Rabu, 06 Januari 2021

SEJARAH CANDI BOROBUDUR

A. Candi Borobudur sebagai Warisan Budaya Dunia

Candi Borobudur merupakan warisan peninggalan kebudayaan Budha yang dibangun secara megah, mewah dan indah. Bangsa Indonesia pantas berbangga atas sejarah peradaban masa silam. Nenek moyang telah memberi inspirasi bagi generasi sekarang untuk membuat karya yang mengagumkan.

Perlu kiranya proses pembangunan candi Borobudur itu dikaitkan dengan lingkungan ekologis, historis, dan filosofis. Secara historis pembangunan candi Borobudur dilakukan oleh Wangsa Syailendra. Saat memerintah kerajaan Mataram Budha. Dengan berbekal ketrampilan dan pengetahuan yang memadai Borobudur dibangun dengan segala nilai estetis nan abadi. 

Lingkungan kebudayaan yang melingkupi candi Borobudur meliputi persawahan, perkebunan, dan pegunungan. Sawah sebagai sentra aktivitas pertanian  melambangkan kemakmuran.  Perkebunan selalu berhubungan dengan tanaman komoditas yang memperlancar roda perekonomian. Gunung Merapi, Merbabu, Telamaya, Ungaran, Tidar, Menoreh, Sindoro dan Sumbing menjadikan candi Borobudur bertambah menawan. Pemandangan yang elok ini tetap abadi lestari.

Kebudayaan Jawa asli berbentuk animisme dan dinamisme. Animisme adalah sistem kepercayaan yang meyakini adanya ruh-ruh nenek moyang. Sedangkan dinamisme adalah kepercaya-an yang meyakini adanya kekuatan ghaib pada benda-benda keramat. Bersamaan dengan itu, kemudian muncul agama Hindu yang berasal dari India. Kepercayaan orang Jawa pun mengalami perubahan. Dalam agama Hindu dikenal sistem kekuasaan yang berupa konsep dewa raja. 

Samaratungga adalah raja Mataram Kuno dari Dinasti Syailendra, penganut agama Budha Mahayana. Raja Samaratungga ini mempunyai karya monumental, yaitu Candi Borobudur. Samaratungga berperan menjadi pengatur segala dimensi kehidupan rakyat. 

Dari naskah-naskah berbahasa Jawa Kuno seperti Kitab Canda Karana, Agastya Parwa, Adi Parwa, Saba Parwa, Swarga-rohana Parwa, Arjuna Wiwaha, Hari Wangsa, Wreta Sancaya dan Kunjara Karna, dapat ditelusuri bahwa dasar-dasar pandangan hidup Jawa sudah berlangsung sejak kuno. Salah satunya adalah pandangan hidup tentang dusun. Raja menjadikan para prajurit-prajuritnya untuk mengepalai dusun dan mempertahankan dusun sebagai tempat tinggalnya itu dari serbuan musuh. Sikap setia kepada dusun sebagai tanah yang disakralkan. 

Putri Samartungga yang terkenal cerdas dan cantik jelita adalah Pramodha Wardhani. Pramodha Wardhani juga bergelar Sri Kahulunan, artinya seorang sekar kedhaton yang menjadi tumpuan harapan bagi rakyat. Pramodha Wardhani kelak menjadi permaisuri raja Rakai Pikatan. Pasangan suami istri ini sangat legendaris di mata rakyat Jawa. 

Keharmonisannya membuat rakyat Mataram bertambah aman dan damai. Hanya saja, adik Pramodha Wardhani yang bernama Balaputra Dewa kurang terkenal. Akhirnya dia merantau ke Sumatra dan mendirikan kerajaan Palembang. Dalam menjalankan pemerintahan dan keagamaan, Pramoda Wardhani menggunakan pedoman Wahyu Kadewan sebagai berikut:

Dalam Serat Pustaka Raja Purwa, raja dalam mengatur agama dengan ilham dari dewa. Seorang raja dari Kerajaan Purwacarita yang menguasai seluruh Jawa, yakni Sri Maha Punggung atau Sri Maharaja Kano, dianggap merupakan peletak dasar keagamaan orang Jawa, karena ia mendapat wahyu kadewan. Kata kano berasal dari kata kanwa, sama dengan katong dari kata katwang yang artinya adalah raja. Sejak saat itu, orang Jawa dibagi dalam enam agama yakni Brahma, Wisnu, Indra, Bayu, Sambo dan Kala. Masing-masing memiliki ritual yang berbeda-beda. Lebih lengkapnya, wahyu kadewan tersebut berbunyi sebagai berikut:

“Ini ketetapan agama yang dikuasakan kepadamu, menguasai alam, penguasa yang menjadi penegak kebenaran. Hai Kano, semua orang harus tunduk dan tunduk kepada agamanya serta melaksanakan pernata agama yakni penghulu, identitas diri, cara beribadah, laku, tapa, hari raya, larangan, wewenang, wasiat, kematian, perbuatan dan jalan kemuliaannya. Ingatlah Panata Gama ini:

Balaputra Dewa adalah putra Raja Samaratungga yang beragama Budha. Ibunya bernama Dewi Tara. Prasasti Ratu Baka tahun 856 menyebutkan bahwa telah terjadi perebutan kekuasaan yang merupakan tuntutan atas tahta kerajaan di Jawa Tengah dari Balaputra Dewa terhadap Rakai Pikatan. Adapun yang menjadi sebab tuntutan tersebut kemungkinan besar ialah Balaputra merasa irihati melihat kekuasaan dan pengaruh Rakai Pikatan di Jawa Tengah setelah Samaratungga wafat. 

Karena Rakai Pikatan berasal dari dinasti Sanjaya, maka Balaputra tidak setuju. Balaputra merasa berhak atas tahta kerajaan di Jawa Tengah, karena dia anak laki-laki Samaratungga yang berdarah Syailendra. Dalam peperangan tersebut pihak Balaputra mengalami kekalahan, tetapi dia tidak terbunuh dan dalam posisi diburu oleh Rakai Pikatan. Kemudian ia melarikan diri ke Sumatera, akhirnya ia menjadi raja di Sriwijaya. 

Balaputra Dewa akhirnya bermukim di Palembang. Dia mendirikan Kerajaan Sriwijaya. Sengketa di Tanah Jawa berakhir dengan jaya di Swarnadwipa. Sriwijaya pun kelak dapat tampil sebagai kerajaan maritim yang gemilang dan kondang. Pedoman yang digunakan oleh Balaputra Dewa dalam menjalankan roda pemerintahan adalah lima perilaku terpuji. 

Istilah Borobudur berasal dari kata bara = biara, budur = tinggi. Bangunan Candi Borobudur terdiri dari tiga bagian yaitu: kamadhatu, rupadhatu, dan arupadhatu. Kamadhatu, Merupakan alam bawah, tempat bersemayamnya manusia lumrah. Secara simbolis mengandung arti tingkat manusia dalam usia kanak-kanak, yang masih tergoda oleh kesenangan duniawi, bermain-main, hedonis rekreatif, dan egoistis. 

Rupadhatu, Merupakan alam antara tempat bersemayamnya manusia yang sudah mencapai tingkat kedewasaan. Manusia yang bertanggung jawab, sungguh-sungguh berusaha untuk mencapai cita-cita, seimbang, dan humanistik. Arupadhatu, Merupakan alam atas tempat bersemayamnya manusia yang telah mencapai kesempurnaan hidup, insan kamil, makrifat dan waskitha ngerti sadurunge winarah.

Candi Borobudur terletak di Magelang dengan dikelilingi gunung Merapi, Merbabu, Sumbing, Sindoro dan Menoreh. Di dekat juga terdapat Candi Pawon, Candi Mendut dan Candi Sewu. Ketiga candi ini adalah warisan Dinasti Syailendra yang meme-rintah antara tahun 778 abad 10 di Jawa Tengah. Dinasti Syailendra berasal dari India.

Pembagian strata dalam Candi Borobudur itu melambangkan cipta, rasa dan karsa manusia. Istilah cipta dalam buda-ya Jawa populer dengan adanya nama Begawan Ciptaning, yaitu nama tokoh Arjuna ketika sedang melakukan tapa brata di Wukir Indrakila. Juga istilah keplasing cipta yaitu ketajaman nalar menerobos batas ruang dan waktu.

Istilah cipta lebih dekat pada aspek logika, penalaran dan kebenaran. Olah pikir sama dengan olah cipta, yaitu kegiatan pemikiran untuk memperoleh kebenaran ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Kemajuan teknologi selalu didukung oleh kebenaran ilmiah dan logis. Kalau tidak sesungguhnya perkembangan teknologi itu tidak jauh dari ilmu pertukangan saja. Di Indonesia, lembaga pendidikan formal dari SD sampai Perguruan Tinggi dituntut untuk mengembangkan keilmiahan dengan cara menemukan metode baru dalam setiap harinya.

Rasa dalam budaya Jawa mendapat apresiasi yang cukup tinggi. Adanya istilah bawa rasa, angon rasa, rasa pangrasa menunjukkan orang Jawa sangat peduli dengan aspek perasaan. Dalam istilah kefilsafatan rasa dekat dengan konsep estetika. Menjaga perasaan berarti menghormati batin orang lain agar tidak sakit hati dan terluka. Pikiran, ucapan dan tindakan yang selalu angon rasa berarti berhati-hati terhadap apapun produk ucapan dan sikap, jangan sampai mengganggu perasaan orang lain. 

Orang yang egois dan materialis sulit sekali memahami perasaan orang lain. Tentu saja, sikap yang kurang memperhatikan orang lain akan membuat persahabatan menjadi mudah renggang. Persaudaraan yang hanya dilandasi pikiran untung rugi biasanya tidak akan langgeng.

Karsa berarti kehendak, kemauan, keinginan atau tekad bulat untuk diwujudkan dalam kenyataan. Dengan demikian karsa berarti lebih dekat dengan nilai perjuangan. Dalam ilmu filsafat karsa erat kaitannya dengan nilai kebaikan.

Tokoh Bima dalam wayang, menggambarkan tekad kuat dan suci serta gigih dalam mencapai cita-cita. Lakon Bimasuci yang mengisahkan cita-cita Bima untuk mencari air kehidupan, dilakukannya dengan sepenuh tekad yang sangat patut diteladani. Setelah bertemu dengan yang dicari, kemudian Bima pun menyebarkan pengalamannya pada orang lain. Di Pertapaan Argakelasa ia membuka padepokan ilmu pengetahuan yang digunakan untuk menyebarkan ilmu kepada orang lain.

B. Tanah Perdikan Borobudur 

Keberadaan candi Borobudur menjadi perhatian utama kasultanan Pajang. Secara khusus raja Pajang mengutus Ki Ageng Karotangan untuk mengelola candi Borobudur. Bertempat di daerah Paremono, Muntilan, Magelang. 

Daerah perdikan Borobudur ini dijadikan sentra dalam hal pelatihan dan pendidikan aparat negeri Pajang dan Mataram. Patih Mancanegara Pajang dan patih Mandaraka Mataram mendapat bekal ilmu pengetahuan dari para guru spiritual Paremono. Tradisi ini berlanjut pada jaman Patih Sindurejo.

Kabupaten Magelang memiliki sejarah peradaban yang agung dan anggun. Kraton Pajang dipimpin oleh Sultan Hadiwijaya menjadikan daerah daerah tertentu sebagai wilayah perdikan. Misalnya wilayah yang diapit Gunung Merapi, Gunung Merbabu, Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, Gunung Telamaya, Gunung Ungaran dan Gunung Menoreh, sebagai daerah perdikan yang memiliki hak-hak keistimewaan.

Sultan Hadiwijaya atau Joko Tingkir menyadari bahwa Naga Baru klinthing pernah melingkari gunung dengan ekor dan lidah. Kegiatan tepung gelang inilah asal mula nama Magelang.

Saat naik prau gethek yang berhulu dari gunung Merbabu Joko Tingkir atau Mas Karebet menghayati makna hidup. Kali Serang bermata air dari Gunung Merbabu, lantas mengalir ke wilayah Semarang, Salatiga, Boyolali, Grobogan, Kudus, Demak dan Jepara. Atas petunjuk Ki Ageng Banyubiru, Joko Tingkir mendapat kewibawaan di Kasultanan Demak Bintara. Kelak Joko Tingkir atau Mas Karebet menjadi raja di Kraton Pajang. Babad Tanah Jawi menyebut dengan


Tembang Megatruh

Sigra milir sang gethek sinangga bajul, 

Kawan dasa kang njageni, Ning ngarsa miwah ing pungkur, 

Tanapi ing kanan kering, Sang gethek lampahnya alon.


Naiknya Joko Tingkir atau Mas Karebet menjadi raja Pajang tak lepas dari jasa Ki Ageng Penjawi, Ki Ageng Pemanahan, Ki Ageng Juru Martani dan Ki Ageng Karotangan. Daerah Magelang diserahkan oleh Sultan Hadiwijaya kepada Ki Ageng Karotangan. Beliau adik Ki Ageng Pemanahan. 

Kedua orang tokoh pendiri Mataram ini anak kandung Ki Ageng Enis yang sumare di Laweyan. Ki Ageng Enis anak Ki Ageng Sela. Sedang Ki Ageng Sela anak Ki Ageng Getas Pendawa. Adapun Getas Pendawa merupakan anak Lembu Peteng atau Bondan Kejawan yang menikah dengan Dewi Nawangsih.

Dalam sejarah Jawa Nawangsih adalah putra Ki Ageng Tarub yang menikah dengan Dewi Nawangwulan. Ki Ageng Tarub sendiri adalah putra Dewi Rasawulan yang menikah dengan Syekh Magribi atau Makdum Ibrahim. Dewi Rasawulan anak Bupati Tuban, Kanjeng Adipati Wilwatikta.

Sudah diketahui pula bahwa Adipati Wilwatikta adalah ayah Kanjeng Sunan Kalijaga. Dengan demikian Ki Ageng Karotangan masih satu darah dengan Sunan Kalijaga. Ki Ageng Karotangan sebagai ahli budaya, agama, seni, sastra, pertanian dan pemerintahan layak diberi tugas untuk membina wilayah Magelang. Untuk sementara pimpinan Magelang diserahkan kepada Adipati Mandaraka. Beliau anak Ki Ageng Karotangan yang lama diasuh oleh Ki Ageng Juru Martani.

Harap diketahui bahwa Juru Martani adalah tokoh utama Mataram yang tidak punya anak. Sehingga beliau cukup dengan mengasuh kemenakan-kemenakannya. Harapan ini terwujud karena semua anak didik Ki Ageng Juru Martani menjadi orang ternama. Misalnya Ngabehi Loring Pasar atau Danang Sutawijaya kelak menjadi raja Mataram pertama dengan gelar Panembahan Senopati. 

Dulu di daerah Paremono Muntilan Magelang dijadikan pusat pelatihan pejabat Mataram. Kecakapan, pengalaman, ketrampilan, keilmuwan seseorang sangat diperhatikan dalam menjalankan pemerintahan di Kerajaan Mataram. Warga keturunan dari daerah Magelang yang patut dikenang sepanjang masa adalah Patih Mandaraka dan Patih Sindureja. Kedua priyagung luhur ini pernah menduduki jabatan eksekutif kepatihan di kraton Mataram.

Baiklah kita tinjau sejenak asal usul Patih Mandaraka dan Patih Sindureja dalam perspektif sosiologis dan historis. Di Trojayan Paremono Mungkid Magelang sejarah Kepatihan Kraton Mataram dibicarakan oleh para trah keturunan pada hari Jum’at, 12 April 2019. 

Mereka adalah keluarga besar keturunan Ki Ageng Karotangan yang tinggal di Trojayan, Paremono, Mung-kid, Magelang. Dengan didukung oleh GKR Wandansari, pengageng kraton Surakarta Hadiningrat, kehidupan para leluhur dibahas dengan berbagai sudut pandang. Leluhur mereka telah memberi warisan adi luhung edi peni, yang wajib untuk dilestarikan.

Tokoh sentral yang mencapai puncak karir politik bernama Arya Sindurejo. Dari asal-usulnya Arya Sindurejo adalah putra Patih Mandaraka. Sedang Patih Mandaraka sendiri adalah putra Ki Ageng Karotangan. Beliau adik Ki Ageng Pemanahan. Sejak kecil Patih Mandaraka diasuh oleh Ki Juru Martani. Para pendiri kraton Mataram sungguh sungguh mendidik generasi penerus. Patih Mandaraka menjadi pejabat negara yang mumpuni, trampil dan berwawasan jauh ke depan.

Kerajaan Mataram tampil menjadi negara besar, wibawa dan disegani di seluruh kawasan Nusantara. Dalam sisi lain Ki Ageng Karotangan memiliki anak asuh yang bernama Rara Tuntang. Sebetulnya Rara Tuntang adalah anak Ki Ageng Saba. Sejak kecil diasuh oleh Ki Ageng Karotangan. 

Kelak Rara Tuntang diambil istri oleh Pangeran Radin, anak Pangeran Benowo. Jadi Rara Tuntang menjadi menantu Pangeran Benowo, keturunan Sultan Hadiwijaya raja Pajang. Perkawinan Pangeran Radin dengan Dewi Rara Tuntang menurunkan Dewi Mayangsari. Kelak putri ini menikah dengan Sri Susuhunan Amangkurat Agung.

Permaisuri Dewi Mayangsari menurunkan Gusti Raden Mas Drajad atau Pangeran Puger. Nanti bergelar Sinuwun Paku Buwono I. Anak didik Ki Ageng Karotangan menurunkan raja besar, Sinuwun Paku Buwono naik tahta antara tahun 1708-1719. Ibukota Mataram saat itu di Kartasura.

Sedangkan dua putranya yakni Patih Mandaraka dan Sindurejo menjadi birokrat handalan di Mataram. Sebelum menduduki jabatan patih, Sindurejo pernah menjabat Bupati Tegal. Meninggalnya Ki Ageng Karotangan tahun 1703. Lima tahun sebelum Sinuwun Paku Buwono menjadi raja. Alangkah bahagianya, kalau ki Ageng Karotangan tahu bahwa cucunya menjadi raja Mataram. Sinuwun Paku Buwono I menikah dengan Kanjeng Ratu Mas Balitar, putri Bupati Madiun.

Sesungguhnya hubungan Kedu, Cilacap, Tegal, Pekalongan dan Semarang begitu sangat erat. Hampir semua Bupati Tegal pernah mengenyam pendidikan di Magelang. Turun-temurun pengetahuan tentang pemerintahan diajarkan di sekitar gunung Tidar. 

Pertanian, perkebunan dan peternakan diberikan sebagai bahan pengajaran. Kelak para pemimpin mengerti arti penting ketahanan pangan. Tempat pendidikan ini menjadi terkenal di kawasan Nusantara. Lulusan Magelang tempo dulu bisa menjadi pemimpin yang handal, bermoral dan profesional.

Pendidikan Tata Praja di wilayah Magelang atas inisiatif dan sponsor Kanjeng Ratu Wetan, garwa prameswari Sinuwun Amangkurat Tegalarum. Fasilitas dan perlengkapan belajar mengajar disediakan dengan layak. Gedung, meja, kursi dan papan tulis disediakan. Semua biaya ditanggung oleh Kanjeng Ratu Wetan. Maklum beliau memiliki usaha mebel, ekspor impor kayu, pelayaran, semen dan perahu. Boleh dikatakan Ratu Wetan adalah pengusaha sukses. Perusahaan yang dikelola Kanjeng Ratu Wetan berpusat di daerah Banyumanik Semarang.

Sekedar diketahui bahwa Ratu Wetan pernah dididik dalam bidang niaga oleh Kanjeng Ratu Kalinyamat di Jepara. Sebagai cucu Sultan Hadiwijaya atau Joko Tingkir, Kanjeng Ratu Wetan diharapkan mampu tampil sebagai penerus kebesaran kraton Demak, Pajang dan Mataram. Kecerdasan, kelincahan, ketrampilan dan kecantikan Kanjeng Ratu Wetan tersohor di seluruh negeri. 

Pantas sekali mendapat tempat terhormat di sisi Sri Susuhunan Amangkurat Agung. Peranannya di Kraton Mataram boleh dikatakan paling menonjol. Keputusan raja Amangkurat banyak berasal dari inisiatif Ratu Wetan. Usulan beliau didukung oleh modal dan pendanaan yang cukup berlimpah ruah.

Pernikahan Amangkurat Agung dengan Ratu Wetan telah melahirkan priyayi agung. Beliau adalah Gusti Raden Mas Drajad. Kelak bergelar Sri Susuhunan Paku Buwono I. Bertahta di Kraton Mataram Kartasura pada tahun 1708-1719. Kerajaan Mataram semakin arum kuncara di bawah kepemimpinan Sinuwun Paku Buwono I. 

Bersama dengan sang prameswari, Kanjeng Ratu Mas Balitar, kerajaan Mataram menyelenggarakan program wajib belajar. Kanjeng Ratu Mas Balitar sendiri menulis kitab Serat Ambiya dan Serat Menak yang memadukan cerita Jawa, Arab dan Cina. Kerajaan Mataram Kartasura terkenal sebagai pengembangan ilmu pengetahuan.

Pengaruh trah Kanjeng Ratu Wetan meluas di daerah pesisir, Kedu, Banyumas, dan Tegal. Basis pengikut garwa prameswari ini terlalu kuat. Prestasi gemilang ini berbuah pada solidaritas trah Mataram sampai saat ini. Jasa besar ini perlu dikenang dan diwariskan. 

Magelang menjadi daerah perdikan, menjadi istimewa saat Sinuwun Paku Buwono memimpin Kraton Mataram Kartasura. Magelang diberi nama Kebon dalem yang membentang dari Potrobangsan hingga Banyumas. Tanaman kopi, buah-buahan, teh tumbuh subur. Sayur mayur beraneka ragam jenisnya. Semua memberi kemakmuran negeri.

C. Lingkungan  Budaya Candi Borobudur. 

Lingkungan kebudayaan di sekitar Candi Borobudur didukung oleh para aktifis seni budaya yang trampil dan kreatif. Mereka bekerja dengan menggunakan kejernihan hati, konsep modernitas dan refleksi historis filosofis. Hasilnya cukup membanggakan dan mengagungkan bagi warga dunia.

Status Magelang menjadi daerah administrasi pemerin-tahan terjadi pada tahun 1818. Beliau diangkat oleh Sinuwun Paku Buwono IV, raja Surakarta. Pimpinan daerah adalah Mas Ngabehi Danukromo dengan gelar Kanjeng Raden Tumenggung Danuningrat. Sebagai kota tua, hari jadi Magelang ditetapkan pada tanggal 11 April 907 Masehi. Sistem pemerintahan saat itu dipimpin oleh Raja Balitung, yang disebut dalam Prasasti Mantyasih. Kabupaten Magelang digambarkan sebagai negeri yang unggul, agung, makmur, aman damai. 

Pimpinan wilayah yang turut serta mengelola candi Borobudur tampil memukau. Candi borobudur dirawat dan dijaga bahkan Candi Borobudur menjadi akses wisata yang tenar dalam destinasi wisata internasional.

1. Tumenggung Danuningrat I, 1812-1826. Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono IV, raja Surakarta Hadiningrat.

2. Tumenggung Danuningrat II, 1826-1862. Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono VI, raja Surakarta Hadiningrat.

3. Tumenggung Danuningrat III, 1862-1878. Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono IX, raja Surakarta Hadiningrat. 

4. Tumenggung Danukusumo, 1878-1908. Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono IX, raja Surakarta Hadiningrat.

5. Tumenggung Danusugondo, 1908-1939. Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono X, raja Surakarta Hadiningrat.

6. RAA Sastrodiprojo, 1939-1945. Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono XI, raja Surakarta Hadiningrat.

7. RAA Said Prawirosastro, 1945-1946. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.

8. R Yudodibroto, 1946-1954. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.

9. MG Arwoko, 1954-1957. Dilantik pada masa pemerin-tahan Presiden Soekarno.

10. Sugeng Sumodilogo, 1957-1960. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.

11. Drs. Adnan Widodo, 1960-1967. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno. 

12. Drs. Ahmad, 1967-1979. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.

13. drh. Supardi, 1979-1983. Dilantik pada masa pemerin-tahan Presiden Soeharto.

14. Drs. Sulistiyo, 1983-1984. Dilantik pada masa pemerin-tahan Presiden Soeharto.

15. Muhammad Solichin, 1984-1994. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.

16. Kol. Kardi, 1994-1999. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.

17. Drs. Hasyim Affandi, 1999-2004. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden BJ Habibie.

18. Ir. Singgih Sanyoto, 2004-2014. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Megawati.

19. Zaenal Arifin, 2014-sekarang. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo.

Alam sekitar candi Boro budur memberi kenyamanan, ketenangan dan keindahan. sesuai dengan ajaran Budha yang menawarkan kontemplasi, maka masyakarat kerap melakukan renungan mengenai kehidupan.

 Kadang-kadang meerka melakukan kegiatan refleksi spiritual di gunung Merbabu, gnung Merapi, gunung Telamaya, gunung Kendalisasda, ungaran, menoreh, sindoro dan sumbing.

1. Gunung Merbabu

Di antara kaki Gunung Merbabu dan kaki Gunung Merapi yang berdiri berjajar. Ada gunung kecil yang disebut dukuh Candi. 

Jalannya menanjak hingga tiba di puncak. Di situ mereka melihat kuburan tanpa cungkup, hanya diteduhi pohon cempaka. Kuning putih bunganya bertaburan semerbak harum mewangi. Kuburan itu bercahaya menyinari alam sekitar. Menurut cerita orang-orang tua, itu makam raja Majapahit, Sang Prabu Brawijaya III. 

Di sebelah utara, terlihat air Rawa Pening luas, di tengah telaga terlihat pulau mengapung menurut tiupan angin, ke timur, barat, ke tengah ke utara serta ke selatan. Tidak ada tumbuh po-hon kayu yang besar. Yang terlihat hanyalah rumput katang yang berwarna hijau menarik hati. 

2. Gunung Telamaya. 

Jaka Tingkir pernah bertapa di Gunung Telamaya, ber-mimpi kejatuhan bulan, bersamaan dengan bergetarnya gunung, bergemuruh suaranya sehingga aku kaget. 

Mimpi itu sangat baik, itulah raja mimpi. Ki Ageng Sela menyuruhnya untuk mengabdi pada Kanjeng Sultan Demak, disitulah tabir mimpi akan terkuak. Ki Ageng Sela meminta agar keturunannya besok diperbolehkan meneruskan wahyu.

Jaka Tingkir kemudian pergi ke Demak. Saat itu yang memerintah negara Demak adalah Putra Raden Trenggana, bernama Kanjeng Kanjeng Sultan Jimbun Pameksa. Jaka Tingkir telah lama mengabdi disana, dikasihi oleh raja serta diserahi tugas sebagai lurah tamtama. 

Jaka Tingkir diambil sebagi anak oleh raja serta diperbolehkan masuk istana. 

Raja berkehendak menambah perwira tamtama, tapi ha-rus melalui pendadaran dengan menempeleng kepala kerbau hingga remuk. Ada seorang dari Kedu Pingit, bernama Dadung-awuk. Wajahnya kaku, jelek dan dia sering menyombongkan kesaktiannya. 

Dia hendak mengabdi ke Demak sebagai tamtama. Dia sudah melapor kepada lurah Tamtama. Dadungawuk ditanya, apakah dia sangup dicoba untuk ditusuk. Dia menyanggupinya. 

Jaka Tingkir mendekatinya serta memasukkan sadak di dada Dadungawuk dada pecah dan mati. 

Perwira tamtama yang ada di depan diperintahkan menusuknya dengan keris. Mayat Dadung-awuk luka berat disekujur tubuhnya. Hal itu didengar oleh raja. Beliau marah sekali. Jaka Tingkir diusir dari negara Demak. Jaka Tingkir sangat kecewa mengingat kelakuaNnya sendiri. Di Gunung Kendeng, Jaka Tingkir bertemu dengan Ki Ageng Butuh. 

3. Gunung Sundara. 

Di kaki Gunung Sundara terlihat desa yang indah angge-nang besar berderet, ada seorang namanya Ki Syekh Suksma Sidik. Beliau hanya mempunyai delapan orang murid yang menjaganya. Pendeta yang tidak kawin tersebut mempunyai seorang putra yang diketemukan di puncak gunung. Tidak jelas putra siapa, diketemukan ketika masih kecil. Hampir seperti anak tiban, karena sang pendeta ingin sekali mempunyai anak. 

Sang pertapa sangat menyayanginya, ia dimanja sesuai dengan kebia-saan orang gunung. Oleh ayahnya diberi nama Rara Pamegatsih. Gadis tersebut sangat gemar beribadah. Siang malam diajari ayahnya, karena ia tidak memikirkan kawin. Ia sangat berminat menekuni ilmu. Raut mukanya angkuh menakutkan. Ia membanggakan kaya ilmu. Dahulu sudah banyak lurah desa yang jatuh cinta mendengar berita tentang gadis tersebut. 

Dia tidak minta kekayaan, hanya mengajak berbantah ilmu gaib. Sekalipun yang datang para santri besar, tidak ada yang mampu mengalahkan ilmu sang jelita. Mereka mundur mencari dhuyung, sumbaga, dan dhesti cara-cara untuk kejahatan. Banyak yang berupaya muslihat, tetapi tidak berhasil. Sang jelita tidak berbalas kasih.

Di kaki timur laut Gunung Sundara ada Desa Andong Tinunu. Masjidnya tampak anggun, indah dikelilingi air, kolam besar disisinya, dikelilingi bunga tunjung merah, putih, biru, irim-irim, bunga terartai lagi mekar, ganggang laut, dan ganggang hijau. Masjidnya bertepi batu, batu sendinya berukir, pagar dari anyaman bambu kapur, pintu berukir. Mahkota masjid serasi, dan baru saja diberi atap baru, hijau warnanya.

Dua buah rumah mungil berjajar, pendapanya dekat dengan rumah dan hanya diberi anatara talang. Halamannya tampak bersih, pagar kelilingi tumbuhan wulan dan kelapa gading bertemu mengelilingi halaman, pohon pinang harum lagi besar. Diantara pohon kelapa ditanami sawo, manggis, duku, langsap, mangga, pakel, jambu dan kuweni; semua sedang berbuah. Masjid ada disebelah barat pendapa. 

Bunga-bunga besar, tiada lain tanamannya hanya bunga-bungaan. Semua bertepi putih, lengkap, indah warnanya. Bunga-bunga sedang mekar semua, bercampur semerbak bau harum bunga pandhansari. Tepi kolam besar ditanami pandan dengan akarnya yang merumbai.


 Di dalamnya dipelihara berbagai jenis ikan: tambra, lukas, mangut; pada waktu asar diberi makan lagi pula makanannya semua cocok. Air berkilauan dan jernih. Air turun dari gunung, dialirkan melalui talang, mengalir ke desa. 

4. Gunung Tidar. 

Dari kaki Gunung Tidar Magelang terlihat desa kecil indah di puncak gunung. Dikisahkan, di puncak gunung yang luar biasa ada pertapa bernama Syekh Wakidiyat.

 Ada endang empat orang cantik-cantik hampir kembar rupanya. Pertama bernama Endang Kismani, kedua Endang Brahmani, ketiga Endang Aniladi dan keempat Endang Jahnawi. Wajahnya sama cantiknya, sederhana menarik hati, berdandan menurut tata krama. Andaikata bunga indah belum menyebarkan bau harumnya, madunya belum terhisap. 

Tempat sang pendeta duduk di balai kembang, airnya jernih mengitarinya, ditepinya ditumbuhi bunga-bungaan yang sedang berbunga semerbak harum. Padepokan tersebut disebut Gunung Tidar, pusat tanah Jawa. Dari pucak Candi Borobudur, gunung Tidar jelas terlihat indah bersinar terang. 

Deretan pegunungan disekeliling candi Borobudur tersebut kerap dijadikan sebagai tepat uttuk kegiatan spiritual. Masyarakat kejawen  senang berefleksi dengan lara lapa tapa brata. Dengan tujuan mendapatkan jiwa yang tenteram aman damai.

Oleh Dr Purwadi M.Hum. Ketua Lembaga Olah Kajian Nusantara LOKANTARA, hp. 087864404347

Tidak ada komentar:

Posting Komentar