Kali Serang berhulu di kaki Gunung Merbabu. Digunakan untuk tapa ngeli oleh Joko Tingkir sejak tahun 1536.
Mas Karebet atau Joko Tingkir menjalankan lelaku di kali Serang. Mulai dari Tengaran, Suruh, Susukan, Karanggede, Wonosegoro, Juwangi, Penawangan, Purwodadi. Berlanjut ke Kudus, Demak, Jepara.
Aliran Kali Serang sejauh 136 Km. Musim kemarau airnya kemricik. Musim hujan airnya gemrojok. Terakhir bermuara di pantai Kedung Malang, Kedung Jepang. Berbaur dengan perairan laut Jawa.
Sepanjang aliran Kali Serang terdapat anak sungai. Yakni Kali Lusi yang berasal dari Sulang, Rembang, Blora, Purwodadi dan Penawangan. Gabung pula air dari sungai mayong, lanang, lamping, geyer, braholo, brangkal, uter. Gabungan air tertumpah di aliran Kali Serang. Terkenal sejak Kraton Demak Bintara.
Pertapan Merbabu Sebagai Sarana Olah Rasa Joko Tingkir.
Olah rasa dilakukan Joko Tingkir di bawah kaki Gunung Merbabu. Kota Salatiga yang dinaungi gunung Merbabu menempati posisi yang strategis dalam perspektif geografis dan historis. Secara geografis kota Salatiga diapit oleh wilayah Surakarta dan Semarang. Dari perspektif historis kota Salatiga menjadi tempat diplomasi kenegaraan kraton Demak, Pajang dan Mataram.
Gagasan mendirikan Kraton Pajang dilakukan di pertapan Merbabu. Kraton Pajang yang berdiri pada tanggal 1 Juli 1546 juga bermula dari kota Salatiga. Daerah Tingkir Salatiga menjadi tempat penggemblengan bagi Joko Tingkir. Kelak menjadi raja Pajang bergelar Sultan Hadiwijaya. Wilayah Salatiga dan sekitarnya dulu pernah diasuh oleh Ki Ageng Tingkir yang terkenal sebagai guru kebatinan yang peng pengan.
Menurut sejarahnya Ki Ageng Tingkir yang tinggal di kaki gunung Merbabu pernah berguru kepada Syekh Siti Jenar bersama dengan Ki Ageng Banyubiru dan Ki Ageng Butuh. Joko Tingkir ahli semedi sesuai dengan didikan guru Kejawen. Tak lupa agar melakukan tapa ngeli dan siram jamas.
Dalam lintasan sejarah Jawa ada nama Joko Tingkir, yang penuh dengan keteladanan, keutamaan, keluhuran, keagungan. Mas Karebet atau Joko Tingkir suka bersemedi di daerah Tengaran Kaki gunung Merbabu. Masyarakat Jawa yang tinggal di gunung agunung, gua agua, kutha akutha mengenal Joko Tingkir dengan penuh rasa kagum. Tembang megatruh memberi deskripsi yang agung dan anggun.
Lukisan saat Joko Tingkir menjalankan lelaku di Kali Serang. Terdapat dalam tembang megatruh yang amat terkenal.
Megatruh
Sigra milir sang gethek sinangga bajul,
kawan dasa kang njageni,
ing ngarsa miwah ing pungkur,
tanapi ing kanan kering,
sang gethek lampahnya alon.
Air Kali Serang mengalirkan kebijaksanaan hidup. Dalam tembang mijil ada wedharan untuk menjakani kebajikan.
Mijil.
Dedalane guna lawan sekti, kudu andhap asor, wani ngalah luhur wekasane, tumungkula yen dipun dukani, bapang den simpangi, ana catur mungkur.
Ajaran tembang mijil itu diresapi benar oleh Joko Tingkir. Perjalanan hidup Joko Tingkir menarik dan herois. Berakit rakit ke hulu, berenang renang ke tepian. Bersakit sakit dahulu, bersenang senang kemudian. Ki Ageng Sela memberi bekal ngelmu satataning panembah jati. Ki Ageng Banyubiru memberi wejangan kawruh kasampurnan. Sabar sebagai penguasa, syukur sebagai rakyat. Wulangan lahir batin demi diusahakan murih padhanging sasmita.
Basa ngelmu mupakate lan panemu. Mas Karebet atau Joko Tingkir dibimbing oleh Ki Ageng Butuh yang mengajarkan jroning urip ana urup, jroning urup ana urip kang sejati. Itulah puncak rasa jati, sari rasa jati, sarira sajati. Sari rasa tunggal, sarira satunggal, naga sari tunggal, nagara satunggal sebagaimana ungkapan Bhinneka Tunggal Ika. Semboyan kenegaraan yang sangat dihayati oleh pemimpin nusantara. Lila lan legawa kanggo mulyaning negara.
Sarjana winasis yang terdiri dari Ki Ageng Panjawi, Ki Ageng Pemanahan, Ki Ageng Juru Martani, Ki Ageng Karanglo, Ki Ageng Pringapus, Ki Ageng Giring menjadi pe-nyokong utama Joko Tingkir. Berkat jiwa kebangsaan dan sifat kerakyatan pada tahun 1546 Joko Tingkir dinobatkan menjadi raja Kraton Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijaya. Di Salatiga ini Joko Tingkir dipersiapkan untuk menjadi pemimpin tanah Jawa.
Penelusuran jejak kehidupan Joko Tingkir yang menghirup hawa sejuk Merbabu perlu pula dibahas tentang sejarah Pengging. Pemimpin dari Pengging selalu melakukan ilmu laku. Misalnya tapa brata di Pesanggrahan Madusita Candi Ampel. Tapa kungkum di kali Serang Karanggedhe. Sesaji tunggak janggleng di alas Wonosego. Methik pari Gaga di Juwangi. Kegiatan upacara adat ini dilakukan oleh bangsawan Pengging. Mereka berprinsip Arab digarap Jawa digawa. Mrih katarta pakartinging ngelmu luhung. Kang tumrap neng tanah Jawa. Agama ageming aji.
Tanah Pengging tepatnya di kaki Gunung Merapi dan Merbabu. Sejak dulu kala kawasan ini termasuk gudangnya kreator peradaban. Pernah untuk menyimpan pusaka Nogososro Sabuk Inten. Pengging Banyudono salah satu kecamatan Boyolali. Daerah Pengging populer karena di sinilah Mas Karebet, Joko Tingkir atau Sultan Hadiwijaya dilahirkan. Hawa segar gunung Merbabu membentuk pribadi yang paripurna.
Kadipaten Pengging menjadi sentral kebudayaan, yang menjadi penerus kebesaran Kerajaan Majapahit dan Kesultanan Demak Bintara. Adipati Handayaningrat atau Ki Ageng Pengging sepuh adalah menantu Sinuwun Prabu Brawijaya, garwanya bergelar Kanjeng Ratu Pembayun yang melahirkan Ki Kebo Kanigara dan Ki Kebo Kenanga. Mereka gemar lara lapa di Gunung Merbabu.
Kelak Ki Kebo Kanigara menjadi pertapa di lereng gunung Merbabu, sedang Ki Kebo Kenanga menjadi murid Syekh Siti Jenar, seorang wali yang sakti mandra-guna. Komunitas peguron ini yang mempelopori ilmu manunggaling kawula gusti. Kalangan Kejawen menyebut dengan istilah ngelmu kasampurnan, ngelmu kasepuhan, kawruh begja, wikan sangkan paran, sangkan paraning dumadi, urip sejati dan satataning panembah.
Wulang wuruk Kejawen berkembang dari kawasan Pengging kaki gunung Merbabu kemudian menyebar ke seluruh pelosok tanah Jawa, mulai dari perkotaan, pedesaan, dan pegunungan. Setelah Syekh Siti Jenar muksa, para muridnya mengembangkan paham Keja-wen. Mereka adalah Ki Ageng Banyubiru, Ki Ageng Sela, Ki Ageng Butuh, Ki Ageng Karanglo, Ki Ageng Pring Apus, Ki Ageng Penja-wi, Ki Ageng Pemanahan, Ki Ageng Enis dan Ki Ageng Pandhanarang. Para guru suci Tanah Jawa ini sudah putus ing reh sanis-kara, kebak ngelmu sipating kawruh.
Pemimpin besar lahir besar dan dididik di Pengging kaki gunung Merbabu. Joko Tingkir atau Sultan Hadiwijaya raja Pajang, lahir di bumi Pengging. Danang Sutawijaya atau Panembahan Senapati raja Mata-ram juga lahir di Pengging. Raja dan Pujangga Jawa lahir di kawasan Pengging.
Tentang Kasultanan Pajang, Pengging menjadi sentral sejarah. Setelah Ki Ageng Pengging wafat, putranya yang bernama Mas Karebet kemudian diasuh Nyi Ageng Tingkir. Maka nantinya Mas Karebet disebut juga Joko Tingkir.
Para alumni padepokan Syekh Siti Jenar mengetahui bahwa wahyu keprabon menitis pada diri Joko Tingkir. Maka semua guru tersebut sama mengasuh dan mendidik Joko Tingkir sebagai layaknya putra seorang raja. Dimaklumi bersama bahwa Joko Tingkir sungguh trahing kusuma rembesing madu, ketu-runan langsung Prabu Brawijaya raja Majapahit.
Guru ya digugu ya ditiru. Hasil didikan para dwija sejati ini cukup mengagumkan. Joko Tingkir tumbuh menjadi pribadi yang mumpuni kualitas intelektual, sosial, mental, moral dan spiritual. Kanjeng Sultan Trenggono yang bertahta di Kasultanan Demak Bintara menjodohkan Joko Tingkir dengan Kanjeng Ratu Hemas Kambang atau Ratu Mas Cepaka. Pada periode selanjutnya Joko Tingkir diwisuda menjadi raja di Kasultanan Pajang Hadiningrat dengan gelar Sultan Hadiwijaya Hamid Amirul Mukminin Syah Alam Akbar. Joko Tingkir berkuasa tahun 1546-1582.
Kitab babad tanah Jawi yang disimpan Karaton Sura-karta Hadiningrat adalah data historis yang penting. Kita petik tembang Pangkur yang berasal dari cerita Babad Tanah Jawi, sebagai gambaran masa silam. Ini kisah Ratu Kalinyamat yang berkaitan dengan berdirinya Karaton Pajang. Atas restu Ratu Kalinyamat dan keluarga Kasultanan Demak Bintara, karir Joko Tingkir lancar.
Pangkur
Nimas Ratu Kalinyamat.
Tilar wisma amartapa neng wukir.
Tapa wuda sinjang rambut.
Ing Gunung Danaraja.
Apratignya tan arsa tapihan ingsun.
Yen tan antuk adiling Hyang.
Patine sedulur mami.
Joko Tingkir menduduki tahta Pajang atas dukungan Kanjeng Ratu Kalinyamat putri Sultan Demak. Pada jaman kerajaan Demak Bintara tampil seorang putri yang berbakat hebat namanya Kanjeng Ratu Kalinyamat. Beliau putri Sultan Trenggana Raja Demak Bintara. Kecakapannya teruji selama menjadi bupati Jepara tahun 1536 – 1559. Bupati pertama Kadipaten Jepara adalah Retna Kencana atau Nimas Ratu Kalinyamat.
Ratu Kalinyamat menikah dengan Datuk Thoyib atau Datuk Pangeran Tengku Thoyib. Sultan Trenggana memberi gelar Tengku Thoyib dengan sebutan Pangeran Hadlirin. Pernikahan putri Jepara dengan bangsawan Samudra Pasai ini secara hakiki sebagai praktek wawasan Nusantara.
Pasangan luhur ini menjadi penentu kerier Joko Tingkir. Dari Majapahit, Demak, Pajang dan Mataram. Rintisan untuk membangun tata praja yang teratur di kaki Gunung Merbabu.
Tiap mslam selasa kliwon, Joko Tingkir tetap melakukan tapa kungkum di Kali Serang. Tiap bulan Suro pasti menjalani tapa ngeli di sepanjang aliran Kali Serang. Joko Tingkir memang gentur tapane, mateng semedine.
B. Percikan Air Kehidupan dari Kali Serang.
Tirta perwita sari adalah air kehidupan yang mengandung kemuliaan. Dalam lakon Dewaruci, Arya Werkudara mendapat ngelmu kasampurnan.
Kali Serang dipercaya oleh segenap Trah Demak, Pajang, Mataram dan Surakarta mengalir kejernihan hidup. Maka dari hulu kali Serang digunakan sebagai tempat rapat kenegaraan.
Usulan penting terjadi dalam peristiwa historis. Pangeran Sambernyawa diajak Sinuwun Paku Buwana III rembugan di hulu Kali Serang. Tepat di kaki Gunung Merbabu. Raja Surakarta Hadiningrat yang memerintah sejak tahun 1749 membuat sejarah besar.
Kedua tokoh besar itu melakukan meditasi. Tapa brata di puncak gunung Merbabu. Lalu dilanjutkan tapa kungkum di Kali Serang. Beliau meniru tata cara Joko Tingkir. Lenggah saluku tunggal, amepet babahan hawa sanga, sajuga kang sinidhikara.
Peristiwa historis terjadi di daerah lereng gunung Merbabu. Yakni
Perjanjian Salatiga sebagai Awal Berdirinya Pura Mangkunegaran. Anak cucu Joko Tingkir melakukan langkah pemekaran wilayah secara damai.
Perjanjian Salatiga dilakukan pada tanggal 17 Maret 1757 di wilayah Kalicacing Sidomukti Salatiga. Peristiwa historis ini merupakan tanda resmi berdirinya Pura Mangkunegaran. Berdirinya istana Mangkunegaran diresmikan langsung oleh Sinuwun Paku Buwono III. Sedangkan sebagai penguasanya adalah Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa. Kelak bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I.
Masa pemerintahan Sri Mangkunegara I berlangsung tanggal 17 Maret 1757 – 28 Maret 1795. Pura Mangkunegaran berdiri atas dukungan Kanjeng Sinuwun Paku Buwana III, raja karaton Surakarta Hadiningrat tahun 1749 – 1788. Hubungan keduanya sangat harmonis. Bahkan terjalin dengan ikatan pernikahan.
Sri Mangkunegara I besanan dengan Sinuwun Paku Buwana III. Gusti Raden Mas Subadyo, kelak bergelar Sinu-wun Paku Buwana IV sempat diasuh oleh Sri Mangkunegara I. Berdirinya Pura Mangkunegaran menjadi tonggak penting dalam peradaban Jawa. Seni budaya tampil megah. Rakyat hidup makmur lahir batin.
Perlu kiranya ditelusuri bibit kawit asal usul Sri Mang-kunegara I. Keterangan atas Pangeran Sambernyawa penuh dengan keteladanan, keutamaan, keagungan. Tata krama Pangeran Sambernyawa pantas diteladani oleh sekalian generasi muda. Pada tanggal 17 Juli 1772 Sri Susuhunan Paku Buwana III memberi mandat penuh kepada Sri Mangkunegara I untuk membimbing putra putrinya. Amanat ini dijalankan dengan penuh ketulusan.
Pura Mangkunegaran didirikan oleh Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa pada tanggal 17 April 1757. Berdirinya Pura Mangkunegaran berdasarkan perjanjian Salatiga. Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Mangkunegara I kasebut Kanjeng Gusti Samber Nyawa.
Punika Putranipun Kanjeng Pangeran Hario Mangkunegara ing Kartasura. Putradalem pambajeng Sampeyandalem Hingkang Sinuhun Kanjeng Su-suhunan Prabu Hamangkurat Jawa ing nagari Kartasura. Wiosandalem: hing dinten malem Akat Legi wonten Karta-sura, 6 Ruwah tahun jimakir Windu Kuntara 1650, utawi 1725 Masei.
Hanyarengi mentas suruddalem Sampeyandalem Hingkang Sinuhun Prabu Hamangkurat Jawa. Kraton Kartasura lowong. Kanjeng Gusti miyas lelana, sampun dados man-tri, asma RMNg. Suryokusumo. Kanthi rayidalem kekalih. Nalika semanten saweg yuswa 16 tahun. Nuju dinten malem Rebo Kliwon surya kaping 3 Rabingulawal tahun Jimakir Windu Sangara tahun 1666 utawi 1741 Masei.
Sinengkalan Wayang Wayangan rasaning Janma (Rasa retu Ngoyak jagad) Dhateng siti lenggahipun ing Ngawen. Atalak broto, kathah mitra ingkang manggihi, Ambebujuk balela. Hing warsa Alip 1667 utawi 1741 Masei. Hanunggil Sunan Kuning hambedhah Kraton Kartosuro. Hangsal pusaka wangkingan tuwin mendet Kyai Bedhudhak.
Anem wulan Sunan Kuning kajudhak linggar dhateng Randhulawang Mataram. Jejuluk Sunan Ginaib. Hing tahun 1668 Ehe, nusul Sunan Kuning wonten Randhulawang, angirit wadya sentana saking Nglaroh cacah 300. Katampen dados Senapati. Paparab Kanjeng Pangeran Prang Wadana. Sareng Sunan Kuning Kengser mangetan medhal nunggil Martopuro, hingkang paparab Pangeran Puger. Kanthi Kanjeng Pangeran Singasari. Kanjeng Pangeran kahaturan dados Tungguling jurid Makuwon ing Majarata. Lajeng peparap Pangeran Adi-pati Mangkunegara ing tahun Jumadilawal 1669 dipun lurugi saking Kartasura. Pamugarinipun KPH Mangkubumi. Wadya majarata kasoran.
Kanjeng Pangeran Adipati (RM Sahit) mingser dhateng Matesih. Damel barisan malih. Hanyarengi pindhahipun saking Kartasura dhateng Surakarta tahun 1670 utawi 1745 Masei. KGPAA Mangkunegara pindhah dhateng Panambangan tanah Nglaroh. Arsa jumeneng Nata jejuluk Kanjeng Sultan Hadiprakosa Lelana Jayamisesa. Sasampuning kundhang dha-teng wadya, sanalika dhamparipun kasamber gelap (bledhek). Kanjeng Gusti Persapa, sareng enget rumaos mboten kalilan jumeneng Nata. Tedhak turunku aja nganti linggih dhampar kaya ratu.
Dados wangsul asma Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Mangkunegara. Hing warsa Dal 1671 utawi 1744 Masei. KGPH Mangkubumi lolos saking praja, makuwon ing Sukowati. KGPAA Mangkunegara mentas kasoran jurit, kersa hangayom dhateng ingkang Paman ing Sukowati.
Lampahipun kampir dhateng ardi Sumakaton, kapanggih Ajar Adirasa Adisoro. Kahaturan tarakbrata wonten ardi Ngadeg. Kaleksanan tigang wulan. Kaparingan pusaka waos Kyai Dhudha, tuwin tambur Kyai Slamet. Tumunten mandhap sowan dhateng Sokawati. Katampen kadadosaken Senapati. Asma lestantun, tansah unggul yudanipun. Hing warsa Be 1678, Kanjeng Gusti pethal kaliyan KGPH Mangku-bumi.
Wiwit sami bedhamen kaliyan Perusahaan dunia, tuwin Sampeyandalem Hingkang Sinuhun Paku Buwono kaping III. Kanjeng Gusti Mangkubumi lajeng jumeneng Sultan wonten Ngayogyakarta. Hing Warsa Jimakir 1682. Kanjeng Gusti Mangkunegara kundur njujug dalem Mangkuyudan. 4 Juma-dilakir tahun Jimakir Windu Sancaya tahun 1757 Masei. Sinengkalan: Mulat Sarira Hangrasa Wani. Saweneh babat nyangkalani: Panembahing Dipangga Angoyak Bumi.
Kajumenengaken Senapati dening hingkang rayi nak sedherek Sampeyandalem Hingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwono III. Kaparingan 4000 karya. Sarta sesebutan Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Mangkunegara I. Hanyarengi ing dinten Sabtu Legi 5 Jumadilawal Alip 1683 Mase 28 - 12 - 1757. Suruddalem ing dinten Senen Pon 11 Jumadilakir tahun Jimakir 1722 Windu Kuntara 1793 Masei. Jumenengdalem 40 tahun, dumugi yuswa 72 warsa.
Sumare wonten ardi Ngadeg. Sangkala Paksa lara pandhiteng rat. Nalika lelana kaliyan KGPH Mangkubumi kapundhut mantu. Dhaup kaliyan R.Aj. Inten, mios saking Prameswari. Peputra satunggal putri, lajeng seda. Saterusipun lajeng pegatan. Wonten ing Laroh Kanjeng Gusti mundhut ampil anakipun Kyai Nuriman. Kaparingan nama R.Ay. Kusumo Patahati. Tembenipun dado R.Ay. Mangkunegara. Ampil sedaya wonten 6. Putra-putri wonten 25. Ingkang seda I ingkang mboten peputra 3.
Putra-putridalem: BRAj Supiyah seda timur, KPH Prabuwijoyo, krama angsal GKR Alit. Putridalem Sampeyandalem Hingkang Sinuhun Paku Buwono III, RAj Sombro krama angsal R.T. Yudonegoro Bupati Banyumas, RAj Temu krama angsal R.T. Suryonegoro, RAj Sri, dewasa ngarang ulu, RAj Semi krama angsal R.Ng. Wongsodirjo, RAj Semu krama angsal RMH. Suryodiprono, RM Slamet KPAA Purbonegoro ing Kediri krama angsal putridalem Sampeyandalem Hingkang Sinuhun PB III, mios saking KR Beruk.
RAj Condro angsal Bupati Tegal Reksonegoro, RMA Suryoditruno, RAj Srendhel, angsal Bupati Pathi R. Adip Mangkusumo, RAj Suliah, angsal R.T. Puspokusumo, KPH Sugondo, krama angsal putridalem PB III, KPA Suryomarjoyo, Bupati Wirosobo, KPA Suryokusumo, Bupati Pace, RAj Satiyah, angsal R.T. Surohadimenggolo, Bupati Ter-boyo Semarang.
RAj Sayekti, angsal R.T. Wiryonegoro Bupati Lasem, RAj Satiyani, krama angsal R.T. Purwonegoro. RAj Sagotri, krama angsal R. Adip Citrosomo Bupati Japara. RAj Sari, krama angsal K.P. Wijoyosatoto. BRM Saroso dewasa KPA Amijoyosaroso. BRM Sangkoyo dewasa KPA Suryokaskoyo, BRM Santoso dewasa KPA Hamijoyosantoso, BRM Sayogyo dewasa KPA Amijoyodimulyo, BRM Salogo dewasa KPA Suryodilogo.
Setelah Perjanjian Salatiga ditandatangani pada tang-gal 17 Maret 1757, maka secara resmi berdirilah Pura Mangkunegaran. Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa sebagi pendirinya menjadi adipati pertama kali dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I yang hebat.
Para adipati yang pernah memerintah di Pura Mangkunegaran yaitu: Mangkunegara I (1757 - 1795), Mangkunegara II (1795 - 1835), Mangkunegara III (1835 - 1852), Mangkunegara IV (1852 - 1880), Mangkunegara V (1880 - 1896), Mangkunegara VI (1896 - 1916), Mangkunegara VII (1916 - 1944), Mangkunegara VIII (1944 - 1981), Mangkunegara IX (1987 - Sekarang).
Kanjeng Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I lahir tahun 1738 di Kartasura. Nama lainnya yaitu Raden Mas Said dan Pangeran Sambernyawa. Beliau putra ketiga Kanjeng Pangeran Arya Mangkunegara Kartasura. Raden Mas Said sejak muda sudah tampak sifat kritis dan kecerdasannya. Pada usia 16 tahun beliau keluar dari istana karena tidak setuju dengan sistem yang ada. Ketika terjadi pemberontakan Sunan Kuning dan laskar Cina, RM Said bergabung melibatkan diri.
Pada usia 18 tahun Raden Mas Said diangkat menjadi panglima perang. Gelarnya Pangeran Prangwadana Pamot Besur. Pada tahun 1746 RM Said bergabung dengan perjuangan Pangeran Mangkubumi. Beliau malah dijodohkan putri Pangeran Mangkubumi yang bernama Raden Ajeng Bruwok, Raden Ajeng Inten atau Kanjeng Ratu Bandara.
Pada tanggal 15 Jumadil Awal 1682 H atau 4 Desem-ber 1757 M diadakan perundingan di Kalicacing Salatiga sejak waktu itu Raden Mas Said diwisuda menjadi Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I yang bertahta di Pura Mangkunegaran. Hasil karya seni Mangkunegara I yaitu: Tari Bedhaya Anglirmendhung Senapaten, Bedhaya Dradamenta Senapaten, Bedhaya Sukapratama, Gendhing Udan Riris, Gendhing Udan Arum, Gendhing Kamput, Gendhing Mesem, Gendhing Carabalan Baswara, Seguran Tulisan Pegon.
Kesatuan prajurit yang telah dibangun oleh Mangkunegara I yaitu: Ladrang Mangungkung (prajurit putri), Jayengsastra, Bijigan Prajurit, Kepilih Prajurit, Tatramudita Prajurit, Margarudita, Taruastra, Mijen, Nurayu, Gulang gulang, Sarageni, Trunakrodha, Trunapedaka, Menakan, Tambakbaya, Tambakrata, Dasawani, Dasarambata, Prang-tandang, Gunasemita, Gunatalikrama, Dasamuka, Dasarati, Marangge, Nirbitan, Handaka Lawung, Handaka Watang, Kauman, Danuwirutama, Danuwirupaksa, Ciptaguna, Madyantama, Madyaprabata, Madyaprajangka, Kuthawiangun, Kurawinangun, Singakurda, Brajawenang, Maradada, Prawirasana, Prawirasekti, Samaputra.
Dari data kesatuan prajurit itu dapat dikatakan Mangkunegaran mempunyai sistem militer yang tangguh. KGPAA Mangkunegara I wafat tahun 1795. Makamnya di Gunung Adeg, Mangadeg, Karanganyar, Surakarta. Ajaran Mangkunegara I terkenal dengan sebutan Tri Dharma yaitu rumangsa melu handarbeni, rumangsa wajib angrungkebi, mulat sarira angrasa wani itu menghendaki adanya partisipasi aktif rakyat secara langsung dalam penyelenggaraan negara. Sikap elitisme dalam sebuah organisasi seharusnya dihindari oleh pemimpin.
Pergi memenuhi undangan Priyagung manca ke Salatiga, Sinuhun tidak berpakaian kebesaran dan hanya diiringi oleh Adipati Mangkupraja dengan beberapa orang bupati dan penewu serta mantri berjumlah 60 orang. Pembawa upacara 20 orang. Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Mangkunagara diiringi oleh Tumenggung Kudanawarsa dan Kanjeng Panambangan sepunggawanya, semua berjumlah 42 orang. Pembawa upacara 16 orang.
Kanjeng Sultan diiringi oleh Oprup di Yogyakarta dan Patih Adipati Suryanagara, dengan pembawa upacara 28 orang yang bersenjata 100 orang dan yang bertombak 120 orang. Dari pihak Tentara investor di Semarang datang tuan Hareking anggota Dewan Penasehat Investor, membawa serdadu 600 orang, serdadu Makasar dan Bugis 400 orang dipimpin oleh 2 orang Mayor.
Sesudah bersalam salaman dan semua duduk di tempat tempat yang telah ditetapkan, berkata wakil Investor: 'Kanjeng Sunan dan Kanjeng Sultan serta Kanjeng Pangeran Mangkunagara, saya minta datang di Salatiga untuk kerukunannya dalam hubungan persaudaraan dan agar semuanya dapat menerima keputusan yang akan kita tetapkan. Mulai sekarang, janganlah sampai ada perselisihan. Mulai saat sekarang tanah di kerajaan Jawa saya paroh. Kanjeng Sultan memiliki separohnya.'
Kanjeng Susuhunan menjelaskan: 'Hendaknya bagian kamas Pangeran Adipati Mangkunagara diambil lebih dahulu, barulah tuan bagi.' Kanjeng Sultan menyahut: 'Tuan, bilamana sebelum diparoh, lebih dahulu diambil untuk anakmas Mangkunagara, itu berarti tidak 'sigar semangka' masing masing bagian sama. Bilamana anak¬mas Pangeran Adipati Mangku-nagara ikut ke Surakarta, anak Prabulah yang menyediakan jatahnya, dan demikian pula kalau ikut ke Yogyakarta, sayalah yang menjamin bagiannya.
Kanjeng Sunan dengan cepat menetapkan, bahwa untuk Pangeran Mangkunagara disediakan olehnya tanah seluas 1.000 karya. Atas pertanyaan wakil Investor, Pangeran Mangkunagara menjawab: 'Kalau hanya diberi 1.000 karya, saya tidak mau. Boleh atau tidak, saya minta 10.000 karya, dan tanah yang sudah di tangara saya, hendaklah tetap milik saya.'
Kanjeng Sultan menyatakan: 'Bila anakmas Mangkunagara ikut saya, saya setuju memberi 4.000 karya kepada-nya.' Kanjeng Susuhunan tidak melepaskan Kanjeng Pangeran Mangkunagara ikut Kanjeng Sultan, sedang Kanjeng Pangeran Mangkunagara sendiri tetap minta agar tanah yang sudah di tangannya tetap menjadi miliknya. Karena satu sama lain ber-sitegang, maka wakil Investor mengambil keputusan: Kanjeng Pangeran Mangkunagara diberi jatah tanah 4.000 karya, dan tanah yang sudah ditangannya tetap menjadi haknya.
Kediaman Pangeran Mangkunagara ikut Kanjeng Sunan di Surakarta. Baik Kanjeng Sunan maupun Kanjeng Pa-ngeran Mangkunagara menerima baik ketetapan tuan Hareking, kemudian Kanjeng Pangeran Mangkunagara minta wewenang berpakaian seperti Kanjeng Susuhunan dan duduk berjajar dengan Ingkang Sinuwun.
Wakil tentara Investor Hareking dengan bijaksana memutuskan, menyetujui permintaan Kanjeng Pangeran Mangkunagara, tetapi dengan ketentuan sebagai berikut: (1) Kanjeng Pangeran Mangkunagara tidak boleh duduk di atas dampar kursi kerajaan, (2) Tidak diperbolehkan membuat alun-alun, (3) Tidak boleh membuat Bale Witana atau Balai Penghadapan, dan (4) Tidak boleh me-mutuskan hukuman mati. Sesudah semuanya sarujuk, maka Nawala Perjanjian Salatiga ditanda-tangani oleh Kanjeng Su-suhunan, Kanjeng Sultan dan Kanjeng Pangeran Mangkunagara.
Selesai penandatanganan Perjanjian, 200 orang serdadu Investor memberi penghormatan dengan melepaskan tembakan bersama 3 kali, kemudian disusul tembakan meriam 21 kali. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 5 Jumadilawal, Alip 1683 Jawa atau 1757 Masehi. Keakraban Kanjeng Sinuhun dengan Kanjeng Pangeran Mangkunagara bersinambungan dengan putera Mangkunagara, Raden Mas Sura diambil menantu oleh Kanjeng Susuhunan, dinikahkan dengan puterinya, Kanjeng Ratu Alit.
Dari pernikahan itu lahir seo-rang putera yang diberi pangkat Pangeran dengan nama Prabuwijaya. Kemudian disebut Raden Mas Slamet dan diangkat sebagai putera Kanjeng Pangeran Mangkunagara dan kemudian diberi nama Pangeran Arya Prabu Prangwadana.
Kanjeng Sultan Yogyakarta kecewa terhadap Pangeran Adipati Mangkunagara yang berlindung kepada Susuhu-nan Surakarta. Dari airmukanya tampak bahwa Pangeran Adipati Mangkunagara tidak takut sowani kekecewaan Kanjeng Sultan, tetapi hal itu ditutupi dengan sikap yang berpura pura. Kanjeng Sultan utusan minta agar Pangeran Adipati Mangkunagara membawa garwanya, Kanjeng Ratu Bendara sowan ke Yogyakarta karena Kanjeng Sultan rindu kepadanya, tetapi panggilan itu sampai 3 kali tidak dihiraukan oleh sang Pangeran.
Permintaan terakhir dengan dalih Kanjeng Sultan gerah, tetapi Pangeran Adipati Mangkunagara juga tidak kunjung sowan Kanjeng Ratu Bandara kepada ayahandanya. Hal tersebut akhirnya terlaksana dengan jasa baik tuan Oprup di Yogyakarta yang bersama Kanjeng Pangeran Adipati Anom mengantarkan Kanjeng Ratu Bendara sowan ayahandanya Kanjeng Sultan di Yogyakarta.
Kepada Kanjeng Pangeran Adipati Mangkunagara tuan Oprup di Surakarta menanggung kembalinya Kanjeng Ratu Bendara, manakala sesudah sowan Kanjeng Sultan tidak dipalilahkan kembali ke Mangkunagaran. Dengan demikian Kanjeng Ratu Bendara dilepaskan oleh sang Pangeran untuk sowan ayahandanya. Agak lama Kanjeng Ratu Bendara tidak kembali ke Mangkunagaran.
Kanjeng Pangeran Mangkunagara mengadu kepada tuan Oprup di Surakarta yang semula menanggung kembalinya Kanjeng Ratu Bendara kepada suaminya. Hal tersebut menemui jalan buntu sehingga Gubernur di Betawi turun tangan karena hal itu dianggap memungkinkan kerenggangan antara Kanjeng Sultan dan Pangeran Adipati Mangkunagara, akhirnya dapat mengganggu keakraban, bahkan keamanan. Atas nasehat Anggota Dewan Investor di Semarang, wakilnya di Yogyakarta bertemu dengan Kanjeng Ratu Bendara dihadapan Kanjeng Sultan di Kraton Yogyakarta.
Kanjeng Ratu Bendara memberi kepastian kepada wakil tentara Investor, tidak bersedia kembali kepada suaminya. Bila dipaksa, lebih baik mati. Karena ketegangan itu tak dapat diredakan, maka wakil tentara Investor di Semarang memerintahkan agar Kanjeng Ratu Bendara datang di Semarang bersama dengan Patih Danureja dan Pengulu hakim di Yogyakarta. Dari Surakarta didatangkan Penghulu hakim.
Pengulu-pengulu hakim itu akan dipertemukan dengan para pengulu di pesisir untuk mengupayakan menyele-saikan menurut adat Jawa dan agama Islam. Kanjeng Ratu Bendara datang ke Semarang diiringi Pangeran Pakuningrat, Patih Danureja dan Pengulu hakim. Dari Surakarta datang wakil tentara Investor, Pengulu hakim dan Pangeran Mangkuyuda.
Pertemuan di kediaman wakil Tentara Investor di Semarang dihadiri oleh Kanjeng Ratu Bendara, para pengiringnya dari Yogyakarta termasuk Pengulu hakim, dari Surakarta Tumenggung Mangkuyuda dan Pengulu hakim, dan dari pesisir beberapa orang Ulama.
Pembicaraannya tentang hukum; bilamana seorang garwa menolak kembali kepada suaminya. Sesuai dengan hukum adat dan agama, sang garwa berhak meminta cerai yang disebut 'rapak', tetapi diharuskan memberi 'pemancal' ganti rugi atau ganti kehormatan. Akhirnya terjadi perceraian sah Kanjeng Ratu Bendara dari Pangeran Adipati Mangku-nagara dengan jalan 'rapak', sedang sebagai 'pemancal' Kanjeng Sultan memberikan tanah di Pajang. Dalam keputusan itu ditambahkan oleh Pangeran Adipati Mangkunagara, bahwa Kanjeng Ratu Bendara tidak boleh dinikahkan selama suaminya masih hidup.
Peristiwa itu terjadi pada tanggal 15 Jumadilawal 1869 Jawa atau 1763 Masehi. Ternyata kemudian bahwa Kanjeng Ratu Bendara dinikahkan dengan Pangeran Dipanagara. Pangeran Adipati Mangkunagara akan mengusik hal itu, tetapi disabarkan oleh wakil tentara Investor dan dihibur dengan kepastian bahwa tanah di Yogyakarta dan Surakarta yang dikuasai sang Pangeran tetap menjadi miliknya.
Pada saat hubungan Kasultanan dan Mangkunagaran meruncing, terjadilah seorang abdi Mangkunagaran berasal dari Yogyakarta bernama Ngabei Matangrasa nyidra milik Mangkunagara dengan jalan memanjat pagar. Sang Panyaran kuciwa ing galih sekali dan berpendapat kejadian itu karena parintah Adipati Anom Yogyakarta. Hal itu sampai diadukan kepada wakil Tentara Investor yang berhasil menyabarkan sang Pangeran.
Kanjeng Sunan menderita gerah yang makin lama makin parah dan akhirnya mangkat. Sebagai penggantinya diangkat Adipati Anom dengan gelar: Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Paku Buwono kaping IV Senapati Ing Ngalaga Ngabdurakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah ing Surakarta. Peristiwa itu terjadi pada hari Senen Paing tanggal 29 Besar, tahun Jimakir, 1714 Jawa atau 1787 Masehi.
Kanjeng Susuhunan Paku Buwono IV mengadakan banyak perubahan, antara lain: Pakaian prajurit kraton semula berpakaian Investor barat, diganti berpakaian Jawa; Tiap hari Jumaat tidak pernah terlampaui Kanjeng Sunan mesti salat Jumaat di mesjid besar. Kanjeng Susuhunan sangat patuh kepada agama Islam.
Tiap hari Sabtu pada waktu Kanjeng Sinuhun berkenan watangan main tombak kecil di atas kuda, semua abdi¬dalem diharuskan memakai sorban putih. Kanjeng Sinuhun sama sekali tidak mau meneguk minuman keras. Yang diminumnya air panas atau teh.
Kanjeng Susuhunan mempunyai 6 orang abdi yang amat dikasihinya, yakni: 1. Raden Santri; 2. Pangeran Pane-ngah; 3. Rade Wiradigda; 4. Raden Kanduruwan; 5. Kyai Bahman; 6. Kyai Nursaleh. Mereka diangkat sebagai pinisepuh dan penasehat Raja. Tiap malam 6 orang abdi dalem itu tentu sowan Ingkang Sinuwun.
Percikan air kali Serang menyejukkan hati. Maka proses Penandatanganan berdirinya Pura Mangkunegaran ini menjadi awal untuk melakukan pemberdayaan sastra budaya yang adiluhung di wilayah Wonogiri, Pacitan dan Karanganyar. Dari perjanjian Salatiga inilah kebangkitan sastra budaya berkembang dengan sangat baik. Rasa optimis terhadap masa depan kerajaan Mataram menemukan kesempatan.
Hubungan gunung dengan diplomasi kenegaraan amat erat. Sejak Joko Tingkir gunung Merbabu dijadikan sarana refleksi kepemimpinan.
Pangeran Sambernyawa sebelum dilantik menjadi penguasa di wilayah Pura Mangkunegaran. Terlebih dulu siram jamas di Kali Serang.
Lara lapa tapa brata seperti Joko Tingkir. Kejernihan air Kali Serang, lantas memantabkan diri sebagai Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I.
Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa memberi prasapa, ajaran tri darma. Rumangsa melu handarbeni. Rumangsa wajib hangrungkebi. Mulat sarira hangrasa wani.
C. Air Kali Serang Menjernihkan Diplomasi Pura Paku Alaman.
Tanggal 17 Maret 18 13 Pura Paku Alaman resmi berdiri. Pangeran Notokusumo bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Paku Alam I.
Kontrak politik diresmikan oleh Gubernur Jenderal Raffles. Selaku wakil pemerintah Kerajaan Inggris Raya. Sejak pagi gendhing Monggang berkumandang. Tanda penobatan Pangarsa istana pura.
Malam sebelumnya Pangeran Notokusumo tapa kungkum di Kali Serang. Dengan dikawal abdi dalem purwo kinanthi. Layaknya lelaku yang dijalankan oleh Joko Tingkir.
Siram jamas untuk sesuci diri di kali serang. Pangeran Notokusumo mulai mantab untuk memimpin pura Paku Alaman. Sejenak peristiwa historis perlu ditinjau ulang.
Berdirinya Pura Paku Alaman tanggal 17 Maret 1813. Bermula dari diplomasi tingkat tinggi yang dilakukan oleh Trah Mataram. Berada di bawah kaki Gunung Merbabu yang berhawa sejuk.
Perjanjian Tuntang Salatiga menjadi tanda berdirinya Puro Pakualaman Yogyakarta. Pengesahan ini dilakukan oleh Gubernur Jendral Raffles pada tanggal 17 Maret 1811. Pangeran Notokusumo dinobatkan menjadi Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Paku Alam I.
Keindahan gunung Merbabu memikat hati. Raffess adalah tokoh hebat. Akrab dengan masyarakat Salatiga. Pernah melakukan wisata berkuda. Rute tengaran Susukan, Karanggede. Saat istirahat di Pasar Susukan sempat kuliner sego jagung dengan lawuh bothok teri. Suguhan sayur adas dan kikil jamu. Disantap di pinggir kali Serang sambil mancing. Rasanya serba nyamleng.
Aliran Kali Serang berair kinclong. Adanya prestasi gemilang kota Salatiga lereng gunung Merbabu amat penting. Keberadaan Kadipaten Pakualaman dalam sejarah Kerajaan kerajaan di Jawa tampaknya tidak dapat dipisahkan adanya persaingan elite politik atau bangsawan. Dalam perjalanannya Kadipaten Paku alaman telah mengalami dinamika perkembangan yang ditandai adanya pergantian pemerintahan mulai dari Paku Alam I sampai dengan Paku Alam VIII.
Salatiga lereng gunung Merbabu perlu dikenang oleh Dinasti Mataram. Untuk mendapatkan gambaran tentang Kepala Dinasti Kadipaten Pakualaman, maka uraian akan dijelaskan secara rinci dan singkat mulai dari Paku Alam I sampai dengan Paku Alam VIII, serta profil Paku Alam IX. Yeeldijk yang pernah menjadi Residen Yogyakarta, mengatakan bahwa permasalahan yang dihadapi Pangeran Notokusumo dan RT Notodiningrat masih kurang jelas baginya. Ditambahkan, bahwa Pangeran Notokusumo dan RT Notodiningrat dituduh berkomplot dengan R. Rangga yang memberontak. Tuduhan ini sebenarnya hanya dipergunakan sebagai alasan yang tidak wajar untuk mengelabui mata orang.
Dengan demikian wilayah Salatiga menjadi tempat penting bagi dinasti Mataram. Alasan yang sebenarnya, Pangeran Notokusumo dituduh ingin menjatuhkan Pangeran Adipati Anom dan RT Notodiningrat dituduh akan mendongkel Patih Danurejo. Sementara itu hubungan tidak baik antara GKR Kencono Wulan dengan Pangeran Adipati Anom merupakan latar belakang yang ikut memperburuk situasi politik pada waktu itu.
Semua itu adalah karena Pangeran Adipati Anom mendapat hasutan dari provokator yang ingin menjatuhkan eksekutif. Melalui penderitaan dan perjuangan yang panjang. Beliau dipindah dari satu kota ke kota lain, akhirnya sesudah Pangeran Adipati Anom dinobatkan oleh Gubernur Inggris sebagai Sultan Hamengku Buwono III di Loji, tempat kediaman Minister Residen Inggris. Orang internasional sudah biasa interaksi di kota Salatiga, kaki gunung Merbabu.
Sebaiknya trah Mataram belajar atas sejarah kota Salatiga dan sekitarnya maka pada esok harinya, Senin 29 Juni 1812 Pangeran Notokusumo dinobatkan oleh Gubernur Jenderal Raffles sebagai Pangeran Merdiko di dalam kraton, dengan gelar KGP Adipati Paku Alam, sedangkan RT Notodiningrat berganti nama menjadi KP Ario Suryaningprang dan RM Salyo, adinda RT Notodiningrat menjadi KP Ario Suryaningprang. Mengenai berdirinya Kadipaten Pakualaman sekalipun Pangeran Notokusumo secara resmi telah dinobatkan menjadi Sri Paku Alam I pada hari Senin 29 Juni 1812, akan tetapi Politik Kontrak antara Gubernur Inggris dengan Sri Paku Alam baru dibuat dalam bulan Maret 1813.
Politik Kontrak ini dibuat pada tanggal 17 Maret 1813. Anehnya ialah bahwa berdirinya Kadipaten Pura Mangkunegaran pun terjadi pada tanggal 17 Maret, sebab perjanjian Salatiga antara investor dengan Sri Mangkunegara dibuat pada tanggal 17 Maret 1757. Berita tu tersebut dalam Gedenkschrift 25 jarig bestuurjubileum Paku Alam VII. Tokoh Salatiga yang mewarisi semangat juang leluhur yakni Matori Abdul Jalil. Ketua partai ini pernah menjabat sebagai Menteri Pertahanan.
Trah Mataram mewarisi budaya Pajang. Gunung Merbabu dianggap wingit wigati. Dengan demikian maka pada tanggal 17 Maret 1813 Pangeran Notokusumo menerima jabatannya sebagai Sri Paku Alam I dari gubernur Inggris, dan dengan demikian pula nama bagi dinasti Pakualaman diletakkan dasar dasarnya.
Dalam bukunya tentang Verhouding der Vorsten terdapat ulasan menarik. Raffles mengingat jasa jasa Pangeran Notokusumo, mengangkat beliau sebagai Pangeran Merdiko, dengan gelar Pangeran Adipati Paku Alam. Sumbangan wilayah Salatiga bagi perkembangan kerajaan Jawa sungguh besar. Raffles meninggalkan jejak manis di sepanjang aliran Kali Tuntang Tengaran.
Kesadaran historis ini hendaknya diresapi dengan sepenuh hati. Lara lapa tapa brata. Sejarah menawarkan keutamaan. Komunitas seni budaya sekitar Gunung Merbabu telah menyumbang penulisan Kesusasteraan bermutu tinggi.
Hulu Merbabu menawarkan kejernihan. Pangeran Notokusumo mengikuti jejak Joko Tingkir. Leluhurnya menjalankan lelaku di gunung Merbabu dan Kali Serang.
Pangeran Notokusumo pendiri dinasti Pura Paku Alaman. Pewaris Trah Mataram ini memiliki peristiwa historis di Kali Tuntang dan Kali Serang.
D. Manekung di Merbabu Ngeli di Kali Serang.
Guru Joko Tingkir bernama Ki Ageng Banyubiru. Seorang pertapa di Rawa Pening yang sakti mandraguna.
Bertapa di gunung Merbabu dilakukan Joko Tingkir atas perintah Ki Ageng Banyubiru. Ndaru keprabon cumlorot dalam diri pribadi. Segera Joko Tingkir disuruh sowan ke Demak Bintara dengan tapa ngeli. Di situlah jalan kemuliaan terbentang luas.
Masyarakat yang tinggal di lereng gunung Merbabu punya tradisi literasi. Mereka menulis Sastra puja mantra. Dari generasi ke generasi japa mantra ditulis dalam metrum tembang macapat. Contohnya di daerah Cepogo, Selo, Ampel.
Kebudayaan Salatiga bersumber dari nilai historis yang sudah berkembang selama berabad abad. Nilai kearifan lokal ditulis dalam wujud Sastra piwulang. Tradisi Sastra Merbabu berlangsung sejak jaman kerajaan Kahuripan.
Misalnya penyalinan kitab Arjuna Wiwaha, karya Empu Kanwa.
Pada tahun 1749 Sinuwun Paku Buwana III menyalin dalam bentuk tembang macapat, dengan judul serat Wiwaha Jarwa.
Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Berikut adalah daftar Walikota Salatiga yang selalu berdarma bakti bagi ibu pertiwi. Gunung Merbabu dengan pemandangan indah amat memukau. Hal ini memberi inspirasi bagi sekalian pemimpin.
1. R. Patah, 1950-1950
- MS Handjojo (penjabat),
1950-1950
2. M. Soedijono, 1950-1957
3. Soewandi Martosoewojo, 1957-1961
4. Bakri Wahab, 1961-1966
5. Letkol S. Soegiman, 1966-1976
6. Kol. Pol. S. Ragil Pudjiono, 1976-1981
7. Djoko Santoso BA, 1981-1986
8. Doelrachman Prawiro Soediro, 19896-1991
9. Drs. Indra Suparno, 1991-1996
10. Drs. Soewarso, 1996-2001
11. H. Totok Mintarto, 2001-2007
12. John Manuel Manoppo, 2007-2011
13. H. Yulianto S.E., M.M., 2011-2016 dengan wakil Drs Muh Haris M.Si.
- Drs. Agus Rudianto, M.M.(Penjabat), 2016
- Drs. Achmad Rofai M.Si (Penjabat), 2017
14. H. Yulianto S.E., M.M, 2017. Dengan wakil Walikota Drs Muh. Haris M.Si.
Kota Salatiga terdiri dari empat kecamatan. Yakni Argomulyo, Sidomukti, Sidorejo, Tingkir. Legalitas kota Salatiga berdiri sejak tahun 1917. Tepat di bawah kaki gunung Merbabu yang menjulang tinggi.
Tempat bersejarah berada di kawasan Gunung Merbabu, Gunung Ungaran, Gunung Telamaya, Gunung kendhali Sada. Generasi muda bisa belajar sejarah keagungan masa lampau yang gemilang. Joko Tingkir belajar olah rasa.
Lingkungan pegunungan Merbabu mencatat peristiwa historis. Gunung Merbabu tempat bersemedi Raden Kebo Kanigoro, putra Kanjeng Adipati Handayaningrat atau Sri Makurung Bupati Pengging. Ibunya adalah Ratu Pembayun putri Prabu Brawijaya V raja Majapahit.
Kelak Raden Kebo Kanigoro menjadi pengasuh Joko Tingkir. Tanggal 1 Juli 1546 Joko Tingkir dinobatkan sebagai raja Kraton Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijaya Kamidil Syah Alam Akbar Panetep Panatagama.
Joko Tingkir pernah bertapa di Gunung Telamaya, bermimpi kejatuhan bulan, bersamaan dengan bergetarnya gunung, bergemuruh suaranya sehingga aku kaget. Mimpi itu sangat baik, itulah raja mimpi. Ki Ageng Sela menyuruhnya untuk mengabdi pada Kanjeng Sultan Demak, disitulah tabir mimpi akan terkuak. Ki Ageng Sela meminta agar keturunannya besok diperbolehkan meneruskan wahyu.
Joko Tingkir kemudian pergi ke Demak.
Saat itu yang memerintah negara Demak adalah Putra Raden Trenggana, bernama Kanjeng Kanjeng Sultan Jimbun Pameksa. Joko Tingkir telah lama mengabdi disana, dikasihi oleh raja serta diserahi tugas sebagai lurah tamtama. Joko Tingkir diambil sebagi anak oleh raja serta diperbolehkan masuk istana.
Raja berkehendak menambah perwira tamtama, tapi harus melalui pendadaran dengan menempeleng kepala kerbau hingga remuk.
Ada seorang dari Kedu Pingit, bernama Dadungawuk. Wajahnya kaku, jelek dan dia sering menyombongkan kesaktiannya. Dia hendak mengabdi ke Demak sebagai tamtama. Dia sudah melapor kepada lurah Tamtama. Dadungawuk ditanya, apakah dia sangup dicoba untuk ditusuk. Dia menyanggupinya. Joko Tingkir mendekatinya serta memasukkan sadak di dada Dadungawuk dada pecah dan mati. Perwira tamtama yang ada di depan diperintahkan menusuknya dengan keris. Mayat Dadungawuk luka berat disekujur tubuhnya. Hal itu didengar oleh raja. Beliau marah sekali. Joko Tingkir diusir dari negara Demak.
Midering rat angelangut, lelana njajah negari. Joko Tingkir sangat kecewa mengingat kelakuan sendiri. Di Gunung Kendeng, Joko Tingkir bertemu dengan Ki Ageng Butuh. Beliau lantas mengajarkan pendadaran dengan mawas diri.
Pusaka Ki Ageng Mangir bernama Tombak Kyai Baru Klinthing. Naga Baru Klinthing menjulurkan lidah mengintari gunung Telamaya, sebelah gunung Merbabu. Potongan lidah berubah menjadi pusaka tombak Kyai Baru Klinthing.
Tapa ngeli dilakukan Joko Tingkir. Dari hulu gunung Merbabu Joko Tingkir mesu budi. Kali Serang mengalir dari Hulu gunung merbabu melewati Tengaran, Sudukan, Karanggede, Wonosegoro, Purwodadi, Kudus, Demak, Jepara. Berakhir di hilir pantai Kedung malang Jepara. Perjalanan Joko Tingkir lewat Kali Serang atas saran Ki Ageng Banyubiru.
Lereng gunung Merbabu Kota Salatiga menjadi tempat gemblengan pribadi Joko Tingkir. Dengan tujuan mendapat drajat pangkat semat, wirya arta winasis, guna kaya purun.
Gunung Merbabu dianggap sebagai ibu yang menaungi bumi pertiwi. Gunung Merapi dipercaya sebagai bapak yang menjunjung derajat. Kedua gunung ini diasuh oleh gunung bibi.
Kepercayaan Jawa itu diwujudkan dalam bentuk bangunan Pesanggrahan. Maka Karaton Surakarta Hadiningrat menghormati dengan membangun Pesanggrahan di kawasan pegunungan.
Pesanggrahan Deles di Kemalang Klaten, selatan Merapi. Pesanggrahan Pracimaharja di Paras Boyolali, sebelah timur gunung Bibi. Gunung Merbabu mendapat pengawalan Pesanggrahan Ngeksipura, Madisita dan Indramarta.
Dengan membangun Pesanggrahan itu, gagasan besar Joko Tingkir untuk mewujudkan peradaban besar. berlanjut terus. Kraton Pajang, Mataram dan Surakarta Hadiningrat selalu mewariskan seni edi peni, budaya adi luhung.
Kali Serang berhulu dari Gunung Merbabu. Setelah leleku di puncak gunung Merbabu, Joko Tingkir mendapat dhawuh dari Ki Ageng Banyubiru. Sepanjang aliran Kali Serayu, Joko Tingkir melakukan tapa ngeli.
Dari Tengaran Joko Tingkir tapa ngeli sampai Kerajaan Demak Bintara. Kali Serang menjadi tempat penggemblengan diri, agar menjadi manusia unggul ulung. Sebagai sarana pengabdian buat sesama.
Oleh Dr Purwadi, M.Hum. Ketua Lembaga Olah Kajian Nusantara, LOKANTARA. Hp 087864404347
Karya Bapak Doktor Purwadi memang hebat
BalasHapus