GPH Sudjiwo Kusumo lahir pada hari Sabtu Pon, tanggal 15 Sela atau 18 Agustus 1951. Kelak pada tanggal 4 Jumadil Akir 1920 atau 24 Januari 1988 KPH Sudjiwo Kusumo dinobatkan sebagai pengageng Pura Mangkunegaran. Dengan sesebetan Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Mangkunegoro IX.
Ayahnya KPH Sudjiwo Kusumo adalah Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Mangkunegara Vlll. Bersama dengan Sinuwun Paku Buwana XII, Sri Mangkunegoro VIII mengeluarkan maklumat kepada Presiden Soekarno. Intinya sejak tanggal 1 September 1945 bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sri Mangkunegoro VIII wafat pada tanggal 5 September 1987. Sesepuh Pura Mangkunegaran lantas membuat keputusan penting. KPH Sudjiwo Kusumo diberi amanat untuk memimpin trah sejak tanggal 24 Januari 1988.
Catatan prosesi penobatan KPH Sudjiwo Kusumo sesuai dengan paugeran. Secara kronologis bisa diceritakan dengan sistematis.
Hamengeti Titimangsa
Gusti Pangeran Haryo Sudjiwo Kusumo.
Katetepaken hanggrenggani sesepuhing pengageng Puro Mangkunagaran kanthi sesebutan lan asma
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Mangkunegoro IX.
Purwaka.
Wafatnya KGPAA Mangkunagoro VIII pada tanggal 5 September 1987 membawa konsekuensi logis alih kepemimpinan Puro Mangkunagaran dan juga alih kepemimpinan/kepala kerabat besar Mangkunagaran. Oleh karena kedua jabatan sekaligus diduduki oleh almarhum.
Perikehidupan Mangkunagaran telah mengenal sejak tahun 1980-an suatu keberadaan organisasi kekerabatan Mangkunagaran, yang dapat dikategorikan telah mencapai taraf yang cukup memadai.
Dalam lingkup kehidupan Puro Mangkunagaran telah ditempuh langkah langkah yang merupakan suatu permulaan daripada proses alih kepemimpinan dalam Puro Mangkunagaran.
Kesepakatan bersama para putra putri KGPAA Mangkunagoro VIII almarhum, telah menetapkan kami GPH Sudjiwo Kusumo sebagai kepala keluarga dan menjadi pengageng Puro Mangkunagaran, serta pemangku jabatan almarhum ayahanda KGPAA Mangkunagoro VIII.
Kemudian daripada itu, guna memantapkan kepemimpinan Puro Mangkunagara dan sebagai langkah yang merupakan tindak lanjut dari ketetapan dalam kesepakatan bersama seperti dimaksud di atas, maka terhadap:
Kami, Gusti Pangeran Haryo Sudjiwo Kusumo selaku pengageng Puro Mangkunagaran, perlu dilakukan pengukuhan menjadi KGPAA Mangkunagoro IX , sebagai mengikuti jejak secara naluriah eyang KGPAA Mangkunagoro I yang diwisuda pada 4 Jumadil Akir 1682.
Ketentuan menurut hukum dalam ketetapan perundang undangan serta ketentuan peraturan pemerintah republik Indonesia lainnya belum termuat hal ikhwal yang memenuhi untuk dijadikan landasan dalam proses pengukuhan dimaksudkan di atas, sehingga oleh karenanya perlu ditempuh langkah langkah guna mencari dan selanjutnya menemukan suatu bentuk lembaga yang pantas dan mantap, serta menjadi satu mekanisme yang dianggap patut dapat melakukan tindakan pengukuhan itu.
Dalam lingkup kehidupan keluarga Puro Mangkunagaran dalam situasi dan kondisi yang hidup sebagaimana dalam realitasnya yang ada sekarang ini, telah ditemukan suatu lembaga yang disebut sebagai ‘para sesepuh agung Mangkunagaran’.
Kami sebagai pengageng Puro Mangkunagaran dengan bantuan staf asistensi pribadi kami telah menyusun sesuatu pemikiran, yang kemudian daripada itu telah memperoleh dukungan dari sesepuh/ketua dan wakil ketua dewan pertimbangan Mangkunagaran, yaitu KPH Soerjosoejarso dan KRMH Soerjosoempeno.
Naskah naskah tersusun dalam buku ini mencerminkan langkah secara kronologis serta menggambarkan sistematik dan bentuk pendekatan yang ditempuh sebagai tingkat akhir proses diri pribadi kami sebagai:
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Mangkunegoro IX.
Kemudian daripada itu, mengenai sistematik dan mekanisme hubungan antara pengageng Puro Mangkunagaran dengan himpunan kerabat Mangkunagaran Suryosumirat, kami menunggu proses restrukturisasi organisasi yang akan mencapai taraf akhir penyelesaiannya dalam musyawarah kerabat besar Mangkunagaran di hari mendatang.
Semoga buku peringatan ini memberikan informasi yang berguna bagi masyarakat luas maupun kerabat besar Mangkunagaran.
Surakarta, 24 Januari 1988
KGPA Mangkunagoro IX.
B. Paugeran Jumenengan Puro Mangkunegaran
Nawala Sesepuh
Surakarta, 8 Januari 1988
No: 591/SK/I/05
Perihal: Pengukuhan GPH Sudjiwo Kusumo
Pengageng Puro Mangkunegaran selaku KGPA Mangkunagoro
Kepada Yth.
PARA SESEPUH AGUNG MANGKUNEGARA
DI
JAKARTA – BANDUNG – SALA
Dengan hormat,
Demi mengikuti jejak secara naluriah Tradisi Budaya Leluhur para pendahulu di masa-masa lalu, kepada seorang anggota keluarga yang ditetapkan sebagai pengganti kedudukan Pengageng Praja Mangkunagaran yang dalam situasi dan kondisi dewasa ini Pengageng Puro Mangkunagaran memperoleh Gelar dan Sesebutan KGPA MANGKOENAGORO.
Bahwa berdasarkan kesepakatan bersama para putra-putri Almarhum KGPAA Mangkoenagoro VIII tertanggal 5 September 1987 telah ditetapkan sebagai kepala keluarga Puro Mangkunagaran GPH Sudjiwo Kusumo, serta menjadi Pengageng Puro Mangkunagaran dan secara hukum berkedudukan selaku Pemangku Jabatan (waarnemer) dari almarhum KGPAA Mangkoenagoro VIII.
Putranda GPH Sudjiwo Kusumo mempunyai niat yang kuat untuk memakai saat 4 Jumadil Akir 1920 yang jatuh bertepatan tanggal 24 Januari 1988, sebagai hari pengukuhan selaku KGPH Mangkoenagoro. Keinginan tersebut mempunyai latar belakang dan motivasi bahwa saat itu bertepatan dengan hari wisuda dari Eyang KGPAA Mangkoenagoro I.
Dengan tujuan utama ‘ngalap berkah’ agar keberadaan Puro Mangkunagaran sebagai mewujudkan Titik Awal Era Baru Peri Kehidupan Mangkunagaran mendatang nanti, memperoleh ridho Tuhan Yang Maha Kuasa dan selanjutnya memperoleh karunia-Nya, seperti terwujud dalam riwayat keberadaan dan perkembangannya dimana karya karya budaya Mangkunagaran masih menunjukkan relevansinya pada akhir abad XX ini.
Pemerintah Indonesia memberi isyarat yang cenderung tidak mencampuri masalah alih kepemimpinan Puro Mangkunagaran, sehingga dengan demikian masalah Pengukuhan GPH Sudjiwo Kusumo – Pengageng Puro Mangkunagaran serta mewujudkan tindak lanjut dari ketetapan dalam kesepakatan para Putra-putri Almarhum KGPAA Mangkoenagoro VIII, merupakan permasalahan keluarga Puro Mangkunagaran sendiri.
Berkenaan dengan itu, maka kami selaku sesepuh/ketua dewan pertimbangan Mangkunagaran berpendapat bahwa para putra putri dari KGPAA Mangkoenagoro VII ditambah seorang kerabat yang sudah banyak dan besar jasa-jasanya kepada Puro Mangkunagaran, yang secara keseluruhannya mewujudkan para sesepuh agung Mangkunagaran, memiliki bonafiditas yang meyakinkan serta representatif untuk melakukan pengukuhan dimaksud di atas itu.
Sehubungan dengan itu, kami mohon para sesepuh agung Mangkunagaran yang terdiri dari:
1. GRAy Partini Hoesein Djajaningrat
2. GRAy Siti Noeroel Kamaril Ngasarati Koesoemowardhani Soerjosoejarso
3. KPH Soerjosoejarso
4. KPH Hsmidjojo Soeparto
5. GRAy Partimah Soenarso Purwohadinoto
6. KPH Ir. Soenarno Purwohadinoto
7. KRTH Waloejo Hardjoloekito
Guna melakukan Pengukuhan Putranda GPH Sudjiwo Kusumo serta menyandangkan Gelar dan Sesebutan selaku:
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Mangkunegoro IX. Dan selanjutnya menerbitkan suatu Piagam Pengukuhan.
Atas kesediaan para sesepuh agung untuk sudi melakukan pengukuhan ini, maka kami, selaku sesepuh/ketua dewan pertimbangan Mangkunagaran mengucapkan terima kasih serta penghargaan yang sebesar besarnya.
Sesepuh/Ketua Dewan Pertimbangan Mangkunagaran
KPH Soerjosoejarso
AMANAT PENGUKUHAN
Sesepuh Mangkunegaran: KPH Soerjosoejarso
Mukadimah:
Puro Mangkunagaran timbul dalam bentuk, isi serta pengertian yang mengandung makna yang multi dimensional seperti sekarang ini, merupakan suatu realitas hidup dan terwujud sebagai produk suatu proses yang panjang dan tidak berdiri sendiri.
Walaupun proses yang berawal mula dari sesuatu kurun waktu sejarah, melalui jalur lintasan perjalanan perkembangan riwayatnya sendiri, namun merupakan satu rangkaian tidak terpisahkan dan menjadi bagian mutlak dalam kerangka sejarah kehidupan dan perjuangan hidup bangsa Indonesia. Mangkunegara I mengayunkan langkah guna melakukan perjuangan di Tanah Jawa.
Pengalaman perjuangan secara gerilya yang meliputi suatu medan wilayah terserak memanjang di sebelah selatan kota Surakarta sekarang, dari ujung barat daya sampai ujung tenggara, dengan melalui pergaulannya yang akrab dan penuh dengan semangat kekeluargaan yang berintikan martabat kemanusiaan yang agung, pejuang berdarah bangsawan namun memiliki jiwa kerakyatan yang tangguh, maka beliau telah memadu suatu penghayatan yang teramat mendalam atas keturut sertaan rakyat dalam perjuangannya selama 16 tahun.
Pendalaman dalam menggali nilai-nilai budaya leluhur, secara mendasar jiwa dan harkat kemanusiaan yang luhur para pengikut yang setia pada tujuan perjuangannya, telah melahirkan pada gilirannya suatu keyakinan yang mantap dan pada akhirnya menemukan falsafah dasar perjuangan, tersurat dan tersirat dalam tri darma:
C. Perjanjian Salatiga.
Berdirinya Pura Mangkunegaran atas dasar perjanjian Salatiga pada tanggal 17 Maret 1757. Bertempat di Kalicacing Salatiga.
Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa dinobatkan sebagai Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Mangkunegoro I. Pangeran miji ini punya hak status otonom. Di hadapan Sinuwun Paku Buwono III, lantas bersumpah setia dengan ungkapan Tri Darma.
Rumangsa melu handarbeni
Wajib melu hangrungkebi
Mulat sarira angrasa wani.
Melalui suatu langkah kebijakan yang arif dari dan atas jasa yang dipersembahkan oleh Patih Sinduredjo, tercapailah suatu persesuaian antara Sinuhun Paku Buwono III, dengan kakak sepupunya yang pada waktu itu disebut sebagai Gusti Sambernyawa. Butir butir kesepakatan itu melingkup tiga hal pokok berikut:
1. Diberi wilayah kekuasaan 4.000 karya, yang pernah menjadi medan perjuangan selama 16 tahun melakukan perjuangan lahir batin.
2. Dalem Mangkuyudan sebagai istana dan pusat pemerintahan, dikenal sekarang sebagai Pura Mangkunegaran.
3. Diberi gelar dan sesebutan yang berlaku selamanya, kangge salajengipun sebagai: KGPAA Mangkoenagoro I.
Saat kedatangannya kembali ke Sala yang terjadi pada hari Kemis Paing, tanggal 4 Jumadilakir Windu Hadi, angka 1682 sinangkalan: Mulat Sarira Angrasa Wani.
Mewujudkan sekaligus realitas secara fisik dan hukum dari Ketiga Pokok pokok Dasar Fundamental kesepakatan di atas. Keberadaan Praja Mangkunagaran meliputi wilayah kekuasaan tersebut, Dalem Mangkuyudan yang merupakan kediaman resmi dari Pengageng Praja Mangkunagaran serta diwisudanya Kanjeng Gusti Sambernyara sebagai KGPAA Mangkoenagoro, menjadi titik awal peri kehidupan Mangkunagaran.
Kekerabatan Mangkunagaran memiliki ciri-ciri khas tersendiri, mengingat KGPAA Mangkoenagoro sapisan menetapkan bahwa semua pendukung setia perjuangannya beserta trah-trah keturunannya merupakan Kerabat Mangkunagaran.
Berkenaan dengan ungkapan ungkapan sebagai tertera pada butir butir tersusun dalam mukadimah disebutkan di atas, serta.
Mengingat:
1. Kesepakatan bersama para putra putri Almarhum Sri Mangkunagoro VIII, tanggal 5 September 1987.
2. Keputusan dewan pinisepuh Mangkunagaran Surakarta tanggal 6 September 1987 nomor: 601/Dewan/Khusus/IX-1987.
Kedua duanya telah tersimpan sebagai konsinyasi pada kantor notaris Maria Theresia Budisantoso, SH, seperti tercantum pada akta penyimpanan tertanggal: 20 Oktober 1987, di bawah nomor 72.
Menimbang:
1. Bahwa sesuai dengan butir butir ungkapan dalam kesepakatan dimaksud di atas, yang berbunyi antara lain:
a. Keseluruhan dari karya-karya Budaya di atas menjadi satu bukti nyata betapa besar sumbangan Mangkunagaran di tengah-tengah sejarah kehidupan budaya nasional. Kekayaan dalam perbendaharaan budaya oleh Sri Mangkoenagoro VIII semasa hayatnya masih terus dipelihara serta dibina pertumbuhannya, sekalipun pada kenyataannya selama 42 tahun terakhir ini, sekedar berfungsi tidak lebih daripada seorang Kepala Keluarga/Kerabat dalam lingkungan keluarga besar Mangkunagaran.
b. Berkenan dengan kepergian Sri Mangkunagoro VIII memenuhi panggilan Khaliknya, maka para putra-putri yang menjadi pewaris keturunan langsung dari pendiri dan para penegak utama keberadaan Mangkunagaran, wajib meneruskan kelestariannya sebagai suatu: Kewajiban Moral yang Agung kepada pada leluhur Mangkunagaran serta memikul tugas pengabdian sebagai kelanjutan dari perjuangan almarhum Sri Mangkoenagoro VIII, agar Mangkunagaran sebagai salah satu Sumber Budaya Jawa tetap mampu memberikan sumbangan dalam pembangunan budaya nasional secara nyata.
c. Para putraputri pewaris keturunan langsung dari Sri Paduka Mangkoenagoro VIII, yang merupakan salah seorang dari para penegak utama keberadaan Mangkunagaran telah secara bulat menetapkan Gusti Pangeran Hario Sudjiwo Kusumo, menjadi kepala keluarga Puro Mangkunagaran, serta menjalankan segala kewajiban dan memikul tanggung jawab atas segala tugas yang berada dalam wewenang Almarhum Sri Paduka Mangkunagoro VIII, baik hal itu menyangkut tata kehidupan dalam lingkungan Puro Mangkunagaran maupun mewakili dan bertindak untuk kepentingan dan atas nama Puro Mangkunagaran.
Selanjutnya dalam hubungan ini, putra putri berketetapn hati serta bertekad bulat guna menempatkan Puro Mangkunagaran, sebagai sumber penggalian-penggalian budaya Jawa serta merupakan sarana pengembangan selanjutnya sebagai satu bagian mutlak dalam pembangunan budaya nasional.
D. Angleluri Tradisi Luhur Mangkunegaran.
Pura Mangkunegaran berusaha nguri nguri budaya. Berkenaan dengan ungkapan ungkapan terlingkup dalam satu kerangka susunan rumusan seperti disebutkan pada butir 1 di atas, maka ‘ketiga pokok-pokok dasar fundamental’ yang tersusun sebagai pangkal tolak pada titik awal perikehidupan Mangkunagaran, telah memperoleh bentuk baru sebagai mewujudkan satu rekonstruksi dengan menyesuaikan situasi dan kondisi searah dan sejalan perubahan jaman.
Wilayah kekuasaan Praja Mangkunagaran telah ditiadakan namun fungsi dan peranan Puro Mangkunagaran sebagai salah satu sumber penggalian budaya Jawa yang diabdikan kepada pembangunan budaya nasional maka budaya leluhur Mangkunagaran menjangkau wilayah kehidupan budaya Nusantara.
Menjadikan Puro Mangkunagaran sebagai sarana pengembangan selanjutnya dari hasil penggalian budaya leluhur, serta memasyarakatkan akan menempatkan Puro Mangkunagaran sebagai salah satu pusat pelestarian budaya Jawa.
Kepala keluarga Puro Mangkunagaran merupakan pengageng dalam lingkup kehidupan Puro Mangkunagaran setelah ditiadakannya wilayah kekuasaan praja Mangkunagaran. Sebagai memetri dan ngleluri tradisi budaya leluhur, gelar dan sesebutan tersandang pada sikal bakal pengageng praja Mangkunagaran ‘kangge salajengipun’ yaitu KGPAA Mangkoenagoro, maka secara naluriah wajib disandang oleh Pengageng Puro Mangkunagaran satu dan lain selaku penerus keturunan langsung.
Ketiga pokok pokok dasar fundamental’ di atas itu, mewujudkan suatu bentuk keselarasan terhadap tuntutan perjuangan era baru peri kehidupan Mangkunagaran dalam satu kerangka masyarakat bangsa yang tengah melakukan pembangunan di segala bidang, pada saat pemerintah negara Republik Indonesia menjelang memasuki tahap tahap akhir periode menyelesaikan landasan pembangunan guna mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Titik awal peri kehidupan praja Mangkunagaran, yang jatuh pada tanggal 4 Jumadilakir 1682, maka tanggal 4 Jumadilakir 1920 akan jatuh bertepatan pada tanggal 24 Januari 1988.
Sejarah telah membuktikan bahwa peri kehidupan Mangkunagaran yang bertitik awal bertepatan dengan 4 Jumadil Akir 1682 telah berkembang dan menghasilkan karya karya budaya yang tetap menunjukkan kenyataan relevansinya di akhir abad XX ini, maka kiranya para kerabat besar Mangkunagaran patut menempatkan ‘saat’ tanggal 4 Jumadilakir 1682 tersebut sebagai suatu saat yang disakralkan, sejalan dan searah dengan sikap mental seluruh bangsa Indonesia yang menempatkan tanggal 17 Agustus 1945 sebagai suatu hari dan tanggal yang teramat sakral.
Sehubungan dengan kenyataan kenyataan sebagai terungkap pada butir-butir uraian di atas, maka sudah pada tempatnyalah apabila saat 4 Jumadilakir 1920 ditetapkan sebagai titik awal era baru peri kehidupan Mangkunagaran.
Dalam era baru yang demikian ini, maka peri kehidupan Mangkunagaran telah terjelma sebagai Puro Mangkunagaran. Sesuai dengan titik tolak pengertian yang demikian itulah kiranya, secara mudah dan sederhana mampu dipahami makna yang multi dimensional deri kata ‘Puro Mangkunagaran’ pada awal amanat ini.
KGPAA Mangkoenagoro ‘sapisan’ segera setelah terwujudnya realitas daripada ketiga pokok-pokok dasar fundamental itu, segera melakukan Upacara Sesaji Mahesa Lawung mengikuti secara naluriah tradisi yang sudah sejak lama melembaag dalam pemerintahn kerajaan di Jawa. Sesaji demikian terutama ditujukan untuk memanjatkan doa ke hadirat Yang Maha Kuasa, untuk memohon dilimpahkannya keselamatan dan kejayaan negara serta raja sebagai kepala negara pada jaman itu, serta anugerah kemurahan rizki bagi seluruh rakyatnya.
Dalam tradisi tersebut rakyat melakukan bersih desa sebagai mewujudkan terciptanya pangkal kesehatan yang menjauhkan dari segala bentuk penyakit serta sebagai melambangkan lenyapnya segala hambatan yang dapat menimbulkan segala malapetaka yang membuat sengsara kehidupan masyarakat luas.
Berkenaan dengan butir-butir tertera dalam pertimbangan pertimbangan telah disebutkan di atas, sudah jelas dan tegas bahwa:
GPH Sudjiwo Kusumo, selaku pengageng Mangkunagaran,
“Menjalankan segala kewajiban dan memikul tanggung jawab atas segala tugas yang berada dalam wewenang almarhum Sri Mangkoenagoro VIII, baik itu menyangkut tata kehidupan dalam lingkungan Puro Mangkunagaran maupun mewakili dan bertindak untuk kepentingan dan atas nama Puro Mangkunagaran.”
Rumusan demikian yang termuat pada kesepakatan bersama para putra-putri almarhum Sri Mangkoenagoro VIII, pada hakekat dasarnya menurut hukum menempatkan kedudukan GPH Sudjiwo Kusumo sebagai: Pemangku Jabatan (Waarnemer) Sri Mangkoenagoro VIII almarhum.
Sehubungan dengan itu, maka kami selaku sesepuh Mangkunagaran, memandang perlu untuk segera melakukan tindak lanjut atas langkah langkah dari para putra-putri almarhum Sri Mangkoenagoro VIII tersebut.
E. Permusyawaratan Agung Pura Mangkunegaran.
Guna keperluan itu, kami selaku sesepuh dan ketua dewan pertimbangan Mangkunagaran memohon kepada para Sesepuh Agung, yang terdiri dari para putra-putri Sri Mangkoenagoro VIII almarhum ditambah dengan KRTH Waloeyo Harjoloekito, seorang kerabat yang telah banyak dan besar jasa jasanya terhadap Mangkunagaran, untuk mengukuhkan putranda GPH Sudjiwo Kusumo sebagai:
Kanjeng Gusti Aryo Mangkunegoro IX
( Sri Mangkunegoro).
Para Sesepuh Agung Puro Mangkunegaran yang terdiri dari:
1. GRAy Partini Hoesein Djajaningrat
2. GRAy Siti Noeroel Kamaril Ngasarati Koesoemowardhani Soerjosoejarso
3. KPH Soerjosoejarso
4. KPH Hsmidjojo Soeparto
5. GRAy Partimah Soenarso Purwohadinoto
6. KPH Ir. Soenarno Purwohadinoto
7. KRTH Waloejo Hardjoloekito..
Sebagaimana telah dibacakan, telah menerbitkan suatu Piagam Pengukuhan.
Dengan telah dikukuhkannya berlandaskan Piagam Pengukuhan dari para Sesepuh Agung Mangkunagaran, maka dengan demikian sejak hari ini, Akad Legi, surya kaping 4 Jumadilakir 1920 yang bertepatan dengan hari Minggu, tanggal 24 Januari 1988. Gelar dan sesebutan sebagai:
Pengageng Pura Mangkunegaran telah secara resmi menjadi: KGPAA Mangkoenagoro IX serta dalam sehari hari Sri Mangkoenagoro, sebagai satu perwujudan menggantikan kedudukan pengageng Pura Mangkunagaran, KGPAA Mangkoenagoro VIII yang telah wafat dan dengan demikian telah memantapkan kepemimpinan Pura Mangkunaragan sebagai suatu tindak lanjut kesepatan bersama para putra putri Almarhum Sri Mangkoenagoro VIII tertanggal 5 September 1987.
Dengan telah terselesaikannya secara keseluruhan proses alih kepemimpinan Puro Mangkunagaran sebagai akibat telah mangkatnya Sri Mangkoenagoro VIII sebagaimana tertera di atas itu, maka para sesepuh Mangkunagara telah melaksanakan tugas yang terpikul di pundaknya sebagai mewujudkan suatu tanggung jawab moral yang agung dna mulia terhadap para leluhur Mangkunagaran.
Kemudian daripada itu para sesepuh Mangkunagaran meletakkan tugas dan tanggung jawab sepenuhnya kepada Sri Mangkoenagoro, guna melanjutkan kepemimpinan Puro Mangkunagaran, sebagai mewujudkan era peri kehidupan Mangkunagaran dalam orde baru.
Selanjutnya sejalan dan searah dengan tata pemikiran demikian itu, dan sebagai mengikuti jejak secara naluriah tradisi budaya leluhur yang telah lama melembaga pada peri kehidupan leluhur pendahulu di masa lalu, yang kemudian juga diikuti oleh Eyang KGPAA Mangkoenagoro I, maka menjelang dilangsungkannya pengukuhan itu telah diselenggarakan sesaji Mahesa Lawung.
Adapun maksud dan tujuan sesaji itu, pada tingkat pertama untuk: memanjatkan doa ke hadirat Yang Maha Kuasa dan memohon agar:
1. Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat mendatang memperoleh berkah serta limpahan restunya, sehingga Garis-Garis Besar Haluan Negara yang akan menjadi pedoman melakukan pembangunan tahap akhir landasan dalam mempersiapkan pembangunan masyarakat adil dan makmur berlandaskan Pancasila, akan terhindar dari segala hambatan.
2. Kepada Bapak Jenderal TNI Purnawirawan Suharto dilimpahkan kesehatan dan kekuatan iman dalam memangku jabatan Presiden/Mandataris MPR.
3. Jenderal TNI Purnawirawan Suharto senbagai presiden/mandataris MPR yang telah selama 20 tahun mempertahankan dan memelihara persatuan dan kesatuan bangsa, dianugerahkan jalan yang lapang guna memantapkan diri sebagai figur nasional dan pemimpin bangsa.
Pada tingkat selanjutnya, maka sesaji diarahkan untuk: memanjatkan doa ke hadirat Yang Maha Kuasa dan memohon agar:
Kepada Sri Mangkoenagoro dilimpahkan kesehatan dan kekuatan iman dalam memikul tugas dan tanggung jawab sebagai Pengageng Puro Mangkunagaran, sehingga akan mampu mewujudkan suatu pelestarian budaya Jawa yang diabdikan kepada pembangunan budaya nasional secara nyata.
Kiranya dengan segala hal ikhwal yang telah Pura Mangkunagaran selenggarakan tersebut itu semua, maka telah paripurnalah kewajiban yang terbebankan.
Surakarta, 4 Jumadil Akir 1920
24 Januari 1988
Sesepuh/ketua Dewan Pertimbangan Mangkunagaran
KPH Soerjosoejarso
F. Ketetapan Sesepuh Agung Mangkunegaran.
Keberadaan peri kehidupan Mangkunagaran merupakan kesatuan tak terpisahkan dari perjuangan Pangeran Sambernyawa melawan kekuatan bersenjata kaum penjajah Belanda.
Berkat perlawanan gerilya dengan kekuatan bersenjata pasukan inti pendukungnya yang setia serta terciptanya partisipasi rakyat dalam wilayah medan perjuangannya, berhasil mematahkan kekuatan bersenjata kaum penjajah.
Sebagai menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang sangat tidak menguntungkan itu, tidak mempunyai pilihan lain kecuali menempuh jalan menghentikan pertentangan senjata dengan pangeran muda usia dari Kraton Kartosuro yang tangguh itu.
Kesepakatan Sri Susuhunan Paku Buwono III dengan Pangeran Sambernyawa, diakui dan terpaksa dihormati saat itu.
Saat suryo kaping 4 Jumadilakir 1682 menjadi titik awal peri kehidupan Mangkunagaran yang dalam perkembangan kehidupan seterusnya telah melahirkan karya karya budaya Jawa yang tangguh serta memperkaya khasanah budaya bangsa Indonesia, di tengah tengah kehidupan negara Republik Indonesia.
Kenyataan-kenyataan demikian ini memberikan bukti nyata bahwa dominasi kekuasaan politik serta monopoli kehidupan ekonomi sama sekali tidak mengurangi pertumbuhan dan perkembangan budaya leluhur Mangkunagaran.
Pada hari ini, Akad Legi surya kaping 4 Jumadilakir 1920 akan menjadi titik awal era baru peri kehidupan Mangkunagaran.
Dalam era baru perjuangan ini, maka Puro Mangkunagaran merupakan pusat pelestarian budaya Jawa, dengan menggali dan mengembangkan budaya leluhur Mangkunagaran guna diabdikan kepada pembangunan budaya nasional secara nyata.
Berkenaan dengan itu, maka para sesepuh agung Mangkunagaran mengemban amanat yang mulia untuk tetap melestarikan identitas budaya Mangkunagaran, dalam kehidupan masyarakat bangsa Indonesia yang tengah melakukan pembangunan di segala bidang kehidupannya.
Sehubungan dengan wafatnya KGPAA Mangkoenagoro VIII, maka para putra-putri beliau melalui suatu kesepakatan bersama tanggal 5 September 1987, telah menetapkan:
GUSTI PANGERAN HARIO SUDJIWO KUSUMO
Menjadi pemangku jabatan almarhum KGPAA Mangkoenagoro VIII.
Sehubungan dengan itu, para sesepuh agung memandang perlu untuk memantapkan kepemimpinan pengageng Puro Mangkunagaran dengan menerbitkan ketetapan serta tertuang dalam:
PIAGAM PENGUKUHAN
Yang tersusun seperti berikut ini:
Demi mewujudkan amanat yang mulia para leluhur yang terbebankan di pundak para sesepuh agung Mangkunagaran, maka:
Pada hari ini, Akad Legi, suryo kaping 4 Jumadilakir 1920, menetapkan:
Mengukuhkan
Gusti Pangeran Hario Sudjiwo Kusumo, Pengageng Puro Mangkunagaran, menjadi
KANJENG GUSTI PANGERAN ARIO MANGKOENAGORO
Ditetapkan di Surakarta,
Surya kaping 4 Jumadilakir 1920
Para Sesepuh Agung Mangkunagaran:
GRAy Partini Hoesein Djajaningrat
GRAy Siti Noeroel Kamaril Ngasarati Koesoemowardhani Soerjosoejarso
KPH Soerjosoejarso
KPH Hsmidjojo Soeparto
GRAy Partimah Soenarso Purwohadinoto
KPH Ir. Soenarno Purwohadinoto
KRTH Waloejo Hardjoloekito
G. Piagam Pengukuhan KGPAA Mangkunegoro IX. .
Demi mewujudkan amanat yang mulia para leluhur, yang terbebankan di pundak para sesepuh agung Mangkunagaran, maka:
Pada hari ini, Akad Legi
Surya kaping, 4 Jumadil Akir 1920
Menetapan:
MENGUKUHKAN
GUSTI PANGERAN HARIO SUDJIWO KUSUMO,
PENGAGENG PURO MANGKUNAGARAN
MENJADI
KANJENG GUSTI PANGERAN ARIO MANGKOENAGORO
Piagam pengukuhan ini menjadi bagian mutlak serta merupakan satu kesatuan tidak terpisahkan dengan ketatapan para sesepuh agung Mangkunagaran.
Atas nama para Sesepuh Agung Mangkunagaran
Gusti Raden Ayu Siti Noeroel Kamaril Ngasarati Koesoemowardhani Soerjosoejarso.
Menyatakan menerima piagam ini
KANJENG GUSTI PANGERAN ARIO MANGKOENAGORO
Prasetya
Kami, Kanjeng Gusti Pangeran Ario Mangkoenagoro IX dengan ini menyatakan:
1. Bahwa kami dalam mengemban tugas selaku pengageng Puro Mangkunagaran, mempunyai kewajiban mutlak untuk selalu berjuang mempertahankan tetap tegaknya berdirinya negara Republik Indonesia, berdasarkan Pancasila dan undang undang dasar 1945.
2. Bahwa kami sebagai warga negara Republik Indonesia dalam kedudukan selaku pengageng Puro Mangkunagaran, wajib selalu berupaya dengan sesungguh-sungguhnya agar cit-cita mewujudkan Puro Mangkunagaran menjadi salahs atu pusat pelestarian budaya Jawa, dengan menggali dan mengembangkan budaya leluhur Mengkunagaran yang diabdikan kepada pembangunan budaya bangsa secara nyata.
3. Bahwa kami sebagai warga negara Republik Indonesia dan selaku salah seorang warga kerabat besar Mangkunagaran, wajib selalu berupaya agar kerabat besar Mangkunagaran mampu turut serta secara aktif dalam pembangunan nasional yang bertujuan mewujudkan cita-cita proklamasi 17 Agustus 1945, disertai jiwa dan semangat ajaran Tridharma serta piwulang dan piweling leluhur Mangkunagaran.
4. Bahwa kami dengan sesungguh sungguhnya wajib selalu berupaya untuk membangun terwujudnya persatuan dan kesatuan dalam lingkup kekerabatan Mangkunagaran sebagai bagian mutlak yang tidak terpisahkan dengan pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, disertai dengan jiwa dan semangat amanat leluhur Mangkunagaran tersurat dan tersirat dalam nebusauyun.
Semoga Tuhan Yang Maha Agung melimpahkan bimbingan serta kekuatan lahir dan batin kepada kami.
Surakarta, surya kaping 4 Jumadil Akir 1920
Kami, yang menyatakan prasetya
KGPA Mangkoenagoro
Pura kadipaten disebutkan dalam Babad Sala yang dihimpun oleh RM Sajid pada tahun 1984. Karya tulis ini diterbitkan oleh Rekso Pustaka Mangkunegaran. Sebagai bacaan buku ini memberi banyak informasi.
Informasi kehidupan nenek moyang dipelajari oleh Sri Mangkunegoro IX. Inilah Pura Mangkunegaran menghadap ke selatan, dikelilingi jalan. Di sebelah utara, yaitu di belakang Pura terdapat jembatan bernama Jembatan Kali Pepe. Dari jembatan ke arah timur sampai ujung Pura terus ke selatan sampai ujung Pura, belok ke barat sampai plengkung Pamedan, lalu ke arah selatan sampai perempatan Pasarpon. Luas Pura Mangkunegaran kurang lebih 1 km2. Dahulu, di tiap sudut Pura terdapat rumah jaga, dijaga oleh abdidalem Jagapura.
Dalem ageng Mangkunagaran menghadap ke selatan dilanjutkan dengan Paringgitan, lalu teras yang menyatu dengan Pandapa Ageng yang berbentuk joglo, lalu disambung dengan topengan yang disebut Bangsal Tosan. Pandapa ageng bentuknya melingkar, merupakan pendapa paling luas di negara kita karena luasnya 62 x 52 meter, sedangkan tingginya 17 meter.
Keadaan lingkungan Pura Mangkunegaran terawat rapi. Di sebelah timur Pandapa Ageng terdapat rumah rumah menghadap ke selatan, dulu digunakan sebagai kantor Praja Mangkunagaran. Lalu ada pintu ke arah timur.
Di sebelah selatan pintu terdapat los menghadap ke selatan, berbelok ke barat sampai Gapura Pura Ageng.
Dulu juga digunakan sebagai kantor para abdi dalem Narapraja, yaitu ‘Marktwezen’ yang menangani pasar pasar. Di bagian ujung selatan digunakan sebagai Panti pidana. Sedangkan di sebelah barat Pendapa Ageng terdapat rumah los menghadap ke selatan. Yang paling utara adalah gedung Jayengan, di sebelah selatannya adalah gedung Wireng, lalu pintu tembus ke barat. Di sebelah selatan pintu disambung lagi dengan rumah los menghadap ke barat sampai tenggara.
Sri Mangkunegoro IX peduli sejarah masa silam. Di sebelah selatan pintu adalah garasi motor dan kereta, gedung Langenpraja untuk para abdidalem niyaga, sinden, wiraswara dan badut golongan karawitan, serta sebagai tempat menaruh gamelan. Di sampingnya terdapat kantor Mandrapura, yaitu gedung untuk para abdidalem Renggapura yang bertugas membersihkan Pendapa Ageng dan Pringgitan. Kantor tersebut dekat dengan Gapura Pura Ageng.
Warisan nenek moyang dilestarikan oleh Sri Mangkunegoro IX. Di sebelah kanan dan kiri gapura terdapat rumah los menghadap ke selatan, dahulu digunakan sebagai tempat perkakas militer. Sedangkan kantor Mandrapura yang sebelah selatan digunakan sebagai tempat untuk penjaga yang bertugas memukul jam genta sebagai penunjuk waktu. Di sebelah barat disambung dengan los membujur ke barat, tempat tersebut juga digunakan sebagai gudang peralatan militer.
Lalu disambung dengan rumah rumah untuk tempat peralatan militer legiun. Sedangkan di sebelah utara adalah kandang kuda dan tempat kereta. Rumah rumah yang dulu berada di sebelah barat Pamedan sekarang sudah tidak ada lagi, diganti dengan bangunan hotel pada tahun 1972, disebut Mangkunagaran Palace Hotel.
Di sebelah utara hotel tersebut ada pendapa menghadap ke selatan menuju Dalem Daryasugandan. Sedangkan di belakangnya adalah gedung bagi para abdidalem dan jayengan. Di sebelah utara lagi adalah lapangan tenis dan taman Ujung Puri. Di Pura bagian timur terdapat rumah besar menghadap ke selatan menghadap jalan, yaitu dalem Prangwadanan. Sedangkan di timurnya lagi ada Panti Putra. Di sebelah selatan jalan sampai dengan Gapura Wetan adalah Panti Jeksan.
Lingkungan Pura Mangkunegaran memang asri. Di sebelah selatannya lagi sampai Pamedan adalah gedung gedung kavaleri.
Di depan gapura Pamedan ada jalan besar ke arah selatan. Pada jaman dulu jalan Ngarsapura, sekarang Jalan Diponegoro sampai perempatan Pasar pon.
Di sebelah barat jalan dari dulu rumahnya besar besar ada tiga, yaitu rumah para pangeran putra Mangkunagaran. Yang paling utara diubah menjadi sekolah HIS Siswo, setelah Indonesia merdeka menjadi gedung SMP 5. di sebelah timur jalan uga ada rumah para pangeran putra dalem, jumlahnya juga tiga.
Pasar pon dahulu hanyalah berupa rumah los membujur ke timur lalu ke selatan. Di sebelah barat jalan juga demikian. Pasar tersebut hanya ramai jika jatuh pada hari pasarannya, yaitu Pon. Yang pasti ada setiap hari adalah penjual barang barang dari emas seeprti gelang, kalung, tusuk konde dan lain lain. Penjualnya adalah wanita-wanita dengan meja kecil pendek, dengan dialasi kain berwarna merah jingga agar dagangannya terlihat berkilauan. Mereka menerima jual beli, tidak jauh berbeda dengan toko emas jaman sekarang.
Suasana Pura Mangkunegaran ini dihayati oleh KGPAA Mangkunegoro IX.
Setelah tahun 1923 Pasarpon bagian timur diperbarui dan dijadikan gedung wayang, sekarang gedung bioskop. Lalu disusul dengan Pasarpon sebelah barat juga dibangun menjadi gedung wayang orang atau ketoprak, bernama ‘Sana Harsana’ yang dibuka secara resmi pada tanggal 18 Agustus 1933. Pasarpon lalu menjadi ramai karena di kanan kirinya banyak tontonan.
Pada bulan Desember 1948 gedung ini perlu direhap. Setelah itu dibangun kembali dan dijadikan gedung bisokop, yang sebelah timur bernama Dhany, yang sebelah barat bernama Ura Patria, disingkat UP. Pada tahun 1939, sebelah timur Jalan Diponegoro dibangun pasar oleh pemerintah Mangkunagaran dan diberi nama Pasar Tri Windu, sebagai peringatan KGPAA Mangkunagoro VII yang menjadi raja selama genap 24 tahun atau tiga windu.
Kebudayaan Pura Mangkunegaran berlanjut di bawah kepemimpinan Sri Mangkunegoro VIII. Selama hidup berdarma bakti pada nusa bangsa.
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegoro IX surut ing kasedan jati, manjing ing suwarga loka. Rikala dinten Jumah Legi, 4 Sura utawi 13 Agustus 2021. Pura Mangkunegaran nawung dhuhkita. Abdi dalem miwah sentana sami atur puji pangastuti.
Pura Mangkunegaran kaajab tetep basuki lestari. Kanthi mersudi seni edi peni, budaya adi luhung, tumangkar ing saindhenging jagad raya.
Oleh Dr Purwadi, M.Hum; Ketua Lembaga Olah Kajian Nusantara – LOKANTARA,
hp. 087864404347
Tidak ada komentar:
Posting Komentar