainya di pemakaman, Mas Sudarmuji, Lik Sukijo dan saya pelan-pelan menurunkan  jenazah Embok ke liang lahat. Adzan dan qamat berkumandang pun mengiringi.

 Pemakaman desa ini bernama Pasareyan Luhur Hastono Mulyo, yang berarti Istana Mulia tempat beristirahatnya para leluhur. 

Tiba-tiba Bu Karnaningsih yang selama hayatnya dicintai oleh Embok mendekati saya.
 
“Wis sing sabar ya, Le!” 

Tak lama kemudian Mbah Jagabaya menjabat tangan saya sambil mengatakan. 

“Le, lima meter dari peristirahatan Embokmu itu adalah makam Raden Mas Joyo Kusumo. Beliau adalah salah satu Senopati perang, saat Pangeran Diponegoro berjuang melawan penjajah.”  
Saya duduk bersila termenung di sebelah timur pusara Embok, sambil melafalkan bacaan tahlil, tahmid, takbir dan tasbeh. 

“Mas, ayo pulang. Biar hatimu tenang.” 
Ajak Ganjar seraya menarik tangan saya yang diiringi Hari Jumanto. 

“Iya, Le. Sebaiknya kamu pulang dulu. Saya bersama keluarga mau nyekar Yu Yatinem.” 

Perintah Bulik Tatik yang juga ikut nyekar di pesareyan.
Sungguh mengharukan hati, Embok mendapat penghormatan di akhir hidupnya. 

“Embok, semoga kepergianmu khusnul khatimah.” 

Doa saya dalam hati sambil meninggalkan Pasareyan Luhur Padukuhan Grogol. .

2. Alam Pangrantunan. 

Malam harinya, pikiran saya terbang melayang, agelangut bebasan tanpa tepi. Waktu sudah menunjukkan pukul 24.00. Dhedhep tidhem premanem, suasana menjadi hening, sunyi sepi yang mengandung penuh arti. 

Dalam puncak liyep layaping ngaluyup, saya melakukan bawa rasa, hubungan batin dengan Swargi Embok Yatinem di alam Pangrantunan. 

”Embok, Gunung Pandan telah Panjenengan daki. Curamnya jurang tak menjadi penghalang. 

Hutan lebat tak membuat patah semangat. Panjenengan menggendhong arang tanpa rasa gamang. Semua Panjenengan lakukan demi adik adikmu yang memang menjadi tanggung jawabmu.

Embok, ketika hujan terus berguyuran, Panjenengan tetap berjalan menerobos perbukitan. Semak, belukar, dan dedaunan  kerap menggarut badanmu. 

Aneka goresan tak Panjenengan hiraukan. Rembesan darah pantang menyebabkan Panjenengan menyerah. 

Luka yang perih tak Panjenengan ungkapkan dengan merintih. Semuanya Panjenengan kerjakan, supaya keluargamu bisa bertahan. 

Embok, Kali Kedhungngaron telah menjadi saksi masa mudamu. Bahwa Panjenengan adalah pekerja keras. Harga diri Panjenengan angkat dengan banting tulang peras keringat.  Tekad Panjenengan yang berkobar, nyalanya mengalahkan hutan terbakar.

Embok, setelah mangun bale wisma, nasib Panjenengan belum juga berubah. Selama tiga puluh tahun, hidup Panjenengan penuh dengan cobaan dan ujian.

 Panjenengan dipermainkan ketika mau mencari kerja di Pabrik Urang di Sidoarjo. Panjenengan pernah ditipu ketika bekerja di perkebunan tebu. Tiga minggu bekerja upah Panjenengan tidak dibayar, karena uang dibawa kabur Mandhor Sabar. 

Sungguh berat bila diingat. Tapi Panjenengan selalu tabah. Kaki Panjenengan tetap melangkah.  

Embok, saat orang sedesa mengalami paceklik, Panjenengan tampil tegar. Sayur bayam Panjenengan untingi.  Dengan menggendhong rinjing, Panjenengan tawarkan dari rumah ke rumah. 

Gigih, keras, dan tegas Panjenengan mengelola kebutuhan rumah tangga. Pengeluaran selalu dengan perhitungan. Tapi, Panjenengan dengan murah untuk sebuah kemajuan pendidikan. 

Embok, sejak tahun sembilan puluh sembilan, kehidupan Panjenengan mulai mapan. Setelah menjadi pribadi yang merdeka, Panjenengan mudah berbagi suka bahagia. 

Bingkisan Panjenengan bagikan saat lebaran. Handai taulan Panjenengan ajak bepergian dalam satu rombongan. Puncaknya Panjenengan duwe gawe ngundhuh mantu.  

Jumlah panitia tidak Panjenengan batasi.  Orang sedesa Panjenengan undang semua. Kembul bujana andrawina, pesta pora yang lumayan, Panjenengan selenggarakan tanpa beban dan tanggungan. Secara gagah Panjenengan cukupi dengan kekuatan sendiri. 

Embok, tenanan setiap kali punya hajat, membuktikan Panjenengan bersemangat kuat.

 Terakhir kalinya, Panjenengan ingin amiwaha putra bungsu, menikahkan Partini. Tapi, tanpa ada tanda tanda sakit sebelumnya, dengan mendadak Panjenengan pada tahun baru ....................... .......................” 

Tiba-tiba air mata saya meleleh membasahi pipi.  Kurang dari dua puluh lima hari dari hajat mantu, Embok meninggalkan kami untuk selama lamanya.

”Cukurukuk...............” 

Suara jago kluruk. Jam dinding sudah menunjukkan pukul 03.00 dini hari. Segera saya manekung. 

3. Asma Kinarya Japa. 

Keesok harinya, saya mulai menata hati kembali, sambil merenung mengenai hakikat hidup. Sebenarnya, dari mana dan ke mana arah kehidupan manusia itu.  Akhirnya benar juga kata pepatah. Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama. 

Nama yang dihiasi oleh iman ilmu amal, cipta rasa karsa, pekerti pakerti pakarti, akan semerbak harum mewangi ke kanan dan ke  kiri, menembus relung relung segala lini kehidupan. 

Asma kinarya japa, bahwa tiap tiap nama pasti mengandung harapan bagi yang menggunakannya. Cellum stellatum supra me, lex moralis intra me. 
Begitu cemerlang bintang bintang di angkasa raya, demikian pula norma susila di dada manusia.

 Keutamaan, keluhuran dan keagungan merupakan harapan semua orang yang hidup di dunia ini, termasuk keluarga saya. Saya adalah putra barep Embok Yatinem.

Sebagai tanda darma bakti kepada orang tua, maka saya berusaha mendhem jero mikul dhuwur dengan menulis sejarah hidup Embok.

 Dengan tujuan supaya wulangan, wejangan lan wedharan Embok Yatinem bisa dijadikan kaca benggala secara turun temurun. Warisan luhur ini dapat digunakan oleh putra wayah dan siapa saja yang mau maca kahanan, owah gingsiring jaman, murih padhanging sasmita, demi kesempurnaan hidup yang sejati.

Surud ing kasedan jati. Berarti tugas di dunia telah selesai. Paripurna untuk manjing suwarga loka.

Oleh Purwadi
Ketua Lembaga Olah Kajian Nusantara LOKANTARA, hp. 087864404347

Tidak ada komentar:

Posting Komentar