Kamis, 23 November 2023

SEJARAH BENGAWAN SOLO

A. Solo sampai Pamekasan. 

Peradaban di sepanjang Bengawan Solo dibahas di Sanggar Pustaka Laras Yogyakarta. Terjadi pada hari Rabu, 22 Nopember 2023 jam 19. Selaku narasumber Aryo Bimo dan Adityo Jatmiko. Dengan moderator Sari Indah Setiani. 

Terlebih dahulu pembahasan dari segi historis. Kanjeng Sinuwun Paku Buwana IV raja Surakarta Hadiningrat tahun 1788 - 1830. Beliau punya dua Permaisuri. Kanjeng Ratu Handayawati dan Kanjeng Ratu Sukaptinah. 

Kedua garwa prameswari ini putri Adipati Cakraningrat Bupati Pamekasan. Tiap kali menikah, selalu lewat Bengawan Solo. Baik Ratu Handayawati maupun Ratu Sukaptinah, keduanya menurunkan raja Karaton Surakarta. 

Ratu Handayawati menurunkan Sinuwun Paku Buwana V yang memerintah tahun 1820 - 1823. Ratu Sukaptinah menurunkan Sinuwun Paku Buwana VII yang memerintah tahun 1830 - 1858.

Lalulintas Bengawan Solo menghubungkan kota Surakarta dengan pulau Madura. Raja dan Ratu pun bertemu. Itulah fakta historis yang bersifat magis. 


Lagu Bengawan Solo. 


Bengawan Solo, riwayatmu ini,

sedari dulu jadi perhatian insani

musim kemarau, tak brapa airmu

di musim hujan air meluap sampai jauh.

Mata airmu dari Solo terkurung gunung Seribu. 

Air mengalir sampai jauh akhirnya ke laut.

Itu perahu riwayatnya dulu. 

Kaum dagang selalu naik itu perahu.. 


Gesang menjadi komponis terkenal. Lagu ini telah tampil di seluruh dunia. 

Mata air Bengawan Sala berasal dari wilayah Karesidenan Surakarta, letaknya di sisi tenggara Pegunungan Seribu. Dari mata air alirannya menuju ke barat daya, menjadi tapal batas bagi Kabupaten Pacitan dan Kabupaten Wonogiri. Selanjutnya belok ke barat, masuk ke wilayah Wonogiri.

Sampai di Kakap belok ke utara. Di sebelah selatan kota Wonogiri Bengawan Sala dialiri sungai Keduwang, yang mata airnya berasal dari Gunung Lawu. Setelah melewati kota Wonogiri alirannya berbelok ke barat laut, di wilayah ini mendapat aliran dari sungai Dengkeng, mata airnya berasal dari Gunung Merapi. 

Dari sini aliran sungai mengarah ke timur laut, setelah sampai di kota Sala mendapat aliran dari sungai Pepe, dengan mata air berasal dari Gunung Merbabu. Aliran Bengawan Sala masih terus ke arah timur laut.

Di sini aliran sungai bertemu dengan aliran sungai Kedhungbang, dengan sumber mata air berasal dari Gunung Lawu. Begitu aliran sungai sampai di desa Sokawati sebelah utara kota Sragen, Bengawan Sala mengarah ke timur sampai di perbatasan Kabupaten Ngawi dengan Sragen, di situ mendapat aliran air dari sungai Kedungbanteng, dengan mata air dari Gunung Lawu. 

Dari tempat inilah aliran Bengawan Sala masuk ke wilayah Kabupaten Ngawi. Aliran airnya lurus ke arah timur. Sampai di kota Ngawi bertemu dengan Bengawan Madiun yang juga dinamakan sungai Gentong. Dari pertemuan kedua aliran sungai ini, Bengawan Sala menjadi sungai yang besar sehingga bisa dilewati perahu sampai di muaranya yaitu laut selatan. 

Sungai Gentong disebut juga Bengawan Madiun sebab melewati kota Madiun. Bengawan Madiun (sungai Gentong) airnya besar, karena mendapatkan aliran beberapa sungai dari wilayah Ponorogo, Magetan, Madiun dan Ngawi. Dari kota Ngawi Bengawan Sala belok ke utara masuk ke wilayah Karesidenan Rembang. Sungai ini menjadi tapal batas bagi Kabupaten Blora dengan Kabupaten Bojonegoro. 

Aliran Bengawan Sala masih terus ke utara sampai di Cepu menjadi muara dari sungai Bathokan yang mata airnya berasal dari Gunung Gamping. Dari sini aliran sungai masuk ke Kabupaten Bojonegoro, sampai di sebelah timur kedistrikan Padangan menjadi muara bagi sungai Gandhongan yang mendapatkan mata air dari Gunung Pandan.

Aliran Bengawan Sala masih terus ke timur dan menjadi muara dari sungai Tidu, mata airnya juga dari Gunung Pandan. Mulai dari kecamatan Malo, aliran air Bengawan Sala terus saja ke timur melewati Kabupaten Tuban, Gresik dan masih terus ke arah timur sampai di kota Sedayu aliran Bengawan Sala masuk ke samudra, di sebelah utara teluk Madura.

B. Sarana Pekerjaan. 

Bengawan Solo juga menawarkan beragam pekerjaan. 

Pada jaman dahulu sebelum ada kereta api, para pedagang dan orang-orang yang akan bepergian melewati Bengawan Sala, naik perahu. Saat itu perahu-perahu yang beraktivitas di Bengawan Sala jumlahnya sampai ratusan. Beroperasi hanya pada saat musim penghujan, sebab airnya besar.

Jika musim kemarau tidak dapat dilewati perahu. Jika air bengawan sedang pasang, banyak perahu yang hilir mudik membawa dagangan dari Ngawi menuju ke Cepu, Bojonegoro, Babat, Sedayu dan Gresik. Bengawan Sala menjadi ramai. 

Tempat yang digunakan untuk berlabuh perahu dagang menjadi tempat yang ramai. Para pemborong Cina yang membeli kayu jati, cara membawanya cukup dengan menceburkan kayu ke bengawan kemudian kayu-kayu tersebut digandeng-gandeng dijadikan gethek. Dengan cara seperti itu kayu-kayu akan cepat terkirim. 

Tanah di pinggir Bengawan Sala bersifat gembur, hal itu disebabkan karena tanahnya bercampur dengan pasir lembut dan biasa disebut wedheg. 

Para warga yang tinggal di dekat Bengawan banyak yang mengambil wedheg tersebut, digunakan untuk mengurug halaman supaya terlihat bersih. Ada lagi tanah yang terbawa banjir, berhenti di pinggir yang dinamakan waled. Waled dapat dijadikan pupuk untuk menyuburkan tanaman.

Di setren pinggir Bengawan tanaman dapat tumbuh dengan subur. Misalnya tembakau, jagung, terung, krai, semangka, cabe, kacang dan lain-lain. Mata pencaharian penduduk di sekitar bengawan adalah mencari pasir dan kerikil. 

Keduanya biasa dijual sampai ke luar daerah. Selain mencari pasir dan kerikil ada pula yang mencari ikan sebab di Bengawan Sala, ikannya beraneka macam, misalnya ikan badher, wagal, lempuk rengkik, kakap, wader pacal, trumpah, udang, senggaringan dan sebagainya. Alat yang dipakai untuk mencari ikan adalah jala, samber, jaring, pancing, bandhang, cundhit, sisir, ayap, benco, waring, cempuling. 

Pada musim penghujan jika curah hujannya sudah tinggi, Bengawan Sala selalu banjir. Banjir yang ditimbulkan sampai merendam desa desa di sekitar bengawan. Sawah berhektar-hektar rusak karena diterjang banjir.

Hewan-hewan peliharaan banyak yang mati, penduduknya harus mengungsi karena rumah-rumah banyak yang rusak. Kerugian yang ditimbulkan akibat banjir bisa mencapai jutaan rupiah. Di bawah ini beberapa daerah di sepanjang aliran Bengawan Sala yang dianggap keramat.

C. Kawasan Wingit Angker. 

1. Kerek. 

Di sebelah utara Kota Ngawi, ada tempat yang dinamakan Kerek.

Disebut Kerek, karena jika ada perahu yang mudik, perahunya harus dituntun memakai tali tambang dan ditarik oleh orang yang berjalan di pinggir bengawan. Sebab aliran airnya deras sekali dan posisi bengawan yang sangat miring.

2. Kedung Maya. 

Di sepanjang aliran Bengawan Sala ada lagi sebuah desa, namanya desa Kuwung. Pemimpinnya bernama Kyai Ageng Kuwung. 

Pada suatu hari Kyai Ageng sedang berjalan-jalan, melihat kalau di sungai Kurung ada anak laki-laki yang hanyut, tersangkut pada pepohonan. Oleh Kyai Ageng anak tersebut ditolong, ternyata masih hidup. 

Anak itu kemudian dijadikan penggembala di rumahnya, diberi tugas menggembala kerbau. Karena waktu ditemukan tersangkut (kesangsang, Jw) maka dia diberi nama Jaka Sangsang. Sebenarnya Jaka Sangsang adalah anak angkat mBok Randha dari Jambe, wajahnya tampan. 

Hewan peliharaan Kyai Ageng banyak sekali, sehingga penggembalanya juga banyak.

Karena jumlah kerbaunya banyak maka kalau sedang berendam bersama-sama akan terlihat seperti semut. Oleh karena itu bekas tempat yang dipakai untuk berendam menjadi sungai, dinamakan sungai Semut. 

Diceritakan, pada suatu malam Jaka Sangsang dan teman-temannya tidur di pendapa Kyai Ageng. Di tengah malam Dewi Maya, putri Kyai Ageng Kuwung kebetulan keluar dan melihat jika dari tubuh Jaka Sangsang memancarkan cahaya terang. Sang Dewi lalu mendekatinya. Kain yang dipakai Jaka Sangsang kemudian diikat. Esok paginya Dewi bilang kepada Kyai Ageng, minta supaya dinikahkan dengan anak penggembala yang kainnya sudah diikat.

Kyai Ageng lalu memanggil seluruh penggembalanya. Setelah berkumpul, diteliti.

Kain yang ada ikatannya, yaitu yang dipakai oleh Jaka Sangsang. Karena Jaka Sangsang sudah dewasa maka langsung dinikahkan dengan Dewi Maya. Tetapi Kyai Ageng merasa malu karena putrinya hanya mendapatkan seorang penggembala. Karena saking malunya Jaka Sangsang hendak dipisahkan dengan Dewi Maya. 

Kyai Ageng mendapat akal. Jaka Sangsang disuruh mengabdi di Kraton Pajang. Terlaksana, pada suatu hari Jaka Sangsang diberi surat oleh Kyai Ageng supaya diantarkan ke Pajang. 

Ringkas cerita di Pajang pengabdian Jaka Sangsang diterima. Karena wajahnya yang tampan maka Jaka Sangsang diambil menjadi menantu, dinikahkan dengan sang putri yang cantik jelita. Oleh karena sudah lama berada di Pajang, Jaka Sangsang berpamitan dengan istrinya, untuk pulang ke kampung halamannya di desa Kuwung. Sang putri pun mengijinkan.

Dewi Maya yang sudah lama ditinggal suaminya, pada suatu hari pergi dari rumah hendak menyusul ke Pajang. Jalannya harus menyeberangi Bengawan Sala yang pada waktu itu airnya sedang surut, sehingga bisa diseberangi. Jalannya baru sampai di tengah Bengawan Dewi Maya terpeleset jatuh, hanyut dan tenggelam di bagian sungai yang dalam. 

Hal ini yang menjadi penyebab kematiannya. Pada saat itu perjalanan Jaka Sangsang sudah sampai di dekat kedhung, melihat ada kerumunan orang. Jaka Sangsang melongok ke kedhung, dan melihat Dewi Maya melambai-lambaikan tangannya minta pertolongan. Jaka Sangsang pun langsung menceburkan diri ke dalam kedhung untuk menolong, tetapi tidak bisa bahkan ikut tenggelam dan meninggal. 

Putri Pajang yang sudah lama ditinggal suaminya, segera menyusul ke desa Kuwung. Ketika perjalanannya sampai di dekat kedhung ada yang bilang, jika Jaka Sangsang mati tercebur ke dalam kedhung. Mendengar laporan itu, Sang Putri pun langsung menceburkan dirinya ke dalam kedhung sehingga meninggal.

 Dengan adanya kejadian ini, maka kedhung tersebut diberi nama Kedhung Maya dan menjadi tempat yang keramat. Jika ada perahu yang lewat di tempat itu, para penumpangnya harus diam, tidak boleh berbicara. Sebab jika ada yang berbicara apalagi berbicara sembarangan, perahunya pasti akan tenggelam. 

3. Bengawan Guwa Sentana. 

Selain Kedhung Maya masih ada lagi tempat yang keramat, namanya Bengawan Guwa Sentana. Disebut begitu sebab aliran air bengawan membentur batu besar. 

Di atas batu ada guanya ; di atas gua ada kuburannya. Tempat tersebut merupakan petilasan Kanjeng Sunan Bonang. Jika ada perahu yang melewati tempat ini, para penumpangnya tidak boleh berbicara dengan keras. Jika dilanggar, perahunya pasti akan celaka yaitu tenggelam atau pecah.

Diceritakan, di puncak gunung Bonang ada seorang pimpinan perampok, namanya Blacak Ngilo. Blacak Ngilo terkenal akan kesaktiannya. Para penduduk Bonang dan sekitarnya merasa sedih, sebab selalu dicuri harta bendanya. Kanjeng Sunan Bonang mendengar keluh kesah masyarakat desa yang selalu diganggu dan dijarah harta bendanya oleh anak buah Blacak Ngilo. 

Pada suatu hari Kanjeng Sunan Bonang menemui Blacak Ngilo. Memberi perintah padanya agar menghentikan tindakannya yang sudah merugikan penduduk desa. Blacak Ngilo tidak mau menuruti perintah Kanjeng Sunan, tetapi malah marah-marah dan mengajak adu kesaktian. Ajakan dari Blacak Ngilo pun dituruti oleh Sunan Bonang. Saat itu Blacak Ngilo memuja gandhen menjadi jago. 

Kanjeng Sunan memuja palu menjadi jago. Kemudian diadu.

Jago Blacak Ngilo kalah, dan berubah ke wujud aslinya. Bermacam-macam kesaktian yang dikeluarkannya, tetapi selalu kalah dengan kesaktian Kanjeng Sunan. Akhirnya keduanya mengadu kesaktian, Blacak Ngilo mengajak main petak umpet. Kanjeng Sunan disuruh mencari dirinya.

Blacak Ngilo bersembunyi dengan ambles ke bumi, munculnya di pinggir Bengawan Sala.

Tempat munculnya Blacak Ngilo menjadi gua, yang kemudian dinamakan Gua Santana. Waktu Blacak Ngilo muncul, Kanjeng Sunan sudah berada di atas gua yang sekarang menjadi kuburan. Karena Blacak Ngilo sudah merasa kalah sakti dan kelelahan, akhirnya menyerah (sumendhe) dan mengikuti keinginan Kanjeng Sunan Bonang. Tempat itu sekarang dinamakan desa Mendhen. 

4. Bengawan Pasar Sore. 

Di desa Jipang distrik Panolan, Kabupaten Blora, ada tempat bekas kraton Adipati Jipang bernama Arya Panangsang. Kratonnya terletak di pinggir Bengawan Sala. Di sebelah barat kraton, Bengawan Sala dibedah dan dibuat bengawan baru diberi nama Bengawan Pasar Sore. Aliran air dari bengawan sampai ke sungai Kecing, kemudian menyatu lagi dengan Bengawan Sala. 

Sehingga kratonnya dikelilingi bengawan. Semasa hidupnya Arya Panangsang  pernah membuat batu yang besar serupa gong. Batu tersebut diceburkan ke Bengawan Pasar Sore. Perahu-perahu yang lewat di tempat itu harus berhati-hati. Sebab jika sampai menyentuh batu gong, perahunya pasti pecah.

Adapun Arya Panangsang adalah putra dari Pangeran Seda Lepen (putra Raden Patah, Sultan Demak). 

Pangeran Seda Lepen wafat ketika masih menjadi Sultan di Demak, dibunuh oleh putra Pangeran Trenggono yaitu Pangeran Prawata. Karena sudah membunuh ayahandanya yaitu Pangeran Seda Lepen, maka Pangeran Prawata lalu dibunuh oleh Arya Panangsang. Tetapi hati Arya Panangsang masih belum lega hatinya, dan terus memburu putra-putra Pangeran Trenggana.

Tercapailah keinginannya dapat membunuh suami Ratu Kalinyamat. Selanjutnya ingin membunuh Sultan Pajang, tetapi tidak bisa. Ratu Kalinyamat dan istri Sultan Pajang adalah putri Sultan Trenggana. 

Sultan mengetahui niat jahat dari Arya Panangsang. Oleh karena itu Jipang diserang oleh Pajang, dan terjadilah perang. Sebelum peperangan dimulai terdengar suara, siapa yang berani menyeberangi Bengawan Pasar Sore pasti akan kalah perang. Karena sifat dari Arya Panangsang yang berangasan, Bengawan Pasar Sore diseberanginya. Sampai di seberang Bengawan Arya Panangsang ditombak oleh Ki Ageng Pemanahan, mengenai perut sehingga ususnya terburai keluar. 

Usus yang menjuntai disampirkan ke kerisnya, tetapi Arya Panangsang belum juga mati, malah mengamuk sejadi-jadinya membuat prajurit Pajang banyak yang mati. 

Namun karena kudanya melonjak-lonjak terus, maka kerisnya bergerak-gerak ke atas dan mengenai usus. Ususnya terpotong, akhirnya Arya Panangsang jatuh dan mati. Prajurit Pajang kemudian bersorak-sorai karena memenangkan pertempuran. 

5. Tinggang.

Di Bengawan Pasar Sore ada bagian yang dalam atau kedhung. Namanya kedhung Braja yang mendapat aliran air dari sungai Tinggang. Mata airnya berasal dari gunung Ngancik. Dinamakan Tinggang, menurut cerita pada jaman dahulu ada raksasa yang mati terkena panah Kyai Ageng Prange. Raksasa mati dengan kaki terentang. 

Luluhnya menjadi Tinggang. Di tempat tersebut masih terdapat tulang yang besar-besar, mungkin tulang raksasa. 

6. Bengawan Getas. 

Setelah Bengawan Pasar Sore, ada tempat yang juga keramat. Yaitu di tengah-tengah Bengawan Sala, di situ terdapat dua buah pulau yang berjajar. 

Jika ada perahu lewat tidak hati-hati, dan menabrak pulau tersebut perahunya bisa pecah atau tenggelam. Sebab jika airnya pasang, pulau itu tidak kelihatan karena tertutup air.     

7. Kedhung Wer Pitu. 

Di Bengawan Getas juga ada kedhungnya, namanya Kedhung Wer Pitu.

Di situ ada pulaunya, kecil dan tidak terlihat karena tenggelam. Disebut kedhung Wer Pitu, karena pada jaman dahulu jika ada perahu yang lewat di situ, syaratnya harus berputar tujuh kali.

8. Sobrah Pengantin. 

Di pedukuhan Semanding desa Kemiri, ada dua batang pohon besar yang tumbuh berjajar di tengah-tengah Bengawan Sala.

Tempat tersebut dinamakan Sobrah Pengantin. Menurut cerita, pada jaman dahulu ada sepasang pengantin yang menyeberang di tempat itu dan hanyut terbawa arus, akhirnya hilang.

Dengan hilangnya sepasang pengantin, tumbuhlah dua batang pohon yang berjajar. 

Ada yang mengira jika pohon tersebut terjadi dari pengantin yang hilang. Para tukang perahu jika sedang lewat di tempat itu, harus diam tidak boleh berbincang-bincang. Jika melanggar, perahunya pasti menemui celaka.

9. Kedhung Waliyan. 

Di dekat Bengawan Sala ada desa bernama Pethak. Di desa ini ada kedhungnya, namanya Kedhung Waliyan. 

Biasanya di kedhung ada penunggunya yang berwujud setan gundul bernama Kyai Singajaya. Tinggalnya di pohon asam besar di pinggir kedhung. Pohon asam tersebut menjadi tempat pemujaan bagi orang-orang yang ingin kaya. Selain di pohon asam. Kyai Singajaya tinggal di pohon ingas yang tumbuh di pinggir bengawan di desa Majenon.

Pohon tersebut juga dijadikan tempat pemujaan, yaitu pada saat orang mempunyai hajat dengan menabuh gamelan harus memberi sesaji tempat itu. Jika tidak memberi sesaji, orang yang punya hajat pasti mendapatkan celaka.

10. Kedhung Srungga. 

Bengawan Sala yang mengalir di dekat dusun Kampak desa Tanggir, ada kedhungnya disebut kedhung Srungga. Di kedhung ini ada seekor buaya yang besar. 

Buaya tersebut kejatuhan batu yang besar sehingga tidak bisa bergerak. Selanjutnya buaya ini menjadi penunggu kedhung. Jika musim tanam tiba dan terdengar suara gemuruh dari kedhung tersebut, menurut kepercayaan para petani di desa ini, maka hasil panennya akan berlimpah.

11. Makam Tulung. 

Di sebelah barat kota Bojonegoro, letaknya di pinggir Bengawan Sala, ada desa namanya Tulung. Di desa ini ada makam yang dikeramatkan. Adapun yang dimakamkan di tempat ini bergelar Gusti Raden. Yaitu putra Pajang yang kalah perang ketika melawan Mataram.

Adapun pantangan bagi penduduk desa Tulung yaitu tidak boleh minum-minuman keras, semacam arak (ciu) jika dilanggar maka orang tersebut akan gila dan tidak lama kemudian akan meninggal dunia.

12. Makam Buyut Kencana. 

Sebelah timur laut dari kota Banjarnegara di pinggir Bengawan Sala bagian utara terdapat gunung kecil, termasuk dalam wilayah desa Banjarsari. Di tempat ini terdapat Makam Buyut Kencana disebut juga makam Buyut Sanga.

Sebab di makam ini, terdapat sembilan makam yang berjajar-jajar. Menurut cerita, yang dimakamkan di tempat ini adalah putra Pajang yang pergi meninggalkan kerajaan. 

Perginya bersama dengan seluruh keluarganya dan tinggal di dusun Banjarsari sampai meninggalnya. Makam ini setiap tahun selalu diziarahi oleh penduduk desa Banjarsari : untuk meminta sawab dan berkahnya, supaya selamat dan bahagia hidupnya. 

Adapun makam Buyut Hirapati diziarahi oleh orang-orang yang menjalankan perahu supaya tidak diganggu oleh buaya. Asal mula makam Buyut Hirapati diziarahi oleh orang yang menjalankan perahu, menurut cerita seperti tersebut di bawah ini.

Pada suatu hari Nyai Buyut Hirapati diantar oleh anaknya untuk mencuci beras di bengawan. Ketika sedang mencuci beras Nyai Buyut diterkam buaya, dan dibawa masuk ke kedhung Depis desa Sima. 

Jauhnya dari dusun Banjarsari kira-kira 6 km. Anaknya melihat jika ibunya dibawa buaya, lalu pulang dan memberitahu ayahnya yaitu Kyai Buyut Hirapati. Ki Buyut mendengar laporan anaknya, bergegas menuju ke bengawan dan terjun ke air. 

Saat itu Ki Buyut melihat jika istrinya dibawa buaya. Kemana pun arahnya Ki Buyut selalu mengikutinya. Akhirnya buaya sampai di kedhung Depis. Tidak lama kemudian Ki Buyut juga sampai di kedhung. Melihat ada gua Ki Buyut langsung masuk. Baru menginjak mulut gua, Ki Buyut sudah merasa jika masuk ke dalam alam lain. 

Mulut gua berubah menjadi gapura keraton, Ki Buyut tetap meneruskan perjalanannya dan melihat jika gua berubah menjadi kraton yang sangat indah. Sedangkan buaya-buaya yang ada di situ berwujud manusia. Tetapi Nyai Buyut Hirapati berubah wujudnya menjadi ayam betina putih di dalam sangkar.

Ringkas cerita, Ki Buyut bertemu dengan ratu buaya. Ratu buaya melihat kesaktian Ki Buyut menjadi terkesima dan merasa kalah wibawa. Sehingga tidak berani macam macam. Ki Buyut berkata, kedatangannya untuk mengambil miliknya yaitu ayam betina putih yang berada dalam sangkar. 

Dan meminta buaya yang sudah membawa istrinya, untuk dihukum. Sang ratu buaya pun mempersilahkan apa yang menjadi kehendak Ki Buyut. 

Sambil membawa ayam betina putih Ki Buyut pulang. Sampai di rumah ayam betina putih berubah menjadi Nyai Hirapati. Setelah beristirahat sebentar, sambil membawa gembel dan tali tambang yang besar. 

Ki Buyut datang lagi ke kraton buaya. Setiba di sana buaya yang bersalah kemudian lehernya diikat dengan tali serta ditunggangi, diperintah untuk mengantar pulang ke Banjarsari.

Dalam perjalanan mulut buaya selalu dipukuli oleh Ki Buyut dengan gembel, sampai berlumuran darah. Sampai di pinggir bengawan di dekat rumah Ki Buyut, buaya kemudian di bawa naik ke daratan. 

Anak cucunya yang menjemput kedatangannya, diperintah untuk memukuli buaya yang baru saja dinaikinya. Mereka pun segera memukuli buaya tersebut. Karena si buaya sudah merasa bersalah dan kesakitan, maka segera minta ampun kepada Ki Buyut. 

Tidak akan mengganggu anak cucunya. Dan berjanji, jika kelak kemudian hari buaya tersebut muncul, para anak cucu Ki Buyut jangan ada yang pergi ke bengawan. 

Sebab saat itu di bengawan ada buaya lain yang sedang mencari mangsa. Setelah berjanji, buaya diberi ampunan, dan segera pergi masuk ke bengawan. Selanjutnya buaya tersebut menjadi penunggu bengawan. Sehingga jika muncul buaya yang lehernya berkalung hitam, orang-orang desa Banjarsari tidak berani pergi ke bengawan.

Dulu bengawan Solo digunakan untuk tapa brata. Misalnya Sinuwun Paku Buwana IX kerap melakukan tapa ngeli. 

umbuh kang ginayuh, sembada kang sinedya. Mistik Bengawan Solo sebagai sarana meditasi. Lelaku dengan tapa ngeli untuk mendapat jaya kawijayan.

Oleh Dr. Purwadi, M.Hum; Ketua Lembaga Olah Kajian Nusantara LOKANTARA 

Hp. 087864404347

Tidak ada komentar:

Posting Komentar