Kamis, 07 Januari 2021

SEJARAH KABUPATEN SIDOARJO

A.Makna Luhur Kabupaten Sidoarjo. 

Sidoarjo bermakna keberhasilan dalam mewujudkan kemakmuran. 

Sesungguhnya Sidoarjo memiliki nilai yang amat luhur dan mulia. Sidoarjo berasal dari dua kata, Sido dan Arjo. Sido artinya keberhasilan, arjo artinya kemakmuran. Dalam sejarahnya masyarakat Sidoarjo selalu ginanjar makmur lahir batin. Nama Sidoarjo merupakan anugerah Sinuwun Paku Buwono VII pada tanggal 13 Januari 1854.

Kedatangan Sinuwun Paku Buwono VII di Gedung Graha Agung Surabaya atas undangan Adipati Yudonagoro yang sedang mantu putrinya. Hadir pula Bupati Pamekasan, Adipati Cakraningrat IV. Bupati Sumenep, Adipati Notokusumo II. Mereka pejabat negara yang masih mempunyai hubungan keluarga dekat. Paku Buwono VII sebagai raja kraton Surakarta Hadiningrat dikenal sebagai narendra gung binathara, mbahu dhendha nyakrawati, ambeg adil paramarta, ber budi bawa laksana.

Sinuwun Paku Buwono VII berdarah Madura.

Ibunya bernama Raden Ayu Sukaptinah, putri Bupati Pamekasan, Adipati Cakraningrat II. Raden Sukaptinah menjadi garwa Prameswari Sinuwun Paku Buwono IV (1788 – 1820), dengan gelar Kanjeng Ratu Kencono atau Ratu Handoyowati. Kakek dari bapak dan ibunya masih keturunan Bupati Surabaya dan Sumenep. Pertemuan keluarga ini dijadikan sebagai sarana untuk menjalin persaudaraan.

Dari pembicaraan semi formal itu, diusulkan untuk meningkatkan daerah Sidokare menjadi Sidoarjo.

Lebih dari itu Sidoarjo hendak dijadikan daerah otonom dengan status kabupaten. Gagasan mulia ini berlandaskan faktor historis, filosofis dan geografis. Sinuwun Paku Buwono VII memang ahli dalam bidang sejarah, sastra, budaya. Kunjungan ke Surabaya kali ini juga disertai pujangga Raden Ngabehi Ranggawarsita.

Penasihat kraton Surakarta ini menjelaskan sejarah Kahuripan yang didirikan oleh Prabu Airlangga tahun 1042. Kerajaan Kahuripan nanti dibagi menjadi kraton Jenggala dan Daha. Kraton Jenggala beribukota di Sidoarjo. Kraton Daha beribukota di Kediri. Jaman Kahuripan dan Jenggala masyarakat Sidoarjo betul-betul sukses gemilang. Kraton Jenggala yang dipimpin Prabu Surya Amiluhur membangun pelabuhan Ujung Galuh. Rakyat hidup ayem tentrem subur makmur, murah sandang pangan papan.

Semua hadirin yang mengikuti paparan pujangga Ranggawarsita  di Graha Agung Surabaya makin mantab hatinya. Pada tahun 1337 Raja Majapahit, Tri Bhuana Tunggadewi melakukan upacara Sarada di daerah Tarik. Dengan tujuan untuk mengenang jasa para pendiri kerajaan Majapahit yang pernah babat alas Tarik. Turut serta dalam perjuangan Raden Wijaya yakni segenap masyarakat Sidoarjo. Mereka berasal dari Buduran, Balongbendo, Candi, Gedangan, Jabon, Krembung, Krian, Porong, Prambon, Sedati, Sukodono, Taman, Tanggulangin, Talangan, Waru, Wonoayu.

Prabu Hayamwuruk memerintah kerajaan Majapahit tahun 1350 – 1386. Didampingi Mahapatih Gajahmada kerap melakukan tata cara adat di Gunung Penanggungan. Delapan puncak meliputi gunung Wangi, gunung Bendo, gunung  Sarahklapa, gunung Jambe, gunung Gambir, gunung Mengkur, gunung

Kumuncup, gunung Bekel. Patih Gajahmada membuat konsep sumpah Palapa. Sedang Empu Prapanca menyusun kitab Negara Kertagama. Empu Tantular menyusun kitab Sutasoma yang berisi tentang Bhinneka Tunggal Ika.

Asal usul Sidoarjo yang hebat ini, sudah selayaknya bila dimekarkan menjadi kabupaten otonom. Untuk persiapan pemekaran wilayah, maka ditunjuk pejabat yang berpengalaman, berilmu, berwawasan dan berbudi pekerti luhur. Ditunjukkanlah Raden Ngabehi Joyoharto sebagai panitia pembentukan kabupaten. Demi kelancaran tugas, diutus Wedono Bagus Ranuwiryo selaku sekretaris panitia. Patih Joyoharjo melaksanakan tugas dengan penuh pengabdian.

Lila lan legawa kanggo mulyane negara. Panitia pembentukan kabupaten Sidoarjo diberi waktu selama tiga tahun.

Pembiayaan pembentukan kabupaten Sidoarjo berasal dari subsidi pemerintah kraton Surakarta. Lantas dibantu anggaran dari kabupaten Sumenep, kabupaten Pamekasan dan kabupaten Surabaya. 

Adipati Yudonagoro melaksanakan perintah Sinuwun Paku Buwono VII dengan bersemangat. Mereka sama-sama bangsawan keturunan Arya Wiraraja. Solidaritas mereka demi mewujudkan kabupaten Sidoarjo yang panjang punjung pasir wukir, gemah ripah loh jinawi, tata tentrem karta raharja.

B. Berdirinya Kabupaten Sidoarjo. 

Upacara Peresmian Kabupaten Sidoarjo. 

Perencanaan, penelitian dan pembangunan Kabupaten Sidoarjo dilakukan dengan rapi dan teliti. Sayang sekali pada tanggal 10 Mei 1858 Sinuwun Paku Buwono VII atau Raden Malikis Sholikin ini wafat. Padahal infrastruktur kabupaten Sidoarjo hampir selesai. Tapi semua sudah menjadi takdir. Manusia berusaha, Tuhan yang akan menentukan. Patih Joyoharjo, Wedono Bagus Ranuwiryo siang malam bekerja keras. Beliau berdua berkantor di daerah Pucang Anom.

Tugas mulia untuk membentuk Kabupaten Sidoarjo pun paripurna. Pada tanggal 31 Januari 1859 Kabupaten Sidoarjo diresmikan oleh Kanjeng Sinuwun Paku Buwono VIII. 

Surat keputusan dibacakan oleh Patih RMA Sosrodiningrat III. Bupati Sidoarjo dijabat oleh Cokronagoro I. Beliau adalah putra GRAy Maknowiyah, putri Sinuwun Paku Buwono VII, yang menikah dengan Raden Suryaningrat, putra Adipati Yudonagoro Bupati Surabaya.

Adipati Cokronagoro I atau Pangeran Notopuro memimpin kabupaten Sidoarjo dengan arif bijaksana. 

Darahnya mengalir keagungan dinasti Surabaya, Sumenep, Pamekasan dan Mataram. Istilah yang dinamakan trahing kusuma, rembesing madu, wijining atapa, tedhaking andana warih. Adipati Cokronagoro rela berkorban, suka menolong, ramah tamah, andhap asor, rendah hati. Selalu memikirkan nasib rakyat. Amemangun karyenak tyasing sasama.

Kepemimpinan Sidoarjo dilanjutkan oleh Bupati Cokronagoro II. 

Atas dukungan Sinuwun Paku Buwono IX pada tanggal 16 Mei 1878 diresmikan stasiun kereta api Sidoarjo. Berturut-turut lantas dibangun stasiun Tanggulangin, stasiun Tukangan, stasiun Gedangan. Masyarakat Sidoarjo benar-benar suka bahagia.

Mereka bisa bepergian dengan mudah ke arah Malang, Blitar, Kediri, Tulungagung. Bisa juga dengan mudah ke arah Probolinggo, Lumajang, Jember, Banyuwangi. Untuk menuju Jawa Tengah dan Jawa Barat bisa lewat jalur utara dan jalur selatan. Sidoarjo memang harjo dan raharjo. Kabupaten Sidoarjo terus berjalan seiring dengan perkembangan jaman. Tampil sebagai daerah kosmopolit.

Masa silam, masa kini dan masa depan selalu dijalankan dengan rasa optimistis. Nuting jaman kelakone.

Di Wilayah Sidoarjo mayoritas masyarakatnya beragama Islam, maka upacara tingkepan peninggalan adat masa lalu sudah dipadu dan dimodifikasi sesuai dengan keadaan daerah setempat namun tidak meninggalkan nilai-nilai sakral yang terkandung di dalamnya.

Rakyat yang tersebar di seluruh Wilayah Sidoarjo terdiri dari bermacam-macam suku, agama, serta adanya pengaruh kondisi geografis dan sosial budaya yang bermacam-macam ini, kita temukan pranata budaya yang mempunyai ciri khas daerah di Wilayah Sidoarjo. Yang dimaksud upacara adat daerah adalah suatu kegiatan upacara yang pernah ada, hidup, mentradisi maupun yang sedang berkembang dan menjadi bagian dari kehidupan seni budaya masyarakat di daerah tersebut. 

Adat Istiadat Siraman ini dilaksnakan oleh pinisepuh upacara adat dibantu oleh saudara putri dari ibu bayi, di mana bayi tersebut disiram dengan air kembang setaman secara pelan-pelan sebanyak 9 kali, maksudnya adalah membuang sengkala yang ada pada bayi tersebut, agar suci lahir maupun batinnya, sehingga kelak setiap tingkah lakunya selalu didasari oleh kesucian. Siklus kehidupan manusia membutuhkan upacara demi kedamaian. Perjalanan adat kebudayaan suatu daerah akan banyak menghasilkan pranata budaya.

Secara menyeluruh pranata budaya menyangkut sekian banyak aspek tata cara adat kehidupan yang paling pokok. Sehingga memenuhi aspek kebutuhan yang stabil sifatnya. Upacara tudhunan (turun tanah) merupakan salah satu dari sekian banyak pranata budaya sebagai hasil perjalanan kebudayaan itu. 

Dari upacara tradisional Sidoarjo yang bersifat sakral inilah kita mencoba untuk menggali nilai-nilai budaya yang terkandung di dalam adat dan tradisi daerah untuk dikembangkan menjadi nilai positif, sehingga dapat menambah wawasan dan memperkaya khasanah budaya kita. 

Setiap insan  di Sidoarjo menyadari arti penting warisan leluhur. Upacara tudhunan (turun tanah) adalah bagian kecil dari pranata budaya yang mentradisi di dalam kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat Jawa. Tudhunan (turun tanah) dianggap sebagai suatu upacara sakral yang mengandung nilai-nilai luhur dan berkaitan dengan kehidupan manusia secara turun temurun. 

Tradisi nenek moyang itu memang dianggap penting oleh masyarakat Sidoarjo demi untuk menjaga identitasnya. Pada dasarnya upacara tudhunan (turun tanah) ini adalah bentuk ucapan syukur dan permohonan keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa, agar sang jabang bayi pada saat menginjakkan kaki pertama di bumi dapat berjalan untuk menantang hari depan yang cerah, pribadi yang luhur, bakti kepada Tuhan dan hormat kepada kedua orangtuanya, kelak dewasa menjadi putra pertiwi yang berguna bagi nusa dan bangsa serta agama sesuai apa yang dicita-citakan. 

Sejak dari jaman kerajaan Jenggala upacara adat selalu diselenggarakan oleh warga Sidoarjo. Bagi masyarakat Sidoarjo adat istiadat tetap dilestarikan. 

Upacara tingkepan adalah bagian kecil dari pranata budaya yang mentradisi di dalam kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat Jawa. Tingkepan dianggap sebagai suatu upacara sakral yang mengandung nilai-nilai luhur dan berkaitan dengan kehidupan manusia, secara turun temurun. 

Sesepuh Sidoarjo memimpin jalannya upacara. 

Pada dasarnya upacara tingkepan ini adalah bentuk permohonan keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa, agar sang Ibu hamil nantinya akan melahirkan putra atau putri dengan mudah (gangsar) dan mempunyai wajah yang cakap, cantik serta mempunyai kepribadian yang baik, berguan bagi nusa, bangsa dan agama. Upacara tradisional ini bertujuan untuk memperoleh keselamatan lahir batin. Oleh karena itu para pemimpin kabupaten Sidoarjo selalu menghormati segala adat istiadat dan upacara tradisional.

C. Para Bupati Sidoarjo  Berbakti kepada Nusa Bangsa.

1. Adipati Cokronagoro I  1859 – 1862

Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono VIII, raja kraton Surakarta Hadiningrat.

2. Adipati Cokronagoro II  1862 – 1883

Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono IX, raja kraton Surakarta Hadiningrat.

3. Adipati Sumodirejo  1883 – 1884

Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono IX, raja kraton Surakarta Hadiningrat.

4. Adipati Condronagoro I  1884 – 1906

Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono IX, raja kraton Surakarta Hadiningrat.

5. Adipati Condronagoro II  1906 – 1924

Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono X, raja kraton Surakarta Hadiningrat.

6. Adipati Sumodipuro 1924 – 1933

Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono X, raja kraton Surakarta Hadiningrat.

7. Adipati Suryadi  1933 – 1949

Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono X, raja kraton Surakarta Hadiningrat.

8. Suriadi Kertosuprojo 1949 – 1958

Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.

9. Chudori Amin 1958 – 1959

Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.

10. Samadikun 1959 – 1964

Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.

11. Sudarsono 1964 – 1975

Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.

12. Kol. Suwandi  1975 – 1985

Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.

13. Kol. Edi Sanyoto 1985 – 1990

Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.

14. Kol. Sugondo 1990 – 1995

Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.

15. Kol. Sujito   1995 – 2000

Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.

16. Drs. Wien Hendrarso  2000 – 2010

Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid.

17. Saifullah   2010 – 2015

Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

18. Nur Ahmad Syaifuddin, SH  2015 - 2020

Dilantik pada masa pemerintahan Joko Widodo.

Kisah Panji dari Negeri Jenggala. 

1.Paman ngguyang jaran, kula taken teng sampeyan.

Paman napa ngriki, onten popok beruk keli.

Popoke cemengkiran, beruke kir-ukiran.

Aku ora ngreti, takona sing ngguyang sapi.


2.Paman ngguyang sapi, kula sampeyan criyosi.

Paman napa ngriki, onten popok beruk keli.

Popoke cemengkiran, beruke kir-ukiran.

Aku ora ngreti, takona wong nini-nini.


3.Nini amususi, kula sampeyan criyosi.

Nini napa ngriki, onten popok beruk keli.

Popoke cemengkiran, beruke kir-ukiran.

Popok beruk keli, mau mentas takrawati.

Cerita ini merupakan kutipan dari kisah Panji yang berlokasi di kerajaan Jenggala. Bagi masyarakat Sidoarjo cerita Panji dengan tokoh Ibnu Kertapati dan Dewi Sekartaji cukup memberi inspirasi. 

Kisah romantis kedua insan ini penuh dengan keteladanan. Serat Panji menceritakan kisah romantika Putri Daha dengan Pangeran Jenggala. Keduanya saling mengasihi dan mencintai. Kisah cinta ini menjadi inspirasi bagi kesetiaan bagi pasangan Jawa. Sinuwun Paku Buwana IV mengajak nostalgia pada jaman Daha – Jenggala. 

Generasi muda di Kabupaten Sidoarjo perlu mempelajari sejarah leluhur. 

Masyarakat Sidoarjo berhasil membangun peradaban agung, sehingga menemukan suasana harjo – raharjo. Mereka bahagia sepanjang masa. Pengalaman telah membuktikan bahwa sejarah besar selalu mewariskan peradaban besar. Sejak jaman kerajaan Kahuripan, Jenggala, Daha, Singasari, Majapahit, Demak, Pajang dan Mataram.

Masyarakat Sidoarjo mukti mulyo wibawa. Kejayaan ini akan berlanjut sampai generasi putra wayah, nak tumanak run tumurun. Dari orang tua kepada generasi muda.

Oleh : Dr. Purwadi, M.Hum. Ketua Lembaga Olah Kajian Nusantara – LOKANTARA. Hp. 087864404347

Tidak ada komentar:

Posting Komentar