Pusaka Kyai Damar Murub dan Kendi Pratala menjadi sifat kandel. Pusaka Damar murub dan Kendi Pratala merupakan warisan Syekh Subakir yang menjadi guru sakti di pertapan Gunung Tidar. Kitab babat memuat petuah martabat manfaat, nyata piguna.
Maskumambang
Padhepokan Plikon Trasan Syekh Subakir,
Kondhang mapan ing Magelang,
Dadi punjer tanah Jawi,
Wikan ilmu sangkan paran.
Maca kitab kuna ingkang gelis wasis,
Babat Magelang gemilang,
Mangasah mingising budi,
Sejarah mengku wewarah.
Pengajaran ilmu makrifat jati. Terlebih dahulu Syekh Subakir bertapa di dhusun Plikon Trasan Bandongan Magelang. Berlangsung tiap malem Selasa Kliwon. Ilmu iku kelakone kanthi laku. Sumusup ing rasa jati.
Kyai Damar Murub berupa pusaka keris. Sedang Kendi Pratala adalah pusaka yang berupa tempat untuk menyimpan air. Kedua pusaka itu mempunyai daya linuwih yang ampuh, sepuh, tangguh. Sesepuh ini lelaku di gunung Tidar sebagai arena kosmis Tanah Jawa. Tidar merupakan kegiatan mati sadar, yakni mati sajroning ngaurip.
Gunung Tidar terletak di daerah Magelang, Jawa Tengah. Pada jaman dulu Gunung Tidar menjadi tempat berdirinya pertapan yang dikelola oleh Syekh Subakir. Sebelumnya Syekh Subakir adalah raja di Kraton Medang Kamulan yang bergelar Prabu Aji Saka. Setelah lengser keprabon madeg pendhita namanya dirubah menjadi Syekh Subakir. Pada masa tuanya lebih menekankan kegiatan oleh rasa cipta jiwa.
Sinom
Saperenging gunung Tidar,
Wibawa widada lungit,
Tidar iku mati sadar,
Manunggaling barang kalih,
Pikir manah manggalih,
Gathuk mathuk pucak pucuk,
Tanah Jawa warata,
Kuncara aneng sakbumi,
Sami prapta dhampyak dhampyak saben warsa.
Serat kiyat maos babat,
Bebet bubut bobot bibit,
Reriptan pujangga Jawa,
Andhudhah piwulang lungit,
Dimen waspada eling,
Laras leres liris lurus,
Magelang tan sumelang,
Pengalaman kebak isi,
Gya ngumandhang ngawang awang kang gemilang.
Daerah Plikon Trasan sangat diperhatikan. Syekh Subakir mbabar ngelmu kasampurnan di pertapan Gunung Tidar. Terbiasa dengan laku tapa brata. Kerap melakukan tapa ngalong, tapa ngidang, tapa pendhem, tapa kungkum, tapa ngrame. Jadilah Syekh Subakir sebagai brahmana yang kesdik paningale, lantip panggraitane, mateng semedine.
Pemuda Plikon Trasan begitu aktif dalam ngudi ilmi. Siswa di pertapan Gunung Tidar berasal dari bang wetan, bang kulon, kawasan pesisir dan manca negara. Syekh Subakir terbukti sebagai brahmana yang sakti mandraguna. Syekh Subakir atau Empu Sangkala berpengalaman sebagai pangembat tata praja, sebagai raja di Kraton Medang Kamulan. Makanya Syekh Subakir yang berpengalaman di bidang pemerintahan dan ilmu kebatinan ini sangat dihormati oleh para ulama dan raja. Kontribusi priyayi Plikon Trasan cukup bermakna dalam menganyam peradaban.
Pusaka andalan Syekh Subakir yaitu keris Kyai Damar Murub. Dalam riwayatnya pusaka keris Kyai Damar Murup merupakan hadiah dari Kyai Semar. Tokoh panakawan ini tinggal di padukuhan Klampis Ireng atau Karang Kedhempel. Sebagian lagi menyebut dengan dusun Karang Tumaritis. Syekh Subakir pernah diwejang tentang asal- usul ngelmu sangkan paraning dumadi.
Daya linuwih Syekh Subakir didukung adanya pusaka Kendhi Pratala. Pusaka ini merupakan tempat air yang terbuat dari keramik. Bentuknya seperti moncong dengan paruh berjumlah empat buah. Kendi pratala setiap bulan Sura diberi sesaji oleh para siswa di pertapan Gunung Tidar. Kendhi pratala dan keris damar murub menjadi kekuatan spiritual Syekh Subakir dalam menjalankan ilmu laku.
Megatruh
Damar Murub piyandele Jaka Tarub,
Paringane Syekh Subakir,
Semar Gareng Bagong Petruk,
Samya ngreksa tanah Jawi,
Prabane terang sumorot.
Sipat kandel amarga budi rahayu,
Kendhi pratala nyartani,
Warga Magelang kayungyun,
Padhang teranging galih,
Ayem tentrem lahir batos.
Kedua pusaka Syekh Subakir itu hadiah Kyai Lurah Semar yang merupakan penjelmaan Sang Hyang Ismaya. Kehadiran Sang Hyang Ismaya turun ke ngarcapada menjelma Kyai Lurah Semar atas dhawuh perintah Sang Hyang Wenang. Beliau merupakan dewa yang tinggal di kayangan Alang- alang Kumitir.
Adapun Syekh Subakir yang merupakan penguasa kraton Medang Kamulan adalah tokoh yang berasal dari negeri Hindustan. Beliau bernama Aji Saka atau Isaka. Sejarah ini didasarkan pada Serat Mahaparwa, karangan Empu Satya di Mamenang, Kediri, pada tahun 851 Surya atau 879 Candra. Pada waktu ini tanah Arab di Timur Tengah sedang mengalami jaman Nabi Isa. Waktu itu Pulau Jawa belum bernama Jawa dan masih menjadi satu dengan Pulau Sumatra, Madura dan Bali. Sunyi sepi belum ada manusia.
Maka para dewa yang berkahyangan di puncak Gunung Tengguru tanah Hindi, yang nantinya disebut Gunung Himalaya, datang ke Pulau Jawa. Pimpinan para dewa adalah Sang Hyang Manikmaya, atau Sang Hyang Guru. Ia menjadi raja mengepalai para dewa. Maka pulau tadi dinamakan Pulau Jawa oleh Sang Hyang Manikmaya, berasal dari kata dawa. Akan tetapi pada waktu itu yang menyebut demikian hanya para dewa. Setelah para dewa di Pulau Jawa lamanya 15 tahun, lalu semua muksa kembali ke kahyangan di puncak Gunung Tengguru tanah Hindi. Pulau Jawa kembali sepi seperti sedia kala. Suwung sonya sepi. Alam awang uwung.
Tunggal papane, seje caritane. Maka tersebutlah di tanah Hindustan. Ada seorang raja brahmana, bernama Prabu Isaka atau yang disebut Prabu Aji Saka. Prabu Isaka tadi adalah putra Prabu Iwasaka atau Batara Anggajali. Batara Anggajali adalah anak Batara Ramayadi atau yang bernama Ramadi. Empu Ramadi adalah putra Sanghyang Ramaprawa. Sang Hyang Ramaprawa anak Sang Hyang Hening saudara Sang Hyang Tunggal. Ia bertahta lamanya 46 tahun, negerinya dihancurkan oleh musuh.
Prabu Isaka turun tahta dan mengungsi ke hutan. Di hutan ditemui oleh ayahanda yang telah menjadi dewa yang bernama Batara Anggajali tadi. Prabu Isaka diajari berbagai laku oleh ayahnya sehingga ia mendapatkan banyak kesaktian sebagaimana para dewa. Setelah itu ia diperintahkan untuk bertapa di sebuah pulau yang panjang atau dawa yang sepi dan telah diberi nama oleh Sang Hyang Guru yakni Pulau Jawa. Prabu Isaka kamudian bergegas mencarinya. Nuting jaman kelakone.
Setelah cukup lama, ia menemukan pulau yang masih sunyi, kira-kira di sebelah tenggara tanah Hindustan. Ketika pertama kali Prabu Isaka menginjak di pesisir utara pulau Jawa, menurut hari Hindu menjelang hari Buda, menjelang masa kartika, dalam tahun sambrama. Jaman panca makala mencapai 768 tahun. Prabu Isaka lalu mengelilingi seluruh pulau dari ujung barat laut hingga ujung tenggara.
Prabu Isaka sangat terkagum kagum mengetahui panjangnya pulau, karena dari Aceh sampai Bali masih utuh menjadi satu. Serta dalam pulau tersebut banyak tanaman jawawut sepanjang pulau. Menurut pemikiran Prabu Isaka, cocok dengan pemberian nama oleh Sang Hyang Guru seperti yang diceritakan ayahandanya. Maka Prabu Isaka juga memberi nama Pulau Jawa, artinya pulau Jawawut, atau pulau panjang. Inilah permulaan pulau ini bernama Pulau Jawa. Serta banyaknya gunung, sungai dan hutan -hutan yang dilalui diberi nama semua oleh Prabu Isaka. Tanah yang diinjak pertama kala diberi nama Purwapada.
Wosing gati titi permati. Diceritakan perjalanan Prabu Isaka mengelilingi Pulau Jawa mendapat kemudahan dari Hyang Suksma. Ia hanya membutuhkan waktu 103 hari, sudah merata semua. Prabu Isaka lalu bertempat di Gunung Hyang, yakni Gunung Kendeng di daerah Prabalingga dan Besuki. Hutan- hutannya dibabat dan didirikan rumah. Permulaan pembabatan ketika hari soma tanggal 14, pada masa sitra, masih dalam tahun sambrama.
Pada waktu itu, Prabu Isaka bernama Empu Sangkala, serta berkehendak menghitung angka tahun lamanya bertapa. Karena pembabatan hutan Gunung Hyang dijadikan sebagai angka permulaan tahun, maka dinamakan tahun Sangkala. Yakni pada masa kartika dalam tahun sambrama dalam hitungan tahun matahari atau rembulan. Adapun bunyi sengkalannya sama dengan tahun kepala satu, Jebug Sawuk, menandai tahun 1, yakni permulaan adanya tahun Jawa yang dipakai sebagai pedoman di kemudian hari, serta awal mula Pulau Jawa ditempati manusia. Jawa jiwa kang kajawi.
B. Pengajaran Ilmu Kasampurnan.
Ngelmu kasampurnan diajarkan di pertapan Gunung Tidar oleh Syekh Subakir. Perjalanan Syekh Subakir dari negeri Hindustan ke tanah Jawa melalui proses historis yang sangat panjang. Kawruh sangkan paraning dumadi menjadi bahan refleksi kolektif. Tersebutlah, ketika Empu Sangkala sudah menetap di Gunung Hyang, ia senantiasa memuja dan semedi setiap hari mengheningkan cipta, menghayati kehendak Yang Maha Kuasa.
Mijil
Mbabar kawruh dhuwur Syekh Subakir,
Dhusun Trasan Plikon,
Ing Bandongan Magelang dhepoke,
Mulang masyarakat kinen becik,
Tharik tharik apik,
Tangguh wutuh ampuh.
Ing Magelang akeh peninggalan candi,
Borobudur Pawon,
Den jangkepi ana candi Ngawen,
Genep genah mengku piwulang utami,
Kanggo sangu urip,
Patut candi Mendut.
Pesan Syekh Subakir diresapi dalam hati.
Warga Plikon Trasan selalu berpartisipasi. Pada suatu hari Empu Sangkala kedatangan cahaya putih. Dalam cahaya kelihatan putri cantik rupawan mengaku bernama Dewi Sri, serta memberi ajaran segala rupa pengasihan ulah asmaragama, asmaranala, asmaratura, asmaraturida dan asmarandana. Empu Sangkala paham dan Batari Sri lalu muksa. Hari itu Empu Sangkala memberi nama hari Sri.
Kemudian hari berikutnya, Empu Sangkala kedatangan cahaya kuning. Yang berada dalam cahaya kuning kelihatan raksasa mengaku bernama Sang Hyang Kala. Ia mengajarkan berbagai rupa ulah sandi upaya panduking karti sampeka, dan menggunakan pangedepan, panglerepan serta segala sesuatunya. Empu Sangkala paham lalu Sang Hyang Kala muksa. Pada hari itu Empu Sangkala menamainya hari Kala.
Kemudian hari berikutnya, Empu Sangkala kedatangan cahaya merah. Yang berada dalam cahaya merah kelihatan brahmana mengaku bernama Sang Hyang Brahma. Ia mengajarkan segala rupa pengetahuan mengatahui sebelum terjadi, waspada kepada yang ghaib atau yang samar. Empu Sangkala paham lalu Sang Hyang Brahma muksa. Pada hari itu Empu Sangkala menamainya hari Brahma.
Kemudian hari berikutnya, Empu Sangkala kedatangan cahaya hitam. Yang berada dalam cahaya hitam kelihatan seorang lelaki satria mengaku bernama Sang Hyang Wisnu. Ia mengajarkan segala rupa ulah keperwiraan, kesaktian, dan segala ilmu jaya kawijayan. Empu Sangkala sudah paham lalu Sang Hyang Wisnu muksa. Hari itu Empu Sangkala menamainya hari Wisnu.
Kemudian hari berikutnya, Empu Sangkala kedatangan cahaya hijau berwarna- warni. Yang berada dalam cahaya kelihatan seperti mengawasi, bernama Sang Hyang Guru. Ia mengajarkan berbagai rupa ulah kepandaian memanah, atau ilmu kesempurnaan dan penitisan mati dalam hidup, dan kemuliaan asal mula semua. Empu Sangkala sudah paham lalu Sang Hyang Guru muksa. Hari itu oleh Empu Sangkala dinamainya hari Guru.
Pada hari berikutnya, Empu Sangkala melakukan sembah lima kali. Dalam satu hari satu kali. Mulai hari Sri, Empu Sangkala menyembah kepada Dewi Sri, menghadap ke timur. Pada hari Kala menyembah kepada Sang Hyang Kala, menghadap ke selatan. Pada hari Brahma menyembah Sang Hyang Brahma, menghadap ke barat. Pada hari Wisnu menyembah Sang Hyang Wisnu, menghadap ke utara. Pada hari Guru, menyembah kepada Sang Hyang Guru, menunduk ke bumi dan mendongak ke angkasa. Demikian selamanya.
Durma
Gagah megah endah mewah berkah,
Wewengkon edi asri,
Bakni kisma tirta,
Caket raket sajuga,
Sindara Merbabu Merapi,
Sumbing prawata,
Gumelar murakabi.
Borobudur Pawon Mendut candi kuna,
Bangunan edi peni,
Wujud olah jiwa,
Amaca pralampita,
Wejangan wedharan kawuri,
Wasis waskitha,
Wicaksana ing budi.
Tembang itu penuh makna filosofis.
Dari kaki Gunung Tidar Magelang terlihat desa kecil indah di puncak gunung. Dikisahkan, di puncak gunung yang luar biasa ada pertapa bernama Syekh Wakidiyat. Ada endang empat orang cantik -cantik hampir kembar rupanya. Pertama bernama Endang Kismani, kedua Endang Brahmani, ketiga Endang Aniladi dan keempat Endang Jahnawi. Wajahnya sama cantiknya, sederhana menarik hati, berdandan menurut tata krama. Andaikata bunga indah belum menyebarkan bau harumnya, madunya belum terhisap.
Tempat Sang pendeta duduk di balai kembang, airnya jernih mengitarinya, ditepinya ditumbuhi bunga- bungaan yang sedang berbunga semerbak harum. Padepokan tersebut disebut Gunung Tidar, pusat tanah Jawa. Dari pucak Candi Borobudur, gunung Tidar jelas terlihat indah bersinar terang.
C. Tanah Perdikan Arga Pawukir
Arga Pawukir berarti alam pegunungan.
Dalam agama Hindu dikenal sistem kekuasaan yang berupa konsep dewa raja. Samaratungga adalah raja Mataram Kuno dari Dinasti Syailendra, penganut agama Budha Mahayana. Raja Samaratungga ini mempunyai karya monumental, yaitu Candi Borobudur. Samaratungga berperan menjadi pengatur segala dimensi kehidupan rakyat. Masyarakat Plikon Trasan berpartisipasi untuk membangun.
Pucung
Agung luhur wiyatadi kang sumawur,
Wilayah Magelang,
Misuwur jaman kawuri,
Genep genah sejarah wusnya kajangkah.
Langkah patut Magelang tandah anyebut,
Barang kuna lawas,
Mula wajib den pepetri,
Putra wayah lakune nganggo wewarah.
Ahli filologi Plikon Trasan Bandongan Magelang cukup meyakinkan. Dari naskah- naskah berbahasa Jawa Kuno seperti Kitab Canda Karana, Agastya Parwa, Adi Parwa, Saba Parwa, Swarga -rohana Parwa, Arjuna Wiwaha, Hari Wangsa, Wreta Sancaya dan Kunjara Karna, dapat ditelusuri bahwa dasar- dasar pandangan hidup Jawa sudah berlangsung sejak kuno. Salah satunya adalah pandangan hidup tentang dusun. Raja menjadikan para prajurit- prajuritnya untuk mengepalai dusun dan mempertahankan dusun sebagai tempat tinggalnya itu dari serbuan musuh. Sikap setia kepada dusun sebagai tanah yang disakralkan. Tirta kamandanu.
Putri Samaratungga yang terkenal cerdas dan cantik jelita adalah Pramodha Wardhani. Pramodha Wardhani juga bergelar Sri Kahulunan, artinya seorang sekar kedhaton yang menjadi tumpuan harapan bagi rakyat. Pramodha Wardhani kelak menjadi permaisuri raja Rakai Pikatan. Pasangan suami istri ini sangat legendaris di mata rakyat Jawa. Bebrayan ageng kang regeng.
Keharmonisannya membuat rakyat Mataram bertambah aman dan damai. Hanya saja, adik Pramodha Wardhani yang bernama Balaputra Dewa kurang terkenal. Akhirnya dia merantau ke Sumatra dan mendirikan kerajaan Palembang. Dalam menjalankan pemerintahan dan keagamaan, Pramoda Wardhani menggunakan pedoman Wahyu Kadewan sebagai mas sumawur ing jagat.
Dalam Serat Pustaka Raja Purwa, raja dalam mengatur agama dengan ilham dari dewa. Seorang raja dari Kerajaan Purwacarita yang menguasai seluruh Jawa, yakni Sri Maha Punggung atau Sri Maharaja Kano, dianggap merupakan peletak dasar keagamaan orang Jawa, karena ia mendapat wahyu kadewan. Kata kano berasal dari kata kanwa, sama dengan katong dari kata katwang yang artinya adalah raja. Sejak saat itu, orang Jawa dibagi dalam enam agama yakni Brahma, Wisnu, Indra, Bayu, Sambo dan Kala. Masing- masing memiliki ritual yang berbeda- beda. Tata raharjane wong saknegara.
Lebih lengkapnya, wahyu kadewan tersebut berbunyi sebagai berikut: ketetapan agama yang dikuasakan kepadamu, menguasai alam, penguasa yang menjadi penegak kebenaran. Hai Kano, semua orang harus tunduk dan tunduk kepada agamanya serta melaksanakan pernata agama yakni penghulu, identitas diri, cara beribadah, laku, tapa, hari raya, larangan, wewenang, wasiat, kematian, perbuatan dan jalan kemuliaannya.
Ingatlah Panata Gama ini: Balaputra Dewa adalah putra Raja Samaratungga yang beragama Budha. Ibunya bernama Dewi Tara. Prasasti Ratu Baka tahun 856 menyebutkan bahwa telah terjadi perebutan kekuasaan yang merupakan tuntutan atas tahta kerajaan di Jawa Tengah dari Balaputra Dewa terhadap Rakai Pikatan. Adapun yang menjadi sebab tuntutan tersebut kemungkinan besar ialah Balaputra merasa irihati melihat kekuasaan dan pengaruh Rakai Pikatan di Jawa Tengah setelah Samaratungga wafat. Surut ing kasedan jati.
Karena Rakai Pikatan berasal dari dinasti Sanjaya, maka Balaputra tidak setuju. Balaputra merasa berhak atas tahta kerajaan di Jawa Tengah, karena dia anak laki- laki Samaratungga yang berdarah Syailendra. Kemudian Balaputra berkuasa di Sumatera. Akhirnya ia menjadi raja di Sriwijaya di kota Palembang.
Balaputra Dewa akhirnya bermukim di Palembang. Dia mendirikan Kerajaan Sriwijaya. Sengketa di Tanah Jawa berakhir dengan jaya di Swarnadwipa. Sriwijaya pun kelak dapat tampil sebagai kerajaan maritim yang gemilang dan kondang. Pedoman yang digunakan oleh Balaputra Dewa dalam menjalankan roda pemerintahan adalah lima perilaku terpuji.
Wikan sangkan paran. Istilah Borobudur berasal dari kata bara = biara, budur = tinggi. Bangunan Candi Borobudur terdiri dari tiga bagian yaitu: kamadhatu, rupadhatu, dan arupadhatu. Kamadhatu, Merupakan alam bawah, tempat bersemayamnya manusia lumrah. Secara simbolis mengandung arti tingkat manusia dalam usia kanak-kanak, yang masih tergoda oleh kesenangan duniawi, bermain -main, hedonis rekreatif, dan egoistis. Mesu reh kasudarman.
Rupadhatu merupakan alam antara tempat bersemayamnya manusia yang sudah mencapai tingkat kedewasaan. Manusia yang bertanggung jawab, sungguh- sungguh berusaha untuk mencapai cita-cita, seimbang, dan humanistik. Mawas dhiri.
Arupadhatu Merupakan alam atas tempat bersemayamnya manusia yang telah mencapai kesempurnaan hidup, insan kamil, makrifat dan waskitha ngerti sadurunge winarah.
Candi Borobudur terletak di Magelang dengan dikelilingi gunung Merapi, Merbabu, Sumbing, Sindoro dan Menoreh. Di dekat juga terdapat Candi Pawon, Candi Mendut dan Candi Sewu. Ketiga candi ini adalah warisan Dinasti Syailendra yang memerintah antara tahun 778 abad 10 di Jawa Tengah. Dinasti Syailendra berarti raja gunung.
Pembagian strata dalam Candi Borobudur itu melambangkan cipta, rasa dan karsa manusia. Istilah cipta dalam budaya Jawa populer dengan adanya nama Begawan Ciptaning, yaitu nama tokoh Arjuna ketika sedang melakukan tapa brata di Wukir Indrakila. Juga istilah keplasing cipta yaitu ketajaman nalar menerobos batas ruang dan waktu. Narabasing mega mendhung.
Istilah cipta lebih dekat pada aspek logika, penalaran dan kebenaran. Olah pikir sama dengan olah cipta, yaitu kegiatan pemikiran untuk memperoleh kebenaran ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan. Kemajuan teknologi selalu didukung oleh kebenaran ilmiah dan logis. Kalau tidak sesungguhnya perkembangan teknologi itu tidak jauh dari ilmu pertukangan saja. Di Indonesia, lembaga pendidikan formal dari SD sampai Perguruan Tinggi dituntut untuk mengembangkan keilmiahan dengan cara menemukan metode baru dalam setiap harinya.
Rasa dalam budaya Jawa mendapat apresiasi yang cukup tinggi. Adanya istilah bawa rasa, angon rasa, rasa pangrasa menunjukkan orang Jawa sangat peduli dengan aspek perasaan. Dalam istilah kefilsafatan rasa dekat dengan konsep estetika. Menjaga perasaan berarti menghormati batin orang lain agar tidak sakit hati dan terluka. Karyenak tyasing sesama.
Pikiran, ucapan dan tindakan yang selalu angon rasa berarti berhati -hati terhadap apapun produk ucapan dan sikap, jangan sampai mengganggu perasaan orang lain. Orang yang egois dan materialis sulit sekali memahami perasaan orang lain. Tentu saja, sikap yang kurang memperhatikan orang lain akan membuat persahabatan menjadi mudah renggang. Persaudaraan yang hanya dilandasi pikiran untung rugi biasanya tidak akan langgeng. Ulat patrap lan pangucap.
Karsa berarti kehendak, kemauan, keinginan atau tekad bulat untuk diwujudkan dalam kenyataan. Dengan demikian karsa berarti lebih dekat dengan nilai perjuangan. Dalam ilmu filsafat karsa erat kaitannya dengan nilai kebaikan.
Kawruh kasampurnan. Tokoh Bima dalam wayang, menggambarkan tekad kuat dan suci serta gigih dalam mencapai cita-cita. Lakon Bimasuci yang mengisahkan cita- cita Bima untuk mencari air kehidupan, dilakukannya dengan sepenuh tekad yang sangat patut diteladani. Setelah bertemu dengan yang dicari, kemudian Bima pun menyebarkan pengalamannya pada orang lain. Di Pertapaan Arga kelasa ia membuka padepokan ilmu pengetahuan yang digunakan untuk menyebarkan ilmu kepada orang lain. Tirta perwita sari.
Kabupaten Magelang memiliki sejarah peradaban yang agung dan anggun. Kraton Pajang dipimpin oleh Sultan Hadiwijaya menjadikan daerah daerah tertentu sebagai wilayah perdikan. Misalnya wilayah yang diapit Gunung Merapi, Gunung Merbabu, Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, Gunung Telamaya, Gunung Ungaran dan Gunung Menoreh, sebagai daerah perdikan yang memiliki hak- hak keistimewaan. Jalma sulaksana.
Sultan Hadiwijaya atau Joko Tingkir menyadari bahwa Naga Baru klinthing pernah melingkari gunung dengan ekor dan lidah. Kegiatan tepung gelang inilah asal mula nama Magelang.
Saat naik prau gethek yang berhulu dari gunung Merbabu Joko Tingkir atau Mas Karebet menghayati makna hidup. Kali Serang bermata air dari Gunung Merbabu, lantas mengalir ke wilayah Semarang, Salatiga, Boyolali, Grobogan, Kudus, Demak dan Jepara. Atas petunjuk Ki Ageng Banyubiru, Joko Tingkir mendapat kewibawaan di Kasultanan Demak Bintara. Kelak Joko Tingkir atau Mas Karebet menjadi raja di Kraton Pajang. Babad Tanah Jawi menyebut dengan
Megatruh
Sigra milir sang gethek sinangga bajul,
Kawan dasa kang njageni, Ning ngarsa miwah ing pungkur,
Tanapi ing kanan kering, Sang gethek lampahnya alon.
Naiknya Joko Tingkir atau Mas Karebet menjadi raja Pajang tak lepas dari jasa Ki Ageng Penjawi, Ki Ageng Pemanahan, Ki Ageng Juru Martani dan Ki Ageng Karotangan.
Daerah Magelang diserahkan oleh Sultan Hadiwijaya kepada Ki Ageng Karotangan. Beliau adik Ki Ageng Pemanahan. Kedua orang tokoh pendiri Mataram ini anak kandung Ki Ageng Enis yang sumare di Laweyan. Ki Ageng Enis anak Ki Ageng Sela. Sedang Ki Ageng Sela anak Ki Ageng Getas Pendawa. Adapun Getas Pendawa merupakan anak Lembu Peteng atau Bondan Kejawan yang menikah dengan Dewi Nawangsih.
Dalam sejarah Jawa Nawangsih adalah putra Ki Ageng Tarub yang menikah dengan Dewi Nawangwulan. Ki Ageng Tarub sendiri adalah putra Dewi Rasawulan yang menikah dengan Syekh Magribi atau Makdum Ibrahim. Dewi Rasawulan anak Bupati Tuban, Kanjeng Adipati Wilwatikta.
Sudah diketahui pula bahwa Adipati Wilwatikta adalah ayah Kanjeng Sunan Kalijaga. Dengan demikian Ki Ageng Karotangan masih satu darah dengan Sunan Kalijaga. Ki Ageng Karotangan sebagai ahli budaya, agama, seni, sastra, pertanian dan pemerintahan layak diberi tugas untuk membina wilayah Magelang. Untuk sementara pimpinan Magelang diserahkan kepada Adipati Mandaraka. Beliau anak Ki Ageng Karotangan yang lama diasuh oleh Ki Ageng Juru Martani.
Kinanthi
Banyu telenge Merbabu,
Hakni wijiling Merapi,
Kisma tuwuhan Sindara,
Milang miling gunung Sumbing,
Mangalor gunung Ungaran,
Wetan Telamaya wukir.
Kali Praga mili banyu,
Kang ambelah tanah Jawi,
Tumuju marang samudra,
Juru dagang kanca tani,
Lumampah srana baita,
Arep urup arep urip.
Harap diketahui bahwa Juru Martani adalah tokoh utama Mataram yang tidak punya anak. Sehingga beliau cukup dengan mengasuh kemenakan- kemenakannya. Harapan ini terwujud karena semua anak didik Ki Ageng Juru Martani menjadi orang ternama. Misalnya Ngabehi Loring Pasar atau Danang Sutawijaya kelak menjadi raja Mataram pertama dengan gelar Panembahan Senopati. Asisten dari Plikon Trasan memberi bantuan yang mengagumkan. Maka Plikon Trasan Magelang pantas dikenang sepanjang masa.
D. Pendidikan Eksekutif Kerajaan.
Kewarisan drajat pangkat semat untuk trah Plikon Trasan Bandongan Magelang. Dulu di daerah Paremono Muntilan Magelang dijadikan pusat pelatihan pejabat Mataram. Kecakapan, pengalaman, ketrampilan, keilmuwan seseorang sangat diperhatikan dalam menjalankan pemerintahan di Kerajaan Mataram. Warga keturunan dari daerah Magelang yang patut dikenang sepanjang masa adalah Patih Mandaraka dan Patih Sindureja. Kedua priyagung luhur ini pernah menduduki jabatan eksekutif kepatihan di kraton Mataram.
Pangkur
Kawentar papan wiyata,
Olah gelar tata praja negari,
Paremono rumuhun,
Laladan ing Muntilan,
Cakep cukup nata Mataram kacakup,
Trah Ki Ageng Wanasaba,
Sinebut Juru Martani.
Kanjeng Patih Mandaraka,
Wasis titis gelis ing samukawis,
Cakep cekap cakap cukup,
Myang Patih Sindureja,
Tangguh wutuh ngatasi sabarang butuh,
Aneng negari Mataram,
Minangka tepa palupi.
Peran sarjana Plikon Trasan jelas sangat penting. Baiklah ditinjau sejenak asal usul Patih Mandaraka dan Patih Sindureja dalam perspektif sosiologis dan historis. Di Trojayan Paremono Mungkid Magelang sejarah Kepatihan Kraton Mataram dibicarakan oleh para trah keturunan pada hari Jum’at, 12 April 2019. Mereka adalah keluarga besar keturunan Ki Ageng Karotangan yang tinggal di Trojayan, Paremono, Mungkid, Magelang. Dengan didukung oleh GKR Wandansari, pengageng kraton Surakarta Hadiningrat, kehidupan para leluhur dibahas dengan berbagai sudut pandang. Leluhur mereka telah memberi warisan adi luhung edi peni, yang wajib untuk dilestarikan.
Tepa palupi sejarah. Tokoh sentral yang mencapai puncak karir politik bernama Arya Sindurejo. Dari asal-usulnya Arya Sindurejo adalah putra Patih Mandaraka. Sedang Patih Mandaraka sendiri adalah putra Ki Ageng Karotangan. Beliau adik Ki Ageng Pemanahan. Sejak kecil Patih Mandaraka diasuh oleh Ki Juru Martani. Para pendiri kraton Mataram sungguh sungguh mendidik generasi penerus. Patih Mandaraka menjadi pejabat negara yang mumpuni, trampil dan berwawasan jauh ke depan.
Kerajaan Mataram tampil menjadi negara besar, wibawa dan disegani di seluruh kawasan Nusantara. Dalam sisi lain Ki Ageng Karotangan memiliki anak asuh yang bernama Rara Tuntang. Sebetulnya Rara Tuntang adalah anak Ki Ageng Saba. Sejak kecil diasuh oleh Ki Ageng Karotangan. Kelak Rara Tuntang diambil istri oleh Pangeran Radin, anak Pangeran Benowo. Jadi Rara Tuntang menjadi menantu Pangeran Benowo, keturunan Sultan Hadiwijaya raja Pajang.
Perkawinan Pangeran Radin atau Pangeran Kajor dengan Dewi Rara Tuntang menurunkan Dewi Mayangsari atau Wiratsari. Kelak putri ini menikah dengan Sri Susuhunan Amangkurat Agung. Permaisuri Dewi Mayangsari menurunkan Gusti Raden Mas Drajad atau Pangeran Puger. Nanti bergelar Sinuwun Paku Buwono I. Anak didik Ki Ageng Karotangan menurunkan raja besar, Sinuwun Paku Buwono naik tahta antara tahun 1708-1719. Ibukota Mataram saat itu di Kartasura.
Sedangkan dua putranya yakni Patih Mandaraka dan Sindurejo menjadi birokrat handalan di Mataram.
Sebelum menduduki jabatan patih, Sindurejo pernah menjabat Bupati Tegal. Meninggalnya Ki Ageng Karotangan tahun 1703. Lima tahun sebelum Sinuwun Paku Buwono menjadi raja. Alangkah bahagianya, kalau ki Ageng Karotangan tahu bahwa cucunya menjadi raja Mataram. Sinuwun Paku Buwono I menikah dengan Kanjeng Ratu Mas Balitar, putri Bupati Madiun.
Sesungguhnya hubungan Kedu, Cilacap, Tegal, Pekalongan dan Semarang begitu sangat erat. Hampir semua Bupati Tegal pernah mengenyam pendidikan di Magelang. Turun -temurun pengetahuan tentang pemerintahan diajarkan di sekitar gunung Tidar.
Pertanian, perkebunan dan peternakan diberikan sebagai bahan pengajaran. Kelak para pemimpin mengerti arti penting ketahanan pangan. Tempat pendidikan ini menjadi terkenal di kawasan Nusantara. Lulusan Magelang tempo dulu bisa menjadi pemimpin yang handal, bermoral dan profesional. Pakarti jumbuh lan pekerti.
Pendidikan Tata Praja di wilayah Magelang atas inisiatif dan sponsor Kanjeng Ratu Wetan, garwa prameswari Sinuwun Amangkurat Tegalarum. Fasilitas dan perlengkapan belajar mengajar disediakan dengan layak. Gedung, meja, kursi dan papan tulis disediakan. Wiyata adi yekti dadi piranti.
Semua biaya ditanggung oleh Kanjeng Ratu Wetan. Maklum beliau memiliki usaha mebel, ekspor impor kayu, pelayaran, semen dan perahu. Boleh dikatakan Ratu Wetan adalah pengusaha sukses. Perusahaan yang dikelola Kanjeng Ratu Wetan berpusat di daerah Banyumanik Semarang.
Sekedar diketahui bahwa Ratu Wetan pernah dididik dalam bidang niaga oleh Kanjeng Ratu Kalinyamat di Jepara. Sebagai cucu Sultan Hadiwijaya atau Joko Tingkir, Kanjeng Ratu Wetan diharapkan mampu tampil sebagai penerus kebesaran kraton Demak, Pajang dan Mataram. Kecerdasan, kelincahan, ketrampilan dan kecantikan Kanjeng Ratu Wetan tersohor di seluruh negeri.
Pantas sekali mendapat tempat terhormat di sisi Sri Susuhunan Amangkurat Agung. Peranannya di Kraton Mataram boleh dikatakan paling menonjol. Keputusan raja Amangkurat banyak berasal dari inisiatif Ratu Kulon. Usulan beliau didukung oleh modal dan pendanaan yang cukup berlimpah ruah.
Asmarandana
Kanjeng Ratu Wiratsari,
Garwa Sunan Amangkurat,
Dharah biru trah rinonce,
Tedhak turun Sultan Pajang,
Putra Pangeran Kajoran,
Dhasar ber bandha ber bandhu,
Ratu Kencana ing Tegal.
Kutha Banyumas pinilih,
Mapan tlatah Ajibarang,
Mbangun kedhaton Pamase,
Nyengkuyung warga Magelang,
Greget kawula Kajoran,
Urute kali Serayu,
Ngantya sumare ing Tegal.
Putri dari Magelang menjadi pelopor Mataram. Bernama Ratu Wiratsari atau Ratu Kencana.
Pernikahan Amangkurat Agung dengan Ratu Kulon telah melahirkan priyayi agung. Beliau adalah Gusti Raden Mas Drajad. Kelak bergelar Sri Susuhunan Paku Buwono I. Bertahta di Kraton Mataram Kartasura pada tahun 1708-1719.
Kerajaan Mataram semakin arum kuncara di bawah kepemimpinan Sinuwun Paku Buwono I. Bersama dengan sang prameswari, Kanjeng Ratu Mas Balitar, kerajaan Mataram menyelenggarakan program wajib belajar. Kanjeng Ratu Mas Balitar sendiri menulis kitab Serat Ambiya dan Serat Menak yang memadukan cerita Jawa, Arab dan Cina. Kerajaan Mataram Kartasura terkenal sebagai pengembangan ilmu pengetahuan.
Pengaruh trah Kanjeng Ratu Kulon meluas di daerah pesisir, Kedu, Banyumas, dan Tegal. Basis pengikut garwa prameswari ini terlalu kuat.
Prestasi gemilang ini berbuah pada solidaritas trah Mataram sampai saat ini. Jasa besar ini perlu dikenang dan diwariskan. Magelang menjadi daerah perdikan, menjadi istimewa saat Sinuwun Paku Buwono memimpin Kraton Mataram Kartasura. Magelang diberi nama Kebon dalem yang membentang dari Potrobangsan hingga Banyumas. Tanaman kopi, buah -buahan, teh tumbuh subur. Sayur mayur beraneka ragam jenisnya. Semua memberi kemakmuran negeri.
Status Magelang menjadi daerah administrasi pemerintahan terjadi pada tahun 1818. Beliau diangkat oleh Sinuwun Paku Buwono IV, raja Surakarta.
Pimpinan daerah adalah Mas Ngabehi Danukromo dengan gelar Kanjeng Raden Tumenggung Danuningrat. Sebagai kota tua, hari jadi Magelang ditetapkan pada tanggal 11 April 907 Masehi. Sistem pemerintahan saat itu dipimpin oleh Raja Balitung, yang disebut dalam Prasasti Mantyasih. Kabupaten Magelang digambarkan sebagai negeri yang unggul, agung, makmur, aman damai. Ibu ibu dari Plikon Trasan Magelang menyediakan konsumsi. Kembul bujana andrawina.
Pemimpin yang bijak bestari. Daftar Bupati Magelang yang ber budi bawa laksana. Kadipaten yang kopen kajen.
1. Tumenggung Danuningrat I, 1812-1826. Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono IV, raja Surakarta Hadiningrat.
2. Tumenggung Danuningrat II, 1826-1862. Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono VI, raja Surakarta Hadiningrat.
3. Tumenggung Danuningrat III, 1862-1878. Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono IX, raja Surakarta Hadiningrat.
4. Tumenggung Danukusumo, 1878-1908. Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono IX, raja Surakarta Hadiningrat.
5. Tumenggung Danusugondo, 1908-1939. Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono X, raja Surakarta Hadiningrat.
6. RAA Sastrodiprojo, 1939-1945. Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono XI, raja Surakarta Hadiningrat.
7. RAA Said Prawirosastro, 1945-1946. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.
8. R Yudodibroto, 1946-1954. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.
9. MG Arwoko, 1954-1957. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.
10. Sugeng Sumodilogo, 1957-1960. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.
11. Drs Adnan Widodo, 1960-1967. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.
12. Drs Ahmad, 1967-1979. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.
13. Drh. Supardi, 1979-1983. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.
14. Drs. Sulistiyo, 1983-1984. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto
15. Muhammad Solichin, 1984-1994. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.
16. Kol. Kardi, 1994-1999. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.
17. Drs Hasyim Affandi, 1999-2004. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden BJ Habibie.
18. Ir Singgih Sanyoto, 2004-2014. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Megawati.
19. Zaenal Arifin, 2014- 2024. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo.
Njajah desa milang kori. Dari Plikon Trasan Magelang dunia makin gemilang. Gunung Merapi dan Merbabu terletak di sebelah timur Magelang. Kedua gunung ini berdiri kokoh gagah nan indah. Lingkungan pegunungan Merapi Merbabu mengandung kekayaan yang berlimpah ruah. Di antara kaki Gunung Merbabu dan kaki Gunung Merapi yang berdiri berjajar, ada gunung kecil yang disebut dukuh Candhi. Jalannya menanjak hingga tiba di puncak.
Dhandhanggula
Ujaring sekar kang sarwa manis,
Tumrape jalma ing tlatah Magelang,
Katon endah reja rame,
Pereng gunung Merbabu,
Caket lawan gunung Merapi,
Gunung sumbing Sindara,
Tengah Borobudur,
Nut iline kali Praga,
Deres mili tumuju ing jalanidhi,
Nyata weh kemakmuran.
Nalikane jaman Majapahit,
Paripurna ngereh Nusantara,
Kerajaan mekar gedhe,
Magelang weh pisungsung,
Piwulang mranata negari,
Bhinneka Tunggal Ika,
Bedane panemu,
Kagagas raos manunggal,
Lenging gati lestari ibu pertiwi,
Santosaning bebrayan.
Serba manis wilayah Plikon Trasan Bandongan Magelang. Tampak endah edi peni. Di situ mereka melihat kuburan tanpa cungkup, hanya diteduhi pohon cempaka. Kuning putih bunganya bertaburan semerbak harum mewangi. Kuburan itu bercahaya menyinari alam sekitar. Menurut cerita orang- orang tua, itu makam raja Majapahit, Sinuwun Prabu Brawijaya.
Pemandangan indah permai. Di sebelah utara, terlihat air Rawa Pening luas, di tengah telaga terlihat pulau mengapung menurut tiupan angin, ke timur, barat, ke tengah ke utara serta ke selatan. Tidak ada tumbuh pohon kayu yang besar. Yang terlihat hanyalah rumput katang yang berwarna hijau menarik hati.
Keberadaan Gunung Tidar lebih dilihat dari perspektif kultural spiritual. Sebagian orang mengartikan Gunung Tidar dengan akronim mati sadar. Dengan harapan orang selalu ingat ajaran Syekh Subakir, agar tetap eling lan waspada.
Gambuh
Pusaka Damar Murub,
Warga Trasan Magelang sumurub,
Warisane Syekh Subakir duking nguni,
Gunung Tidar dhepokipun,
Cantrik saking dhusun Plikon.
Wondene para ratu,
Adhedhasar wulang wuruk guru,
Murih bisa antuk margi kang utami,
Kudu weruh ing pituduh,
Agal alus ingkang kamot.
Jagat gumelar telah memberi kejayaan masa silam. Dhusun Plikon Trasan Bandongan Magelang memberi pencerahan. Marbabak bang sumirat. Nak tumanak, run tumurun ginanjar kawibawan kawidadan, ayu hayu rahayu. Sejahtera aman damai. Magelang memang gemilang.
Oleh: Purwadi.
Ketua Lembaga Olah Kajian Nusantara LOKANTARA.
Hp 087864404347.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar