Rabu, 27 Januari 2021

SEJARAH GUNUNG PANANGGUNGAN TEMPAT SEMEDI TRIBUANA TUNGGADEWI

A.Daya Magis Gunung Pananggungan. 

Dalam lintasan sejarah gunung Pananggungan disebut dengan gunung Jamurdipa. Kalangan penghayat Kejawen memberi nama Gunung Perwita. 

Nama perwita mengingatkan lakon Dewaruci. Raden Werkudara mendapat tirta perwita sari. Yakni ngelmu kasampurnan. Gunung Pananggungan juga tempat memperoleh kawruh sangkan paraning dumadi. 

Hakikat hidup ini yang dijalani Tribuana Tunggadewi. Raja Majapahit tahun 1328- 1350 melakukan lara lapa tapa brata di Gunung Pananggungan. Diikuti segenap abdi dalem Purwo Kinanthi yang membawa sesaji uba rampe. Dupa, ratus, rasamala, sekar wangi tersedia sebagai perlengkapan upacara. 

Dengan ketinggian 1672 m, hawa gunung Pananggungan terasa sejuk. Raja Putri Tribuana Tunggadewi duduk bersila memimpin upacara. Berkenan membaca doa yaitu Empu Prapanca. Pujangga Majapahit ini membuka lembaran mantra yang ditulis dalam kitab Negara Kertagama. 

Abdi dalem Purwo Kinanthi  Kraton Majapahit bertugas untuk ngobong dupa. Dilakukan di delapan puncak sekitar gunung Pananggungan. Yaitu puncak Wangi, Bendo, Sarahklapa, Jambe, Bekel, Gambir, Gajahmungkur, Kemuncup. Puncak gunung ini dianggap keramat suci sakral wingit. 

Yang Mulia raja Putri Tribuana Tunggadewi sendiri berdoa di tengah Candi Kendhalisada. Pertapan Resi Mayangkara ini sebagai sarana tolak balak. Terutama untuk menyingkirkan gangguan angkara Raksasa Dasakumara yang beristana di Karaton Tawang Gantungan. 

Empu Tantular bersama juru nujum Karaton Majapahit melakukan tata cara ritual di berbagai tempat kawasan Gunung Pananggungan. Misalnya di puncak Pucangan, Sampud, Rupid, Pilan, Jagadita, Butun. Kukuse dupa kumelun. Ngeningken tyas sang apekik. 

Tata cara ritual Kerajaan Majapahit juga dilakukan dengan siram jamas. Terlebih dulu tapa kungkum di Patirtan Belahan. Telaga bening ini berguna untuk menghilangkan sukerta. Begitulah cara untuk mendapat keselamatan negeri yang berlangsung di wilayah antara gunung Arjuno dan Gunung Welirang. 

Candi Kama menjadi tempat semedi para taruna. Candi Bayi untuk keselamatan anak. Candi putri untuk pemujaan para wanita. Candi Pura untuk meditasi pejabat negara. Candi Genthong untuk permohonan para petani. Tempat ritual ini berada di daerah Trawas lereng Gunung Pananggungan. 

Daerah Kedungudi gunung Pananggungan tempat lelaku. Untuk permohonan bagi aparat desa di Candi Lurah. Candi Carik digunakan oleh para juru tulis. Candi Sinta untuk melatih kesetiaan. Candi Naga sebagai lambang murah rejeki. Kerajaan Majapahit punya tradisi ritual yang lengkap. 

Tribuana Tunggadewi sukses memimpin Kerajaan Majapahit. Garis kepemimpinan priyayi diwariskan oleh sang ayah. Raden Wijaya mendirikan Kerajaan Majapahit tahun 1293. Ayah Tribuana Tunggadewi bergelar Sinuwun Prabu Brawijaya I. 

Ibu Tribuana Tunggadewi bernama Gayatri. Ratu Ageng Majapahit ini mengajari sang putri untuk menjalankan lelaku di Gunung Pananggungan. Tribuana Tunggadewi memang narendra gung binathara, mbahu dhendha nyakrawati, ambeg adil para marta, ber budi bawa laksana, memayu hayuning bawana. 

Garwa Tribuana Tunggadewi yaitu Pangeran Cakradhara Kartaeardhana. Beliau putra Prabu Kameswara raja Jenggala Manik. Seorang suami yang bijak bestari, menguasai unggah ungguhing basa, kasar alusing rasa, jugar genturing tapa.

Untung sekali selama memerintah, Tribuana Tunggadewi didampingi patih cakap setia. Yaitu Mahapatih Gajahmada. Pada tahun 1334 Gajahmada mengucapkan Sumpah Palapa. 

Lelaku di Gunung Pananggungan menjelang Ekspedisi Pamalayu. Diplomasi kenegaraan Majapahit dilakukan Gajahmada pada tahun 1347. Adityawarman raja Pagaruyung Sumatera Barat bersahabat erat dengan Gajahmada. Terjalin diplomasi yang hebat bermartabat. 

B. Trah Majapahit Lelaku di Gunung Pananggungan. 

Laku spiritual di gunung Pananggungan dilakukan oleh semua raja Majapahit. Prabu Hayamwuruk, Ratu Suhita, Kencono Wungu menjalankan acara tradisi warisan leluhur. 

Pada masa kerajaan Demak Bintara yang berdiri tahun 1478, lelaku di gunung Penanggungan tetap berlangsung. Raden Patah, Adipati Unus, Sultan Trenggana, Sunan Prawata dan Ratu Kalinyamat adalah pewaris Kerajaan Majapahit. 

Demikian pula Joko Tingkir yang menjadi raja Pajang sejak tanggal 1 Juli 1546. Keturunan Kraton Majapahit dari garis Pengging ini hadir di gunung Pananggungan untuk laku lara lapa tapa brata. 

Tradisi lelaku di gunung Pananggungan dilestarikan oleh raja Mataram. Mulai dari Panembahan Senapati, Sinuwun Prabu Hadi Hanyakrawati dan Sultan Agung. Mereka Trah Majapahit yang sadar akan arti penting mesu budi. 

Pada tanggal 9 Mei 1654 Bupati Surabaya, Adipati Pangeran Pekik dan Ratu Pandansari berkunjung ke daerah Japan. Beliau mengajak cucunya, Gusti Raden Mas Rahmat. Anak kecil yang cerdas, ramah, tampan dan luhur budi ini adalah putra raja Mataram, Kanjeng Sinuwun Amangkurat Tegal Arum. Sejak lahir Raden Rahmat tinggal di Surabaya bersama eyangnya.

Dalam lintasan sejarah daerah Japan pernah menjadi pusat pemerintahan kerajaan Majapahit. Pangeran Pekik beserta pegawai Kadipaten datang ke Japan  untuk mengenang perjuangan Raden Wijaya yang mendirikan kerajaan Majapahit pada tanggal 9 Mei 1293. Bupati Surabaya memang memberi pendidikan sejarah kepada Gusti Raden Mas Rahmat. Jasmerah, jangan sekali sekali meninggalkan sejarah. Raden Rahmat adalah putra mahkota kerajaan Mataram. Pengetahuan tentang antropologi, sosiologi, ekonomi, pemerintahan, sastra, bahasa dan etika diajarkan kepada Raden Rahmat.

Kunjungan ini sekaligus menjadi tonggak historis. Ratu Pandansari mengusulkan nama Japan menjadi Mojokerto. Ratu Pandansari adalah adik Sultan Agung yang mahir dalam ilmu kesusasteraan. Mojokerto berasal dari dua kata, Mojo dan Kerto. Kata dasar Mojo yaitu Wojo atau baja, lambang tekad kuat. Kerto berarti kerja, usaha, berjuang, karya, makmur, sejahtera. Dengan demikian Mojokerto mengandung makna filosofis yang tinggi. Mojokerto adalah tekad kuat dalam bekerja untuk mewujudkan negeri yang makmur sejahtera lahir batin.

Nama Mojokerto semakin populer, arum kuncara. Pangeran Pekik dan Ratu Pandansari mengadakan upacara wilujengan, dengan sesaji jenang abang. Kyai Abdul Karim, pengasuh pondok pesantren Mojoanyar memimpin doa. Turut diundang warga dari Dawanblandong, Kemlagi, Jetis, Gedeg, Sooko, Bangsal, Puri, Trowulan, Jatirejo, Dlanggu, Mojosari, Pungging, Ngoro, Kutorejo, Gondang, Trawas, Pacet.

Setahun kemudian, tanggal 20 Juli 1655 Bupati Surabaya datang lagi ke Mojokerto. Ternyata Raden Rahmat sangat krasan tinggal di Mojokerto. Penduduknya ramah tamah, suka gotong royong, punya toleransi tinggi. Demi masa depan cucunya ini,  Bupati Surabaya Adipati Pangeran Pekik membangun tiga pesanggrahan, yang berguna untuk proses pendidikan, pelatihan, perkumpulan dan peristirahatan.

1.Pesanggrahan Hargomanik. 

Dibangun di daerah Mojosari Claket Pacet. Tempatnya asri, indah, elok menawan. Hawanya sejuk. Waktu malam digunakan untuk tirakatan, belajar kitab Jawa klasik karya Empu Sedah, Empu Panuluh, Empu Darmaja, Empu Prapanca, Empu Tantular dan Empu Kanwa. Penduduk sekitar beternak kambing. Petani menanam jagung, padi, uwi, kentang, wortel, kubis, bayem, kangkung. Pisang raja, gedang kapok, pepaya rasanya manis-manis. Raden Rahmat belajar agrobisnis langsung pada peternak dan petani.

2.Pesanggrahan Hastrowulan. 

Pesanggrahan Hastrowulan berbentuk limasan joglo dara gepak. Ruangan terbuka luas. Terbuat dari kayu jati Randublatung Cepu. Tukangnya diambil dari juru ukir Jepara terpilih. Dilengkapi pula kolam renang. Bagian kanan kiri dan belakang tersedia bangunan dengan kamar yang berjejer-jejer. Raden Rahmat dan rombongan mengadakan acara diskusi tata praja. Pakar dari Bang Wetan, Bang Kulon dan pesisir bertukar pikiran tentang ilmu pemerintahan di Pesanggrahan Hastrowulan.

3.Pesanggrahan Langenasri. 

Adipati Pangeran Pekik membangun Pesanggrahan Langenasri di Mojodadi Pungging. Daerah ini terkenal dengan ternak sapi. Penduduknya kaya raya. Sebagai pemimpin di daerah Bang Wetan, Bupati Pangeran Pekik turut melancarkan usaha pemasaran. Peternak selalu beruntung karena Pangeran Pekik selalu membuka tempat marketing. Ternak sapi dari Mojodadi Pungging dijual sampai ke India, Cina, Arab, Afrika dan Malaka. Raden Rahmat secara langsung belajar marketing agrobisnis. Rakyat merasa ayem tentrem. 

ilmu iku kelakone kanthi laku. Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Pada tanggal 13 Juli 1677 Gusti Raden Mas Rahmat dinobatkan menjadi Raja Mataram. Raden Rahmat bergelar Kanjeng Sri Susuhunan Amangkurat Amral. Warga Mojokerto diundang dalam upacara jumenengan. Sebagian terharu sampai meneteskan air mata. Teringat ketika Raden Rahmat datang di Randu Genengan Dlanggu untuk menanam pohon kakao.

Sri Susuhunan Amangkurat Amral bertahta di kraton Mataram yang beribukota di Kartasura. Pada tahun 1678 setelah pengetan tingalan jumenengan, Raden Rahmat atau Sinuwun Amangkurat Amral datang ke Mojokerto. Beliau melakukan siram jamas di Sendang Tanjungan Kemlagi. Malam harinya semedi di Batu Blorok Jetis. Sebelum pulang ke Mataram, selalu ritual di Candi Bajangratu, Wringin Lawang, Brahu, Gentong. Beliau selalu menjalankan lelaku.

Kanjeng Sinuwun Amangkurat Mas melanjutkan perjuangan Sinuwun Amangkurat Amral. Pada tahun 1703 beliau mahas ing ngasepi, anelasak wana wasa, tumuruning jurang terbis. Bersemedi di Gunung Penanggungan. Selama kunjungan ini Sinuwun Amangkurat Mas tinggal di Pesanggrahan Hastrowulan. Keesokan harinya dilanjutkan dengan ritual di Gunung Welirang dan Gunung Anjasmara. Sedhakep saluku tunggal amepet babahan hawa sanga, sajuga kang sinidhikara.

Tata cara kejawen ini diteruskan oleh Sinuwun Amangkurat Jawi pada tahun 1723. Beliau semedi di puncak gunung Pundak, gunung Siwur, gunung Krapyak, gunung Watu Jengger dan gunung Semar Gondang. Raja Mataram ini gemar lara lapa tapa brata. Tapa ngeli di Kali Brantas, Kali Ketintang, Kali Bangsal, Kali Ledeng. Perjalanan spiritual itu dalam rangka menjaga ketentraman seluruh warga kerajaan Mataram, terutama demi keselamatan rakyat Mojokerto.

B.Tata Cara Wilujengan Kenegaraan di Gunung Pananggungan. 

Tata cara wilujengan kenegaraan di gunung Penanggungan terjadi sejak jaman Majapahit. Sampai saat peresmian kadipaten Mojokerto. 

Peresmian Kabupaten Mojokerto sebagai sarana untuk mewujudkan kewibawaan negeri. 

Mojokerto resmi menjadi kabupaten terjadi tanggal 9 Mei 1811, jaman Sinuwun Paku Buwana IV. Proses pembentukan kabupaten Mojokerto atas usulan Raden Ajeng Sukaptinah atau Ratu Handoyowati. Beliau adalah putri Bupati Pamekasan, Adipati Cakraningrat. Ibunya cucu Bupati Madura Pangeran Pekik. Setelah menjadi garwa prameswari Kanjeng Sinuwun Paku Buwana IV, beliau bergelar Kanjeng Ratu Kencono Wungu.

Permaisuri raja karaton Surakarta Hadiningrat sangat peduli pada wilayah Mojokerto. Pada tahun 1812 ibu-ibu dari Daworblandong, Kemlagi, Jetis Gedeg, Mojoanyar, Sooko, Bangsal diundang ke Laweyan untuk belajar batik. Ibu-ibu dari Puri, Trowulan, Jatirejo, Dlanggu, Mojosari, Pungging diberi kesempatan untuk belajar kuliner sego liwet di Baki. Ibu-ibu dari daerah Kutorejo, Ngoro, Gondang, Trawas, Pacet diberi kesempatan untuk belajar industri jamu di Nguter. Rombongan ini dipimpin oleh istri Adipati Prawirodirjo.

Biaya perjalanan ditanggung oleh Kanjeng Ratu Kencono Wungu. Maklum beliau pengusaha garam di Pamekasan, pemilik industri sarden di Kriyan dan Komisaris pelabuhan Tanjung Emas dan Tanjung Perak. Istri raja Surakarta Hadiningrat ini memang kaya raya. Putri Madura berdarah Surabaya menjadi permaisuri raja kraton Surakarta Hadiningrat. Pemuda-pemuda Mojokerto dikirim ke Bekonang untuk belajar membuat gamelan. Sebagian belajar industri perak di Kotagedhe.

Anak-anak juru belah yang tinggal di daerah aliran sungai Brantas dikirim ke Lasem Rembang pada tahun 1816. Mereka belajar cara membuat trasi. Sedang para petani yang menanam kedele, diberi kesempatan untuk kursus membuat kecap di daerah Purwodadi Grobogan. Kanjeng Ratu Kencono atau Raden Ajeng Sukaptinah menanggung semua biaya transportasi, konsumsi, akomodasi. Program beasiswa pendidikan untuk pemuda pemudi Mojokerto demi menyiapkan generasi yang mandiri dan berdikari.

Kesempatan emas bagi kabupaten Mojokerto berlangsung pada jaman Bupati Tjondronagoro. Tahun 1834 Sinuwun Paku Buwana VII membangun pabrik gula Sentanen Lor. Tahun 1845 membangun pabrik gula Gempolkrep. Rakyat bertambah bahagia. Lapangan kerja terbuka luas. Ada yang kerja di kebun tebu, angkutan dan produksi. Pendek kata usaha ekonomi berjalan lancar. Tidak ada orang menganggur. Tenaga dan pikiran dapat disalurkan. Warung makan laris, cikar dapat order, dokar dapat penumpang, seniman ditanggap. Warga kabupaten Mojokerto senang hatinya, guyub rukun, ayem tentrem.

Sinuwun Paku Buwana VIII memerintah tahun 1858 – 1861. Beliau sempat membangun pabrik gula Perning. Lalu Sinuwun Paku Buwana IX memerintah tahun 1861 – 1893. Beliau membangun pabrik gula Bangsal, pabrik gula Balongbendo, pabrik gula Brangkal. Rakyat semakin sejahtera, murah sandang pangan papan. Ada industri gula berjumlah 12 buah di kabupaten Mojokerto. Transportasi kereta api maju sekali. Sehari-hari melintas 15 kali. Orang Mojokerto mendapat kejayaan sepanjang sejarah peradaban.

Pemerintahan kabupaten Mojokerto antara tahun 1893 – 1939 dibina oleh Kraton Surakarta. Patihnya bernama Sosrodiningrat IV. Mojokerto semakin maju, makmur dan sejahtera. Tahun 1903 didirikan industri kerajinan cor kuningan. Tahun 1906 didirikan industri kulit sepatu di wilayah Sooko. Petani lombok di Dawarblandong didukung untuk maju, dengan dibantu pemasaran. Industri rumahan seperti krupuk rambak disalurkan lewat restoran di Surabaya, Surakarta dan Semarang.

Asma kinarya japa. Bahwa nama itu beserta dengan doa dan harapan. Mojokerto nyata-nyata tampil sebagai kawasan maju sejahtera. Karena warganya  memiliki tekat baja untuk mendapat kejayaan, kemakmuran, kewibawaan, kebahagiaan. Pemimpin dan rakyat bersatu padu, sesuai dengan ungkapan manunggaling kawula Gusti.

Para Bupati Mojokerto yang berdarma bakti bagi Ibu Pertiwi adalah keutamaan. Gunung Pananggungan menjadi sumber inspirasi dan energi. 

1.Adipati Prawirodirjo  1811 – 1827

Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwana IV, raja kraton Surakarta Hadiningrat.

2.Adipati Tjondronagoro I  1827 – 1850

Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwana VI, raja kraton Surakarta Hadiningrat.

3.Adipati Tjondronagoro II  1850 – 1863

Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwana VII, raja kraton Surakarta Hadiningrat.

4.Adipati Kertokusumo 1863 – 1866

Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwana IX, raja kraton Surakarta Hadiningrat.

5.Adipati Kromojoyo Adinagoro I 1866 – 1894

Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwana IX, raja kraton Surakarta Hadiningrat.

6.Adipati Kromojoyo Adinagoro II  1894 – 1916

Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwana X, raja kraton Surakarta Hadiningrat.

7.Adipati Kromojoyo Adinagoro III  1916 – 1933

Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwana X, raja kraton Surakarta Hadiningrat.

8.Tumenggung Rekso Anitprojo I 1933 – 1935

Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwana X, raja kraton Surakarta Hadiningrat.

9.Tumenggung Rekso Anitprojo II 1935 – 1945

Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwana X, raja kraton Surakarta Hadiningrat.

10.Dr. Sukandar  1945 – 1947

Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.

11.Pamuji  1947 – 1948

Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.

12.Kusumo Adiprojo 1948 – 1949

Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.

13.R. Aminoto Wijoyo 1949 – 1950

Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.

14.Suharto 1950 – 1958

Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.

15.Ardi Sriwijoyo  1958 – 1965

Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.

16.R. Basuri  1965 – 1974

Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.

17.Supeno Suryoatmojo 1974 – 1975

Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.

18.Tatchoerachman 1975 – 1985

Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.

19.Drs. Kunto Sutejo 1985 – 1990

Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.

20.Machmoed Zein, SH 1990 – 2000

Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.

21.Drs. Achmady, M.Si  2000 – 2008

Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid.

22.Drs. Suwandi 2008 –2010

Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

23.Mustofa Kamal Pasha  2010 – 2018

Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

24.Pungkasiadi, SH 2018 – 2023

Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.


Jago Kluruk


Ing wayah esuk, jagone kluruk

Rame swarane pating kemruyuk

Wadhuh senenge sedulur tani

Bebarengan padha nandur pari


Srengenge nyunar kulon prenahe

Manuke ngoceh ana wit witan

Pating cemruwit seneng atine

Tambah asri donya saisine


Kabupaten Mojokerto selalu berusaha untuk mewujudkan suasana yang gemah ripah loh jinawi, tata tentrem karta raharja. Tembang jago kluruk di atas mendukung untuk terwujudnya masyarakat yang peduli pada kegiatan peternakan. Alam pedesaan dengan suara jago kluruk bersahut-sahutan. Para petani berangkat ke sawah dengan paculnya. Mereka menanam padi demi ketahanan pangan. Murah sandang, murah pangan. Suara burung yang menyambut membuat dunia ini semakin tampak asri. Keindahan alam ini perlu dijaga kelestariannya. 


Kembang Blimbing


Kembang blimbing bing maya maya ya

Kembang pelem wujude ingklik ketela

Kembang kacang lan kara padha kupune lha kae

Kembang pring blas-blasan kaya carange

Kembang jambu lan randhu metu karuke lha kae

Dhasar blanggreng si kopi pamacakira


Dhendheng kenthing thing sambel lonthang thang

Kakang mendhak yen mendhak ulung-ulungan

Jenang tela  kagendhis mawi kelapa aoa

Leganana gathuke krenteg kawula 

Benguk wana kecipir ungu kembange aoe 

Rowa-rawe temanten ketemu sore


Lingkungan gunung Pananggungan kabupaten Mojokerto cocok sekali untuk kegiatan pertanian, perkebunan, dan peternakan. Negara kita terkenal dengan aneka ragam hayati dan nabati. Tiap-tiap tanaman mempunyai bunga. Tiap bunga tersebut mempunyai nama sendiri. Cocok sebagai bahan pengajaran di bangku sekolah.

Siswa diharapkan mengenal ragam hayati tersebut dalam bentuk kesenian yang penuh dengan nilai estetis. Pemerintah harus mendukung usaha pengenalan budaya. Sosialisasi nilai kearifan lokal dilakukan oleh masyarakat mojokerto dengan ungkapan seni.

Tata cara di Gunung Pananggungan menjadi sarana mesu budi. Pemimpin dan rakyat manunggal, demi mewujudkan kesejahteraan lahir batin.

Oleh : Dr. Purwadi, M.Hum. Ketua Lembaga Olah Kajian Nusantara - LOKANTARA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar