Makhluk halus di Tanah Jawa berhubungan dengan sistem politik Kerajaan. Dalam masyarakat Jawa ibukota makhluk halus berada di daerah Nusa Kambangan.
Secara historis perlu dilacak keberadaan makhluk halus yang berpusat di Nusa Kambangan. Kabupaten Cilacap dulunya berdiri tanggal 17 Januari 1678. Bernama Kadipaten Donan. Tempatnya di Pulau Nusa Kambangan atau Nusa Berambang.
Dalam cerita tutur pedalangan Nusa Kambangan disebut Nusa Kambana, Watu Masigid, Sela Marsigid atau Dhandhang Mangore. Kawasan ini memiliki kewibawaan tinggi, wana gung liwang liwung, bebasan gawat kaliwat-liwat, angker kepati-pati, jalm mara jalma mati, sato mara keplayu.
Tutur tinular kang wus lumaku. Cerita wayang purwa melukiskan kahyangan Nusa Kambana atau Dhandhang Mangore begitu wingit seram. Penguasa Nungsa Berambang bergelar Sang Hyang Pramoni atau Bethari Durga. Saat bertugas sebagai permaisuri di Kahyangan Junggring Salaka bebisik Sang Hyang Bathari Uma, yang memimpin widodari cantik. Beberapa literatur kesusasteraan menamakan Bethari Durga Umayi. Karaton Surakarta Hadiningrat memberi sesebatan Sang Hyang Bathari Kalayuwati.
Untuk menghormati raja Bidadari ini, Karaton Surakarta setiap tahun menyelenggarakan upacara wilujengan negara Maesa Lawung di Alas Krendha Wahana. Kepala kerbau atau sirah maesa Kebo Bule dipendham atau ditanam dengan sesaji ubarampe lengkap. Persembahan buat Bathari Kalayuwati ber-wujud daging mentahan, karena wadya bala atau pasukan kahyangan Nusa Kambana terdiri dari brekasakan bersiung bertaring. Prajurit Nusa Berambang merupakan raksasa makh-luk halus yang tidak kasat mripat.
Nungsa Berambang atau Donan Nusa Kambangan men-jadi ibukota makhluk halus yang tersebar di Tanah Jawa. Penguasa alam lelembut di tiap-tiap kabupaten harus tunduk pada perintah Sang Hyang Pramoni Durga yang berkedudukan di Watu Masigid Nusa Kambangan. Watu Masigid atau Sela Marsigid adalah istana kediaman Bathari Uma. Pembangunan istana Sela Marsigid mirip kayangan Suralaya yang serba emas gemerlapan. Bahan bangunan istana Sela Marsigid yakni emas, intan, mutu manikam, jumerut, ratna, suwarna, mutiara warna warni. Wajar sekali karena Sang Pramoni Durga adalah mustikane putri tetunggule widodari.
Sekedar untuk diketahui para makhluk halus yang menjadi bawahan Sang Hyang Pramoni Durga di Kahyangan Dhandhang Mangore atau Nungsa Berambang. Mereka adalah pemuka makhluk halus yang berkuasa atas wilayah tertentu. Misalnya Jin Balabatu di Blambangan Banyuwangi. Buta Locaya menguasai Kediri, Sidagori di Pacitan, Klenthing Mungil di Magetan. Jin Abur Abur berada di Madiun, Macan Puguh di Purwadadi, Kala Jangga di Malang, Pilang Putih di Cepu Blora, Dhadhung Awuk di Purworejo. Jin yang tinggal di Semarang bernama Barat Ketiga. Semua pemuka makhluk halus tiap tahun sowan ke Nusa Kambangan untuk caos glondhong pengareng-areng, peni peni raja peni, guru bakal guru dadi.
Adapun asisten yang bertindak sebagai carik sekretaris Sang Hyang Pramoni Durga yaitu Jin Trenggiling Wesi. Berdomisili di daerah Majenang. Segala perintah istana Watu Masigid atau Sela Marsigid pasti melalui Trenggiling Wesi Majenang. Properti istana Sela Marsigid dikelola oleh Jin Nyai Bathithing Tuban. Sedangkan busana kawidodaren untuk Sang Hyang Pramoni diurus oleh Jin Nyai Puspakati. Suguhan makanan sehari-hari untuk istana Sela Marsigid Nungsa Berambang disajikan oleh Jin Nyai Roro Denok.
Demikianlah kehidupan istana Marsigid atau Watu Masigid atau kedaton Sela Marsigid. Kediaman asri milik Sang Pramoni Durga atau Bathari Uma ini berlangsung di pulau Nusa Kambangan. Orang menyebut Nungsa Berambang, Nusa Kam-bana, Dhandhang Mangore. Keistimewaan wilayah kabupaten Donan Tlacap ini adalah menjadi tempat tumbuhnya sekar Wijaya Kusuma. Siapa saja yang berhasil memetik sekar wijaya kusuma hidupnya akan mulia wibawa. Bahkan keturunannya lestari pejabat, pemimpin dan penguasa Tanah Jawa. Hal itulah yang mendorong Kanjeng Sinuwun Amangkurat Amral yang memerintah kerajaan Mataram Kartasura pada tahun 1677-1703. Beliau berusaha sekuat tenaga untuk bisa memboyong sekar wijaya kusuma.
Keistimewaan kadipaten Donan teruji dalam sejarah. Orang melakukan lara lapa tapa brata. Mereka bersemedi di gunung Srandil untuk ngalap berkah pada Eyang Semar atau Kaki Tunggal Sabdo Jati Doyo Among Rogo. Laku spiritual ini selalu dilakukan oleh para bangsawan mataram secara turunt temurun. Mataram kuat karena punya aji dan pusaka sakti.
B. Sekar Wijaya Kusuma Mekar di Nusa Kambangan.
Kerajaan Mataram memiliki pusaka Sekar Wijaya Kusuma. Patih Sindureja Diutus Sinuwun Amangkurat Amral Memetik Sekar Wijaya Kusuma di Kadipaten Donan Cilacap.
Pembangunan Kadipaten Donan Tanah Tlacap atau Cilacap yang mahsyur sudah dirintis oleh Sinuwun Amangkurat Agung. Raja Mataram yang memerintah tahun 1645-1677 ini sangat perhatian pada wilayah Dulangmas, Kedu, Magelang, Banyumas. Kebetulan Kanjeng Ratu Wiratsari memiliki istana cabang Mataram di desa Lesmana Ajibarang Banyumas. Permaisuri raja Amangkurat Agung berjasa besar atas pengembangan Donan Tlacap sebagai kawasan spiritual. Sampai sekarang orang berdatangan ke gunung Srandhil untuk mahas ing ngasepi nedahake semedi.
Pada tahun 1677 Sinuwun Amangkurat Amral memin-dahkan ibukota dari Plered ke Kartasura. Segala persiapan lahir batin dilakukan demi kejayaan Kraton Mataram. Segera Kanjeng Sinuwun Amangkurat Agung membentuk tim Panitia Pem-bangunan fisik kraton diserahkan kepada Pangeran Pekik Bupati Surabaya. Beliau dibantu tenaga ahli dari Sumenep dan Makasar. Proyek besar pindahan ibukota Mataram ini ditangani oleh para bupati Bang Wetan.
Bidang spiritual dijalanlan oleh Tumenggung Pranantaka. Beliau putra Patih Mandaraka III. Ditunjuknya keluarga Patih Mandaraka karena sejak dulu memiliki pusaka aji Canda Birawa. Masyarakat Jawa percaya bahwa Aji Candra Birawa dapat menaklukkan segala macam makhluk halus. Aji Canda Birawa pernah digunakan oleh raja Mandaraka, Prabu Salyapati. Ketika memimpin perang Baratayuda jaya binangun, Prabu Salya menjadi senopati agung. Pusaka aji canda birawa hanya bisa dikalahkan oleh Jamus Kalimasada atau dua kalimat syahadat. Itulah konsep iman ilmu, amal, iman Islam ikhsan, cipta rasa karsa.
Surat perintah untuk memetik sekar wijaya kusuma terbit pada tanggal 17 Januari 1678. Tumenggung Pranantaka diutus memetik sekar wijaya kusuma di Donan Nungsa Berambang tanah Tlacap. Tugas mulia dan berat itu dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Waktu itu Tumenggung Pranantaka juga menjabat sebagai Bupati Tegal tahun 1678-1680. Dalam waktu yang bersamaan Tumenggung Pranantaka mengurusi sekolah ketrampilan tata praja di Magelang, diplomasi kenegaraan Mataram dan tata cara methik sekar wijaya kusuma di Donan Cilacap.Kegiatan awal yang dilakukan adalah wilujengan Negari di Sitihinggil Kraton Mataram. Kemudian tahlilan di pendopo Kabupaten Tegal. Istri Tumenggung Pranantaka menyiapkan uba rampe dan sesaji. Kebetulan istri Tumenggung Pranantaka ini pernah kursus di bagian abdi dalem Purwo Kinanthi, sehingga mengenal dengan detail tentang adat istiadat Jawa. Istri Tumenggung Pranantaka itu bernama BRA Kleting Kuning atau Raden Ayu Pucang. Sebagian menyebut Raden Ayu Brongut.
Turut memberi doa restu yakni Tumenggung Urawan Pradotonagoro dan Patih Nerangkusumo. Tumenggung Urawan pegawai kejaksaan Mataram. Patih Nerangkusumo perdana menteri kerajaan Mataram. Kedua sesepuh memimpin upacara tolak balak di Donan Cilacap. Mereka membaca dzikir bergan-tian. Pembacaan mantra rajah kalacakra dilakukan oleh Ki Dalang Kondho Buwono, penjelmaan Bathara Ismaya yang ngeja-wantah ing madyapada.
Khusus tata cara adat wilujengan di Donan Nusa Kam-bana, dhalang Kondho Buwono harus diperankan oleh titisan Sang Hyang Ismoyo atau Kyai Lurah Semar. Orang menyebut kaki Tunggul Sabdo Jati Doyo Among Rogo. Beliau sesepuh Donan yang amat ditaati oleh penguasa Nusa Kambangan. Bersama dengan Eyang Sukmo Sejati. Kunci Sari, Putri Dana Sari Nini Dewi Tunjung Sekar Sari dan tokoh spiritual lainnya sama menjaga Gunung Srandhil. Pengikut peguron Gunung Srandhil yaitu Sunan Kuning, Pangeran Langlang Buana dan Resi Mayangkara. Gunung Srandhil juga merupakan tempat petilasan para Pembesar Pajajaran.
Sang Patih sigra anata baris
Nyawiji gumolong
Dhampyak dhampyak gumregut lampahe
Binarung krapyak myang watang agathik
Gumelar ngebaki
Suraknya gumuruh.
Utusan Mataram yang dipimpin Tumenggung Pranan-taka segera melaksanakan tugas. Dibantu segenap lurah, mantri, demang, wedana dan bupati Dulangmas tugas kenegaraan itu berlangsung lancar. Rakyat mendukung dengan menyediakan logistik makanan dan minuman. Suguhan mbayu mili. Tak ketinggalan tempe, srabi, tape goreng dan mendoan. Tempe Karanganyar, srabi Wangon, tape goreng Sukaraja dan mendoan Purwokerto menjadi makanan nyamikan saat tirakatan dan lek-lekan.
Proses methik sekar wijaya kusuma di Donan Cilacap dilaksanakan pada malam Jumah Legi. Tumenggung Pranantaka dibantu oleh aneka ragam makhluk halus, yakni Barat Katiga Semarang, Guntur Geni Pekalongan, Sambang Yuda Pemalang, Buta Trenggiling Tegal, Gunting Geni Kaliwungu, Samaita Mage-lang, Dhadhung Awuk Kutoarjo, Padhareksa Gunung Sundara, Jolela Gunung Sumbing dan Jin Wewari Banjarnegara. Adapun jin makhluk halus yang turut menjaga keamanan yaitu Butakala Cilacap, Kalanadhah Banyumas, Penthul Gumuk Bagelen dan Baleng Ngungrung Kebumen.
Sukses besar diperoleh Tumenggung Pranantaka. Wila-yah Donan Nusa Kambangan semakin harum. Tanah Tlacap atau Cilacap termashur di kalangan kejawen. Sekar wijaya kusuma segera diboyong ke Mataram Kartasura. Pada tahun 1685 Tu-menggung Pranantaka dilantik menjadi patih kerajaan Mataram Kartasura. Tumenggung Pranantaka bergelar Tumenggung Raden Arya Sindurejo I.
Masyarakat Donan Cilacap menghormati Tumenggung Raden Arya Sindurejo I. Beliau dianggap pembuka awal Bumi Cilacap. Kadipaten Cilacap segera ditetapkan sebagai wilayah Kabupaten oleh Sinuwun Amangkurat Amral raja Mataram Kartasura pada tanggal 21 Maret 1678. Jasa besar Patih Sindurejo perlu dikenang. Pada tahun 1701 Patih Sindurejo lengser keprabon madeg pandito. Patih Sindurejo memilih menjadi tenaga pengajar pelatihan tata praja. Beliau wafat tahun 1703 dan dimakamkan di Astanalaya Pasareyan Agung Paremono. Dari daerah Paremono Magelang, para eksekutif tanah Jawa terbina.
C.Pemangku Adat Istiadat Kepercayaan di Wilayah Kejawen.
Penguasa Donan Cilacap selalu tampil bersinar wibawa. Keselarasan jagad gumelar dan jagad gumulung tertata rapi.
Sebagai pusat kawasan Kejawen, para pemimpin bertindak tepat bijaksana. Toleran terhadap segala bentuk keberagaman.
1. Tumenggung Sindunagoro I, 1678-1710. Dilantik pada jaman pemerintahan Sinuwun Amangkurat Amral, raja Mataram.
2. Tumenggung Sindunagoro II, 1710-1721. Dilantik pada jaman pemerintahan Sinuwun Paku Buwono I, raja Mataram.
3. Tumenggung Sindunagoro III, 1721-1734. Dilantik pada jaman pemerintahan Sinuwun Amangkurat Jawi, raja Mataram.
4. Tumenggung Notoyudo I, 1734-1752. Dilantik pada jaman pemerintahan Sinuwun Paku Buwono II, raja Mataram.
5. Tumenggung Notoyudo II, 1752-1793. Dilantik pada jaman pemerintahan Sinuwun Paku Buwono III, raja Surakarta Hadiningrat.
6. Tumenggung Notoyudo III, 1793-1814. Dilantik pada jaman pemerintahan Sinuwun Paku Buwono IV, raja Surakarta Hadiningrat.
7. Tumenggung Notoyudo IV, 1814-1822. Dilantik pada jaman pemerintahan Sinuwun Paku Buwono IV, raja Surakarta Hadiningrat.
8. Tumenggung Mondronagoro I, 1822-1829. Dilantik pada jaman pemerintahan Sinuwun Paku Buwono V, raja Surakarta Hadiningrat.
9. Tumenggung Mondronagoro II, 1829-1847. Dilantik pada jaman pemerintahan Sinuwun Paku Buwono VI, raja Surakarta Hadiningrat.
10. Tumenggung Tjakrawerdana I, 1847-1858. Dilantik pada jaman pemerintahan Sinuwun Paku Buwono VII, raja Surakarta Hadiningrat.
11. Tumenggung Tjakrawerdana II, 1858-1873. Dilantik pada jaman pemerintahan Sinuwun Paku Buwono VIII, raja Surakarta Hadiningrat.
12. Tumenggung Tjakrawerdana III, 1873-1875. Dilantik pada jaman pemerintahan Sinuwun Paku Buwono IX, raja Surakarta Hadiningrat.
13. Tumenggung Tjakrawerdana IV, 1875-1881. Dilantik pada jaman pemerintahan Sinuwun Paku Buwono IX, raja Surakarta Hadiningrat.
14. Tumenggung Tjakrawerdaya, 1881-1927.. Dilantik pada jaman pemerintahan Sinuwun Paku Buwono IX, raja Surakarta Hadiningrat.
15. Tumenggung Tjakrasewaya, 1927-1950. Dilantik pada jaman pemerintahan Sinuwun Paku Buwono X, raja Surakarta Hadiningrat.
16. RM Soetedjo, 1950-1952. Dilantik pada jaman pemerintah-an Presiden Soekarno.
17. R Witono, 1952-1954. Dilantik pada jaman pemerintahan Presiden Soekarno.
18. RM Kodri, 1954-1958. Dilantik pada jaman pemerintahan Presiden Soekarno.
19. DA Santosa, 1958-1965. Dilantik pada jaman pemerintah-an Presiden Soekarno.
20. Hadi Soetomo, 1965-1968. Dilantik pada jaman pemerintahan Presiden Soekarno.
21. HS Kartabrata, 1968-1974. Dilantik pada jaman pemerin-tahan Presiden Soeharto.
22. H Moekmin, 1974-1979. Dilantik pada jaman pemerin-tahan Presiden Soeharto.
23. Poedjono Pranyoto, 1979-1987. Dilantik pada jaman pe-merintahan Presiden Soeharto.
24. H Moch Supardi, 1987-1997. Dilantik pada jaman peme-rintahan Presiden Soeharto.
25. H Herry Tabri Karto, SH, 1997-2002. Dilantik pada jaman pemerintahan Presiden Soeharto.
26. H Probo Yulastoro S.Sos, 2002-2010. Dilantik pada jaman pemerintahan Presiden Megawati.
27. Tatto Suwarto Pamudji, menjabat Bupati Cilacap tahun 2010-2020. Dilantik pada jaman pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono dan Presiden Joko Widodo.
Para penguasa Donan Cilacap menghormati adat istiadat yang sudah berjalan. Mereka bisa hidup berdampingan dengan segala lapisan sosial. Termasuk dengan jaringan Kejawen.
D.Jaringan jagade Pedhanyangan.
Makhluk halus di Tanah Jawa membentuk jaringan Pedhanyangan. Mereka memiliki tugas dan kewenangan sesuai batas kewilayahan. Kekuasaan makhluk halus berpusat di Pulau Nusa Kambangan.
Angandika alon sri bupati
dhateng kang abdi kapedhak lama
Ki Pranataka namane
Heh gendhewor sireku
Lumakua sira den aglis
Sun utus marang Donan
Ing masigid watu
Iya ing Nungsa Berambang
Angambila sekar wijayadi luwih
Iya Jayakusuma.
Aja mulih yen ta durung olih
Nadyan silih jambul wanen sira
Sun upatani yen muleh
Yen ana kang pitulung
Dene teka gampang ing benjing
Kembang wijayamulya
Mring sira kapangguh
Wotsekar Ki Pranataka
Tur sandika ing karya datan gumingsir
Nadyan dhumateng pejah.
Sampun lengser saking ing ngarsa ji
Pranataka sedya marang Donan
Anglugas raga lampahe
Warnanen sang aprabu
Nulya nembang tengara aglis
Budhal saking Toyamas
Kang wadya gumuruh
Dhateng nagari ing Tegal
Angentosi utusan kang mring Betawi
Ki Arya Mandaraka
Kawarnaa kang anglugas ragi
Kang dinuta mring Nungsa Berambang
Ki Pranataka lampahe
Prapta masigid watu
Tan anyipta kalamun urip
Amung anyipta pejah
Raosing tyasipun
Tan adhahar tan anendra
Pitung dina anenedha ing Hyang Widhi
Mugi antuka karya.
Apan sampun karsaning Hyang Widhi
Amarengi ing dinten Jumungah
Tengah wengi ing wayahe
Ana katingal mancur
Cahyanira ngebeki bumi
Ing wite jayamulya
Wau enggenipun
Kang sekar jayakusuma
Mung sarakit nulya pinethik tumuli
Maring Ki Pranataka.
Langkung bungah dennya antuk kardi
Pranataka sigra lampahira
Maring Toyamas jujuge
Prapta Toyamas suwung
Lampahira laju mring Tegil
Ing enu tan winarna
Ing Tegal wus rawuh
Lajeng tumameng ngayunan
Sampun katur sekar wijayadi luwih
Marang sri naranata.
Pangkur
Dangu denira sineba
Arsa junjung marang kang abdi-abdi
Wong kadipaten sadarum
Sami sinungan nama
Mondaraka kang wau sampun jinunjung
Adipati Mandaraka
Apan kinarya pepatih.
Dene wau Pranantaka
Wus jinunjung Sindurja ingkang nami
Andangkara wastanipun
Nenggih Ki Wiradigda
Kyai Sendhi Ki Urawan wastanipun
Ni Dhakarta wastanira
Tumenggung Binarong nenggih.
Ingaran wong jagasura
Angandika wau sri narapati
Maring Arya Sindurjeku
Heh sira ingsun duta
Lumakua sira mring desa ing Kedhu
Parimana ing Mataram
Sapa ingkang angenggeni.
Sinom
Raden Arya Sindureja
budhal saking nagri Tegil
lawan Raden Maduretna
gumuruh swaraning jalmi
saupacara asri
wong Sarageni neng ngayun
bandera warna-warna
wong anumbak aneng wuri
busanane lir pendah sekar sataman.
Tan winarna solahira
Wus lepas lampahing baris
Ing Kaliwungu wus prapta
Rereb sakala kang baris
Saksana budhal enjing
Wus ngancik telatah Kedhu
Ki Arya Sindureja
Ing Kathithang den anciki
Kathah prapta sentanane Parimana.
Dhandhanggula
Si Gendhewor wastane duk alit
Kala taksihe amanakawan
Kala samana kinengken
Dhateng gustine wau
Iya kangjeng pangran dipati
Ngandikane pangeran
Marang kang ingutus
Kang aran Ki Pranantaka
Si Gendhewor sira ta lungaa aglis
Sira menyanga donan.
Sira ngularana sekar adi
Iya sekar Wijaya Kusuma
Lah iku sira den oleh
Sigra saha wotsantun
Pranantaka saking ing ngarsi
Sampun mangkat sadaya
Wau kang ingutus
Awatara pitung dina
Kang ingutus mring Tegal bubar tumuli
Mangkat dhateng Tetegal.
Kala jumeneng sri narapati
Ing Rebo Epon dinane ika
Nuju tanggal patlikure
Ing Sura sasinipun
Taun Wawu den sangkalani
Janma aneng gegana
Sinayang ing ratu
Samana Ki Pranantaka
Kang ingutus mring Donan amundhut sari
Praptane antuk karya.
Kang ingupaya angsal sarakit
Aran sekar Wijayakusuma
Samana wus ngaturake
Dhumateng sang aprabu
Langkung suka galih narpati
Rumaos yen sih ing Hyang
Nugraheng Hyang Luhur
Dhawuh rumasuking nata
Panjenengan tanah Jawa wus kapusthi
Kagem aneng ing asta.
Ki Pranantaka kalangkung dening
Kapracaya ing salampahira
Kinulawisudha mangke
Apan jinunjung lungguh
Pranantaka sinung kekasih
Jinunjung saking ngandhap
Sumengkeng aluhur
Aran Arya Sindureja
Kyai Sendhi apan sinungan kekasih
Aran Demang Urawan.
Asmaradana
Wus tetep jumeneng aji
Sang nata sigra parentah
Padha estrenana kabeh
Samengko Si Mandaraka
Ngong karya patih ingwang
Sun junjung lungguh tumenggung
Ki Tumenggung Mondaraka.
Kang den utus sri bupati
Dhumateng Nungsa Kambangan
Mundhut kang sekar wastane
Jayakusuma wus prapta
Sarakit kang puspita
Lajeng kunjuk sang aprabu
Langkung suka sri narendra.
Ngraos tuk nugraha jati
Sihing Suksmana jenengnya
Tanah Jawa sedayane
Wus kagem aneng ing asta
Suraosing wardaya
Kyai Pranataka wau
Dhateng kanjeng sri narendra.
Langkung kapracayeng westhi
Sang nata asru ngandika
Si Pranataka samengko
Ingsun junjung linggihira
Lan sun paringi nama
Iku arane Tumenggung
Sindureja aranira.
Nusa Kambangan menjadi ibukota makhluk halus di Tanah Jawa. Disebut juga Nusa Kambana, Nusa Berambang, Selo Marsigit, Watu Masigit, Dhandhang Mangore. Sejak dulu Nusa Kambangan terkenal angker kepati pati, gawat kaliwat liwat.
Oleh : Dr. Purwadi, M.Hum; Ketua Lembaga Olah Kajian Nusantara LOKANTARA, HP. 087864404347.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar