Kamis, 28 September 2023

Grebeg Sekaten

A. Mahargya Wiyosan Kanjeng Nabi.

Tata cara grebeg mulud berlangsung di Karaton Surakarta Hadiningrat. Tepat pada hari Kamis Paing, tanggal 12 Maulud atau 27 September 2023. Pengageng, sentana dan abdi dalem sama sowan.

Dua gunungan atau pareden diarak menuju Masjid Agung. Yakni pareden jaler dan pareden estri. Rerenggan pareden estri terbuat dari jenis Palawija, palapendhem, palasimpar, palakitri, palagandhul dan palarambat. Jenis tanaman ini melambangkan kemakmuran.

Pareden jaler berhias makanan mentah. Semisal rengginang. Puncak gunungan terdapat bendera gula klapa atau warna merah putih. Pareden jaler melambangkan rasa cinta tanah air dan bangsa. Kraton Surakarta berharap masyarakat cukup sandang pangan papan.

Bregada semut ireng mangangkat pareden. Barisan depan pasukan Kraton Surakarta yang terdiri dari prajurit doropati, prajurit tanantaka, prajurit prawira anom dan prajurit jayeng astra. Trompet, suling drum band dan tambur berkumandang merdu. Tegap, gagah dan semangat.

Abdi dalem ulama dan kanca Kaji menyertai. Berbusana serba putih. Sebagai memakai surban layaknya brahmana kerajaan. Tanda bahwa upacara grebeg Maulud bernuansa Islam. Karena untuk memperingati hari kelahiran Kanjeng Nabi.

Gamelan carabalen mengiringi barisan prajurit panyutra. Berbunyi bersamaan dengan gamelan monggang. Megah mewah gagah dan indah. Berwibawa dan mulia. Menyatunya suara musik drum band malah memunculkan suasana khas selaras.

Pendherek paling belakang terdiri dari abdi dalem pria dan wanita. Pria berbusana beskap, nyamping, stagen, iket blangkon, samir dan bross radya laksana. Wanita berbusana nyamping kebaya hitam dan sanggulan. Mereka berasal dari Sukoharjo, Boyolali, Surakarta, Karanganyar, Wonogiri, Sragen Klaten atau Subo Suka Wonosraten.

Warga Kraton Surakarta juga datang dari Semarang, Jepara, Yogyakarta, Kebumen, Cilacap, Banjarnegara, Magelang, Tegal, Kudus, Pati, Demak, Purwodadi, Tuban dan Blora. Dari Jawa Timur misalnya Kediri Trenggalek, Blitar, Tulungagung, Malang, Ponorogo, Ngawi, Madiun dan Nganjuk. Umumnya tergabung dalam organisasi Pakasa atau abdi dalem Kraton Surakarta. Organisasi Kraton Surakarta ini berdiri pada tanggal 29 Nopember 1931.

Cuaca pagi itu cerah ceria. Sawo kecil berjumlah 64 sesuai dengan usia Kanjeng Nabi. Rindang dan sejuk. Sentana berjajar jajar di depan serambi sasana handrawina. Berbusana kampuh, dodot landung dengan tutup kepala kuluk. Kawula berpangkat bupati lenggah bersila di untarasana. Segera berdiri. Berjalan rapi menuju kori kamandungan.

Rute gunungan melalui depan sasana sewaka, smarakata, marcukundha, kori kamandungan dan bale rata. Pengunjung njejel riyel ramai sekali. Lewat lawang gapit menuju bangsal sewayana, bale angun angun, sitihinggil, pagelaran sasana sumewa. Tentu suara gamelan carabalen terdengar makin merdu.

Alun alun utara dilewati. Terus menuju ke arah Masjid Agung. Penonton padat merayap. Berjejal jejal rebut depan. Pedagang di alun alun lor dan pagelaran berlimpah ruah selama 3 minggu. Jelas meriah sekali.

Tumpeng yang dibawa di Masjid segera didoakan. Doa gagrag Islam kejawen. Gunungan estri segera digrebeg. Orang berebutan untuk ngalap berkah. Siapa saja yang mendapat barang sajikan dari pareden, rejeki sempulur mbanyu mili. Tanaman subur, keluarga makmur. Kepercayaan ini berlangsung turun tumurun.

Pareden jaler dibawa ke bale rata kori kamandungan. Jajanan mentah diperebutkan. Tak peduli hawa panas. Mereka dengan riang gembira berusaha sekuat tenaga untuk mendapat bagian dari pareden. Barang siapa berhasil mendapat hasil grebeg, maka dirinya bakal mendapat guna kaya purun, wirya arta winasis, kuat drajat pangkat semat.

B. Merti Kesuburan Bumi.

Upacara grebeg Maulud dipimpin oleh KGPH Hangabehi. Putra mahkota Kraton Surakarta tampak gagah benar. Gita gita lumaksana dipayungi dengan songsong kerajaan. Bupati mantri ndherek sepenuh hati.

Putra Sinuwun Paku Buwana XIII tampan sopan menawan. Ngendika aris, besus alus, micara miraga, merak ati, andhap asor. Berbusana kebesaran pangeran pati.

Canthang balung merupakan andi dalem yang memakai busana lucu. Tingkah laku gecul. Gerak gerik mendatangkan selera humor. Riuh rendah senyum tawa pun pecah. Hiburan yang segar.

Untuk ageman sentana memakai kain parang. Kebaya landung dengan sanggul berhias warna warni. Nyata besus macak, angadi sarira angadi busana. Runtut atut sarwa patut.

Pangageng sasana wilapa dijabat oleh Dra GKR Koes Moertiyah Wandansari M.Pd. Lembaga eksekutif Kraton Surakarta bertugas untuk merancang tata cara grebeg Mulud. Panitia dibentuk dengan melibatkan banyak personil. Gancar lancar sesuai dengan rencana. Kegiatan selama sebulan dengan padat acara seremonial dan spiritual. Maka diperlukan sikap hati hati dan teliti. Menejemen yang profesional. Karena sudah terlatih rapi.

Suasana di masjid agung selama sebulan pesta terus. Gamelan Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari berbunyi siang malam. Gendhing berkumandang dengan abdi dalem pengrawit dandan formal. Telinga diselipkan kembang gajah oling. Tanda sedang bertugas seni sakral.

Halaman Masjid Agung ramai penjual panganan. Cabuk rambak, sega liwet, timlo dan soto. Duduk lesehan dengan harga yang murah terjangkau.

Suruh njet kinang dijual untuk menjaga kesehatan. Gigi kuat badan sehat. Endhog kamal tersedia. Semua merupakan bentuk merti kesuburan bumi.

Sebetulnya acara grebeg mulud berkaitan dengan kehidupan agraris. Petani memerlukan ritual yang mendukung aktivitas menanam. Para petani bahwa ritual Kraton Surakarta dalam rangka untuk tolak balak. Penyakit pergi, hama sirna. Panen berhasil.

Merti kesuburan bumi menjadi tujuan utama. Pertanian berjalan beriringan dengan aspek keagamaan dan kebudayaan.

Karaton Surakarta Hadiningrat sebagai pengayom petani. Agar masyarakat merasa bahagia sejahtera, cukup sandang pangan papan, aman damai ayem ayom.

Oleh: Dr Purwadi SS M.Hum.

Ketua LOKANTARA, Lembaga Olah Kajian Nusantara.

Hp 087864404347
















Tidak ada komentar:

Posting Komentar